Gereja (Pengajaran Dasar GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari

Adalah penting sekali bagi para pelayan Tuhan, dan khususnya para pendeta, memahami secara lebih mendalam tentang Gereja. Alasannya adalah bahwa Gereja merupakan medan di mana para hamba Tuhan atau pendeta melayani. Itulah sebabnya pada uraian tentang Gereja berikut ini disampaikan beberapa hal dasar yang perlu sekali diketahui, dipahami dan dihayati agar "tubuh Tuhan" tidak terpecah-pecah.

A. Pengertian gereja

Istilah "Gereja" dalam bahasa Indonesia atau church (bhs. Inggris) diambil dari bahasa Portugis yaitu Igreja yang berasal dari kata kuriake (bhs. Yunani) artinya kepunyaan Tuhan. Sedangkan kata lain dalam bahasa Yunani yang sering digunakan untuk Gereja adalah Ekklesia yaitu Jemaat, dan dalam bahasa Ibraninya adalah Qahal. Baik ekklesia maupun Qahal mempunyai pengertian yang sama yaitu dipanggil keluar dari kegelapan karena dosa dan masuk dalam terang-Nya Allah. Orang-orang yang dipanggil keluar tersebut diarahkan untuk menjadi satu dalam persekutuan umat Tuhan. Gereja juga dapat berarti persekutuan iman dari orang-orang yang mendengar firman Allah dan menerimanya dengan iman dalam hati serta melakukannya dalam praktek hidup sehari-hari.

Jadi Gereja bukan hanya merupakan suatu perkumpulan melainkan sebuah persekutuan yang lahir dari Allah. Alkitab menyatakan bahwa yang mendirikan Gereja adalah Tuhan Yesus (Mat 16:18). Gereja adalah buah tangan pekerjaan Roh Kudus. Dan yang paling penting dalam Gereja adalah penyataan Allah, pemilihan oleh Allah, kehendak Allah untuk mengumpulkan orang-orang beriman. Firman Allah menyatakan; "Bukan kamu

yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu" (Yoh 15:16). Karena itu Gereja bukanlah hasil perbuatan pendeta atau tua-tua jemaat melainkan perbuatan Allah dalam Kristus Yesus melalui Roh Kudus.

Selanjutnya perlu juga diketahui bahwa gereja terdiri dari 2 (dua) macam yaitu gereja yang kelihatan dan Gereja yang tak kelihatan. Gereja yang kelihatan berarti gereja lokal atau gereja setempat yakni persekutuan orang beriman, yang masih hidup. Sedangkan Gereja yang tak kelihatan terdiri dari orang beriman dari segala zaman dan telah menerima anugerah keselamatan.

Untuk memperjelas perbandingan antara gereja yang kelihatan dan Gereja yang tidak kelihatan perhatikanlah tabel berikut ini.

PERBANDINGAN ANTARA GEREJA YANG KELIHATAN DAN GEREJA YANG TIDAK KELIHATAN

Gereja yang kelihatan (visible) Gereja yang tidak kelihatan (invisible)
Anggota: orang yang telah diselamatkan dan yang masih hidup. Anggota: orang-orang yang telah diselamatkan dari segala zaman, yang masih hidup dan yang sudah mati.
Meliputi gereja-gereja lokal. Hanya satu Gereja yang universal.
Berbeda-beda dalam denominasi. Bukan merupakan sebuah denominasi.
Bagian dari Tubuh Kristus. Tubuh Kristus seluruhnya.
Berbeda dalam sistim pemerintahan gereja. Kristus satu-satunya Kepala Gereja.

