Pilar pernikahan Kristen dan sikap terhadap LGBTQ

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal18 Agustus 2024
PenulisPdt Jaliaman Sinaga, MDiv
Sebelumnya
Selanjutnya

Beberapa dasawarsa terakhir ini gelombang arus LGBTQ semakin kuat bukan hanya di negara-negara barat tetapi juga di berbagai benua termasuk Asia dan tidak luput Indonesia. Teristimewa setelah WHO menghapus LGBTQ dari International Classification of Diseases (ICD) pada 17 Mei 1992.

Jauh sebelumnya organisasi psikiater Amerika yakni American Psychiatric Association (APA) menghapus homoseks dari DSM 3 pada tahun 1974, yang pada intinya homoseks tidak lagi dianggap sebagai gangguan kejiwaan.

Tidak lama setelah WHO menghapus LGBTQ dari ICD, Belanda merupakan negara pertama yang melegalkan pernikahan Same Sex Marriage (SSM) yakni pada tahun 2001. Saat ini lebih dari 30 negara telah melegalkan pernikahan sejenis.

Dalam era informasi yang sering juga disebut era digital ini, tidak dapat disangkal apa yang terjadi pada belahan bumi yang lain dengan begitu cepat dapat merambat dan ditiru oleh negara-negara lain berkat teknologi informasi digital yang canggih.

Apa yang terjadi di lebih dari 30 negara tersebut , akan berdampak kuat bagi Indonesia secara umum dan gereja secara khusus. Walaupun secara de jure LGBTQ tidak dibenarkan di Indonesia, namun secara de facto LGBTQ telah banyak ditemukan di Indonesia.

Respon masyarakat dan gereja di Indonesia masih terdapat pro dan kontra. Hal-hal apa sajakah yang mempengaruhi seseorang menjadi LGBTQ? Apa kata Alkitab tentang LGBTQ, lalu bagaimana sikap gereja seharusnya?

Keberadaan LGBTQ di Indonesia

Kondisi LGBTQ di Indonesia mulai terlihat pergerakannya di tahun 1960-an, bahkan ada yang menyebut sudah ada sejak tahun 1920-an, namun umumnya berpendapat di tahun 1960-an, lalu berkembang di tahun 1980-an, 1990-an dan meledak pada era milenium 2000 hingga sekarang. LGBTQ di Indonesia memiliki 2 jaringan nasional, 119 organisasi di 28 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.[1]

Para aktivis LGBTQ terus berusaha dan berjuang secara sistematis, terstruktur dan masif untuk mengusahakan agar LGBTQ diterima secara legal. Dengan mengedepankan HAM mereka memperjuangkan agar mereka diakui keberadaannya.

Pada tahun 1983 Direktorat Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengubah klasifikasi homoseksualitas dalam Pedoman Pelaksanaan dan Klasifikasi Gangguan Jiwa (PPDGJ) menjadi homoseksualitas ego distonik (pribadi yang memiliki orientasi atau ketertarikan seksual yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, sehingga mengakibatkan kegelisahan dan hasrat untuk mengubah orientasi seksualnya) dan ego sintonik (mereka yang memiliki kelainan gender tetapi sudah merasa nyaman dengan hal tersebut).

Bahkan pada tahun 1993 istilah homoseksualitas tidak ditemukan lagi, hanya dipakai istilah kelainan gender, bukan sebagai gangguan kejiwaan.[2]

Pergerakan LGBTQ di Indonesia dapat diklasifikasikan kepada dua entitas yang berbeda:[3]

  1. Pertama: LGBTQ termasuk “penyakit” gangguan jiwa, atau penyimpangan orientasi seksual yang melekat (dimiliki) seseorang sebagai individu.

  2. Penyakit tersebut dapat disebabkan faktor biologis dan sosiologis dan dapat menular kepada orang lain.

    Pada entitas pertama ini LGBTQ terbagi kepada dua identitas yakni pertama mereka yang menutupi (menyembunyikan) identitasnya sebagai LGBTQ sehingga tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Kedua ialah mereka yang berani membuka identitasnya (outcome) kepada orang lain dan mengharap bantuan orang lain (di luar dirinya) untuk membantu menyembuhkannya.

  3. Kedua: LGBTQ sebagai sebuah komunitas satu kelompok, atau juga disebut satu organisasi yang memiliki visi, misi dan aktivitas atau gerakan (movement) tertentu.

  4. Pada level entitas kedua inilah yang sekarang marak menjadi perdebatan di tengah masyarakat Indonesia, apakah gerakan kelompok LGBTQ itu dapat dilegalkan atau tidak.

    Sampai saat ini masih terjadi perdebatan antara pro dan kontra dalam masyarakat, baik secara individu maupun komunitas, demikian juga para politisi serta gereja-gereja di Indonesia.

Faktor-faktor penyebab LGBTQ

A. Faktor pola asuh dalam keluarga

Faktor pengasuhan dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan satu individu yang dimulai dari bayi sampai ia bertumbuh dewasa. Perkembangan yang dimaksud mencakup perkembangan tubuh, jiwa dan roh seorang anak. Karena itu faktor parenting sangat penting dalam hal ini.

Seorang anak bersifat meniru apa yang sering dilihatnya. Menurut Saul McLeod, anak mengamati model yang memberikan contoh perilaku maskulin atau feminin.[4] Zusy Aryanti menjelaskan anak hanya meniru tanpa memikirkan objek tiru berperilaku maskulin atau feminin yang sesuai gender atau tidak.[5] Bila seorang wanita melihat ayahnya sering melakukan kekerasan kepada ibunya, maka ia berpotensi menjadi seorang lesbian karena emosinya telah terluka sejak kecil saat melihat laki-laki yang keras dan kejam. Sebaliknya bila seorang pria melihat ibunya yang begitu dominan dan melihat figur seorang pria, maka anak tersebut dapat kehilangan kepercayaan akan dirinya sebagai pria.

Setiap orang tua hendaknya memberikan contoh yang baik kepada anak. Dalam hal inilah peran pola asuh dalam keluarga sangat penting bahkan dapat dikatakan menentukan. Sejak kecil orang tua seharusnya telah memberikan arahan secara bertahap untuk setiap anak dapat mengerti dan menerima orientasi gender yang dimiliki sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya, tidak mengikuti orientasi seksual yang dirasakan.

B. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi, seperti sekolah, lingkungan pergaulan, teman bermain, termasuk lingkungan keluarga. Faktor lingkungan keluarga sangat besar pengaruhnya, karena seorang anak mulai belajar semuanya dimulai dari rumah yakni melalui keluarga.

Seorang anak belajar berbicara, bersosialisasi, berbagi, menghargai orang lain dan menerima diri sendiri, semuanya dimulai dari rumah. Bila seorang anak tidak mendapat pengajaran yang baik dalam keluarga dapat berakibat fatal bagi anak. Hal inilah yang terjadi pada seorang anak bungsu dari 11 bersaudara yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya, yang dilahirkan sebagai anak laki-laki, tetapi di usia 21 tahun ia melakukan transgender, sebagaimana dikisahkan oleh Jonathan Than:[6]

“Sejak kecil saya memiliki perasaan yang sangat sensitif, lembut, sehingga saya mudah sedih dan menangis apabila saya merasa tertekan maupun mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Sejak kecil dalam keseharian saya lebih menyukai kegiatan yang halus, bukan aktifitas permainan anak laki-laki umumnya. Ini mungkin karena saya banyak menghabiskan waktu bersama kakak-kakak perempuan saya. Saya sering sekali mengikuti kegiatan yang mereka lakukan bersama teman-teman mereka. Secara tidak langsung ini membuat saya tertarik dengan hal-hal yang anak perempuan lakukan. Terlebih lagi setiap kali saya diajak bepergian kakak-kakak perempuan saya, teman-temannya sering memuji wajah saya yang halus seperti anak perempuan. Ini membuat saya merasa diakui dan lebih diterima sebagai perempuan.
Perlakuan-perlakuan seperti ini secara tidak langsung membangun konsep diri yang salah tentang bagaimana saya memandang identitas diri saya sendiri. Saya merasa lebih nyaman berada di antara para wanita ketimbang bergaul bersama-sama dengan anak laki-laki. Lama-kelamaan hal ini membuat saya semakin tertarik dengan baju-baju wanita dan gaya berpakaian wanita. Tetapi kala itu masih hanya sebatas tertarik saja, dalam keseharian saya masih tampil sebagai anak laki-laki.
Inilah pentingnya seorang anak harus diperlakukan sebagaimana identitas dirinya. Jika ia terlahir sebagai anak laki-laki, maka ia harus diperlakukan sebagai anak laki-laki, diasuh, dan dibesarkan sebagai seorang anak laki-laki. Demikian pula dengan wanita. Proses perlakuan dan pengasuhan yang tidak sesuai sejak belia akan membentuk pondasi identitas diri yang tidak tepat pula hingga dewasa. Setiap orang tua dan keluarga perlu memperhatikan bagaimana kita memperlakukan anak kita dan bagaimana proses penanaman identitas diri anak-anak kita semua."

C. Faktor psikologis

Faktor psikologis juga memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi seseorang menjadi LGBTQ. Antara lain ada beberapa penyebab bila ditinjau dari aspek psikologi:[7]

  1. Tidak percaya Tuhan
  2. Tidak mendapat perhatian keluarga
  3. Trauma masa kecil
  4. Pengetahuan yang kurang
  5. Ejekan saat kecil
  6. Kekaguman yang berlebihan
  7. Kesalahan pergaulan
  8. Sering menonton film porno
  9. Ingin mendapat pengakuan
  10. Tidak dapat mengendalikan hawa nafsu
  11. Faktor ekonomi
  12. Sikap kapitalisme
  13. Tidak dapat mengendalikan hawa nafsu.

Lebih jauh J. Verkuyl menjelaskan: ada orang-orang tertentu kecenderungan homoseksual itu adalah akibat dari suatu perkembangan psikis yang terganggu. Mungkin terjadi bahwa kesalahan-kesalahan yang dibuat dalam pendidikan, pengalaman dalam masyarakat, gangguan-gangguan komunikasi dalam pertalian-pertalian dengan sekitar, menimbulkan kecenderungan homoseksual dan pola-pola kelakuan.[8]

Karena itu betapa pentingnya menciptakan keluarga yang sehat, di mana setiap anak dapat merasa aman, merasa diterima bukan karena kelebihannya, tetapi diterima sebagaimana adanya. Kebutuhan anak yang terutama bukanlah fasilitas, tetapi kasih dari kedua orang tuanya.

D. Faktor biologis

Para aktivis LGBTQ memperjuangkan legalitas mereka dengan mengedepankan HAM dan faktor gen.

Argumentasi yang diangkat adalah bahwa keberadaan mereka bukan pilihan mereka, melainkan karena faktor gen membuat mereka demikian. Benarkah argumentasi ini?

  1. Aktivitas gen-gen tidak hanya untuk agresi namun sejumlah luas ciri-ciri lain. Salah satu pengaruh yang dominan kelihatannya adalah seberapa banyak cinta yang mengasuh atau pengabaian yang dingin yang diterima oleh seorang anak. Bagaimana orang tua kita memperlakukan kita telah meninggalkan cetak genetiknya di atas kelompok DNA yang mereka turunkan kepada kita.
  2. Dan bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita, pada gilirannya, akan menentukan tingkat aktivitas dalam gen-gen mereka. Temuan ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan mengasuh yang kecil-kecil dari pengasuhan oleh orang tua bisa berarti untuk jangka waktu yang lama dan bahwa relasi dengan orang lain berperan memandu rancang ulang otak yang terus berlangsung.[9]

  3. Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang mengesahkan bahwa penyebab LGBTQ ada faktor biologis ataupun karena faktor gen.
  4. Kalaupun ada literatur mendukung ke arah faktor gen, hal tersebut baru merupakan satu dugaan belum merupakan satu aksioma yang telah diterima pihak-pihak yang berkompetensi. Dalam dunia medis belum ada penelitian secara scientific bahwa LGBTQ disebabkan karena faktor gen.[10]

  5. Dalam penelitian Gary R. Collins seorang professor di Trinity Evangelical Divinity School menemukan 4 (empat) penyebab:[11]
    • Pertama: Parent child relationship
    • Kedua: Other family relationship
    • Ketiga: Fear
    • Keempat: Willful choice of homosexual actions

