Article: 20210912/RK: Perbedaan antara revisi

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
k (Penggantian teks - "| ringkasan =" menjadi "| summary =")
k (Penggantian teks - "| summary =" menjadi "| longsummary= | summary= | shortsummary=")
Baris 25: Baris 25:
| illustration16x9 =  Background_2021_The_Year_of_Integrity.jpg<!--MorningDevotion.jpg-->
| illustration16x9 =  Background_2021_The_Year_of_Integrity.jpg<!--MorningDevotion.jpg-->


| summary = <!-- Untuk ditampilkan di Halaman Utama -->
| longsummary=
| summary=
| shortsummary= <!-- Untuk ditampilkan di Halaman Utama -->
Di era pandemi COVID-19 ini di mana kita harus beribadah secara virtual, semua gereja di seluruh dunia berlomba-lomba dalam hal menyajikan konten yang terbaik, display yang estetik, musik yang menarik, dan kemampuan editing yang kekinian.  
Di era pandemi COVID-19 ini di mana kita harus beribadah secara virtual, semua gereja di seluruh dunia berlomba-lomba dalam hal menyajikan konten yang terbaik, display yang estetik, musik yang menarik, dan kemampuan editing yang kekinian.  



Revisi per 19 November 2022 04.04

Background 2021 The Year of Integrity.jpgBackground 2021 The Year of Integrity.jpg
Renungan khusus
Tanggal12 September 2021
PenulisPdp Graciella Y Andries
Voice of PentecostVoice of Pentecost 60 (Dio Angga Pradipta)
Renungan khusus lainnya

Di era pandemi COVID-19 ini di mana kita harus beribadah secara virtual, semua gereja di seluruh dunia berlomba-lomba dalam hal menyajikan konten yang terbaik, display yang estetik, musik yang menarik, dan kemampuan editing yang kekinian.

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Barna Research pada bulan Juli 2020 mengenai kehadiran jemaat lintas generasi dalam ibadah virtual di masa pandemi, 40 persen dari generasi baby boomer tetap berada di gereja mereka yang semula, 31 persen dari generasi X, dan hanya 30 persen dari generasi milenial yang tertanam di gereja. Bagi generasi muda, 'tertanam di gereja' mungkin bukan sebuah hal yang mudah; sebaliknya berpindah-pindah atau bahkan tidak bergereja sama sekali bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Tiga alasan terbesar mengapa anak muda tidak tertanam dan meninggalkan gereja menurut penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research adalah:

  1. Karena mereka melanjutkan ke jenjang akademis yang lebih tinggi
  2. Karena anggota gereja cenderung menghakimi anak muda dan dinilai munafik
  3. Karena generasi muda tidak merasa terhubung dengan gereja

Lebih dari ketiga alasan di atas, sebenarnya orang bisa saja memakai alasan apapun, menyalahkan orang lain dan menyalahkan situasi, untuk berpindah-pindah bahkan meninggalkan gereja. Terlebih di era gereja virtual ini di mana semua orang dapat dengan mudah ‘berjemaat’ di gereja manapun di seluruh dunia. Faktanya, seorang Kristen tidak dapat bertumbuh jika tidak tertanam di sebuah gereja lokal.

Kita mungkin pernah mendengar bahwa tertanam di gereja lokal diibaratkan seperti menanam benih. Sebuah benih yang ditanam di dalam tanah tentu saja tidak dapat menghasilkan buah secara instan keesokan harinya. Dibutuhkan waktu untuk benih tersebut berakar, bertunas, menumbuhkan batang dan dedaunan, lalu barulah benih tersebut dapat menghasilkan buah.

Proses pertumbuhan yang paling krusial dari sebuah benih terjadi di dalam tanah, yaitu dalam proses penumbuhan akar. Karena akar adalah bagian yang menentukan.

seberapa kuat tanaman tersebut nantinya ketika sudah bertumbuh, dan seberapa banyak nutrisi dari tanah yang dapat diserap oleh akar untuk dihantarkan ke bagian-bagian lain dalam tanaman.