B. Hubungan Kristus dengan Gereja-Nya

Ada beberapa gambaran tentang hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Gambaran itu akan dijelaskan melalui bagan di bawah ini:

ANALOGI KRISTUS DAN JEMAAT-NYA

Kristus Gereja Referensi ayat Alkitab
Kepala, Batu-penjuru Tubuh, Bangunan Bait Allah “lalah kepala tubuh, yaitu jemaat" (Kol 1:18a). "... Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah" (Ef 2:20-21).
Tunangan Perawan suci "Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus" (2 Kor 11:2).
Mempelai Pria Mempelai wanita "Marilah ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu pengantin perempuan, mempelai Anak Domba" (Why 21:9).
Pemilik Umat kepunyaan "Untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri" (Tit 2:14).
Gembala Domba Allah "Gembalakanlah kawanan domba Allah, ...apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota. " (1 Pet 5:2-4)
Anak Sulung Anggota keluarga "...kamu...anggota keluarga Allah" (Ef 2:19). "...lalah yang sulung...” (Kol 1:18b).
Imam Besar Umat Allah “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung" (Ibr 4:14). "Tetapi kamulah... umat kepunyaan Allah sendiri" (1 Pet 2:9).

C. Sifat-sifat gereja

Gereja memiliki 4 (empat) sifat yakni esa, kudus, rasuli dan am.

1. Gereja yang esa

Firman Allah menyatakan; "Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera; satu tubuh dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua." (Ef 4:3-6). Menjelang akhir pelayanan-Nya di bumi ini, Tuhan Yesus berdoa; "Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau...." (Yoh 17:21). Penggenapan doa tersebut tidak hanya terjadi dari pihakTuhan. Setiap umat Tuhan dan hamba-hamba Tuhan seharusnya terpanggil untuk mewujudkan doa Yesus tersebut baik dalam konsep pengakuannya maupun dalam upaya dan tindakan yang mengarah kepada kesatuan tersebut.

Dari kedua ayat tersebut kita dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Krisrus Yesus, Kepala Gereja. Ia tidak menghendaki adanya perpecahan. Tuhan menginginkan persatuan dan keutuhan dalam Gereja-Nya. Segala bentuk perpecahan dikecam oleh firman Allah seperti yang dapat kita baca dalam 1 Korintus 3:1-9. Dalam bacaan itu Paulus, rasul Kristus, menegur jemaat di Korintus yang terbagi-bagi atau terpecah-belah dalam kelompok-kelompok.

Namun dalam arti apakah keesaan itu dapat dipahami dan diwujudkan? Menurut pandangan mata biasa, kita dapat menyaksikan gereja dengan berbagai nama organisasi atau terdiri dari banyak denominasi. Perlu sekali dipahami bahwa pengertian Gereja yang esa bukanlah dalam arti satu denominasi atau satu 'merek' gereja. Gereja yang esa harus dipahami sebagai Gereja yang terdiri dari keanekaragaman. Ada gereja yang bersifat kedaerahan atau kesukuan, dan ada pula gereja nasional yang terdiri dari berbagai latar belakang etniknya seperti Gereja Bethel Indonesia.

Oleh karena itu kita tidak boleh menganggap gereja kitalah yang paling benar dan gereja-gereja yang lain tidak benar atau sesat. Semua Gereja dibenarkan oleh karena karya penebusan Tuhan

Yesus Kristus. Hal lain yang perlu disampaikan juga adalah bahwa kita harus memiliki prinsip yang alkitabiah seperti dikemukakan oleh firman Tuhan; "Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua" (Ef 4:3-6). Jadi yang memimpin Gereja pada hakekatnya bukanlah ketua sinode gereja melainkan Tuhan Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja. Sebab alasan inilah maka Pdt. Dr. H.L. Senduk mendorong dan membawa Gereja Bethel Indonesia (GBI) ke dalam 3 (tiga) wadah persatuan gereja yaitu Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan Injili Indonesia (Pll) dan Persekutuan Gereja Pentakosta di Indonesia (PGPI).