    Hubungan yang baik dalam keluarga merupakan faktor penunjang yang sangat berperan dalam menentukan suasana keluarga yang menyenangkan. Keluarga yang menyenangkan akan menanamkan nilai-nilai yang sehat, termasuk identitas gender yang dimiliki oleh setiap anak. Berikut adalah ciri-ciri keluarga yang menyenangkan: adanya kehangatan, kasih sayang, keakraban, konsisten, mendukung, penuh pemahaman, membesarkan hati, komunikasi terbuka, boleh merasa, menerima, penuh perhatian, penuh rasa hormat, bekerja sama, waktu yang bermutu, humor, bersenang-senang, kebahagiaan, harga diri yang tinggi dan kekuatan.[12]

E. Faktor kuasa gelap

Pada umumnya faktor kuasa gelap dapat mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan manusia seperti dalam aspek rohani, psikologis/mental, fisik, keluarga, keturunan, bahkan sangat mengerikan sampai kepada kekekalan. Dalam Perjanjian Lama secara implisit dinyatakan bahwa saat umat Tuhan tidak menaati firman Tuhan, maka mereka jatuh dalam penyembahan berhala, seperti yang dilakukan oleh raja-raja pada waktu itu. Banyak penyimpangan yang akan terjadi bila umat-Nya telah meninggalkan Tuhan.

Pada masa pemerintahan Raja Rehabeam dalam 1 Raja-raja 14:21-24 orang Yehuda melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Mereka mendirikan tempat-tempat pengorbanan dan tugu-tugu berhala dan tiang-tiang berhala di setiap bukit yang tinggi, bahkan ada pelacuran bakti di negeri itu.

  • Pelacuran bakti/semburit adalah suatu bentuk “prostitusi sakral” biasanya terjadi dalam kultus penyembahan kepada dewa/dewi kesuburan.
  • Bentuk persundalan yang paling berbahaya ialah persundalan yang disetujui oleh agama (‘pelacuran bakti’ atau ‘semburit bakti’), yang merupakan ciri utama dalam kebaktian Kanaan.

    Di dalam agama kuno di Kanaan, baik sundal laki-laki maupun sundal perempuan dihubungkan dengan tempat-tempat suci/kuil-kuil penyembahan mereka. Misalnya penyembahan terhadap dewa Baal dan dewi Asyera.

  • Dalam agama Baal, dikenal dengan apa yang disebut dengan “pelacur bakti” dan “semburit bakti”. Istilah “Qadesh”, pelacur laki-laki dan “Qadeshah”, pelacur perempuan, adalah orang yang mempersembahkan seluruh hidupnya bagi pelayanan keagamaan.
  • Istilah “Pelacur bakti” (pelacur dalam kuil) adalah perempuan yang secara khusus melayani kaum laki-laki secara biologis. “Semburit bakti” adalah laki-laki yang ditempatkan dalam kuil yang melayani secara khusus melayani kaum perempuan maupun laki-laki secara biologis.[13]

Ketika Raja Asa memimpin Yehuda, ia menghancurkan pelacuran bakti dan menjauhkan segala berhala yang dibuat oleh nenek moyangnya (1 Raja-raja 15:12). Jadi jelas sekali bahwa ada hubungan penyembahan berhala, kuasa gelap dengan pelacuran bakti, penyimpangan-penyimpangan dosa seksual; tidak tertutup kemungkinan di dalamnya homoseksual.

Di dalam Perjanjian Lama memang tidak disebutkan langsung bahwa okultisme penyebab homoseksualitas. Tetapi berdasarkan interpretasi berbasis prinsip, maka setiap pribadi yang meninggalkan Tuhan dapat dipengaruhi dan dikuasai okultisme.

Mereka yang terlibat okultisme akan dapat melakukan dosa apapun termasuk segala penyimpangan-penyimpangan seksual.[14] Pondsius Takaliuang mengatakan: biasanya orang yang terlibat okultisme, hidup seksualnya tidak normal, matanya penuh zinah dan angan-angan kotor yang menguasai dia. Iblis tidak hanya bapak pembunuh, tapi juga bapak perzinahan.[15]

Idolatry will lead to adultery.

Tiga tingkatan penyembahan berhala

Dalam Perjanjian Baru, yaitu dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma, terlihat urutan penyembahan berhala yang dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut:[16]

  1. Mengganti kemuliaan Allah dengan gambaran lain yang fana (Roma 1:21-23)
  2. Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang hidup dengan gambaran lain dan menyembah gambaran itu (1:23).

    Dengan demikian, tidak memuliakan Dia sebagai Allah (1:21). Murka Allah yang pertama adalah Allah menyerahkan mereka kepada kecemaran sehingga tubuh mereka dicemarkan, atau dalam bahasa aslinya “tidak dihormati” (1:24). Murka ini setimpal dengan dosa mereka karena mereka tidak mau memberikan kemuliaan kepada Allah, sehingga hormat yang layak bagi tubuh mereka hilang.

  3. Mengganti kebenaran Allah dengan dusta (Roma 1:25)
  4. Manusia tidak lagi bermaksud menyembah Allah yang hidup karena mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta. Mereka memuja dan menyembah makhluk dan mereka melupakan penciptanya. Ini merupakan tipu daya dosa penyembahan berhala karena bukan hanya rupa yang digantikan melainkan juga kenyataan.

    Murka Allah yang kedua pada tahap ini adalah Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan (1:26-27). Di sini dengan kata-kata yang jelas sekali firman Allah menjelaskan bahwa keterlibatan kegiatan homoseksual (1:27) adalah penyataan murka Allah. Hukuman ini setimpal karena mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta. Mereka menggantikan yang wajar dengan yang tidak wajar.

  5. Tidak mengakui Allah (Roma 1:28-32)
  6. Mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah; manusia tidak mau berpikir mengenai Allah lagi, Allah sudah tidak masuk dalam pikiran manusia lagi. Murka Allah yang pada tahap ketiga ini adalah Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk. Terkutuk diterjemahkan “tidak mengerti”, “tidak layak” atau layak “untuk ditolak” (1:28b-32).

    Manusia yang diserahkan kepada pikiran yang demikian akan menyatakan pikiran mereka dengan segala macam tingkah laku yang najis dan jahat dan justru itu yang dicatat oleh rasul Paulus. Daftar dosa yang dicatat dalam Roma 1:29-32 dapat disebut sebagai daftar dosa yang paling lengkap dalam Alkitab.

