Fire for Breakthroughs Api Terobosan Antar Generasi (Pdm Cynthia Tirtadiredja, SH)
Ringkasan Khotbah | |
---|---|
Ibadah | Fire for Breakthroughs |
Tanggal | Rabu, 4 Juni 2025 |
Gereja | GBI Danau Bogor Raya |
Lokasi | Grha Amal Kasih |
Kota | Bogor |
Video | YouTube |
Khotbah lainnya | |
| |
|
Kita perlu unity dan kolaborasi, terutama anak muda dengan generasi yang di atasnya. Kita perlu humbleness. Yang lebih tua harus humble kepada yang lebih muda. Anak muda juga harus hormat pada generasi di atasnya, ngga kurang ajar.
Shalom Papi-Mami, Opa-Oma, Kakak-Kakak, Bapak-Ibu yang terkasih!
Finally, we arrive at here! Setelah melewati masa pandemi, kita masih hidup, survivor, Amin! Lalu melewati masa-masa setelah pandemi, tiba-tiba ada perang Ukraina. Kita lalui. Lalu tahu-tahu masuk perang Israel yang cukup heboh. Kita lewati juga. Sekarang perang dagang Amerika-China. Finally, we arrive at here! Kita ada di setiap musim itu, coba pikir baik-baik, kita berhasil melewati itu semua, bukankah artinya kita dirancang untuk survive?
Firman Tuhan berkata, "Pada hari-hari terakhir, Roh Kudus dicurahkan atas semua manusia." Pada hari-hari terakhir, berarti kita orang akhir zaman, didesain untuk tempat tinggalnya Roh Kudus! Berarti saya ini adalah Guru Sekolah Minggu akhir zaman. Amin! Papa-Mama di sini adalah Papa-Mama akhir zaman. Keyboardist di sini adalah Keyboardist akhir zaman. Loh iya! Anak-anak muda di sini adalah anak-anak muda akhir zaman! Para peserta lewat Zoom adalah peserta akhir zaman yang lagi nge-Zoom. So, karena kita semua adalah orang-orang akhir zaman, berarti kita didesain untuk tempat kediamannya Roh Kudus.
Nah, pada waktu kita didesain untuk tempat kediaman Roh Kudus, ngga peduli tua-muda, besar-kecil, selama kita manusia akhir zaman, kita adalah tempat kediaman Dia.
So, hari ini saya ngomong finally we arrive at here, itu bicara bagaimana orang akhir zaman yang menjadi tempat kediaman Roh Kudus menghadapi hari-harinya menjelang kedatangan Tuhan.
Kondisi VUCA
Ternyata, saat ini kita lagi ada dalam satu kondisi yang disebut VUCA:
- Volatility/Volatilitas (Ga Stabil)
- Uncertainty/Ketidakpastian (Ga Pasti)
- Complexity/Kompleksitas (Ga Simpel)
- Ambiguity/Ambiguitas (Ga Jelas)
Kondisi VUCA ini bukanlah istilah baru, tapi udah dari tahun 1987 sudah ada, biasanya dipakai di dunia militer. Tapi kemudian masuk ke dunia bisnis, dan sampai hari ini masih relate, tapi evolusinya akhirnya jadi: TUNA: Turbulence – Uncertainty - Novelty – Ambiguity.
Volatility atau volatilitas itu adalah satu kondisi ngga stabil. Volatilitas atau ngga stabil itu adalah satu situasi yang datangnya tuh mendadak, jadi kita suka ngga siap menghadapinya. Salah satu contohnya itu misalnya kejadian pandemi yang kemarin datangnya sebetulnya kita tahu, tapi begitu diumumkan itu jadi kepanikan mendadak, situasi langsung jadi ngga stabil, mendadak perlu masker, semua ada aturannya, mendadak semua diberhentikan. Situasi yang bingung bagaimana nih menghadapinya. Yang biasa kita jalani, jadi ngga bisa dijalani.