Ada yang menuduh bahwa Gereja Bethel Indonesia tidak mempunyai pendirian, karena ia berada di tiga wadah persekutuan tersebut. Tuduhan itu tidak benar. Yang benar adalah bahwa Gereja Bethel Indonesia sebagai gereja nasional mempunyai komitmen untuk mewujudkan Gereja yang esa bersama-sama dengan gereja yang lain. GBI masuk dalam wadah PGI untuk menyatakan kesaksian bahwa GBI bukanlah gereja yang eksklusif atau menganggap diri paling benar. GBI juga turut mendukung terbentuknya wadah persekutuan Injili yakni Pll. Dan GBI juga turut mendirikan wadah persekutuan gereja Pentakosta yaitu PGPI. Jadi para pejabat GBI tidak boleh menjadi orang yang tertutup dan eksklusif, melainkan memiliki wawasan yang luas. Ia harus mau menjadi berkat bagi orang percaya dan mitra kerja dengan hamba-hamba Tuhan lain dari berbagai denominasi gereja.

2. Gereja yang kudus

Gereja yang kudus berarti Gereja yang terdiri dari orang-orang kudus. Firman Allah menyatakan; "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sediri, ..." (1 Pet 2:9). Alkitab juga memerintahkan; "Kuduslah kamu, sebab Aku kudus." (1 Pet 1:17). Bahkan pada bagian lain Alkitab menyatakan: "Kristus telah mengasihi jemaat-Nya dan telah menyerahkan diriNya baginya untuk menguduskannya, sesudah ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diriNya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela" (Ef 5:25b-27). Tetapi kekudusan umat Tuhan itu tidak diperoleh dengan otomatis. Bahkan gereja tidak dapat mengambil alih tindakan-tindakan Yesus, baik melalui upacara-upacara atau sakramen-sakramen untuk menguduskan anggota gereja tersebut. Upacara dan sakramen hanya sarana atau media saja. Kekudusan Gereja adalah buah dari karya Kristus di bukit Golgota. Bagi gereja reformasi penekanan Gereja yang suci bukan didasarkan pada kesucian dari orang-orang yang dapat hidup saleh saja, melainkan karena Kristus menyucikan orang percaya dengan darah-Nya. Pengudusan Gereja atau orang percaya terjadi sebagai hasil dari persekutuan pribadi dengan Tuhan Yesus dan persekutuan dengan sesama orang percaya.

Dari hal tersebut dapat pula terlihat adanya dua bentuk pengudusan. Yang pertama, kekudusan secara pasif yang terjadi sebagai anugerah atau pemberian cuma-cuma dari Tuhan terhadap orang yang percaya kepada korban yang telah dikerjakan-Nya. Kekudusan yang dimiliki oleh orang percaya ini bukanlah hasil dari perbuatan baik atau amal yang dilakukannya. Kedua, kekudusan secara aktif. Setelah jemaat menerima kekudusan dari Tuhan maka ia harus hidup kudus sebagai bukti bahwa ia telah menjadi orang kudus. Jadi, segala perbuatan baik dilakukan oleh orang percaya bukan supaya ia menjadi kudus melainkan karena ia telah menerima kekudusan dari Tuhan.

Istilah kudus atau suci dalam Alkitab berarti “dipisahkan, disendirikan atau dikhususkan.” Gereja yang kudus berarti Gereja

adalah jemaat Tuhan yang telah dipisahkan dari dunia yang gelap dan masuk kepada terangNya yang ajaib. Gereja yang kudus berarti juga Gereja sebagai jemaat disendirikan, agar Allah memiliki persekutuan yang akrab dan "intim" dengan umat yang menjadi kesayangan-Nya ini. Gereja yang kudus diartikan sebagai jemaat yang dikhususkan untuk menjadi alat di dalam tangan-Nya bagi kemuliaan Tuhan sendiri.

3. Gereja yang rasuli

Firman Allah menyatakan, "Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus yang sebagai batu penjuru" (Ef 2:19-20). Gereja rasuli adalah suatu komunitas atau persekutuan umat Tuhan yang dibangun dan bertumbuh di atas dasar pengajaran para rasul. Mereka telah meninggalkan warisan iman yang sangat berharga sampai sekarang dan hingga masa yang akan datang, seperti yang terdapat dalam Perjanjian Baru baik Injil maupun kitab dan surat-suratnya.Warisan rasul-rasul yang tertulis itu bahkan telah diterima dan diakui sebagai firman Allah yang diilhamkan oleh Roh Kudus.

