Mengembangkan gaya hidup Kerajaan
Renungan khusus | |
---|---|
Tanggal | 30 April 2010 |
Sebelumnya |
|
Selanjutnya |
|
Alkitab mengatakan bahwa keadaan dunia pada hari-hari terakhir sebelum kedatangan Tuhan yang kedua kali ke bumi akan seperti pada zaman Nuh. Seperti apakah kehidupan pada zaman Nuh? Alkitab mengatakan, Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera (Matius 24:38).
Apakah makan dan minum salah? Bukankah manusia tidak dapat hidup kalau tidak makan dan minum? Makan dan minum dalam jumlah yang normal memang perlu untuk menjaga kesehatan tubuh. Tetapi makan dan minum dengan cara yang berlebihan justru dapat menimbulkan berbagai penyakit.
Bagaimana dengan kawin dan mengawinkan? Bukankah Tuhan sendiri yang menetapkan pernikahan? Tuhan yang menciptakan Hawa dan mempersatukannya dengan Adam dalam pernikahan yang kudus. Hubungan suami isteri seharusnya mencerminkan hubungan Kristus dengan jemaat. Tetapi perilaku seksual yang menyimpang akan menimbulkan banyak masalah dan bahkan bencana.
Dengan kata lain pada zaman Nuh kehidupan manusia di bumi sudah tidak normal lagi. Manusia memiliki perilaku yang berlebihan dalam hal apapun. Segala sesuatu dilakukan melampaui batas yang normal sehingga akhirnya menjadi ekses. Tidak ada pengendalian diri sama sekali.
Dalam Perjanjian Lama dikatakan, Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan (Kejadian 6:11). Banyak orang berpikir bahwa bumi menjadi rusak setelah air bah menutupi dan menenggelamkan segala makhluk yang hidup. Tetapi di sini dikatakan bahwa sebelum air bah turun bumi telah menjadi rusak di hadapan Tuhan. Apakah yang menyebabkan bumi menjadi rusak? KEKERASAN. Pada zaman ini kekerasan kembali memenuhi bumi dan bahkan terus meningkat.
Jadi sebenarnya bukan Tuhan yang merusak bumi, tetapi gaya hidup manusia yang penuh dengan kekerasan itulah yang menyebabkan bumi menjadi rusak. Tuhan justru menutup bumi dengan air bah untuk membersihkannya dari kekerasan manusia.
Biasanya kalau kita mengingat tentang zaman Nuh, maka yang kita ingat adalah bencananya yaitu air bah. Tetapi jangan lupa bahwa dalam ayat di atas juga disebut tentang Nuh masuk ke dalam bahtera. Di tengah bencana ternyata Tuhan menyediakan pengharapan bagi orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya. Nuh dan keluarganya dan berbagai jenis binatang terpelihara dengan aman dalam bahtera itu sehingga akhirnya bumi dapat dipenuhi kembali dengan kehidupan. Saya percaya bahwa fokus kita seharusnya tertuju kepada pengharapan yang Tuhan sediakan.
Nuh menerima kasih karunia yang berlimpah-limpah dari Tuhan karena dia memilih gaya hidup yang berbeda dari manusia lainnya di bumi. Sementara manusia memilih gaya hidup yang penuh dengan ekses dan kekerasan, maka Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah (Kejadian 6:9).
Karena Nuh memilih gaya hidup yang berkenan kepada Tuhan, maka Tuhan mencurahkan kasih karunia-Nya dengan luar biasa dan menyelamatkannya dari bencana yang menimpa bumi. Demikian juga yang akan menyelamatkan kita di akhir zaman ini dari berbagai krisis dan bencana yang terjadi adalah gaya hidup yang berkenan kepada Tuhan. Saya menyebut ini sebagai gaya hidup Kerajaan.
Seperti apakah gaya hidup Kerajaan itu?
Gaya hidup Kerajaan adalah gaya hidup yang terjadi di sorga. Yesus mengajar kita berdoa, Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga (Matius 6:10).
Seperti apakah gaya hidup di sorga itu?
Ketika Ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus (Wahyu 5:8).
Intim dengan Tuhan
Kedua puluh empat tua-tua tersungkur di hadapan Anak Domba yang duduk di takhta. Ini adalah gambaran dari kehidupan yang terus menerus intim dengan Tuhan. Takhta Anak Domba ada di pusat kehidupan kita. Yesus memerintah atas hidup kita, dan kita hidup untuk melaksanakan kehendak-Nya. Kita taat kepada setiap perintah maupun tuntunan yang Dia berikan kepada kita.
Nuh taat saja ketika Tuhan menyuruh dia untuk membuat bahtera dengan ukuran yang besar. Meskipun hal itu sungguh tidak masuk akal, tetapi ia melakukan juga perintah yang Tuhan berikan kepadanya. Ternyata ketaatannya itu menyelamatkan hidupnya. Demikian juga jika Tuhan memberikan tuntunan kepada kita, maka marilah dengan penuh kerendahan hati kita mentaatinya maka hidup kita akan diselamatkan.