Yang kedua, uncertainty atau ketidakpastian. Kalau dalam keadaan yang ngga pasti seperti ini karena situasi ada pemicunya, menyebabkan kita ngga bisa pasti. Nah kalau misalnya saya gambarkan dengan istilah teknologi ya istilahnya dulu kan handphone kita pakai keyboard fisik, pencet-pencet, sampai sekarang cuma layar sentuh. Kebayang kan, berarti dunia teknologi aja tuh ngga stabil, ngga selamanya. Kita dulu punya Blackberry, kalau anak zaman now, anak generasi Beta udah ngga tahu itu Blackberry apaan. Kaset tape dulu yang pakai pita, udah ngga dipakai lagi. Artinya ngga stabil, sehingga ke depan ini, hal yang makin ngga stabil terjadi.
Kita ngga pernah tahu pastinya bagaimana informasi yang datang menyebabkan beberapa situasi harus berganti menjadi kompleks. Ngga simpel lagi. Orang-orang akhirnya berpikir "Nanti kalau gua pegang ini, tahu-tahu ngga jadi nih." Kita udah pegangin dolar tahu-tahu dolarnya turun lagi. Nanti kalau kita udah pegangin emas, wah tahu-tahu emasnya naik sih, tapi kita ngga ada duitnya sekarang.
Jadi udah ngga stabil, udah terlalu kompleks, ditambah yang terakhir ambiguitas. Ngga jelas sekarang. Semua nanya, jadi baiknya pegang dolar atau emas? Wah ngga tahu ya. Jadi gimana, kita masih lanjut bergereja atau ngga? Wah ngga tahu dah ya.
Sebulan terakhir ini ya, tiba-tiba saya ditaruh Tuhan dalam satu situasi, di mana Dia cuma tanya sama saya saat lagi saat teduh, "Cynthia, apa kamu sudah siapin anak-anak itu?" "Maksudnya apa Tuhan?" Lalu saya sampai pada gambaran, seandainya kalau terjadi blackout. Seandainya blackout, siapa yang paling gabut? Itu generasi Alpha dan Generasi Z. Generasi Y mungkin masih terganggu dikit jiwanya. Tapi generasi X paling aman, Baby Boomer apa lagi silence. Tapi yang kita hadapi sekarang ini nih anak-anak Alpha sama Z.
Mereka itu yang kalau mati listrik, paling ngga tahan panas bukan? Libur sekolah aja udah gabut. Papa-Mamanya udah bingung mau dibawa ke mana lagi ini liburan. Eh pakai blackout, ngga ada internet. Gimana cara ngasih makan anak kalau dia nangis, biasanya ada internet ajak nonton baru dia diam gitu.
Sekarang gimana kalau ngga ada listrik? Kita masuk ke dunia ekonomi aja biasa bayar pakai QRIS, jadi ngga bisa berfungsi. Kalau baru 2-3 hari ngga ada listrik aman. Genset masih ada, mall masih dingin, orang masih bisa dagang. Tapi kalau udah sebulan? Baterai habis, lilin habis, kalau sampai kayak pandemi lamanya 2 tahun gimana? Apa ngga berubah itu perilaku?
Lalu bagaimana cara kita bergereja? Dulu waktu pandemi, kita masih punya internet bisa menjangkau jemaat melalui Zoom seperti hari ini. Tapi kalau udah ngga ada, kita mau jangkaunya bagaimana? Apakah penggembalaan kita masih bisa berlangsung? Karena semua grup adanya di dalam gadget kita.
Nah, kalau kita gerejanya di lingkungan perumahan seperti di sini mungkin orang-orang yang tinggal di daerah terdekat masih bisa datang gitu. Tapi waktu sudah datang, musik juga ngga jalan. Okelah masih bisa pakai gitar. Tapi siapa yang mau datang kalau rumah tangganya saja lagi kalang kabut, listrik ngga ada, air ngga nyala. Sekolah juga ngga mungkin, apalagi kantor.
Saya sampai kepikir jangan-jangan jemaat mungkin akan saling dukung sesama Kristen di tetangganya aja. Ngga peduli lagi gereja mana, yang penting kenal Yesus, yuk kita saling topang menopang. Kita akan saling berjejaring menyelamatkan rumah tangga kita dulu nih.