Pada dekade belakangan ini terjadi kegerakan di dalam gereja Tuhan yang disebut dengan gerakan kerasulan. Gereja yang rasuli (Apostolic church) berarti gereja yang dipimpin oleh seorang rasul atau seorang yang mempunyai strategi kerasulan. Itu berarti bahwa gereja menanggapi secara sungguh-sungguh Amanat Agung yang diberikan oleh Tuhan Yesus yaitu untuk pergi menjadikan segala bangsa murid Yesus. Gereja yang demikian bukanlah gereja yang statis dan diam. Mereka adalah gereja yang dinamis, hidup serta bergerak. Gereja yang rasuli tidak bersifat pasif menunggu di tempat datangnya jiwa-jiwa. Sebaliknya gereja rasuli akan pergi ke luar menjemput dan mencari jiwa yang terhilang, menobatkan dan memenangkan mereka bagi Kristus.

Gereja yang rasuli juga terdiri dari umat yang berani hidup di masa

kini dan memandang ke masa depan. Mereka tidak hidup hanya berdasarkan pada pengalaman masa lampau, sekalipun masa lalu tidak dapat diabaikan begitu saja. Jadi gereja harus bersifat proaktif untuk terus bertumbuh dan berkembang demi nama Tuhan Yesus, Kepala Gereja. Di sisi lain, gereja yang rasuli menuntut seorang pemimpin yang visioner dan misioner. Artinya, gereja harus melihat apa yang Tuhan lihat, dan melakukan apa yang Tuhan mau untuk dilakukan bagi dan di dalam gereja-Nya.

4. Gereja yang am

Gereja yang am harus juga dipahami secara berdampingan dengan sifat Gereja yang esa. Bahwa Gereja yang esa adalah gereja yang am. Gereja yang esa tanpa sifat gereja yang am akan menyebabkan gereja yang tertutup (eksklusif). Gereja yang am berarti gereja yang universal; menyeluruh dan mendunia. Gereja tidak terikat pada satu atau beberapa denominasi saja pada satu wilayah tertentu. Gereja yang am meliputi persekutuan jemaat Tuhan dari segala suku, bangsa, kaum, dan bahasa.

Dengan demikian kita tidak hanya melihat gereja yang ada di lokasi sekitar kita berada. Mata kita harus dapat memandang jauh melampaui apa yang dapat dipandang oleh mata jasmani ini. Gereja yang am harus dilihat secara rohani dengan hati nurani yang tulus pula. Gereja tidak boleh eksklusif atau tertutup. Gereja harus bersikap inklusif yaitu terbuka kepada gereja-gereja lain yang ada di sekitarnya.

Gereja yang am juga merupakan gambaran dari sifat Gereja yang terdiri dari banyak anggota dengan satu Kepala yakni Tuhan Yesus Kristus. Sebagai sesama anggota tubuh berarti kita saling tergantung dan bergantung, saling membutuhkan dan dibutuhkan.

D. Karakteristik gereja

Karakteristik menunjukkan ciri-ciri yang dimiliki oleh sebuah persekutuan yang disebut gereja, yaitu sebagai berikut:

1. Memberitakan Firman Allah

Memberitakan firman Allah adalah tugas yang sangat penting yang harus dilaksanakan oleh gereja Tuhan. Bila gereja sudah tidak memberitakan firman Tuhan berarti ia bukan Gereja lagi. Dengan karakteristik ini gereja hendaknya selalu memeriksa dirinya, apakah ia telah memberitakan firman Allah dengan sungguh-sungguh? Ada orang yang menjawab pertanyaan itu dengan cepat dan berkata, "Tentu saja gereja memberitakan firman Allah." Namun jika kita mau jujur di hadapan Tuhan, ada gereja yang tidak atau kurang memberitakan firman Allah. Ia hanya menyampaikan gagasan-gagasan yang baik dan indah dengan mengutip beberapa ayat Alkitab. Ia tidak sungguh-sungguh menggali Alkitab dan mengenal isi hati Tuhan. Akibatnya ia hanya menyampaikan prinsip-prinsip atau filosofi yang bersifat antroposentris atau berpusat pada manusia. Jadi gereja harus mengembangkan penafsiran Alkitab secara benar.