Era posmodernisme saat ini, di mana tidak ada yang namanya kebenaran absolut dan jika seseorang ingin melakukan/memandang apa yang menyenangkan bagi dirinya maka dia dibenarkan untuk hal tersebut, tanpa disadari telah membuka celah lebar untuk meluasnya penyimpangan seksual. Jika seseorang mau melakukan, misalnya, fashion tertentu yang tidak senonoh, mereka merasa boleh melakukan sejauh terasa baik dan cocok bagi dirinya. Jika Anda melihat mereka dengan nafsu, itu bukan salah mereka, tetapi itu masalah Anda. Bahkan dalam era ini seks bukanlah sesuatu yang kudus/sakral. Setiap orang dapat bebas mengekspresikan keinginan seksual mereka dengan acara bagaimanapun yang menyenangkan bagi mereka. Hal ini sering disebut sebagai sexual revolution.[17]

Mencermati realita dunia saat ini yang tidak mau lagi berpegang kepada kebenaran yang absolut, jelas dalam hal ini ada spirit yakni kuasa kegelapan yang dimotori oleh Iblis bekerja di belakang kegerakan Sexual Revolution, di mana LGBTQ dan pernikahan sesama jenis (same-sex marriage) termasuk di dalamnya.

Sikap gereja

A. Situasi di Indonesia

Gereja-gereja di Indonesia memiliki sikap pro dan kontra, tetapi pada umumnya gereja menolak LGBTQ, yaitu memandangnya sebagai dosa. Namun penting dicatat bahwa gereja yang kontra pun belum memiliki program yang rapi secara sinodal untuk menyelamatkan para aktivis LGBTQ.

Di Indonesia baru ada beberapa gereja lokal yang memiliki pelayanan untuk menjangkau dan memenangkan kaum LGBTQ. Sudah waktunya gereja bangkit untuk menyelamatkan orang berdosa khususnya untuk menyelamatkan generasi ini dari paham LGBTQ. Bila gereja tidak bangkit maka arus LGBTQ akan menyapu anak cucu kita menjadi generasi yang sama seperti dalam Roma 1.

Seseorang bisa jadi bukanlah pelaku LGBTQ, tetapi bila menganggap bahwa hal tersebut bukanlah dosa, maka itu akan merusak pandangan pada generasi yang berikutnya. Konsekuensinya adalah prinsip-prinsip kehidupan sekualitas dalam pernikahan yang benar sebagaimana yang Alkitab ungkapkan akan dipandang sebagai kuno dan tidak berlaku lagi. Bila prinsip pernikahan yang benar ditabrak maka berdampak akan merusak tatanan masyarakat dan budaya satu bangsa.

Sementara di pihak LGBTQ sendiri bergerak dengan rapi secara sistematis, terstruktur dan masif, forum Dialog Komunitas LGBTQ Nasional Indonesia pada tanggal 13-14 Juni 2013 di Bali, Indonesia, merekomendasikan:

  1. HAM sebagai strategi utama di setiap organisasi LGBTQ.
  2. Menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye.
  3. Memperkuat organisasi LGBTQ di bidang orientasi seksual, identitas gender serta HAM.
  4. Mendorong kegiatan pendidikan tentang orientasi seksual dan identitas gender serta HAM.
  5. Memperkuat kegiatan jejaring dan kolaborasi dengan lembaga non pemerintah.
  6. Memperkuat jaringan advokasi di kalangan organisasi LGBTQ.
  7. Aktif berpartisipasi pada berbagai dialog dan koalisi di tingkat regional, nasional dan Internasional.

Bahkan forum tersebut memberi rekomendasi kepada Pemerintah Republik Indonesia:

  1. Mengakui secara resmi keberadaan kelompok LGBTQ.
  2. Menghentikan segala bentuk diskriminasi pada aktivis LGBTQ.
  3. Prioritaskan peninjauan kembali kebijakan negara termasuk Perda.
  4. Membuat dan menyebarkan petunjuk teknis pendaftaran resmi untuk organisasi LGBTQ.
  5. Mengarusutamakan HAM dan orientasi seksual dan identitas gender lingkungan lembaga-lembaga nasional dan seluruh Kementerian.
  6. Mendorong laporan berita-berita yang konstruktif tentang LGBTQ.
  7. Mengarusutamakan orientasi seksual dan identitas gender ke dalam kurikulum Pendidikan Nasional.
  8. Melaksanakan kampanye melawan diskriminasi yang dihadapi LGBTQ.
  9. Menyediakan rumah lindung di setiap provinsi untuk menjamin kesejahteraan kelompok LGBTQ.
  10. Menyediakan kesehatan bagi aktivis LGBTQ baik di tingkat pusat dan daerah.[18]

B. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh gereja

Untuk menjangkau dan melakukan pendampingan pastoral bagi kaum LGBTQ ada beberapa hal yang penting diperhatikan oleh gereja maupun hamba Tuhan:

  1. Yesus mengasihi semua orang berdosa, tanpa memandang dosa apapun yang dilakukan.
  2. Yesus mengasihi dan menolong wanita Samaria yang telah bergonta-ganti pasangan, sehingga wanita ini hatinya berubah, dari seorang wanita yang hidup bebas menjadi seorang pengInjil (Yohanes 4:1-42).

    Demikian juga dengan seorang wanita yang tertangkap basah berzinah, tetapi Yesus tidak langsung menghukumnya, bahkan berkata:

    ... Siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu. (Yohanes. 8:7b TB2)

    Tidak ada seorangpun yang berani melemparkan batu, bahkan seorang demi seorang pergi, akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu. Lalu kata Yesus:

    Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan mulai sekarang, jangan berbuat dosa. (Yohanes 8:11)

    GBI memandang disorientasi seksual kaum LGBTQ adalah dosa, dan pekerjaan Roh Kudus mampu mentransformasi dosa tersebut (sama juga bagi masalah-masalah seksual pada kaum heteroseksual). GBI menghimbau dan menyerukan sikap yang penuh empati pada kaum LGBTQ, seperti Yesus memiliki sikap yang tidak kompromi dengan dosa. Namun pada waktu yang sama pula, Yesus menaruh keberpihakan pastoral kepada orang-orang yang sakit dan termarjinalkan. Yesus membenci dosa, namun mengasihi orang berdosa. Wujud kasih gereja kepada kaum homoseks bukan dengan memandang perilaku itu legal berdasarkan hak azasi manusia, namun justru harus mendorong mereka keluar dari perbuatan dosa itu, sesuai 1 Korintus 6:9b-11 TB2,[19]

    Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, pezina, laki-laki yang ditiduri serta laki-laki yang melakukannya, pencuri, orang tamak, pemabuk, pemfitnah, dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Beberapa orang di antara kamu memang demikian dahulu. Tetapi, kamu telah dipermandikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita”.
  3. Salah satu penyebab kuat LGBTQ ialah faktor pola asuh keluarga.
  4. Karena itu gereja harus melakukan pelayanan yang sifatnya memfasilitasi orangtua bagaimana melakukan parenting yang benar.