Apa masih ada gereja, karena semua orang sudah bergabung dengan kolega terdekat? Kalau perusahaan mungkin masih bisa nguber. Tapi gereja gimana bisa ngumpulin lagi jemaatnya? Mungkin saat-saat itu ngga ada lagi yang namanya gereja Gemas, alias Gereja Memakan Sesamanya. Itu udah ngga ada lagi karena semua udah ngumpul jadi satu.
Tapi menurut saya, ketika itu terjadi akhirnya kan sistem yang selama ini kita percaya dan kita pegang akan rontok. Itulah volatilitas, ketidakpastian, terlalu kompleks untuk dijelaskan.
Saat begitu, sistem rontok, kamu sebagai Kepala Unit pun ngga ada gunanya. Sistem udah ngga ada, jabatan udah ngga ada, popularitas udah ngga ada. Apapun itu reset total.
Waktu saya lagi berpikir begitu, saya bilang, aduh Tuhan, jadi negara bisa bikin apa? Saya sampai tanya-tanya sama orang, eh kementerian apa sih yang bisa saya hubungi untuk bisa antisipasi yang kayak begini? Beberapa orang tuh bahkan bilang, "Aduh Chyn, lu overthinking. Kalau sampai kejadian masa Tuhan tinggalin kita?" I know, ngga mungkin sih Tuhan tinggalin kita, tapi setidaknya saya punya jawaban kalau ada yang tanya, "Kak, gua boleh suntik vaksin TBC ngga?" Kan gitu loh, saya perlu punya jawaban yang ngga ambigu.
Artinya apa ada ambiguitas, lalu negara pun ngga ada jawaban. Kalau negara ngga punya jawaban, masyarakat akan cari di Gereja atau di rumah ibadah mereka kepada pemimpin-pemimpin, dan tokoh-tokoh agama mereka, mencari jawaban.
VUCA membawa kita pada situasi
Tiba-tiba Tuhan kasih saya tiga kata:
- Perang (konflik)
- Waspada (berhati-hati, berjaga-jaga, siaga)
- Mezbah (tempat doa)
Selama satu setengah bulan, kata-kata ini terus muncul.
- Perang
- Waspada
- Mezbah
Bicara waspada dalam situasi VUCA ini, mau ngga mau akhirnya membuat kita akan ada di dalam situasi perang atau konflik. Nah kita harus tingkatkan kewaspadaan kita. Waspadanya tuh dari hal apa? Jangan sampai peralatan perang kita ada yang luput. Ikat pinggang, baju zirah, ketopong, kasut, perisai, sampai pedang. Bicara pedang aja beberapa orang mungkin bisa berpakaian tetapi ngga berpedang, karena pembacaan Alkitabnya tersendat. Situasi-situasi yang dianggap remeh kayak ketopong ada juga yang ngga pakai kayak orang naik motor ngga pernah pakai helm. Malam-malam, udah lampu kagak nyala, naik motor bertiga, nyebelin banget. Tapi di sini ngga ada yang begitu. Amin!
Ketopongnya ngga ada, baju zirahnya juga dia ngga pakai, berarti ada hal yang tidak dia waspadai, yang telah dia hilangkan. Lalu bagaimana bisa berhadapan dengan perang?Kemudian Tuhan ngomong, "Kamu pergi ke mezbah-Ku, sebab di situ Aku akan kasih strateginya." Wow! Cuma masalahnya, berapa banyak orang yang bersedia bayar harga untuk bangun, doa pagi? Berapa banyak di kota besar yang mau bangun pagi untuk sungguh-sungguh berdoa? Berapa banyak keluarga yang selama ini menyerahkan urusan doanya sama kegiatan gerejanya saja? Berapa di sini yang punya mezbah di rumahnya?
Sehingga ketika ada situasi konflik dan perang serta hal-hal yang harus dihadapi, dia ada tempat persekutuan.Satu setengah bulan Tuhan ngomong tentang ketiga hal ini, akhirnya saya mendapatkan kisah Yosafat dan Daud di Ziklag:
- Kisah Yosafat bercerita tentang pertempuran, di mana dia dikepung oleh tiga raja, tapi yang dia lakukan adalah, dia tarik seluruh jemaat, pasukan, dan rakyatnya ke mezbah!