Di samping hal tersebut di atas, gereja, atau para hamba Tuhan khususnya, harus dengan sungguh-sungguh memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan sehingga ia dapat mengenal Tuhannya secara pribadi. Dengan demikian ia dapat menyampaikan firman Allah, yakni segala sesuatu yang Tuhan ingin untuk disampaikan. Ia tidak memikirkan apa yang orang ingin dengar dari padanya, melainkan ia merenungkan dan menyampaikan apa yang Tuhan mau katakan.

2. Melaksanakan sakramen

Gereja Bethel Indonesia termasuk salah satu gereja Protestan yang mengakui adanya 2 (dua) sakramen. Yang ditetapkan oleh Allah sendiri yaitu baptisan dan perjamuan kudus.

Berkenaan dengan pelaksanaannya, maka yang berhak melakukannya adalah gereja sebagai suatu lembaga yang didirikan dan ditetapkan oleh Allah sendiri. Sebuah persekutuan atau perkumpulan Kristen tidak dapat melaksanakan sakramen. Aturan yang lebih jelas mengenai hal ini dijelaskan dalam Tata Dasar dan Tata Tertib GBI.

3. Menerapkan disiplin gereja

Sebuah gereja juga perlu menetapkan dan menegakkan disiplin bagi para anggotanya yang melakukan dosa. Tujuan pelaksanaan disiplin gereja bukanlah supaya jemaat kudus, karena pengudusan jemaat merupakan pekerjaan Kristus.

Bila gereja melaksanakan disiplin gereja, hal ini disebabkan oleh kerinduan agar jemaat bertumbuh imannya dan dapat disadarkan dari dosanya, dan kemudian dibawa kembali kepada Tuhan untuk menjadi umat kesayangan-Nya. Sebaliknya gereja yang tidak menerapkan disiplin akan menimbulkan kekacauan, ketidak-adilan dan ketidaktertiban. Pada akhirnya jemaat yang tidak dikenakan disiplin akan tetap tinggal dalam dosa dan tidak memiliki pertumbuhan iman yang baik.

Untuk melaksanakan disiplin dengan benar maka gereja harus memperhatikan ketetapan yang sudah dibuat oleh Yesus sendiri: "Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai" (Mat 18:15-18).

E. Pemerintahan dalam gereja

Maka akan didapati adanya dua pandangan yaitu respons yang setuju dan tidak setuju.

Jika dikatakan bahwa gereja adalah sebuah organisasi, Gereja Tuhan dan bahkan orang percaya harusnya berani menyatakan bahwa Gereja lebih dari sekedar organisasi; Gereja adalah organisme yang hidup. Kepala Gereja adalah Yesus Kristus (Ef 1:22-23) yang memelihara Gereja serta memberikan hidup rohani kepadanya. Akan tetapi, organisme yang hidup harus mempunyai struktur.

Demikian pula, Gereja memiliki susunan bagian-bagian yang rapih dan tersusun. Susunan yang dimaksud dapat ditemukan bila menyelidiki pola gereja rasuli. Struktur yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru sangat sederhana, namun prinsipnya ialah bahwa hanya organisasi yang penting bagi kelangsungan kehidupan Gereja yang harus dipakai.

Sedangkan dalam Tata Dasar Gereja Bethel Indonesia butir 1 dikemukakan mengenai Wujud Gereja, dan pada butir 1.4 terdapat sebuah pernyataan yang menyebutkan sebagai berikut: "Gereja adalah Organisme Ilahi yang hidup dan berkembang terus menerus dalam suatu organisasi yang berasaskan Alkitab." Hal ini sangat penting untuk dikemukakan dan dipahami secara baik. Gereja adalah organisme yang berorganisasi, dan gereja yang berorganisasi haruslah juga sebuah organisme. Karena itu sebagai organisasi, gereja tidak boleh larut dalam urusan-urusan yang bersifat duniawi sebab gereja adalah milik Allah, yang ada dan hidup untuk kemuliaan-Nya.

