Generosity (Haryanto Kandani)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari

Kita hidup di dunia yang penuh dengan pengajaran bagaimana meraih sukses, bagaimana mencapai keberhasilan, bagaimana making profit, hidup harus banyak cuan. Tapi kalau kita tidak berhati-hati, hal-hal ini bisa membuat kita menjadi orang yang egois, ambisius, dan hanya mementingkan diri sendiri.

Saya mau menyapa Bapak Ibu yang hadir di ruangan ini, maupun yang mengikuti lewat live streaming. Apa kabarnya? Luar biasa! Karena Yesus kita luar biasa. Amin! Senang sekali saya bisa kembali melayani di Bogor.

Pada kesempatan ini, saya akan sharing mengenai generosity, atau dalam bahasa Indonesia: kemurahan hati. Katakan sama-sama, “kemurahan hati." Kita hidup di dunia yang penuh dengan pengajaran bagaimana meraih sukses, bagaimana mencapai keberhasilan, bagaimana making profit, hidup harus banyak cuan. Tapi kalau kita tidak berhati-hati, hal-hal ini bisa membuat kita menjadi orang yang egois, ambisius, dan hanya mementingkan diri sendiri.

Namun hari ini, kita perlu sadar: dari segala keberhasilan, kesuksesan, pencapaian dalam hidup ini, Tuhan mau saya dan Saudara menjadi berkat. Membawa dampak. Memenangkan banyak jiwa. Amin! Berapa banyak dari Saudara yang rindu menjadi semakin serupa dengan Tuhan? Amin!

Ini salah satu sifat Tuhan yang kita mau pelajari.

Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.

Lukas 6:36

Apa arti kemurahan hati? Salah satunya adalah suka berbagi. Tidak selalu soal uang. Bisa berbagi pertolongan, informasi, kasih, tebengan, waktu untuk mendengarkan orang curhat, konseling, berbagi ayat firman lewat WA. Bahkan menolong orang yang sedang susah — itu juga wujud kasih. Tidak pelit. Suka menabur. Berkorban. Bahkan melayani adalah bagian dari murah hati. Makanya, kalau mau melatih kemurahan hati, belajar terlibat pelayanan di gereja. Amin?

Kenapa sulit bermurah hati?

Tapi kenapa seseorang seringkali sulit bermurah hati?

  • Pertama, karena sifat mementingkan diri sendiri.
  • Ini sudah dialami sejak kecil. Kalau Saudara punya anak, pasti sering lihat anak-anak bertengkar rebutan porsi. Saya ingat waktu anak saya masih kecil, kalau ada makanan, masing-masing pengin bagian yang lebih gede. Pizza misalnya, pasti rebutan yang sosisnya lebih banyak atau potongan yang lebih besar. Saya pernah kasih trik: kalau kakaknya yang potong, adiknya yang pilih — itu pasti adil. Karena kalau dia potong gede, belum tentu dia yang pilih!

    Sifat egois ini bahkan muncul saat lihat foto bersama. Siapa yang pertama kita cari? Diri sendiri! Apalagi wanita—paling jago cari angle paling langsing. Minta ulang foto tiga kali. Termasuk istri saya: “Nanti post yang ini ya, aku paling langsing di sini. Mataku ketutup ngga apa-apa, yang penting aku langsing." Itu egois, manusiawi.
  • Kedua, karena rasa khawatir akan kehidupan ini.
  • Takut miskin, takut kurang, takut tidak cukup. Selalu berpikir tentang diri sendiri. Namun hari ini kita perlu sadar: semua yang kita miliki berasal dari Tuhan — kepintaran, kemampuan, kehebatan, talenta, bakat, aset. Itu semua dari Tuhan. Amin?

    Saya belajar ini dari kejadian waktu saya bawa anak saya makan burger. Waktu itu saya ajak dia makan, saya lupa di Burger King atau McDonald’s. Saya minta coba sedikit. Tahu ngga dia bilang apa? “No! It’s mine! — Ini punyaku!” Waduh, pelit banget! Saya langsung kasih pelajaran. Saya bilang, “Daddy bisa beli 100 burger lagi kalau mau. Atau nanti Daddy beli Big Mac, kamu ngga kasih, Daddy juga ngga kasih." Baru deh dia goyah: “Ya udah, cobain deh,” tapi dia tutup bagian depannya semua! Yang dikasih cuma roti pinggir, dagingnya ditutupin.