Markus 4:26-29 memuat sebuah perumpamaan singkat tentang kerajaan Allah, yang digambarkan dengan proses bercocok tanam. Ayat 27 berkata,

“lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu.”

Setiap proses untuk bertumbuh yang dialami sebuah benih terjadi di dalam tanah, di tempat gelap di mana tidak ada seorangpun yang bisa melihat dan mengetahuinya. Demikian pula dengan setiap kita sebagai benih; ketika kita berkomitmen untuk tertanam di gereja lokal, kita akan mengalami berbagai proses yang mungkin membuat kita tidak nyaman, dan setiap proses yang kita alami tersebut tidak dapat dilihat oleh orang lain.

Sayangnya, banyak orang yang menyerah ketika melewati proses krusial ini. Banyak yang tergoda untuk melihat rumput tetangga yang selalu akan terlihat lebih hijau dibandingkan rumput di pekarangan rumah sendiri. Ingat, yang terlihat oleh mata kita hanyalah hasil akhirnya yang sudah tampak baik. Sementara yang tidak kita lihat adalah proses yang juga dialami oleh rumput tetangga ketika baru ditanam dan masih di dalam tanah.

Padahal, benih yang terus menerus dipindah media tanamnya akan membutuhkan waktu lagi untuk beradaptasi dengan tanah yang baru. Proses itu menghambat pertumbuhan, dan tak jarang benih yang terus menerus dipindahkan akan mati dan tidak dapat berbuah lagi. Yohanes 15:2 menuliskan,

“Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah.”

Tuhan menginginkan pertumbuhan dari sebuah benih, dan agar kelak benih tersebut dapat menghasilkan buah yang lebat. Tentu saja hal ini tidak dapat terjadi jika benih tersebut kerap dipindah-pindahkan. Jika kita tidak tertanam di gereja lokal, maka kita tidak dapat mengalami pertumbuhan yang sempurna, bahkan tanpa kita sadari kita bisa mengalami kematian rohani. Kita tidak dapat menikmati buah yang seharusnya dapat kita hasilkan apabila kita tertanam di gereja lokal.

Lalu, hal-hal apa yang dapat terus mendorong kita untuk tetap tertanam di gereja lokal?

  1. Mengubah perspektif kita
  2. Sekali lagi, ketika sebuah benih ditanam ia akan diletakkan di dalam tanah yang gelap dan tak terlihat. Tempat di bawah tanah dan tak terlihat ini juga bisa menjadi situasi yang sama yang dipakai untuk menguburkan jasad orang yang sudah meninggal. Namun letak perbedaannya adalah, benih yang ditanam masih memiliki kehidupan dan dapat mengalami pertumbuhan, sementara jasad yang dikubur sudah tidak dapat hidup kembali.

    Itu sebabnya sebagai sebuah benih, kita harus mengubah perspektif kita bahwa ketika kita sedang berada di dalam tanah: kesepian, tidak dilihat orang, sulit bergerak, gelap dan seakan-akan tidak ada jalan keluar; kita bukan sedang dikubur, melainkan kita sedang ditanam!

    Jika kita berpikir bahwa kita sudah dikubur, maka tidak akan ada lagi pertumbuhan yang dapat kita alami. Namun ketika kita mengubah perspektif kita bahwa keadaan yang saat ini kita alami di dalam tanah adalah karena kita sedang ditanam dan mengalami proses di dalam tanah, maka kita akan terus bertumbuh hingga waktunya benih tersebut akan tampak di atas tanah dan menghasilkan buah. Kita sedang ditanam, dan bukan dikubur!

  3. Jalani proses
  4. Proses adalah bagian terpenting dari perjalanan hidup setiap manusia, di mana manusia dibentuk lewat hal-hal yang sulit agar menjadi semakin baik dan semakin kuat di kemudian hari. Alkitab berulang kali menggambarkan hidup manusia bagaikan tanah liat di tangan tukang periuk (Yeremia 18:1-6, Roma 9:20-21). Sebelum menjadi bejana, maka tanah liat harus mengalami proses diremukkan, ditekan, diputar berulang kali di meja kerja sang tukang periuk, bahkan dimasukkan dalam tungku untuk dibakar sebelum bejana tersebut jadi sempurna.

