Menjadi hamba Tuhan

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari

Menjadi hamba Tuhan berarti menempatkan diri sebagai doulus, budak yang tunduk sepenuhnya tanpa syarat kepada Tuhan. Pelayanan sejati harus dilakukan dengan hati yang taat, tidak mencari pujian, dan siap menghadapi tantangan tanpa mengeluh. Teladan Yesus yang melayani dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi dasar utama untuk hidup dalam ketaatan dan kerendahan hati.

Apa yang kita pikirkan tentang hamba Tuhan? Dalam bahasa Yunaninya, "hamba" disebut doulus, yang berarti budak—seorang hamba yang terikat. Ini berarti bahwa posisi hamba itu bahkan lebih rendah daripada seorang pengerja biasa.

Saya pernah mengikuti sebuah pelayanan camp yang mengajarkan tentang arti doulus. Di sana, kami dilatih untuk menjadi seperti keset. Tahukah Anda apa itu keset? Keset itu diinjak-injak, digunakan untuk membersihkan kaki, tapi dia tidak merespons—dia hanya menerima apa adanya. Itulah gambaran menjadi hamba: tidak dianggap, tidak dihormati, bahkan tidak dianggap berarti sama sekali.

Namun, dalam posisi itu kita belajar tunduk dan taat kepada perintah, tidak mudah bersungut-sungut, tidak merasa lebih hebat, tidak mudah marah atau mundur dari pelayanan ketika ditegur oleh atasan. Sebagai hamba Tuhan, kita harus sadar bahwa Yesus adalah Tuan kita, dan kita ini hamba-Nya. Maka, apa yang harus kita lakukan? Kita harus taat dan setia kepada-Nya.

Mengapa? Karena Dialah Tuhan yang luar biasa, dan kita dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus. Mari kita baca Markus 10:45,

Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.

Bagaimana mungkin Tuhan Yesus, sebagai Tuan, justru menyerahkan nyawa-Nya untuk kita? Siapa kita ini? Tapi itulah luar biasanya Tuhan Yesus—Dia tidak hanya melayani, tetapi juga mengorbankan diri-Nya. Maka dari itu, dalam pelayanan, kita harus berhati-hati agar hati kita tidak menjadi luntur dan terkikis oleh pujian atau kehormatan dari manusia.

Memang dalam pelayanan ada banyak intrik yang tidak kita sadari. Ego bisa muncul, kita merasa ini adalah "saya", tapi bagaimana kita menyikapi semuanya itu? Kita harus menyadari bahwa semua yang kita rasakan dan pikirkan harus ditujukan hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Kristus memberikan teladan memiliki hati seorang hamba. Saat disalibkan, apakah Dia marah? Padahal Dia bisa saja marah, atau turun dari salib. Tapi Yesus taat sepenuhnya kepada Bapa-Nya. Begitu pula kita sebagai hamba Tuhan—kita harus taat kepada pemimpin kita.

Taat itu penting dan tidak bisa ditawar. Jika pemimpin memberi perintah, kita harus melaksanakannya, seperti Yesus yang taat tanpa perlawanan. Pertanyaannya, maukah kita menjadi seperti itu? Inilah yang perlu kita renungkan.

Kita menjadi hamba Tuhan agar dapat memberikan yang terbaik dalam pelayanan kita, terutama bagi gereja kita. Saya juga teringat saat Pak Rusli memulai pelayanannya di Jakarta. Bagaimana ia begitu taat pada pemimpinnya—setiap hari Sabtu berangkat dari Bogor jam 5 pagi ke Jakarta untuk berdoa bersama, dan selalu melakukan yang terbaik.

Hasilnya apa? Sekarang kita memiliki gereja yang luar biasa. Itu semua karena ketaatan kepada pemimpin. Jadi, marilah kita menjadi hamba Tuhan yang luar biasa. Mari kita jaga sikap hati kita dalam melayani Tuhan. Amin.