Pada tulisan yang lain ada pula ahli teologi yang berpendapat lain, Ia mengatakan, “Tetapi apakah itu Ekklesia? Apakah itu Gereja: Gereja yang harus ditata atau diatur?” Atas pertanyaan ini kita dapat berikan bermacam-macam jawaban yang bersifat teologis atau alkitabiah. Tetapi kalau kita meninjau Gereja dari bentuk pemunculannya di dunia, ia-pada satu pihak-adalah suatu perhimpunan manusia biasa, yang mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan di dunia seperti: negara, partai politik, perkumpulan sosial dan lain lain. Tetapi kalau kita melihatnya dari segi hakikatnya, ia-pada lain pihak-adalah suatu persekutuan rohani, dengan Yesus Kristus sebagai Kepala. Sebagai persekutuan rohani, ia adalah obyek dari percaya atau iman Kristen: 'Aku percaya akan adanya suatu Gereja Kristen yang kudus dan am'."

Dari dua pendapat tersebut di atas maka jelaslah bahwa Gereja sebagai organisme juga merupakan sebuah organisasi. Jadi Gereja memiliki sifat ilahi dan insani. Gereja bersifat ilahi karena gereja sebagai organisme lahir dari Allah. Sedangkan sebagai organisasi, gereja memerlukan penataan dari manusia. Dan sebagai organisasi maka aturan yang jelas, seimbang dan memadai perlu dibuat dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Aturan yang telah disepakati bersama tersebut harus dilaksanakan bukan semata untuk peraturan, melainkan bagi pertumbuhan dan perkembangan Tubuh Kristus agar kerajaan Allah datang dan nama Allah dimuliakan di bumi seperti di sorga.

Di dalam sebuah buku diuraikan tentang sistem pemerintahan gereja. Dalam uraian tersebut dikemukakan 3 bentuk pemahaman tentang sistem pemerintahan gereja yakni episkopal, presbiterial-sinodal dan kongregasionalisme.

1. Episkopal

Pada zaman Perjanjian Baru pemerintahan jemaat-jemaat dipimpin langsung oleh para rasul. Setelah jemaat berkembang dan makin banyak jumlah orang yang percaya, para rasul melibatkan orang-orang yang dapat membantu. Mereka yang disebut diaken dipilih oleh rasul-rasul untuk melayani meja. Dan mereka harus memiliki kualifikasi tertentu seperti yang telah ditetapkan yakni terkenal baik, penuh Roh dan hikmat. Sedangkan para rasul memusatkan perhatiannya pada doa dan pelayanan firman (Kis 6: 1-6)

Namun demikian ketika firman Allah makin tersebar, jumlah orang percaya pun makin bertambah banyak. Bahkan setelah Paulus, Barnabas, dll. melaksanakan perjalanan misi, banyak jemaat didirikan di berbagai kota dan provinsi. Sungguh merupakan suatu perkembangan yang menyenangkan, namun juga menyedihkan. Menyenangkan karena jumlah orang yang diselamatkan semakin bertambah, tetapi menyedihkan karena gereja pada waktu itu mengalami krisis kepemimpinan. Dalam keadaan seperti itu para rasul tidak dapat menangani jemaat secara langsung. Karena itu mereka mengangkat pemimpin-pemimpin jemaat di Efesus, Smirna, Pergamus, dsb., bahkan oleh Rasul Yohanes, mereka disebut "Malaikat Sidang Jemaat" (band. Why 2:18; 12, 18; 3:1, 7, 14).

Masalah lain yang dihadapi jemaat-jemaat pada waktu itu adalah munculnya guru-guru palsu dan terjadinya perpecahan di antara jemaat. Oleh sebab itu para pemimpin jemaat haruslah orang yang dapat diandalkan yaitu;

  • Seorang pemimpin rohani yang kuat.
  • Mampu menjaga kekudusan jemaat sebagai tanda hadirnya Roh Kudus dalam jemaat tersebut.
  • Kesaksian yang kuat dari keesaan jemaat dan,
  • Suatu tradisi rasuli yang terpercaya sebagai jaminan bagi kepastian keselamatan dari anggota jemaat.