    Tanggung jawab utama untuk mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua, sesuai dengan Ulangan 6:6-9. Namun gereja bertanggung jawab untuk mendidik dan mengajar para pasutri untuk dapat menjalankan perannya sebagai orang tua dengan benar.

    Orang tua yang benar dapat menjalankan perannya dengan baik, diawali dari pasangan suami istri yang memiliki relasi yang baik. Pasangan suami istri yang tidak sehati akan berdampak kepada hubungan orang tua dengan anak, yang pada akhirnya berdampak kepada kepribadian anak. Karena itu gereja seyogianya dapat memberikan pembinaan secara sistematik, terencana dan berkesinambungan dalam bingkai pembinaan keluarga.

    Pendidikan seksual merupakan hal yang sangat esensial diketahui oleh pasutri, sehingga dapat memberikan arahan yang benar kepada setiap anak. Tentunya harus disesuaikan dengan usia mereka. Namun hal yang sangat mendasar adalah bahwa pasutri harus membimbing setiap anak untuk menerima dan membimbing anak, agar orientasi seksualnya sesuai dengan identitas gender yang dimiliki.

  5. Gereja perlu membuka pusat konseling mengingat tingkat stres, kejahatan, perceraian semakin meningkat di Indonesia.[20]
  6. Untuk itu gereja perlu menyiapkan para konselor yang profesional sehingga dapat memberikan pertolongan yang memadai kepada setiap pribadi yang perlu ditolong. Dalam jangka pendek gereja perlu segera membuat pelatihan-pelatihan khususnya konselor keluarga yang sangat dibutuhkan saat ini. Dalam jangka panjang gereja perlu mempersiapkan konselor-konselor profesional yang terlatih melalui pendidikan konseling formal.

  7. Gereja harus menghindari sikap menghakimi kaum LGBTQ, tetapi justru berusaha mencari, mendekati, dan “memeluk” mereka.
  8. Para aktivis LGBTQ sering merasakan bahwa mereka merupakan kelompok yang termarjinalkan, termasuk juga oleh gereja. Karena itu gereja harus memberikan ruang dan waktu, agar aktivis LGBTQ merasa dapat “diterima”, karena mereka merasa masyarakat pada umumnya telah memberikan stigma negatif terhadap keberadaan mereka. Untuk menolong kaum LGBTQ gereja dapat bekerjasama dengan para psikolog, psikiater, sehingga pelayanan gereja bersifat komprehensif.

    Gereja perlu membuka pintu lebar-lebar bagi kaum LGBTQ untuk mendapatkan sentuhan kasih Kristus melalui pelayanan pendampingan pastoral yang ditunjukkan oleh para pelayan Tuhan dan warga gereja.

    Gereja harus dapat menjawab kebutuhan yang terdalam dari pelaku LGBTQ, sehingga pendampingan pastoral bukan hanya berfokus menolong kepada gejolak seksual yang mereka alami.

    John Stott menjelaskan sebagaimana yang dikutip Herlianto:[21]

    “Pada jantung kehidupan homoseksual tersembunyi rasa kesepian, kelaparan manusiawi yang alami akan cinta kasih, suatu pencarian identitas, dan kerinduan akan kelengkapan.
    Jika orang-orang homoseksual tidak menemukan ini dalam lingkungan “keluarga gerejawi” lokal, apakah masih ada relevansinya nama itu untuk gereja? Alternatifnya bukanlah antara hubungan fisik persetubuhan homoseksual yang hangat dan kehidupan menyendiri yang dingin dan pahit getir.
    Masih ada pilihan ketiga, yakni suatu lingkungan yang diresapi oleh kasih, pengertian dan pengayoman."

    Hal inilah yang perlu dijawab oleh gereja melalui komunitas-komunitas untuk menolong kaum LGBTQ. Bila ada aktivis LGBTQ yang telah mengalami pembaharuan, merekalah yang paling tepat diajak untuk menjadi promotor dalam komunitas ini; tetap dalam bimbingan gereja.

  9. Seluruh gereja-gereja di Indonesia yang masih mengakui Alkitab tidak mungkin salah (inerrancy) dan memiliki otoritas tertinggi, perlu berhati-hati, karena saat ini ada 25 provinsi di Indonesia telah memiliki organisasi LGBTQ yang terus berusaha dengan berbagai upaya agar LGBTQ dapat diterima secara legal.
  10. Gereja-gereja di Indonesia juga bukan sesuatu yang tidak mungkin disusupi paham agar membenarkan LGBTQ sebagai gaya hidup yang normatif. Ditambah lagi adanya ahli-ahli teologia yang dididik di dunia barat dalam lingkungan teologia liberal yang juga menganut pandangan moralitas baru umumnya menyoroti perilaku homoseksual hanya dari segi hubungan kemanusiaan dan toleransi saja.[22]

Pilar-pilar pernikahan Kristiani

Pernikahan adalah produk Allah dan bukan produk kebudayaan ataupun hasil keinginan manusia. Allah-lah yang menciptakan pernikahan dan keluarga sebagai lembaga yang tertua dalam dunia ini, sebelum ada lembaga lain seperti gereja, kerajaan dan satu bangsa.

Karena Allah yang menciptakan pernikahan, maka Ia juga yang menetapkan hukum-hukum dalam pernikahan agar lembaga pernikahan tersebut dapat menjadi langgeng sesuai dengan tujuan-Nya. Bila hukum-hukum Allah tentang keluarga diabaikan, maka tidak heran pernikahan dan keluarga akan hancur, bahkan kepada sendi moralitas suatu bangsa/negara.

Inti dari masyarakat adalah keluarga, dan inti dari keluarga adalah suami-istri, yaitu pernikahan satu laki-laki dan satu perempuan. Bila keluarga hancur maka akan berdampak kepada lembaga-lembaga lain termasuk merusak satu bangsa.