- Kedua, Daud. Ketika dia habis-habisan, sampai-sampai di Ziklag seluruh rumah dan keluarganya, serta 600 orang yang ikut sama dia, keluarganya semua ditawan oleh orang Amalek.
- Amalek bicara tentang spirit Amalek. Amalek artinya dweller in the valley, berbicara satu suku yang menjadi penunggu lembah, yaitu lembah kekelaman. Di situ Tuhan tambahkan lagi, "Kamu tahu ngga artinya waspada?" Area di belakang kita itu ada yang tidak terlindung. Nah, orang Amalek itu kalau menyerang Israel, dia bisa memutar jauh lalu sengaja serang bagian belakangnya. Karena orang Israel itu formasi barisannya di depan semua yang bergada, pakai perisai, pasukannya rapat. Tapi di belakang itu anak-anak, para wanita, orang yang sudah tua. Dia pikir di depan sudah ada tameng. Seringkali kita hanyut dalam kesedihan karena menghadapi situasi hidup kita akhir-akhir ini. Kita seolah-olah masih pakai pakaian perang, tapi kita udah ngga berjaga-jaga lagi di area belakang. Kewaspadaan kita menurun.
Menghadapi situasi
Di situ Tuhan tambahkan lagi tiga kata, yang baru aja hari Minggu lalu saya dapatkan:
- Berani
- Fokus
- Tenang
- Berani
- Fokus
- Tenang
- Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH, Yang Mahakudus, Allah Israel: "Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu."
Kata berani yang dimaksud ini melampaui kenyamanan. Artinya situasi yang ngga stabil akan terus kita alami. Jadi jangan pernah berpikir bahwa hari-hari ini kita akan hidup dalam kestabilan. Akan ada terus berita-berita baru yang membuat hati kita tuh bergejolak. Sama seperti pandemi, ketika itu muncul dan kita sampai kayak orang hilang pegangan.
Belajar dari pandemi, kita harus mulai belajar dari sekarang menghadapi ketidaknyamanan itu. Artinya kita harus belajar berani untuk dengar berita-berita ngga enak, kuatkan hati seperti Daud menguatkan kepercayaannya sama Tuhan. Waktu semua orang itu mulai mau melempari dia dengan batu karena mereka lagi tenggelam dalam spirit kekelaman, Daud satu-satunya yang bisa berdiri di puncak itu dan sambil menguatkan hatinya dia bilang gini "Minta baju efod." Dan dari situ dia bertanya kepada Tuhan. Ke mezbah lagi. Dia lakukan dalam keadaan melampaui kenyamanan. Artinya masukilah setiap lembah kekelaman itu sampai kita keluar di ujungnya.
Sampai keluar di ujungnya itu artinya gimana? Itu ngga bisa diwakili sama siapapun. Ngga bisa kamu sebagai seorang Papa yang sayang anak kamu, mau mewakili anak kamu berperang di lembah kekelamannya dia. Tapi kita tuh bisa mendampingi dia dengan doa.
Ajari dia untuk adaptif, bisa beradaptasi dengan situasi-situasi yang ngga enak. "Dek, sori Papa udah dipecat, Dek terpaksa kamu harus bisa kurangin yang ini, kurangin yang itu." "Ma, I'm so sorry Ma, saya sekarang udah ngga bisa bantu Mama lagi." Atau, "Dek maaf ya, Mama sekarang lagi sakit berat, kemo ini melelahkan semuanya, sampai Mama tuh emosinya bergejolak." Bikin semua anak muda itu untuk berani hadapi dan adaptif.