2. Presbiterial-Sinodal

Kepemimpinan presbiterial-sinodal berasal dari Calvin yang muncul pada zaman reformasi dapat dikatakan sebagai aksi protes dari sistem kepemimpinan episkopal yang mengalami kemerosotan akibat hierarki yang monarkis.

Adapun ciri-ciri utama dari kepemimpinan presbiterial-sinodal adalah:

  • Titik tolaknya ialah jemaat/gereja setempat.
  • Pimpinan/pemerintahan gereja dipercayakan kepada suatu majelis, yang beranggotakan pejabat-pejabat gerejawi.
  • Selain sidang jemaat/gereja, masih ada sidang-sidang lain yang lebih luas bidang cakupannya.
  • Mempunyai satu kemandirian, terutama terhadap pemerintah, khususnya di bidang tugas dan pelayanan pejabat-pejabat gerejawi.

2. Kongregasionalisme

Sistem pemerintahan kongregasionalisme pertama kali muncul di Skotlandia pada bulan Desember 1557. Sebuah perkumpulan yang bernama Congregation of the Lord didirikan oleh Robert Browne (1550-1633), muncul untuk menghilangkan Gereja Negara yang ada di Inggris. Sedangkan ciri-ciri sistem pemerintahan kongregasionalisme adalah:

  • Bentuk kongregasionalisme adalah kongregasi-kongregasi. Mereka tidak mengenal struktur super yang di atasnya, dan kongregasi bukan bagian dari gereja daerah atau suatu gereja bangsa/nasional.
  • Tidak mengakui wibawa sidang-sidang yang mengikat (misalnya: ketetapan sidang sinode).
  • Otoritas dalam gereja ialah Kristus dan Alkitab. Kristus memberi otoritas pada kongregasi atau anggota-anggota kongres secara individu.
  • Para pejabat dalam kongregasi adalah gembala, pengajar, penatua dan diaken.
  • Pengangkatan pejabat oleh Kristus dilakukan melalui kongregasi.
  • Pejabat-pejabat tidak memerintah melainkan melayani, karena pemerintah dalam kongregasi adalah Kristus.
  • Keabsahan keputusan para pejabat tergantung pada persetujuan kongregasi.

F. Sistem pemerintahan Gereja Bethel Indonesia

Setelah kita menyimak uraian tentang 3 sistem pemerintahan gereja maka pada bagian ini kita akan meninjau sistem pemerintahan yang ada di Gereja Bethel Indonesia (GBI). Menurut Tata Dasar GBI tahun 2000, butir 7.8 dinyatakan: Gembala jemaat adalah pimpinan jemaat lokal. Sedangkan dalam Tata Tertib GBI Bab II tentang Pejabat GBI, bagian A. Umum, pasal 11 menyatakan; Pengangkatan atau pembebasan tugas Pembela Sidang adalah wewenang Gembala Jemaat (ayat 11.1.1). Dan pengangkatan atau pembebasan tugas Pengerja sebagai pelayan jemaat penuh waktu adalah wewenang Gembala Jemaat (ayat 11.2.1).

Menurut Pdt. DR. H.L. Senduk sebagai pendiri GBI, tentang struktur GBI menyatakan bahwa sistem pemerintahan GBI adalah desentralisasi, artinya kepada pendeta setempat dibagikan kekuasaan dan wewenang untuk memimpin jemaatnya. Dari uraian tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pimpinan tertinggi dalam jemaat adalah Gembala Jemaat yang dapat juga disamakan dengan episkopos. Puncak kepemimpinan dalam GBI tidak dilakukan oleh majelis jemaat atau presbiter, meski pelayanan dan pertimbangan-pertimbangan yang mereka berikan sangat penting dalam perkembangan jemaat. Kepemimpinan dalam jemaat GBI tidak terletak pada jemaat atau kongregasi, walaupun dukungan dan partisipasi mereka besar artinya bagi kemajuan dan keberhasilan jemaat. Oleh sebab itu pendeta sebagai pimpinan jemaat tidak boleh otoriter sebab ia memerlukan majelis dan anggota jemaat. Gaya kepemimpinan episkopal sebenarnya bersifat teokrasi namun tidak kaku.

