Tiga aspek Kekristenan

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 12 November 2022 02.37 oleh Leo (bicara | kontrib) (Penggantian teks - "| nama=" menjadi "| name=")
Lompat ke: navigasi, cari
RK.jpgRK.jpg
Renungan khusus
Tanggal13 September 2020
PenulisPdt Dr Abraham B Lalamentik
Renungan khusus lainnya

“Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.” (1 Yohanes 2:6)

“Mereka tinggal bersama-sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.” (Kisah Para Rasul 11:26)

Sepanjang sejarah Kekristenan terjadi tensi yang sangat besar mengenai doktrin ketuhanan dan kemanusiaan Yesus Kristus. Tensi ini harus dijaga dengan seimbang karena memiliki implikasi yang sangat besar di dalam kehidupan sehari-hari orang Kristen.

Dari kedua ayat di atas kita dapat melihat bahwa pada mulanya seseorang disebut ‘Kristen’ bukan terutama karena ia menyetujui seperangkat kaidah iman tertentu, tetapi karena gaya hidup seorang murid yang jelas terlihat oleh sesama. Seorang murid adalah seseorang yang berguru kepada seseorang. Di sinilah implikasi dari Kristologi yang tepat.

Jika terlalu menekankan kepada ketuhanan Yesus, maka hampir tidak ada kesempatan bagi kita manusia biasa untuk meneladani gaya hidup seperti Kristus. Sampai saat ini ada aliran tertentu dalam Kekristenan yang menitikberatkan hal ini. Mereka mengajarkan bahwa kemanusiaan Kristus adalah unik dan tidak sama dengan hakikat kemanusiaan kita. Kita tidak akan mampu ‘mengikuti teladan’ Kristus. yang ditekankan hanyalah pemujaan kepada Kristus yang telah bangkit dan persekutuan di dalam tubuh-Nya.

1 Yohanes 2:6 dengan jelas berkata bahwa tuntutan pemuridan adalah wajib bagi setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang Kristen. Mari kita melihat tensi kedua aspek ini:

Hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh Tuhan Yesus

  1. Menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan dunia
  2. Panggilan untuk menjadi Juruselamat dunia adalah unik; hanya dapat disandang oleh Yesus Kristus, anak Daud, yang tubuh-Nya dikandung oleh Maria sebagai buah naungan Roh Kudus. Inilah syarat utama untuk menjadi Juruselamat dunia; darah-Nya yang tanpa dosa, sangat mahal sehingga sanggup menebus seluruh isi dunia.

    Ini adalah peranan unik Tuhan Yesus yang tidak dapat digantikan oleh siapapun. Itu sebabnya Ia disebut ‘Anak Tunggal Bapa yang diperanakkan’ (only begotten son). Kita yang percaya kepada karya penebusan Tuhan Yesus di kayu salib dijadikan anak-anak Allah ‘oleh iman’, tetapi Tuhan Yesus tetap memiliki posisi yang unik sebagai Anak Tunggal Bapa.

  3. Menjadi Kepala Gereja
  4. Kumpulan orang-orang percaya dari segala bangsa dan segala zaman secara korporat disebut Tubuh Kristus. Kristus adalah kepala dari tubuh itu. Pasca kenaikan-Nya, Ia menyerahkan kepemimpinan secara praktikal kepada murid-murid-Nya, secara khusus kepada mereka yang mengikuti panggilan untuk menjadi rasul-rasul. Posisi ini dipegang secara korporat sehingga tidak boleh ada seorang pun di muka bumi yang mempermasalahkan posisi Yesus sebagai kepala Gereja-Nya.

Hal-hal yang juga bisa dilakukan oleh orang percaya

Selain dari itu ada aspek-aspek di dalam kehidupan Tuhan Yesus yang dapat dan harus ditiru oleh mereka yang menyebut diri sebagai murid-Nya. Inilah ketiga aspek yang harus nyata di dalam kehidupan semua orang percaya:

  1. Aspek kasih
  2. Inilah yang harus terlihat jelas di dalam kehidupan semua orang percaya. Di dalam Yohanes 13:34-35 tertulis:

    “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”

    Yesus berkata bahwa dunia akan percaya kepada pemberitaan kita pada saat kita saling mengasihi satu sama lain. Di dalam kasih ini akan tercipta kesatuan di dalam tubuh Kristus. Saling mengasihi bukan berarti mentoleransi dan membiarkan kesalahan, sebaliknya dengan kasih kita mencari solusi yang terbaik yang membawa kebaikan bagi pribadi tersebut. Tuhan Yesus juga mengajarkan bahwa segitiga kasih ialah mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi, dan mengasihi sesama sebagaimana kita mengasihi diri sendiri.

    Manusia di dalam pemberontakannya kepada Tuhan merasa sanggup ‘mengasihi sesamanya’ dengan kekuatannya sendiri. Sejarah membuktikan bahwa setiap usaha untuk membangun kesatuan yang tidak melibatkan Tuhan di dalamnya tidak akan bertahan lama dan selalu diikuti dengan perpecahan, mulai dari unit terkecil, yaitu keluarga - sampai ke tingkat hubungan antar bangsa dalam pergaulan internasional.

    Itu sebabnya di dalam Perjanjian Baru rasul Yohanes mengajarkan bahwa ‘Allah itu kasih’. Allah tidak ‘memiliki’ kasih, Allah itulah kasih adanya (God does not have love, God is love). Itu sebabnya semua orang yang berusaha ‘mengasihi sesamanya’ tanpa melibatkan Allah akan gagal.