Saya baru-baru ini menghadapi satu anak yang ngga mau sekolah udah sebulan, karena di-bully. Masalahnya, dia ngga masuk karena sakit demam berdarah lima hari. Gurunya ngga kasih tahu sama teman-temannya. Begitu masuk, dia dibilang temannya, oh ini dia yang bolos 5 hari. Cuma dikatai begitu, iman dan jiwanya tergoncang. Kita semua berpikir, loh kok cuma kayak gitu doang? Tapi kenyataannya, anak-anak Alpha dan Gen Z itu mentalnya lembek, mental strawberry. So, kalau kita ngga ajar dia untuk adaptif dan fleksibel, ngga bisa.
Anak-anak muda yang hari ini ada, coba mulai lebih fleksibel. Kalau sampai misalnya ngga bisa kumpul bergereja, saya ini menghadapi iman saya yang bisa up and down tuh gimana. Mesti fleksibel dengan cara kita menyembah. Jangan cuma sekedar, pokoknya gua cocoknya sama lagu ini, kalau ngga lagu ini gua ngga bisa nyembah, itu konyol namanya.
Mesti bisa adaptasi. Di mana pun tempatnya, alat musiknya pakai apapun, pakai listrik atau ngga, panas ngga panas, saya mesti nyembah! Itu namanya generasi yang ngga mental tempe! Supaya dengan generasi yang sekarang ini kita mampu buat jadi berani dan adjustable! Mereka akan siap dengan berani menghadapi situasi ke depan.
Papa-Mama, dengar, Papa-Mama siapin ya anak-anaknya!Lalu kata kedua adalah fokus. Fokus itu artinya, pegang apa yang ada sama kita. Kalau ngga, ngga bisa. Sempat saya berpikir fokusnya gimana? Nah, Tuhan tuh ngomong, "Kamu kan urusannya anak, kamu pikirin apa yang bisa kamu buat untuk situasi ke depan ini, ketika anak-anak berhadapan dengan situasi blackout, pandemi, terus situasi-situasi yang ada di gereja aja, udah ngga usah mikirin yang ada di negara dan bangsa. Gereja dulu aja udah ngga kepegang segini banyak. Tapi kau coba pikirin fokusin."
Satu kali saya ada mengeluh dalam hati, karena diminta melayani seorang anak korban pelecehan selama 3 tahun, yang aduh ini rumahnya jauh sekali. Eh Tuhan ngomong, "Pegang dong apa yang ada sama kamu. Mumpung masih ada kesempatan, ada harinya nanti kamu ngga bisa pegang lagi anak-anak itu."
So, kalau ada pelayanan dikasih jadwal, jalani aja, karena dikasih kesempatan. Kalau diberi kesempatan untuk kita bisa kumpul macam ini, datang! Yang Zoom ayo datang onsite, karena masih ada kesempatan! Ada hari di mana bisa terjadi, untuk ngumpul macam ini kita ngga bisa lagi. Teknologi boleh digunakan tapi ketika ada kesempatan berkumpul, itu akan lebih kuat lagi. Haleluya!
Lalu gimana caranya menghadapi situasi ke depan yang ngga jelas?
Pertanyaan ini juga membuat kita berpikir. Seandainya masih diizinkan untuk melewati hal itu, lalu apa yang akan kita buat? Makanya perlu unity dan kolaborasi, terutama anak muda dengan generasi yang di atasnya. Anak muda zaman now itu terlalu arogan. Seperti dia hidup di masa depan, sehingga dia mengambil satu jarak, bahwa biarlah yang gaptek mati saja. Tapi yang ngerti teknologi AI-nya canggih AI secanggih-canggihnya, paling juga kamu nanya ChatGPT buat tugas sekolah kan ya?
Nah gimana caranya agar bisa kolaborasi? Cuma perlu satu hal aja: humbleness!
So, Papa-Mama, mulailah lebih humble, tanya sama anaknya, "AI apa sih? Ajarin dong." Kalau anaknya rada songong dikit, kasih tahu, "Dek, kamu jangan pikir dengan teknologi yang kamu punya, dengan gadget yang ada di tangan kamu, kamu bisa selamat seandainya ada satu situasi? Sebab yang ngalamin satu rumah. So, kamu pikir kamu doang yang bisa selamat? No way, karena kamu ngga tahu pengalaman apa yang harus dilewatin."