    Tapi bukankah kita juga begitu sama Tuhan? Kita bilang: “Ini waktuku, ini tenagaku, ini bisnisku, ini asetku." Kita lupa, semuanya dari Tuhan. Sudah sepantasnya kita jadi saluran Tuhan — menjadi orang yang murah hati. Haleluya!

Dua cara orang memberi

Ada dua cara orang memberi:

  1. Memberi karena kita mengasihi
  2. Memberi karena ingin dikasihi

Yang benar? Karena mengasihi. Orang dunia juga bisa memberi supaya disayang. Biar dapat proyek. Supaya di-support balik. Mereka suka bilang, “Kalau kamu baik sama saya, saya bisa lebih baik. Tapi kalau kamu jahat, saya lebih jahat dari preman." Itu bukan standar kita. Kita anak Tuhan. Orang baik atau ngga baik, kita tetap baik. Kita memberi tanpa pamrih. Karena itu sifat kita. Amin!

Menjadi pribadi yang murah hati

Sekarang, saya mau bagikan tiga poin supaya kita semangat jadi pribadi yang murah hati. Siap belajar? Amin!

#1 Kemurahan hati membuat hidup kita menjadi luas

Orang yang murah hati disenangi. Banyak orang mau berteman, pintu akses dan relasi terbuka luas. Itu yang tidak bisa selalu dibuat oleh agama. Bawa nama Kristen atau GBI, belum tentu diterima. Tapi kemurahan hati bisa menembus batas suku, agama, dan golongan. Semua kalangan — bawah, menengah, atas — senang dengan orang yang suka memberi, menolong, memberi support.

Amsal 11:24–25,

Ada yang menyebar harta tetapi bertambah kaya; ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan; siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.

Versi Inggrisnya lebih jelas:

The world of the generous gets larger and larger. The world of the stingy gets smaller and smaller.

Artinya, dunia orang murah hati makin luas. Tapi dunia orang pelit makin sempit. Karena orang pelit, serakah, suka ngambil dari hidup orang lain — dijauhi. Masuk komunitas, semua mulai bisik-bisik: “Hati-hati tuh, suka ciak—chi—cau!” (Makan, kabur lagi.)

Dalam bisnis, jangan cuma pakai satu “C” — cuan. Tapi juga harus pakai tiga “C”: cuan, chengli, cincai. Cuan boleh, tapi harus fair dan ngga perhitungan.

Mulailah dari hal kecil. Suami murah hati kepada istri, dan istri juga murah hati kepada suami. Layani dengan baik. Saya sering bilang: kalau suami atau istri tidak melayani pasangannya dengan baik, banyak outsourcing di luar sana yang siap menggantikan! Ani-ani, pelakor — banyak!

Nah Saudara, anak-anak juga harus belajar murah hati kepada orang tuamu. Saya bersyukur, punya anak yang sekarang sedang masuk usia 17–18 tahun. Tuhan berkati luar biasa. Di usia muda, dia sudah menjalankan bisnis dengan kurang lebih 30 karyawan. Lagi viral juga, diundang ke berbagai podcast. Dia membangun sebuah agency dan meng-handle top-top leader dari berbagai perusahaan.

November lalu, dia bilang begini, “Saya sudah mau biayai dan kasih uang bulanan Papa Mama." Jadi, sejak November, tiap bulan kami mendapat uang bulanan dari anak yang baru 17 tahun. Dia ngga ambil uang saku lagi. Penghasilannya luar biasa. Dengan uang sebanyak itu, dia bisa saja beli motor gede, atau setengah harga mobil. Tapi saya lihat kemurahan hati itu menular dalam keluarga kami. Dia tidak tanggung-tanggung untuk menyumbang gereja dan membantu orang susah dengan nominal yang bahkan membuat saya kaget. Saya bilang, “Pengusaha yang punya uang pun banyak, belum tentu berani kasih seperti kamu."