Secara singkat, lembaga pernikahan melambangkan dasar dari tatanan sosial manusia itu sendiri. Semua yang bernilai berdiri atas dasar itu. Lembaga pemerintahan, keyakinan agama, dan kesejahteraan anak-anak semua bergantung pada stabilitasnya. Ketika lembaga pernikahan dilemahkan atau dirusak, keseluruhan bangunan di atasnya goyah. Itulah tepatnya yang sudah terjadi selama tiga puluh lima tahun terakhir, di mana kaum feminis yang radikal, pembuat undang-undang yang liberal, dan orang yang suka mengambil keuntungan dalam industri hiburan merusak stabilitas pernikahan. Banyak dari masalah-masalah sosial kita yang menekan dapat ditelusuri hingga ke sumber ini.[23]

Ada beberapa hukum yang Allah tetapkan sejak semula mengenai pernikahan. Hukum tersebut dalam GBI Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta, dikenal dengan nama Tujuh Pilar Pernikahan:[24]

  1. Pilar Pertama:
  2. Pernikahan yang Allah tetapkan adalah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan; di mana jenis kelamin laki-laki dan perempuan itu tetap sejak lahir.

    Prinsip ini menolak dosa homoseksual dan lesbian.

    Pernikahan yang Allah ciptakan adalah yang heteroseksual bukan homoseksual. (Kejadian 1:27-28) Prinsip ini dapat dikatakan sebagai pilar pertama atau hukum yang pertama dalam pernikahan.

    Setiap kali Allah menciptakan suatu lembaga, Ia selalu memberikan aturan dan hukum-hukum yang harus diperhatikan dan dilakukan. Bandingkan dengan hukum moral, sosial dan seremonial yang Allah berikan bagi bangsa Israel dalam Keluaran 20-30.

    Allah menciptakan Adam sebagai laki-laki dan Hawa sebagai perempuan merupakan kedaulatan Allah yang tidak dapat diganggu gugat. Menolak gender yang Allah berikan berarti menolak sang pencipta yakni Allah sendiri. Tindakan transgender merupakan satu tindakan yang melanggar dan menolak keputusan Allah. Saat seseorang lahir, bukan atas pilihannya menjadi laki-laki atau perempuan, tetapi atas penentuan Allah. Bila terjadi orientasi seksual berbeda dengan gender yang dibawa lahir, maka sama halnya dengan kecenderungan manusia berdosa akan tindakan-tindakan lain yang melawan hukum Allah; tidak dapat dibenarkan tetapi justru harus dikendalikan dan di arahkan kepada yang benar.

    Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan, termasuk penyimpangan orientasi seksual. Namun Alkitab mencatat tidak ada dosa yang tidak dapat diampuni oleh Allah (Yesaya 1:18; 1 Yohanes 1:9).

    Semua jenis kejahatan dan dosa dapat diampuni. Anugerah Allah tetap terbuka bagi semua orang berdosa, termasuk aktivis pengurus LGBT, selama mereka mau datang dan membuka hati kepada Tuhan Yesus.

  3. Pilar Kedua:
  4. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, dengan hakekat ataupun dengan eksistensi yang sama.

    Prinsip ini menolak diskriminasi gender.

    Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan, diciptakan-Nya mereka. (Kejadian 1:27 TB2)

    Laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan, dan perempuan tidak lebih rendah dengan laki-laki. Fungsi laki-laki dan perempuan-lah yang berbeda dalam pernikahan, namun hakekat dan eksistensinya adalah sama. Equality in being but different in function.

    Laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah. Apakah yang dimaksud dengan gambar Allah? Istilah gambar pertama kali ditemui dalam Kejadian 1:26.

    Istilah “gambar” dalam Kejadian 1:26 adalah terjemahan dari bahasa Ibrani TSELEM, dalam terjemahan Yunani (LXX) diterjemahkan EIKON dan dalam terjemahan Latin Vulgata IMAGO.

    Istilah “rupa” terjemahan dari bahasa Ibrani DEMUTH yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (LXX) HOMOIOSIS dan ke dalam bahasa Latin Vulgata SIMILITUDO.

    Laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah menjelaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam kondisi yang sama, derajat yang sama, kualitas yang sama dan kemampuan yang sama (bandingkan dengan Galatia 3:26-28).

  5. Pilar Ketiga:
  6. Keintiman seksual hanya boleh ada dalam pernikahan yang sah.

    Prinsip ini menolak dosa percabulan.

    Kehidupan dunia saat ini cenderung menganut pola hidup permisif, yang serba menggampangkan dan cenderung memperbolehkan segala hal yang tidak benar, termasuk dalam hal seks. Kecenderungan orang untuk menganut “free sex” semakin menjadi-jadi di dunia ini. Free sex saat ini dipandang sebagai betul-betul bebas mengekspresikan apa yang diingini, termasuk bebas untuk menikah dengan sesama jenis, juga bebas memilih orientasi seks yang sesuai dengan apa yang dirasakan, bukan sesuai dengan gender yang dimiliki.

    Hubungan seks di luar pernikahan menjadi sesuatu yang biasa di banyak kalangan dalam dunia ini. Memburu kenikmatan dan kesenangan sesaat tanpa moral merupakan ciri masyarakat hedonistik pada era postmodern ini.

    Tentunya gelombang yang besar ini merupakan ancaman bagi gereja Tuhan. Hal ini harus disikapi oleh gereja dengan memberikan edukasi yang lebih intens memberikan pembelajaran tentang keluarga kepada jemaat Tuhan.

    Alkitab menjelaskan bahwa dosa percabulan seksual (Markus 7:21; Roma 1:24-27; 1 Korintus 6:9) apapun bentuknya akan mempermalukan gambaran Tuhan di dalam manusia. Tuhan memperingatkan bahwa Ia akan menghancurkan siapapun orang atau masyarakat yang mengizinkan dosa tersebut (Imamat 18:24-29).

    Alkitab dengan jelas dan gamblang memberikan pengajaran bahwa seks yang dilakukan di luar pernikahan adalah sikap bukan hanya tidak menghormati Tuhan tetapi langsung melawan ketetapan-Nya. Karena firman-Nya dengan jelas mengatakan: Seorang laki-laki hanya boleh bersatu dengan istrinya demikian juga sebaliknya.

    Sebab itu, seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. (Kejadian 2:24; 1 Korintus 7:1-5) Perhatikan pula Kejadian 4:1; 1 Samuel 1:19-20.

    Prinsip pernikahan yang Allah tetapkan hanya antara seorang laki-laki dengan istrinya. Apapun alasannya di luar ketetapan Allah di atas akan mendapat hukuman.

