Keterasingan dalam dunia digital
Renungan khusus | |
---|---|
Tanggal | 15 Mei 2022 |
Penulis | (GYA) |
Renungan khusus lainnya | |
| |
|
Di tahun 2022, penduduk bumi terhitung sebanyak 7,9 miliar orang dan hampir 84 persennya, sekitar 6,6 miliar orang telah menggunakan smartphone dalam kesehariannya. Terlepas dari seberapa mahir orang tersebut menggunakan gadget, tetap saja ada sejumlah besar manusia yang terpapar segala bentuk interaksi, informasi, hiburan, bahkan transaksi jual beli yang disajikan oleh layar kecil di depan matanya. Apalagi bagi anak muda yang sempat disebut sebagai ‘generasi nunduk,’ sebuah istilah yang digunakan masyarakat untuk mendeskripsikan sekelompok orang yang dominan menunduk saat berada di suatu tempat, karena sedang menggunakan smartphone atau gadget masing-masing.
‘Generasi nunduk’
Di bulan Februari 2018, Barna Research meneliti lebih dari 1.500 anak muda berusia 18-29 tahun yang menggunakan smartphone, dan hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa mereka menghabiskan 2.767 jam dalam setahun di depan layar gadget mereka.[1] Jika dihitung, hal ini berarti menghabiskan 115 hari dalam setahun hanya untuk menggunakan gadget!
Meskipun gadget juga dapat digunakan untuk mengakses konten-konten rohani, namun survey membuktikan bahwa hanya 5,5 persen dari waktu tersebut yang digunakan oleh anak muda untuk membaca atau menonton konten yang dapat mendukung pertumbuhan iman mereka.
Dr. David Schramm, seorang profesor dari Utah State University mengadakan sebuah penelitian mengenai dampak penggunaan teknologi terhadap kualitas sebuah hubungan.[2] Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan teknologi yang tinggi, dalam hal ini gadget, menyebabkan kerenggangan dalam waktu dan komunikasi sehingga berdampak negatif dalam kualitas hubungan seseorang.
Apabila pemakaian gadget dapat merenggangkan komunikasi dan hubungan antar manusia, apalagi hubungan antara manusia dengan Tuhan yang tidak dapat dilihat secara jasmani. Hal ini juga didukung oleh David Kinnaman dalam penelitiannya, bahwa hanya 1 dari 10 anak muda berusia 20-an yang masih berkomunikasi rutin dengan Tuhan dan memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan.[3]
Sekitar tahun 597 SM, Nebukadnezar, raja Babel mengangkut bangsa Israel, termasuk pemimpin-pemimpinnya dan menawan mereka di Babel selama 70 tahun. (2 Raja-raja 24:10-17)
Pada waktu itu, bangsa Israel mengalami masa pembuangan yang membuat mereka sangat tertekan. Mereka ditindas, dijadikan sebagai pekerja rodi, dan lebih parahnya lagi, mereka dipaksa untuk beradaptasi dengan adat istiadat orang Babel, artinya mereka harus meninggalkan kebiasaan dan kultur yang sudah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Dalam pembuangan Babel, orang Israel harus hidup di negeri asing, dengan allah asing, dan kultur yang asing bagi mereka.
‘Babel digital’
Jika dibandingkan dengan peristiwa Alkitab ini, dunia yang kita hidupi saat ini bagaikan sebuah ‘Babel Digital’, di mana kita harus hidup di negeri asing, yaitu dunia virtual di mana tidak ada lagi tatap muka, sentuhan secara langsung, minimnya komunikasi verbal dan didominasi komunikasi via pesan pendek atau chat; allah asing, di mana orang memiliki pujaan yang seakan mereka dewakan, dan mengabdikan hidup mereka untuk mengikuti allah asing; mulai dari seorang publik figur, sampai bisnis dan perdagangan online yang sedang marak; dan juga kultur asing, yaitu gaya hidup yang dipertontonkan di dunia digital dan dianggap paling pantas menjadi panutan bagi mereka yang menyaksikannya.
Inilah fakta dari dunia di mana anak-anak muda menghabiskan sepertiga dari waktunya dalam setahun untuk berkutat di dalamnya.
Lantas, ketika Babel digital saat ini tidak dapat lagi kita hindari, apakah artinya kita harus beradaptasi di negeri asing ini dengan mengikuti setiap allah asing dan kultur asing yang ada di dalamnya?
Banyak anak muda berpikir bahwa jika mereka tidak hidup mengikuti trend, gaya hidup yang saat ini sedang digandrungi oleh dunia, maka mereka akan dianggap ‘kuper,’ gak gaul, tidak relevan, dan dijauhi oleh teman-teman. Tentu saja hal ini bukan berarti anak Tuhan harus menjadi kuno, tidak up to date terhadap perkembangan zaman, dan tidak boleh mengikuti trend tertentu yang saat ini sedang marak.
Bagaimanapun juga, sama seperti bangsa Israel yang harus hidup di pengasingan Babel selama 70 tahun, kita juga tidak dapat lari dari Babel digital yang sedang kita hidupi saat ini. Namun, tentu saja anak-anak Tuhan tetap harus menunjukkan perbedaan dan justru bersinar di tengah pengasingan.
Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego adalah beberapa anak muda Yahudi yang hidup di pengasingan Babel namun justru menjadi orang-orang yang berpengaruh di sana.