Anak-anak muda, kalau kamu punya hati seperti ini, pintu-pintu akan terbuka luas. Amin! Tapi kemurahan hati bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana, dengan orang-orang yang dekat di sekitar kita. Mungkin yang kerja di rumah sebagai asisten rumah tangga, sopir, tukang kebun, atau siapa pun. Belajar supaya mereka melihat kemurahan hatimu.

Saya dengar cerita dari teman-teman istri saya. Kadang mereka bertanya, “Kenal yayasan ngga? Saya mau bantu orang." Eh, ternyata bukan bantu orang lain, tapi pembantunya sendiri mau dikeluarkan. Setelah dicek, ternyata di rumah itu pelit. Semua makanan disimpan: nastar disimpan, kue disimpan. Begitu sudah mau expired, baru dibagikan. Saya mau katakan: jangan kasih orang lain apa yang kamu sendiri sudah tidak mau makan. Di rumah kami, orang-orang yang kerja bersama kami bisa menikmati apa yang kami nikmati.

Apalagi kalau sudah Natal atau ulang tahun, kadang kami dapat banyak oleh-oleh: musang king, puding, kue, dan lainnya. Tapi karena kami sedang diet — saya satu potong, istri setengah potong, anak saya yang lagi persiapan maraton juga jaga kalori — maka kami belajar berbagi. Bagi ke staf, sopir, satpam kompleks. Semua bisa nikmati.

Istri saya suka bilang, “Mbak, yang di kulkas ambil, ya." Ada anggur, keju Belanda, semua boleh dimakan. Karena kalau ditahan-tahan, nanti malah expired dan mubazir. Berikan di awal. Berikan yang terbaik. Amin, Saudara?

Biarlah orang-orang di sekitarmu melihat kemurahan hatimu. Jangan cuma di gereja kamu bilang, “Shalom, puji Tuhan." Yang paling kenal siapa kamu sebenarnya itu adalah pembantumu. Yang tahu sikapmu, itu sopirmu, orang rumahmu. Jangan murah hati cuma di gereja, tapi di rumah pelitnya minta ampun.

Kalau kamu adalah majikan atau atasan di perusahaan, murah hatilah kepada pegawaimu. Kamu akan lihat, perusahaanmu akan bertumbuh dengan luar biasa. Saya ini coach yang menangani ratusan perusahaan ternama di Indonesia. You can name it. Banyak klien besar. Dan saya lihat, perusahaan yang pelit — suka tahan THR, potong bonus, gaji ditunda-tunda — turnover-nya tinggi. Karyawan keluar masuk, tidak betah.

Tapi perusahaan yang berkembang itu beda. Ada apresiasi, ada penghargaan, ada bonus tambahan. Bahkan kalau lembur sedikit, dapat insentif. Ada trip. Saya lihat perusahaan seperti itu berkembang luar biasa. Amin?

Sebaliknya, kalau kamu karyawan, jangan perhitungan dengan perusahaanmu. Ada juga karyawan pelit. “Kalau saya digaji segini, ya saya kerja segini." Buat saya, berapa pun gajimu, kasih yang terbaik. Karena kerja itu ibadah. Meskipun manajemen tidak lihat, Tuhan tetap lihat. Dia akan angkat hidupmu dengan cara yang ajaib.

Jangan sampai seperti ini: “Saya dikaryakan untuk melawan penyakit." Penyakitnya? Kudis: Kurang Disiplin. Penyakit lainnya? Asma: Asal Mengisi Absen. Ada lagi: Ginjal: Gaji Naik, Kerja Lamban. Banyak karyawan begitu. Pucat masuk kantor, dikit-dikit mau pulang cepat. Perhitungan.

Kalau kamu bergerak di bidang sales dan marketing, saya mau kasih rahasia. Saya ini pembicara sales & marketing. Saya suka bilang: selain produkmu bagus, kamu harus murah hati. Jangan cuma baik kepada orang yang mau beli produkmu. Kasih konsultasi gratis, kasih informasi. Apalagi kalau kamu di bidang asuransi, properti, dan lain-lain.