    Demikian juga orang yang menghampiri isteri sesamanya; tak seorang pun yang menjamahnya luput dari hukuman. (Amsal 6:29 TB2)
  7. Pilar keempat:
  8. Pernikahan itu bersifat kekal selama hidup, yang tidak dapat dibatalkan oleh pihak manapun juga.

    Prinsip ini menolak perceraian dengan dalih apapun, kecuali kematian.

    Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. (Matius 19:6 TB2, bdk. Maleakhi 2:16)

    Allah membenci perceraian, dan mereka yang bercerai di hadapan Allah dipandang sebagai pengkhianat. Semua Firman Tuhan yang berhubungan dengan perceraian terjadi karena kekerasan hati. Kata Yesus kepada mereka:

    Karena kekerasan hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. (Matius 19:8 TB2)

    Allah tidak pernah melembagakan perceraian tetapi menoleransikannya dalam pandangan ketidaksempurnaan manusia yang telah jatuh dalam dosa. Tuhan Yesus sendiri dengan tegas mengajar:

    ... Siapa saja yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia berzina terhadap istrinya itu. Jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berzinah. (Markus 10:11-12 TB2)

    Yesus berulang kali menyampaikan pengajaran tentang larangan untuk bercerai, bahkan mereka yang menikahi orang yang diceraikan, diperhitungkan sebagai perzinahan.

    Setiap orang yang menceraikan istrinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berzina. Siapa saja yang kawin dengan perempuan yang sudah cerai dari suaminya, ia berzina. (Lukas 16:18 TB2)

    Manusia yang telah jatuh dalam dosa, dikuasai oleh berbagai nafsu kedagingan yang bertentangan dengan kehendak Allah. (Galatia 5:19-21)

    Karena dosa, dunia bukan saja menjadi buruk, tetapi juga menghadirkan penyakit dan kerusakan orientasi seksual manusia. Oleh karena itu, ketertarikan seseorang kepada sesama jenisnya adalah akibat dosa, bukanlah karena rancangan Allah.

    Dosa ini adalah salah satu yang disebut Paulus:[25]

    … sebab istri-istri mereka mengganti persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga laki-laki meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan perempuan … sehingga mereka berbuat mesum, laki-laki dengan laki-laki… (Roma 1:26-27)

    Alkitab dengan jelas baik memberikan arahan yang kongkrit tentang larangan untuk menikah dengan sesama jenis. (Kejadian 1:27-28; 2:18-25; 19:4-5; Imamat 18:22; 20:13; Markus 10:6-8; Ibrani 13:4) Tegasnya penyimpangan orientasi seksual merupakan akibat dosa.

  9. Pilar kelima:
  10. Suami-istri harus sama-sama mengasihi Tuhan Yesus.

    Prinsip ini menolak dosa pernikahan yang berbeda agama/keyakinan.

    Allah memberikan Hawa kepada Adam sebagai pola pernikahan yang memberikan makna kedua-duanya berasal dari Allah, sama-sama mengasihi Allah. Prinsip suami istri mengasihi Allah merupakan prinsip utama sehingga suami istri dapat memiliki visi yang sama.

    Alkitab memberikan contoh bagaimana Ahab menikah dengan Izebel, putri Etbaal raja orang Sidon, sehingga ia pergi beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya. (1 Raja-raja 16:31) Pengaruh pasangan hidup dalam pernikahan sangatlah menentukan.

    Demikian juga dengan Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing disamping anak Firaun. Ia mencintai banyak perempuan dari Moab, Amon, Edom, Sidon dan Het. Salomo mempunyai tujuh ratus istri dan tiga ratus gundik. Istri-istrinya itu menarik hatinya dari Tuhan, mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak lagi dengan sepenuh hati beribadah kepada Tuhan (1 Raja-raja 18:1-12). Allah melarang orang Israel menikah dengan orang-orang Kanani bukan karena perbedaan bangsa, karena Ia mengasihi semua bangsa. Tetapi karena orang Kanani tidak mengenal Allah Abraham, Ishak dan Yakub tetapi mereka menyembah berhala.

    Janganlah juga engkau kawin-mawin dengan mereka; Anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, atau anak perempuan mereka jangan kau ambil bagi anakmu laki-laki. Sebab, mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari-Ku, sehingga mereka beribadah kepada ilah-ilah lain. Lalu murka TUHAN akan menyala-nyala terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera. (Ulangan 7:3-4 TB2)

    Ketika bangsa Israel kembali dari pembuangan, mereka berulang-ulang diingatkan bahwa menikah dengan perempuan asing bertentangan dengan hukum Tuhan. Ezra dan Nehemia mengingatkan bangsa Israel akan hal ini (Ezra 10; Nehemia 10:30;13:23-28). Bahkan dalam Perjanjian Baru jemaat di Korintus diingatkan untuk tidak menikah dengan mereka yang tidak mengenal dan beribadah kepada Allah.

    Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang tak percaya. Sebab, persamaan apa yang terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimana terang dapat bersatu dengan gelap? (2 Korintus 6:14 TB2)
  11. Pilar keenam:
  12. Pernikahan yang Allah tetapkan ialah pernikahan seorang perempuan dengan seorang laki-laki.

    Prinsip ini menolak dosa poligami dan poliandri.

    Adam bukan menikah dengan dua, tiga, empat, atau banyak perempuan, tetapi hanya satu perempuan yakni Hawa. Demikian juga Hawa tidak dibawa Allah kepada dua, tiga, empat, atau banyak laki-laki, tetapi hanya kepada satu laki-laki yakni Adam.

    Artinya pernikahan yang Allah tetapkan sejak semula adalah pernikahan yang bersifat monogami, bukan poligami dan juga bukan poliandri. Seorang laki-laki hanya diperbolehkan menikah dengan seorang perempuan dan sebaliknya (Ulangan 17:17a; Maleakhi 2:15; 1 Timotius 3:2, 12; Titus 1:6).

