Yesus membawa pembaharuan terhadap budaya
Renungan khusus | |
---|---|
Tanggal | 10 September 2023 |
Penulis | Ir Twin Yoshua Raharjo Destyanto, ST, MSc, MTh |
Renungan khusus lainnya | |
| |
|
Kebudayaan merupakan bagian dari sistem nilai dalam suatu kehidupan sosial. Peradaban sekelompok masyarakat dapat tercermin dengan bagaimana mereka mengekspresikan budaya yang mereka anut. Bahkan tidak sedikit paradigma dan cara berpikir seseorang, terbentuk dari budaya yang ada. Menyangkut hal ini, sebagai Insan Pentakosta terkadang kita mendapat label terlalu modern dan cenderung meninggalkan kebudayaan kita, terutama dalam hal beribadah.
Kalangan Pentakosta yang terbentuk dalam lingkungan multi etnis, menjadikan gaya ibadah dan hidup mereka lebih universal dan kurang spesifik kepada suatu budaya atau suku tertentu.[1] Bahkan terdapat beberapa dari jemaat beraliran Pentakosta dan Karismatik yang menghindari acara-acara kebudayaan, karena dianggap mengganggu kerohanian atau takut jatuh dalam okultisme, seperti takhayul.
Lantas bagaimana kita sebagai orang Kristen harus menyikapi budaya dalam kehidupan kita? Bagaimana Yesus menunjukkan sikap-Nya terhadap kebudayaan yang ada pada saat itu? Melalui artikel ini, kita akan belajar setidaknya tiga hal yang Yesus ajarkan tentang hidup berbudaya.
Teladan Yesus dalam menyikapi kebudayaan
Teladan yang perlu kita contoh dalam menyikapi kebudayaan adalah Tuhan Yesus. Beberapa hal yang dapat kita teladani dari cara Yesus menyikapi budaya adalah sebagai berikut:
- Yesus tidak anti budaya
- Tuhan Yesus menggunakan budaya dalam menyampaikan Firman Tuhan
- Yesus menjadikan Firman Tuhan sebagai landasan budaya dan tradisi
Yesus dilahirkan ke dunia sebagai orang Yahudi dan dibesarkan dengan didikan Yahudi. Misalnya, ketika Yesus berumur 12 tahun Yesus pergi ke bait Allah sebagai salah satu ketaatan akan firman Tuhan. (Lukas 2:42-43)
Ia melakukan hal tersebut sebagai bagian dari melaksanakan kebudayaan Yahudi sebagai “son of the law”, yaitu kebiasaan orang Yahudi, di mana laki-laki yang telah berusia 12-13 tahun memiliki kewajiban untuk mengikuti kelas-kelas kerohanian di Sinagoga pada hari Sabat.
Ia membaca firman Tuhan dengan posisi berdiri, dan tidak duduk, seperti kebudayaan Yahudi saat membacakan nats firman Tuhan. (Lukas 4:16)
Sikap ini menunjukkan bahwa sebagai murid Yesus, kita tidak perlu menghindari suatu kebudayaan di mana kita dilahirkan atau ditempatkan. Di dalam budaya tersebut terdapat nilai-nilai yang bisa membangun karakter seseorang; sopan santun, dan bersikap di dalam masyarakat. Justru orang yang tidak berbudaya, dapat dianggap aneh dan sulit untuk diterima dalam suatu komunitas.
Ketika Ia mengajarkan perumpamaan, Yesus pun memanfaatkan latar kebudayaan Yahudi. Sebagai contoh, Yesus menggunakan konsep pernikahan Yahudi, ketika Ia mengemukakan perumpamaan tentang lima gadis bijak dan lima gadis bodoh, untuk mengajarkan suatu sikap berjaga-jaga, menanti kedatangan Tuhan.[2]
Menjadi pribadi yang mengerti budaya seperti itu, memudahkan Yesus untuk menyampaikan Kabar Baik kepada orang-orang Yahudi, dan menyatakan kehendak Allah atas para pendengar, dengan lebih relevan.
Hal ini serupa dengan yang diajarkan Rasul Paulus, bahwa ketika ia bersama dengan orang Yahudi, ia bersikap seperti orang Yahudi, di hadapan orang non-Yahudi, ia bersikap atau berbudaya seperti orang bukan Yahudi, sehingga Rasul Paulus diterima dalam misinya mengabarkan Injil. (1 Korintus 9:19-23)
Sikap yang adaptif ini serupa dengan kisah seorang jemaat di GBI Taiwan yang menghindari menusukkan sumpit di atas nasi yang ditaruh di dalam mangkuk ketika makan bersama, karena hal ini dianggap tidak sopan oleh warga setempat, sebab menyerupai hio di tempat sembahyang orang meninggal.