Bahkan kalau orang belum jadi nasabahmu, tetap bantu. Karena bisa jadi justru orang itu yang promosiin kamu. Dia tulis di Instagram: “Ini loh agen yang benar, saya aja ngga ambil sama dia, tapi saya diurus." Luar biasa, ya?

Kalau kamu hanya peduli sama yang sudah beli, dan tidak peduli after sales-nya, orang bisa pindah. Tapi kalau kamu punya jiwa murah hati, kamu melayani bukan karena uang, tapi karena memang hati yang melayani.

Saya ketemu klien yang bilang, “Coach Haryanto Kandani beda ya. Kayaknya tulus." Dia tanya, “Kamu kayak dari hati." Saya jawab, “Saya ini orang pelayanan. Saya pimpin yayasan sosial, masuk ke pemukiman kumuh pun saya layani. Yang keluar duit pun saya jalani. Apalagi melayani orang yang bayar saya mahal." Gampang ngga? Gampang. Karena yang tidak dibayar saja saya layani, apalagi yang dibayar.

Makanya kalau kamu sudah terbiasa melayani di gereja, melayani di luar jauh lebih mudah. Jiwa melayani dan murah hati ini harus nampak, bukan cuma di gereja, tapi di mana pun. Berikan pelayanan berkualitas. Itu yang akan membuat hidupmu luas.

Saya bersyukur, orang-orang yang kerja sama kami, kebanyakan betah. Belasan tahun. Puluhan tahun. Ikut bersama kami. Itu karena mereka melihat — bukan gaji tinggi semata — tapi ada kemurahan hati yang nyata.

Memperhatikan bawahan

Bahkan sampai sopir pun saya perhatikan. Kadang-kadang saya traveling, dari satu kota ke kota lain bersama klien. Pernah, saya diundang oleh perusahaan BUMN dan dikasih hotel yang bagus di Bandung. Tapi waktu itu saya ngga bawa staf, karena staf saya lagi urus acara di Jakarta. Saya cuma nginap sebentar — tengah malam sampai pagi-pagi harus check-out.

Saya bilang sama Pak Sopir, “Pak, masuk aja ke kamar, tuh ada dua tempat tidur. Tidur di situ, ya. Jangan tidur di luar, kasihan." Dia masuk dan langsung bilang, “Wih, bagus banget!” Eh, kurang ajar lagi, dia minta foto. “Pak, foto dulu ya!” Besok pagi saya tanya, “Pak, tidurnya enak?” Dia jawab, “Saya ngga tidur, Pak. Sayang kamar bagus ditidurin." Hahaha. Tapi saya senang. Biar dia merasakan juga nikmatnya.

Kadang saya dikasih makan enak, saya ajak dia ikut makan. Saya ajarin makan steak. Saya ingat waktu di Ancol, perusahaan Ciputra ajak kami makan. Saya bilang, “Ayo, Pak, makan." Dia makan sambil berkata, “Besok-besok, Pak, rasanya ngga hilang. Ini daging beda sama warteg." Hal-hal simpel seperti itu, yang membentuk dedikasi dan loyalitas. Karena saya belajar memperhatikan. Tentu, kalau salah ya ditegur.

Spirit of service

Kita juga harus punya spirit of service.

Saya pernah cerita, sekitar 2–3 tahun lalu, saya kenal seorang pria bernama Andre Setiawan, waktu itu di Muara Karang, Pluit. Saya lagi cetak dokumen di tempat fotokopi. Kami ngga saling kenal, tapi saya tersentuh oleh pelayanannya yang sangat baik. Saya merasa dia murah hati.

Ingat, kemurahan hati bisa menyentuh hati banyak orang. Dia ngga tahu saya siapa, bukan karena saya gembala atau tokoh. Tapi pelayanannya sungguh tulus. Sebelum saya pulang, saya kasih kartu nama. Saya bilang, “Kalau kamu suatu saat butuh pekerjaan lain, hubungi saya." Saya ngga datang untuk rekrut, cuma merasa dia layak.