    Allah memberkati mereka dan berfirman kepada mereka:… (Kejadian 1:28a)

    Kata ‘mereka’ dalam ayat di atas merujuk kepada seorang Adam dan seorang Hawa. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Inilah pola Allah dalam menciptakan pernikahan pada awalnya. Tidak lama setelah Allah menetapkan pernikahan yang bersifat Monogami, segera dirusak oleh Lamekh dengan mengambil dua istri:

    Lamekh memperistri dua orang; yang satu namanya Ada, yang lain Zila. (Kejadian 4:19 TB2)

    Dalam pernikahan yang bersifat poligami dan poliandri tidak ada ikatan yang langgeng, tidak ada komitmen total sampai maut memisahkan. Menurut Walter Wangerin, Jr, ada empat karakteristik ikatan pernikahan:[26]

    1. It is total commitment to another.
    2. It is one’s timeless commitment to another. Time does not affect the contract.
    3. Faith. This is no christian whimsy, the proper, holy, and expected thing to say.
    4. Forgiveness. This is the single most significant tool we have for meeting and for healing the troubles which marriage shall surely breed between us.
  13. Pilar ketujuh:
  14. Harus pemberkatan lebih dahulu baru hidup sebagai suami-istri.

    Prinsip ini menolak dosa seks bebas, kawin percobaan, kumpul kebo dan sejenisnya.

    Allah memberkati mereka dan berfirman kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah. (Kejadian 1:28 TB2)

    Dalam Kejadian 1:28 ada prinsip penting yang perlu diperhatikan:

    • Pertama: Allah memberkati Adam dan Hawa
    • Kedua: Allah berfirman untuk beranak cucu dan bertambah banyak.
    • Ketiga: Allah berfirman untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya.
    • Keempat: Allah berfirman untuk menguasai ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.

    Allah terlebih dahulu memberkati baru kemudian Allah memerintahkan untuk beranak cucu. Artinya Allah harus terlebih dahulu memberkati pernikahan, baru seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat hidup bersama sebagai suami istri. Selama belum diberkati, Allah tidak mengizinkan untuk hidup bersama, karena Ia juga memerintahkan seorang laki-laki boleh bersatu dengan istrinya. (Kejadian 2:24)

LGBTQ bukan karena faktor genetika, tetapi karena faktor pola asuh keluarga yang tidak sehat, faktor psikososial, lingkungan, dan lain-lain yang tidak diresponi dengan benar. Karena itu LGBTQ dapat disembuhkan bila yang bersangkutan memiliki keterbukaan. Gereja harus menyadari bahwa kaum LGBTQ membutuhkan uluran dan sentuhan kasih Kristus.

Saat ini paham LGBTQ begitu cepat menyebar, sehingga gereja-gereja di Indonesia perlu membangun jaringan kerjasama untuk dapat membuat pelayanan yang terencana dan berkelanjutan untuk menolong dan menyelamatkan kaum LGBTQ. Hal ini perlu diawali dari satu gereja lokal atau satu sinode dengan menyediakan pelatihan-pelatihan konselor bahkan menyiapkan pelayan dengan pendidikan yang berkompetensi sehingga gereja-gereja memiliki tenaga konselor yang profesional.(JS)

Referensi

  1. ^ USAID-UNDP, Hidup sebagai LGBTdi Asia: Laporan Nasional Indonesia (Jakarta: USAID-UNDIP, 2014), hlm. 12
  2. ^ Ibid, hlm 27.
  3. ^ Ibid
  4. ^ Zusy Aryanti, Jurnal LGBT: Faktor Risiko Terjadinya LGBT Pada Anak dan Remaja (STAIN Jurai Siwo Metro, 2016) hlm. 47
  5. ^ Ibid
  6. ^ Jonathan Tan, Reborn My True Identity (Masterpiece Creative Publishing), hlm. 41-47.
  7. ^ 12 Penyebab LGBT Menurut Psikologi, http://dosenpsikologi.com/penyebab-lgbt-menurut-psikologi
  8. ^ J. Verkuyl, Etika Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), hlm. 139
  9. ^ Daniel Goleman, Social Intelligence (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015), hlm. 191
  10. ^ Andik Wijaya, Seminar LGBT, Divisi Pengajaran & Penggembalaan 2, GBI Jln.Gatot Subroto Jakarta, 13 Maret 2021
  11. ^ Gary R. Collins, Christian Counseling (Waco Texas: Word Books, 1983), p. 319-320
  12. ^ Sal Severe, Bagaimana Bersikap Pada Anak Agar Anak Bersikap Baik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 89
  13. ^ Sarapan Pagi Biblika Ministry, Pelacuran Bakti & Semburit Bakti, https://www.sarapanpagi.org, pelacuran-bakti-semburit
  14. ^ Timothy M. Pierce, Enthroned On Our Praise: An Old Testament Theology of Worship (Nashville: B&H Publishing Group), p.23
  15. ^ Pondsius Takaliuang, Antara Kuasa Gelap dan Kuasa Terang (Batu: Dept. Literatur YPPII, 2004
  16. ^ Dave Habelberg, Tafsiran Roma (Bandung: Yayasan kalam Hidup), hlm. 37-38
  17. ^ Opoku Onyinah , Spiritual Warfare (Cleveland, TN: CPT Press), p.54
  18. ^ USAID-UNDP, Op cit, hal. 12-15
  19. ^ Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia, Pasal 14: Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender (Jakarta: Departemen Teologi BPH GBI, 2018), hlm 131
  20. ^ Kemenag Sebut Angka Perceraian Mencapai 306.688 per Agustus 2020. Angka perceraian setiap tahun terus meningkat. Tahun 2015 – 394.246, Tahun 2016 – 401.717, Tahun 2017 – 4115.510, Tahun 2018 – 444,358, Tahun 2020/ Agustus 306.688 jumlah orang yang bercerai. https://www.merdeka.com
  21. ^ Herlianto, AIDS dan Perilaku Seksual (Bandung: Yayasan Kalam Hidup), hlm. 86-87
  22. ^ Ibid, hlm. 88
  23. ^ James Dobson, Marriage Fire (Jakarta: Immanuel, 2007), hlm. 8-9
  24. ^ Jaliaman Sinaga, Tujuh Pilar Pernikahan (Jakarta: Divisi Pengajaran GBI Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta, 2004), hlm. 13-14
  25. ^ Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia, Pasal 14: Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender, hlm 129
  26. ^ Walter Wangerin, Jr, As For Me And My House (Nashville: Thomas Nelson Publisher, 1990) p. 22-24

Gereja-gereja di Indonesia perlu membangun jaringan kerjasama untuk dapat membuat pelayanan yang terencana dan berkelanjutan untuk menolong dan menyelamatkan kaum LGBTQ. Hal ini perlu diawali dari satu gereja lokal atau satu sinode dengan menyediakan pelatihan-pelatihan konselor bahkan menyiapkan pelayan dengan pendidikan yang berkompetensi sehingga gereja-gereja memiliki tenaga konselor yang profesional.