    Tidak ada seorang pun yang luput dari proses. Proses pecahnya benih untuk bertunas dan mengeluarkan akar juga hal yang harus dilewati setiap benih agar bisa bertumbuh. Ingat, proses inilah yang akan menentukan seberapa kuat akar yang akan kita hasilkan untuk menyokong seluruh pertumbuhan kita nantinya. Oleh sebab itu, mengalami berbagai proses di gereja lokal adalah hal yang wajar, agar kita sebagai benih dapat memiliki akar yang kuat. Dalam proses itulah Tuhan sedang membentuk karakter kita agar semakin serupa dengan Kristus.

    Sebelum akhirnya naik ke kayu salib, Yesus juga mengalami berbagai proses yang menyakitkan ketika Ia harus dipukul, dicambuk, dimahkotai duri, diludahi dan dicemooh orang, bahkan sama seperti benih yang ada di dalam tanah, Ia tidak dipandang orang. Namun proses yang dilewati Yesus inilah yang membuat karya keselamatan-Nya menjadi sempurna di atas kayu salib. Apapun yang kita alami ketika kita tertanam di gereja lokal, mari tetap jalani proses tersebut agar karakter kita semakin dibentuk serupa dengan Kristus.

  5. Berhenti membanding-bandingkan
  6. Kita tahu cerita tentang Lea yang selalu merasa tidak dicintai oleh suaminya Yakub, karena Yakub lebih cinta kepada Rahel, istri keduanya. Pada saat itu Lea melahirkan tiga anak laki-laki bagi Yakub sementara Rahel mandul (Kejadian 29:31-34). Lea yang terus-menerus membandingkan cinta dari Yakub kepada Rahel merasa sedih, tertekan, kesepian, sampai ia mencurahkan perasaannya itu lewat arti nama yang diberikan kepada ketiga anaknya. Ketika Lea terus membanding-bandingkan, ia tidak dapat melihat berkat yang telah diberikan Allah justru kepadanya, yaitu ketika ia dapat melahirkan keturunan bagi Yakub sementara Rahel belum juga mengandung.

    Sama seperti kisah Lea, ketika kita sibuk membanding-bandingkan, kita tidak bisa melihat berkat yang telah Allah sediakan di tengah situasi kita saat ini. Dalam konteks ini, ketika kita terus membanding-bandingkan gereja lokal kita, pemimpin kita, rekan sepelayanan kita dengan gereja orang lain, kita tidak dapat melihat berkat dan tujuan yang telah Allah tetapkan ketika Ia menempatkan kita di gereja lokal kita saat ini.

    Katakan gereja lokal kita adalah sebuah rumah; tidak ada rumah yang sempurna. Namun setiap rumah yang Tuhan tempatkan bagi kita adalah tempat yang terbaik yang dipilih Tuhan untuk pertumbuhan kita. Tidak ada orang tua yang sempurna. Namun setiap orang tua yang Tuhan berikan pasti memiliki tujuan, mimpi, dan visi Ilahi bagi setiap kita.

    Sebuah kutipan dari Pastor Steven Furtick,

    “The reason why we struggle with insecurity is because we compare our behind the scenes with everyone else’s highlight reel.”

    Alasan mengapa kita terus merasa tidak aman adalah karena kita membandingkan apa yang terjadi di belakang layar kita dengan kesuksesan orang lain.

Keputusan yang paling tepat bagi sebuah benih adalah untuk tetap tertanam di mana ia ditanamkan. Sebagai benih yang ditanam di gereja lokal, mari kita ubah perspektif kita bahwa kita sedang ditanam dan bukan dikubur, jalani proses kita dengan ucapan syukur, dan berhenti membanding-bandingkan. Maka pada waktu-Nya kita akan bertumbuh dan berbuah lebat, sehingga buah tersebut dapat kita nikmati dan juga dinikmati oleh orang lain. (GYA)