Sore harinya, ada SMS atau BBM masuk (masih zaman Blackberry). Dia bilang, “Pak, saya belum bisa terima tawaran karena masih kontrak kerja dan kuliah." Saya jawab, “Ngga apa-apa." Setahun kemudian, saat anak saya lahir dan saya sedang di parkiran rumah sakit, muncul pesan: “Pak, masih ingat saya?”

Saya langsung ingat. Kebetulan, asisten saya yang biasa ikut ke luar kota mau pindah ke Batam, jadi Andre langsung bisa masuk. Tugasnya simpel: menemani saya saat traveling, bantu multimedia, sound system, dan sebagainya. Dalam sebulan, bisa belasan kali terbang untuk seminar dan pelatihan.

Waktu pertama kerja, kami dapat proyek di Cikarang. Saat makan siang, saya lihat matanya berkaca-kaca. Saya tanya, “Kenapa, Pak?” Dia jawab, “Pak, enak ya makanannya. Saya ingat Ibu saya." Dia jarang makan begini. Saya bilang, “Nanti sering, kok. Kita sering acara di hotel. Kalau acara sendiri, kamu panitianya. Bisa bawa makanan buat Mama kamu."

Dan benar, setelah itu dia bisa bawa pulang roti, puding, makanan hotel. Awalnya senang banget. Lama-lama, dia bilang, “Aduh, Pak, udah bosan." Hahaha. Dulu berkaca-kaca, sekarang bosan. Tapi lihat perjalanannya! Dulu belum pernah naik pesawat, sekarang sudah bolak-balik terbang, bahkan pergi sendiri ke Nepal karena dia suka naik gunung. Hidupnya luas.

Kenapa? Karena dulu dia melayani dengan murah hati. Kalau waktu itu dia pelit, saya mungkin ngga akan ajak dia kerja.

Kisah Ribka

Sama seperti kisah Ribka dalam Alkitab. Hamba Abraham sedang cari istri untuk Ishak, dan bertemu Ribka di sumur. Ribka murah hati, memberi minum bukan hanya kepada hamba-hamba, tapi juga unta-unta mereka. Luar biasa.

Sejak itu, Ribka hidupnya berubah. Dari menimba air di sumur, jadi menantu Abraham, saudagar kaya, bahkan jadi nenek moyang dalam garis keturunan Yesus Kristus. Amin!

Kita ngga pernah tahu, waktu melayani, mungkin yang kita senyum itu sultan. Mungkin yang kita bantu itu jodohmu. Ngga usah cari di Tinder! Aplikasi terbaik adalah kemurahan hatimu. Pelayanan bisa membuka jalan — kerja sama, bisnis, customer, bahkan pasangan hidup. Yang penting, hatimu selalu siap untuk murah hati.

Haleluya!

#2 Kemurahan hati membuat kita happy dan healthy

Siapa yang mau hidupnya happy dan penuh damai sejahtera? Amin!

Orang yang murah hati itu penuh dengan sukacita. Saat kita membantu orang, mereka senang, kita ikut senang. Hati yang gembira adalah obat. Tapi Alkitab juga mencatat: di mana ada iri hati, perselisihan, dan mementingkan diri sendiri, di situ ada pertengkaran.

Lihat deh, orang bisnis pecah kongsi karena mementingkan diri sendiri. Rumah tangga ribut karena satu pihak cuma pikirin dirinya. Negara perang, partai politik pecah, pelayanan konflik — semua karena egois.

Kalau konseling, biasanya yang dikeluhkan: “Dia ngga mengerti aku. Dia cuma pikirin dirinya." Nah, itu semua karena tidak ada kemurahan hati.

Saya bersyukur, dapat istri yang murah hati. Kalau ada makanan enak, dia bilang, “Kamu suka kan kepala ikannya? Kamu yang makan." Saya bilang, “Kamu juga suka." Jadi saling dorong-dorongan. “Kamu aja duduk di tempat bagus." “Ngga, kamu aja." Luar biasa.

Tapi ada juga yang begitu: cuma satu kursi, dia yang langsung duduk. Istrinya dibiarkan berdiri. Latihlah kemurahan hati dari gereja — kasih tempat duduk lebih dulu, kasih makanan lebih dulu. Kasih parkiran yang bagus buat tamu. Kita ini tuan rumah, utamakan jiwa-jiwa baru.