‘Hidup di dalam, namun di luar’
Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, adalah orang yang hidup di dalam negeri Babel namun di luar sistem Babel, yaitu dalam sistem Kerajaan Allah. Ada hal-hal prinsip yang harus dilakukan anak Tuhan yang sedang hidup dalam pengasingan 'Babel Digital' agar tetap dapat menyaksikan Tuhan di tengah 'negeri asing' ini.
- Hidup dalam keintiman dengan Tuhan
- Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. (Mazmur 62:2-3)
- Tidak menyembah allah lain
- Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. (Keluaran 20:3)
- Tidak menajiskan diri
- “You are what you eat from your head down to your feet.”
- Apa yang kita baca dapat membangkitkan iman kita atau justru membuat kita hidup dalam kekuatiran.
- Apa yang kita dengar dapat memberikan kita semangat atau justru mematahkan pengharapan kita.
- Apa yang kita katakan dan yang kita lakukan dapat menginspirasi orang lain atau justru menyakiti mereka.
Di penelitian yang kita baca di atas, hanya 10 persen dari anak-anak muda di Babel digital ini yang masih berkomunikasi dengan Tuhan dan menjaga kehidupan intim dengan Tuhan. Itu sebabnya banyak anak muda mengalami anxiety attack (serangan kecemasan) ketika berhadapan dengan berbagai masalah dalam hidup.
Daniel 6:11 mencatat bahwa Daniel menjaga keintimannya dengan Allah dengan mempertahankan kebiasaannya berdoa kepada Allah tiga kali sehari. Hal ini membuat Daniel memiliki iman yang tangguh bahkan ketika ia dijatuhi hukuman dilempar ke gua singa.
Mazmur Daud menuliskan:
Hidup dalam keintiman dengan Tuhan berarti secara rutin berbicara, mendengarkan, dan meresponi suara Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kitab Daniel 3, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego dicampakkan ke perapian oleh raja Nebukadnezar karena mereka menolak untuk menyembah allah orang Babel.
Mungkin dalam konteks 'Babel Digital' ini, kita tidak secara harafiah menyembah patung atau allah lain.
Namun hal ini berbicara tentang sesuatu yang lebih kita puja, lebih kita utamakan, dahulukan, lebih kita sayangi, dan kita memberi waktu lebih untuk hal ini dibandingkan kepada Tuhan, yaitu kepada allah asing yang ditawarkan di 'Babel Digital'. Ingat, hukum Taurat yang pertama juga berbunyi:
Allah lain berarti idol, idola, pujaan, dan segala bentuk materi yang kita agungkan secara berlebihan.
Selain menjaga hubungan intim dengan Tuhan dan tidak menyembah raja, Daniel juga berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja. (Daniel 1:8)
Ada sebuah pepatah dalam bahasa Inggris yang berbunyi:
Arti dari pepatah ini adalah segala yang kita masukkan ke dalam tubuh kita akan memberikan pengaruh kepada fungsi keseluruhan tubuh kita. Tidak menajiskan diri bukan benar-benar berarti kita tidak boleh makan atau minum hal-hal tertentu, namun kita perlu menjaga apa yang kita “masukkan ke dalam tubuh kita.”
Intinya, apa yang kita lakukan dengan tubuh kita dapat berbicara tentang siapa Allah yang kita sembah.
Ketika Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego melakukan prinsip-prinsip kebenaran, Alkitab mencatat bahwa:
- Allah mengaruniakan kepada Daniel kasih dan sayang dari raja kepadanya. (Daniel 1:9)
- Mereka mendapat kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan Babel. (Daniel 1:9; 3:30; 6:29)
- Dan yang terpenting adalah nama Allahnya Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego dikenal, dan bahkan disembah di pengasingan Babel. (Daniel 3:28-29, 6:26-28)
Bukankah ini yang menjadi tugas kita yang hidup di era Pentakosta Ketiga ini, yaitu untuk tetap menuntaskan Amanat Agung, bahkan ketika kita hidup di pengasingan 'Babel Digital'.
Ketika Babel Digital tidak dapat lagi kita hindari, kita tetap dapat bersinar dan menyuarakan suara Tuhan asalkan kita hidup dalam keintiman dengan Tuhan, menaruh Tuhan sebagai yang utama, dan mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan kultur dunia. (GYA)
Referensi
- ^ Digital Babylon: Our Accelerated, Complex Culture. Barna Group. (2019, October 23). Retrieved March 17, 2022, from https://www.barna.com/research/digital-babylon/
- ^ University, U. S. (2019, November 18). New study shows impact of technology on relationships. Welcome To Utah State University. Retrieved March 18, 2022, from https://www.usu.edu/today/story/new-study-shows-impact-of-technology-on-relationships
- ^ Only 10% of Christian twentysomethings have Resilient Faith. Barna Group. (2019, September 24). Retrieved March 18, 2022, from https://www.barna.com/research/of-the-four-exile-groups-only-10-are-resilient-disciples/
Di tahun 2022, penduduk bumi terhitung sebanyak 7,9 miliar orang dan hampir 84 persennya, sekitar 6,6 miliar orang telah menggunakan smartphone dalam kesehariannya. Terlepas dari seberapa mahir orang tersebut menggunakan gadget, tetap saja ada sejumlah besar manusia yang terpapar segala bentuk interaksi, informasi, hiburan, bahkan transaksi jual beli yang disajikan oleh layar kecil di depan matanya.