Doa, pujian, dan penyembahan
Di tangan kedua puluh empat tua-tua terdapat cawan dan kecapi. Ini berbicara tentang doa, pujian dan penyembahan. Ini merupakan gaya hidup di sorga. Sebagian orang melakukan doa, pujian dan penyembahan hanya sebagai pelayanan dan belum mengembangkannya menjadi gaya hidup. Di luar pelayanan ketika tidak ada orang yang melihat sebenarnya hanya sedikit sekali doa, pujian dan penyembahan yang dinaikkan ke hadapan Tuhan.
Sebagian orang memilih untuk berdoa saja tetapi kurang dalam penyembahan karena berpikir bahwa mereka dipanggil untuk menjadi pendoa syafaat. Sebagian orang memilih untuk menyembah saja karena berpikir bahwa mereka dipanggil untuk melayani sebagai imam musik. Tetapi sebenarnya doa, pujian dan penyembahan tidak dapat dipisahkan. Cawan dan kecapi harus menjadi satu, barulah kita memperoleh dampak yang maksimal. Meskipun kita tidak berada di tengah suatu pelayanan, marilah kita terus menaikkan doa, pujian dan penyembahan dalam kehidupan pribadi kita karena kita mengasihi Tuhan dan mau hidup berkenan kepada-Nya.
Mempersembahkan korban
Dan setiap kali makhluk-makhluk itu mempersembahkan puji-pujian, dan hormat dan ucapan syukur kepada Dia, yang duduk di atas takhta itu dan yang hidup sampai selama-lamanya,
maka tersungkurlah kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu (Wahyu 4:9-10).
Di sorga para makhluk mempersembahkan puji-pujian, dan hormat dan ucapan syukur kepada Tuhan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Puji-pujian dan hormat dan ucapan syukur di sini disebut sebagai korban persembahan. Seringkali orang kelihatan memuji Tuhan dari luar tetapi tidak ada rasa hormat dan ucapan syukur dalam hatinya kepada Tuhan.
Satu kali Tuhan berkata kepada saya, Ada banyak mezbah-mezbah yang kosong. Tidak ada korban yang dipersembahkan di atasnya. Tuhan ingin mezbah yang ada korbannya. Barulah Dia akan menjawab dari sorga. Baru setelah Elia menaruh korban di atas mezbah maka Tuhan menjawab dengan api dan membakar habis seluruh korban yang telah disiram dengan air. Pada hari itu Tuhan melawat umat-Nya dan penyembahan Baal mulai dimusnahkan dari tengah-tengah kehidupan Israel.
Kedua puluh empat tua-tua tersungkur dan melemparkan mahkotanya di kaki Tuhan. Banyak orang tidak dapat tersungkur di hadapan Tuhan karena tidak mau meninggalkan takhtanya barang sekejap. Padahal Tuhan tidak menginginkan takhta kita tapi hati yang mengasihi Dia. Takhta itu juga Tuhan yang berikan. Banyak orang tidak rela melemparkan mahkotanya di kaki Tuhan.
Apa mahkota kita saat ini? Pelayanan kita? Harta kita? Kebanggaan kita?
Maukah kita mempersembahkan hidup kita sebagai korban yang harum di hadapan Tuhan? Tidak ada penyembahan yang benar tanpa disertai dengan korban persembahan. Kita tidak boleh datang dengan tangan hampa ke hadapan Tuhan.
Hidup dalam kesatuan
Kedua puluh empat tua-tua di sorga hidup dalam kerukunan dan kesatuan. Mengapa? Karena tidak ada seorangpun yang takhtanya berada di tengah. Hanya takhta Anak Domba yang berada di tengah. Hanya Yesus yang layak untuk disembah sebagai Raja. Kesatuan Tubuh Kristus hanya dapat terjadi jika kita saling mengasihi dan merendahkan diri. Jika kita maunya menonjol terus dan hanya mementingkan diri sendiri atau gereja sendiri, maka kesatuan tidak akan terjadi. Hanya Yesus satu-satunya yang layak ditinggikan.
Ketika Roh Kudus dicurahkan atas orang-orang percaya yang sedang berdoa di kamar loteng pada hari Pentakosta, maka semuanya dipenuhi dengan Roh Kudus. Kemudian hanya Petrus yang bangkit untuk berkhotbah. Apakah yang lain tidak bisa berkhotbah? Tentu saja bisa! Tetapi mereka sedang berada dalam kesatuan hati. Semua mendengar suara yang sama dari sorga. Mereka tahu bahwa saat itu Tuhan menuntun Petrus untuk berkhotbah. Yang lain mendukung dalam doa. Kesatuan terjadi jika kita saling mendukung bukan saling bersaing.
Marilah kita mengembangkan gaya hidup Kerajaan, gaya hidup seperti di sorga. Supaya ketika semua digoncangkan maka kita tidak tergoncangkan, karena mata kita terus tertuju kepada Tuhan. Seperti Nuh, Tuhan akan memakai kita untuk memulihkan bumi dan mempersiapkan jalan bagi datangnya Raja Kemuliaan.
Sumber
- JL (30 April 2010). GBI Jalan Gatot Subroto.