    Yesus menunjukkan prinsip ini di dalam pengorbanan-Nya di atas kayu salib.

    “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5:8)

    Tidak ada jaminan sama sekali bahwa manusia akan merespon secara positif kepada pernyataan kasih Allah melalui pengorbanan Yesus di atas kayu salib, namun kekuatan kasih Agape itulah yang membuat kita bertobat dan kembali kepada Tuhan. Dimensi kasih seperti inilah yang Tuhan Yesus minta untuk murid-murid-Nya nyatakan kepada dunia.

  3. Aspek kebenaran
  4. Tuhan Yesus berkali-kali menyatakan bahwa diri-Nya lah Kebenaran.

    “Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)

    Komitmen Tuhan Yesus untuk hidup dalam Kebenaran, yaitu:

    a. Kebenaran Moral
    Tuhan Yesus dicobai sebagaimana layaknya manusia, tetapi Dia sedikitpun tidak terpancing untuk melakukan apa yang melanggar kekudusan-Nya
    b. Kebenaran Epistemologikal
    Ia tidak pernah berbohong mengenai sifat dan esensi hakiki keberadaan-Nya, maupun berbohong mengenai rencana dan maksud tujuan-Nya datang ke dunia ini.

    Sebagai manusia, seringkali kita gagal di dalam mengejar kebenaran di dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Kita seringkali berbohong, melakukan hal-hal yang salah secara moral, dan juga tidak mencintai kebenaran sehingga kita juga mudah dibohongi dan percaya kepada hal-hal yang tidak 100% benar.

    Rasul Paulus juga kemudian di dalam surat-suratnya mendorong orang-orang percaya untuk tidak termakan oleh dongeng-dongeng nenek moyang dan ajaran-ajaran palsu sehingga mereka menyimpang dari iman yang murni. Komitmen Tuhan Yesus kepada kebenaran bahkan juga sampai kepada aspek seremonial, di mana Ia rela menerima baptisan dari Yohanes Pembaptis, meskipun pada hakikatnya Ia tidak memerlukan baptisan dari siapapun, tetapi Dia bersedia melakukannya “demi memenuhi semua kebenaran”.

    “Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.” Dan Yohanes pun menuruti-Nya.” (Matius 3:15)

    Sebagai orang Kristen kita harus berkomitmen seumur hidup kita untuk hidup dalam kebenaran; dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita.

  5. Aspek Kuasa
  6. Di dalam sejarah Gereja; khususnya di dalam sejarah doktrin Kristologi hal ini juga merupakan suatu titik perdebatan yang sengit. Dari mana sumber kuasa Tuhan Yesus untuk melakukan semua perbuatan ajaib yang dilakukan-Nya? Jika kita terlalu menekankan keilahian-Nya maka hilanglah harapan bagi orang percaya kebanyakan untuk melakukan apa yang Tuhan Yesus kerjakan.

    Hal ini sempat dipercayai oleh banyak aliran gereja, terutama di dalam abad pertengahan. Di sinilah juga keistimewaan pengertian kaum Pentakosta. Melalui komitmen yang tinggi kepada penerapan firman Tuhan, kita dapat melihat bahwa aspek kuasa ini diperuntukkan bagi semua orang percaya. (Markus 16:15-18; Kisah 1:8; Yohanes 5:20; Yohanes 14:12)

    Di dalam hal ini juga kita melihat pemisahan fase-fase dalam kehidupan Tuhan Yesus. Keempat penulis Injil berfokus terutama kepada 3,5 tahun kehidupan publik, pelayanan, dan karya Tuhan Yesus di kayu salib. Hanya Injil Lukas yang memberikan sedikit catatan mengenai masa kecil dan remaja Tuhan Yesus. (Lukas 2:51-52)

    Para sarjana Alkitab dari kalangan Injili dan Pentakosta percaya bahwa di dalam periode ini Tuhan Yesus sama sekali tidak melakukan mujizat dan perbuatan ajaib apapun. Beberapa tradisi Kristiani dari aliran lain; bahkan juga di dalam ajaran agama lain - percaya bahwa Tuhan Yesus pada masa kecilnya melakukan beberapa mujizat. Kaum Injili dan Pentakosta menolak interpretasi seperti ini meskipun kelihatannya memberikan penghormatan kepada Tuhan Yesus, sebab pengertian ini justru merusak struktur kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus.

    Rasul Paulus mengajarkan di dalam Filipi 2:6-7 bahwa Tuhan Yesus meskipun dalam rupa Allah, telah mengosongkan dirinya dan mengambil rupa seorang hamba. Jadi di dalam hal ini juga termasuk bergantung kepada Roh Kudus untuk memberdayakan-Nya melakukan kehendak Bapa di dalam mengerjakan mujizat-mujizat.

    Kerelaan Tuhan Yesus di dalam mengosongkan diri-Nya inilah yang menjadi template bagi kita orang-orang percaya. Kita pun harus senantiasa dipenuhi oleh Roh Kudus untuk bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar yang dikehendaki oleh Bapa.

Kesimpulan

Kristologi yang seimbang akan menjaga tensi yang tepat antara keunikan Tuhan Yesus yang peranan-Nya tidak dapat digantikan oleh siapapun, sementara mendorong setiap orang percaya untuk meneladani Tuhan Yesus di dalam ketiga aspek tersebut di dalam seluruh kehidupan mereka. (AL)

Sumber