Dan jemaat juga: jangan hanya minta dilayani. Belajarlah melayani!

Saya kutip dari Dr Allan Coach, yang meneliti 3.000 sukarelawan. Ia menemukan bahwa memberi dan menolong orang lain mengurangi rasa sakit, stres, meningkatkan endorfin, dan kesehatan. Ini memang bukan dari Alkitab, tapi jadi referensi tambahan dari pakar dunia — supaya kita makin yakin betapa pentingnya kemurahan hati dan karakter yang baik.

Berikut adalah bagian akhir transkrip yang telah saya rapikan menjadi narasi utuh, jelas terbaca, dan tetap menggugah, sesuai gaya pembicara. Semua isi tetap dipertahankan, namun ditata agar lebih sistematis dan nyaman dibaca.

Profesor David McClelland pernah menyatakan bahwa melakukan sesuatu yang positif terhadap orang lain dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh. Sebaliknya, orang yang kikir justru cenderung lebih sering terserang penyakit. Saat saya renungkan, masuk akal juga. Orang kikir sering kepikiran, “Aduh uangku gimana… barangku gimana…” Terlalu overthinking.

Sebaliknya, fokus membantu orang lain membuat kita tidak terfokus pada masalah pribadi. Jam Host juga pernah melakukan riset bahwa menolong orang lain secara sukarela bisa meningkatkan kebugaran dan bahkan angka harapan hidup.

#3 Kemurahan hati membuat kita hidup dalam kemurahan Allah

Siapa yang mau hidup setiap hari dalam kemurahan Tuhan? Katakan: Amin!

Saya bisa bersaksi —26, 27 tahun ikut Tuhan— saya benar-benar hidup karena kemurahan-Nya. Dalam perjalanan hidup dan pelayanan, seringkali saya merasa ada kompetitor yang lebih hebat, lebih pintar, lebih punya akses. Tapi kok, saya yang dipilih? Kok toko kita yang jadi langganan, padahal saingannya banyak?

Itu kemurahan Tuhan. Anugerah yang tidak datang karena kekuatan kita, tapi karena Tuhan yang buka jalan. Amin!

Tuhan mengasihi semua orang — bahkan saat kita masih berdosa, Yesus sudah mati untuk kita. Tapi kita juga harus tahu: meskipun Tuhan mengasihi semua orang, tidak semua orang menyentuh hati Tuhan. Yang menyentuh hati-Nya akan mengalami favor of God — kemurahan yang istimewa.

Sama seperti kita punya banyak anak atau karyawan, tapi pasti ada satu-dua yang benar-benar menyentuh hati kita — bukan berarti tidak adil, tapi ada kedekatan khusus karena hati mereka yang murah hati.

Daud, misalnya — dia disebut sebagai orang yang berkenan di hati Tuhan. Itu adalah favor — kemurahan Tuhan yang luar biasa.

Kita lihat ayatnya bersama-sama.

Matius 5:7,

Berbahagialah orang yang murah hati, karena mereka akan beroleh kemurahan.

Kalau kita ingin menerima kemurahan, kita harus terlebih dahulu menunjukkan kemurahan.

Amsal 19:17,

Siapa menaruh belas kasihan kepada orang lemah, ia memiutangi Tuhan.

Kalau kamu kerja di bagian keuangan, kamu tahu istilah AR — Account Receivable. Artinya: Tuhan yang berutang kepada kita, dan Tuhan tidak pernah gagal bayar. Haleluya!

Tapi kemurahan hati bukan hanya soal uang. Kadang, kita membantu orang yang sedang bergumul secara emosional. Kita doakan, temani, jemput ke gereja. Dulu, waktu saya dan istri melayani kelompok sel, kami sering antar jemput satu-satu, pulang malam. Sekarang anak saya yang lakukan itu, dan saya ingat — saya dulu juga dijemput-jemput waktu baru bertobat, belum punya mobil. Kita menabur dari apa yang kita punya.