Kita yang lebih tua tahu. Nah, yang muda-muda nih yang anak SMP, SMA, kuliah, anak-anak baru kerja, coba dong mulai bangun satu hubungan yang lebih baik dengan generasi yang di atasnya. Jangan seperti kayak orang, "Gua udah bisa sendiri, terus ngga usah lu." Tapi boleh kalian harus membangun kolaborasi dengan generasi di atasnya dengan lebih hormat, ngga kurang ajar. Kadang maaf ya anak-anak zaman sekarang, terus terang saya juga kadang enek gitu sama kalian. Maaf ya, itu kalau lewat tuh cuma melengos aja, ngga mau menyapa. Dia ngga peduli loh siapa lewat, dia ngga peduli.
Beberapa orang tua tuh yang muda-muda, udah pasti mukanya juga merah-kuning-hijau waktu dia gendong anaknya terus. "Eh didoain dulu ya doain." Waktu dia tarik HP-nya anaknya ngamuk sampai kepruk-kepruk. Wah sebagai Mama dan Papa muda ngga bisa meng-handle anak umur dua-tiga tahun dalam genggamannya. Gimana dia bisa menggenggam dunia? Masa umur segitu aja dia ngga bisa handle. Artinya apa? Otoritas dia juga sudah tergerus. Kalau sampai kalah hawa sama anak-anak muda, berarti kita orang-orang yang lebih senior kita telah gagal membangun mental dia. Nah supaya ngga terjadi saling tuduh-menuduh, gua kan keturunan lu. Lu kan ngga kayak begini dulu, gua ngga kayak gitu sekarang.
Kita perlu humbleness, berarti saling dengar. Kalau anak muda ngga mau dengar, ngomonglah berulang-ulang, berulang-ulang, berulang-ulang. Itu pun Alkitabiah! Dan kalau anak muda sampai pusing ngedengarnya berulang-ulang, berulang-ulang, tenang saja, ada hari di mana Emak-Bapak lu mati, lu ngga bisa dengar lagi suara dia!
Tapi mumpung masih bisa dengar, tundukkan dirimu! Tundukkan dirimu!
Itu yang harus terjadi, kalau ngga, ngga ada yang selamat. Dua-duanya ngga bisa lewati situasi VUCA ini. Ngga bisa!Terakhir, tenang! Tuhan yang pegang kendali. Tuhan pegang kendali!
Yesaya 30:15 ngomong dengan jelas,
Home church
Terakhir bicara tentang home church. Kalau ada home schooling kenapa ngga ada home church? Home church itu bicara tentang Papa sebagai gembalanya, Mama sebagai wakil gembala, anak-anak jemaatnya. Supaya kalau gereja lagi ngga bisa berfungsi kayak waktu pandemi, jangan sampai kejadian lagi. Saat pencurahan Roh Kudus kita putar tuh Pak Niko lagi ngomong tumpang tangan. Papa ngga ada yang berani tumpang tangan, loh jangan-jangan ngga sakti. Saya dikasih tahu sama seorang anak, hati-hati loh anak-anak bisa ngadu, Papa aku ngga mau Kak, katanya kurang sakti. Padahal dia cuma modal tumpang tangan doang kan dia kepala keluarganya.
Nah, kalau home church diselenggarakan maka rumahnya itu akan menjadi gerejanya. Iya, ke depan itu, kita belum tentu bisa berkumpul dengan sesama untuk COOL, karena untuk keluar rumah aja mungkin dalam situasi tertentu kita ngga mungkin bisa keluar rumah. Tapi kondisi iman wajib diselamatkan. Orang tua harus berperan sebagai gembala, sebagai pemimpin jemaat. Dan dirikan mezbah sebanyak-banyaknya. Mezbah sebanyak-banyaknya! Tarik orang sebanyak-banyaknya menuju mezbah. Cuma itu!
Penutup
So, malam ini, ini di masa pencurahan Roh Kudus, saat Roh Kudus memilih untuk tinggal di dalam kita, ayo kita mulai berani hadapi, fokus, dan tenang sampai Roh Kudus yang bertindak! Amin!