Sekalipun, jemaat ini tidak mengimani hal tersebut sebagai sesuatu yang mendatangkan kesialan, tetapi dengan menjaga sikap sesuai budaya, akan memudahkan orang tersebut diterima oleh komunitasnya, dan leluasa dalam mengabarkan Injil kepada mereka, alih-alih dianggap sebagai orang yang tidak tahu adat.
Hal serupa sering terjadi juga di kalangan orang Kristen ketika akan merayakan Imlek. Tidak jarang grup keluarga di sosial media diisi perdebatan tentang pro-kontra dalam cara merayakannya, ditinjau dari sisi Kristen dan kebudayaan.
Contoh ini menunjukkan kepada kita, betapa sebagai orang Kristen, kita perlu mempelajari, mengerti, dan menghargai budaya yang ada, tanpa mengorbankan iman percaya kita. Dengan mengikuti proses tersebut, maka iman kita tetap dapat dipraktikkan dengan benar, tetapi sekaligus ramah terhadap budaya yang dianut komunitas kita.
Selain memanfaatkan budaya, Yesus memperbarui budaya yang ada, agar sesuai dengan kehendak Allah. Yesus mengkritisi tradisi-tradisi yang disalahgunakan untuk mencari keuntungan bagi golongan tertentu. Misalnya, sistem penukaran uang di Bait Allah (Matius 21:12) dan konsep adat-istiadat tentang persembahan kepada Allah pada saat itu, yang mengesampingkan sikap hormat kepada orang tua. (Matius 5-6)
Yesus menegur orang Farisi dan ahli Taurat yang mengabaikan perintah Allah dengan mengajarkan adat istiadat buatan manusia, oleh karena kemunafikan mereka. Yesus menekankan bahwa motivasi dalam menjalankan suatu tradisi haruslah untuk memuliakan Tuhan dan bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Hal ini bukan berarti Yesus meniadakan hukum Taurat (Matius 5:17) atau suatu budaya, tetapi Yesus ingin memposisikan budaya itu dengan mendasarkannya pada kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia (Matius 22:37-39).
Ketika orang hendak melakukan atau menghindari suatu praktik berbudaya, maka perlu menakarnya dengan kedua hukum kasih tersebut. Melakukan kegiatan yang bercorakkan budaya tertentu perlu tetap selaras dengan firman Tuhan, dan sebaliknya ketika menghindari suatu ritual budaya, kita perlu mempertimbangkan cara dan penyampaiannya, agar tidak menyinggung mereka yang belum percaya, sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi mereka, dalam pekabaran Injil di kemudian hari.
Melalui uraian di atas, maka kita mengerti bahwa sebagai Insan Pentakosta, kita diajak untuk tidak anti terhadap kebudayaan yang ada, tetapi justru menjadi agen pembaharu dari budaya tersebut. Kita dapat mengarahkan segala praktik kebudayaan kita, untuk memuliakan Tuhan, dan menjangkau jiwa-jiwa. Mari bangkit untuk menjadi pemenang dengan menerangi budaya yang dianut oleh komunitas kita. Tuhan Yesus memberkati, maranatha. Amin (TY)
Referensi
- ^ Twin Yoshua R. Destyanto et al., “Pemulihan Pondok Daud: Landasan Teologis dan Pembaruan Pujian Penyembahan Pentakosta Masa Kini,” The Way Jurnal Teologi dan Kependidikan 8, no. 1 (April 30, 2022): 1–22, https://doi.org/10.54793/TEOLOGI-DAN-KEPENDIDIKAN.V8I1.80.
- ^ Rita Wahyu, “Perumpamaan Tentang Gadis yang Bijaksana dan yang Bodoh – Sarapan Pagi Biblika Ministry,” accessed December 28, 2022, https://www.sarapanpagi.org/21-perumpamaan-tentang-gadis-yg-bijaksana-dan-yg-bodoh-vt1584.html.
Kebudayaan merupakan bagian dari sistem nilai dalam suatu kehidupan sosial. Peradaban sekelompok masyarakat dapat tercermin dengan bagaimana mereka mengekspresikan budaya yang mereka anut.