PR buat Saudara, bagaimana pentingnya membuat ruang untuk kemurahan hati itu mengalir.

Sering kali kita terlalu penuh sampai ngga ada ruang untuk kemurahan hati. Buka lemari deh — banyak barang bagus, baju, sepatu, jam tangan, tapi ngga pernah dipakai. Kadang kita mau kasih pun masih mikir, “Sayang ah…”

Istri saya juga suka bilang, “Ngga ada baju…” Tapi begitu buka lemari — banyak! Akhirnya, kami bongkar: bagi ke Medan, Makassar, bagi ke orang-orang. Apa yang sudah sempit, sudah ngga dipakai — bisa jadi mukjizat buat orang lain. Dan ajaibnya, begitu diberi, ada aja berkat datang. Diganti lagi. Bahkan kadang yang dikasih ternyata mahal! Tapi bagi saja. Jangan simpan sendiri.

Satu juga kebiasaan baik, donor darah adalah bentuk kemurahan hati — kita menolong orang lain, tapi tubuh kita justru makin sehat, karena ada regenerasi sel darah.

Penutup

Semua kita pasti senang menerima mukjizat. Tapi lebih penting lagi: maukah kita menjadi mukjizat bagi orang lain? Jangan hanya fokus minta kesembuhan, tapi mulai pikirkan: “Siapa yang bisa saya doakan?” Kita bisa jadi jawaban doa orang lain.

Saya punya teman pengusaha, matanya rusak — kornea atau retina. Terpukul sekali. Tapi setelah ia mengalihkan perhatiannya untuk membantu yayasan tunanetra, menyumbang, melayani — Tuhan pulihkan penglihatannya!

Kadang kita fokus minta Rp10 juta, padahal ada orang lain yang doanya Rp300 ribu. Kalau kita sudah punya 1–2 juta, itu cukup jadi jawaban buat doa orang lain. Kita bisa jadi alat mukjizat, bahkan di tengah pergumulan kita sendiri.

Saya ingat masa-masa awal pelayanan, belum punya rumah, belum punya mobil. Tapi saya menabur untuk pembangunan gereja. Hasilnya? Saya bisa punya rumah pertama, rumah kedua, rumah ketiga… semua karena kemurahan Tuhan.

Jangan jadi orang yang pikirannya kayak tuyul: “Saya bisa cuan apa? Dapat komisi dari mana?” Tapi belajarlah punya hati seperti malaikat — selalu ingin memberi.

Saya pernah belum sanggup ke Israel, tapi saya bisa menabur untuk memberangkatkan hamba Tuhan. Sekarang? Saya dan istri sudah ke Israel. Bahkan kami bisa memberangkatkan beberapa orang. Tuhan tidak pernah berhutang.

Beberapa bulan lalu, saya melayani di sebuah gereja kecil di Cengkareng. Fasilitasnya jauh di bawah kita. Waktu saya dengar mereka lagi doa puasa, minta Tuhan bebaskan sertifikat tanah mereka, saya tergerak. Tuhan bicara kuat: “Tutupi semua itu." Padahal saya sendiri lagi butuh dana untuk kavling. Tapi saya tahu, ini suara Tuhan. Saya tutupi semua kebutuhan mereka. Dan apa yang terjadi? Tuhan buka jalan luar biasa. Negosiasi berhasil. Dana mengalir. Tanpa KPR, tanpa refinance. Semua karena kemurahan Tuhan!

Tapi ingat, jangan jadikan Tuhan sebagai alat pancingan. Kita memberi bukan untuk balasan cepat. Ada masa saya memberi, tapi ngga langsung lihat hasil. Tapi jangka panjangnya, Tuhan selalu menepati janji.

Tangan di atas selalu lebih baik daripada tangan di bawah. Mari kita miliki mental memberi, bukan mental minta-minta.

Kemurahan hati bisa dalam bentuk uang, pertolongan, tebangan, perhatian, kue, atau bahkan mendoakan. Intinya, sikap hati Saudara adalah sikap hati diberkati. Kalau Saudara diberkati, katakan sama-sama: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah!” Jangan mental minta-minta. Amin!

Tuhan Yesus memberkati.

Video