Di pihak lain, pendeta sebagai pemimpin jemaat di GBI tidak berdiri sendiri. Meskipun bersifat otonom sebagai salah seorang pejabat di GBI, ia terikat pada aturan organisasi GBI. Dalam uraian mengenai "Sistem Pemerintahan GBI", Pdt. George Tapiheru mengemukakan; "... Pendeta/Gembala Jemaat terikat dalam satu kesatuan dengan gembala jemaat GBI lainnya, dalam hal ini sebagai anggota dari Sinode GBI yang mempunyai aturan organisasi dan tertuang dalam Tata Dasar dan Tata Tertib GBI, sehingga selain ia mempunyai kewenangan atas jemaat lokal, ia mempunyai juga kewajiban terhadap jemaat, Majelis Daerah (MD)/Badan Pekerja Daerah (BPD) dan Badan Pekerja Sinode (BPS), (Tata Dasar Bab II, bagian A, pasal 5). ... Bahkan sebagai pejabat GBI ia bisa dikenakan disiplin gereja apabila melanggar firman Tuhan, Pengakuan Iman dan pengajaran GBI, Tata Dasar dan Tata Tertib GBI (Tata Tertib GBI, bab XII).

Dalam pembahasan tentang sistem pemerintahan GBI maka dari uraian di atas terdapat gambaran yang semakin terang. Untuk memperjelas hal ini, Pdt. George Tapiheru juga menjelaskan sebagai berikut; "Sistem GBI adalah episkopal-sinodal. Artinya ada kewenangan pada jemaat lokal (dalam hal ini gembala jemaat/pendeta adalah pemimpin jemaat lokal). Namun ada juga kewenangan pada pimpinan daerah dan pusat (BPD dan BPH). Gembala jemaat mempunyai hak otonom untuk mengatur jemaatnya, namun ia juga mempunyai kewajiban terhadap sesama GBI, terhadap BPD dan BPH. Ia harus mengembangkan jemaatnya, tetapi ia juga harus memelihara persekutuan dan kerja sama yang baik dengan gembala jemaat GBI lainnya (Tata Gereja GBI Bab I, Pasal 7.1) dan mengikuti aturan yang disepakati (Tata Gereja GBI Bab I, Pasal 5). Ia bebas mengatur manajemen dan administrasi serta program jemaat lokal, tetapi ia tidak bebas dalam hal pengajarannya. Pengajarannya harus selaras dengan pengajaran GBI yang tertuang dalam Pengakuan Iman GBI dan uraiannya.

Jadi dapatlah disimpulkan dan ditegaskan bahwa sistem pemerintahan di GBI adalah episkopal-sinodal. Namun karena istilah episkopal lebih cenderung menunjukkan sistem pemerintahan yang sentralistik maka diusulkan beberapa nama. Pertama, sistem pemerintahan di Gereja Bethel Indonesia dapat disebut sebagai sistem PASTORAL-SINODAL karena pastor atau gembalalah yang berperan aktif dalam jemaat setempat. Kedua, sistem pemerintahan APOSTOLIK-SINODAL. Alasannya hampir sama yakni bahwa yang paling dominan di dalam GBI adalah gembala jemaatnya sendiri sama seperti yang terjadi pada zaman gereja mula-mula. Bahwa pemimpin dalam sebuah jemaat adalah apostolos atau rasul karena ia memiliki hubungan dekat dengan Allah sehingga dapat lebih mengenal maksud dan isi hati Tuhan dalam bentuk visi dan misi gereja tersebut.

Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa kedua sistem pemerintahan tersebut, baik pastoral-sinodal maupun apostolik-sinodal, bersifat desentralisasi atau mandiri. Dengan demikian diharapkan muncul kebaktian-kebaktian besar yang akan dipimpin oleh seorang pastor (gembala) atau apostolos (rasul).