Paradigma baru dalam marketplace

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 6 Oktober 2024 01.13 oleh Leo (bicara | kontrib) (Penggantian teks - "Rudy Limuria" menjadi "Rudi Limuria")
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal27 Februari 2022
PenulisPdp Rudi Limuria, MA, CFP
Renungan khusus lainnya

Sering kali kita mendengar filosofi di kalangan orang yang bekerja atau berbisnis: “Hari Senin sampai Sabtu kita hidup secara duniawi karena kita berbisnis dan mencari uang, hari Minggu baru kita hidup secara rohani dan jadi orang kudus karena beribadah dan melakukan kegiatan di gereja!”

Dengan ungkapan itu seakan-akan kerohanian tidak mungkin bisa dicampur atau disandingkan dengan masalah bisnis, sebab bagi kebanyakan orang yang belum memahami kebenaran, bisnis adalah upaya mengejar hal-hal sekuler seperti uang, karir, penghidupan, bahkan membangun jejaring dengan orang-orang yang belum mengenal Tuhan.

Pandangan dan pemahaman yang seperti ini mengakibatkan tidak sedikit orang yang panggilan hidupnya berkaitan dengan marketplace berpikir bahwa mereka tidak dapat mengambil bagian dalam Amanat Agung Tuhan Yesus. Lebih dari itu, ada yang beranggapan bahwa mereka adalah orang-orang masyarakat kelas dua dalam hal kerohanian, sekalipun mereka sudah menjadi orang Kristen.

Hal ini tentu tidak benar, sebab semua yang telah menjadi percaya dan dipenuhi Roh Kudus, baik yang bekerja di ladang Tuhan (full-timer gereja) maupun yang di marketplace (berkaitan dengan dunia usaha, baik itu di bidang perdagangan, seni, hiburan, keuangan, teknologi, informasi, pendidikan, politik dan lainnya) sama-sama memiliki tugas dan panggilan untuk menjadi saksi Kristus dan memenangkan jiwa di mana pun kita berada sebagaimana dinyatakan dalam Kisah Para Rasul 1:8.

“Dikotomi” bukanlah yang Tuhan inginkan

Prinsip pemisahan antara yang rohani dan yang sekuler dalam konteks marketplace ini sering kita kenal dengan istilah “dikotomi”. Pemahaman ini merupakan pemahaman yang salah dan sangat merugikan gereja Tuhan.[1]

Pemisahan ini membuat orang percaya mengotak-ngotakkan antara hari Minggu dengan hari lainnya, di mana hari Minggu adalah hari kudus dan kita hanya membicarakan hal-hal yang rohani, tetapi hari Senin sampai Sabtu kita membicarakan bisnis atau hal-hal yang sekuler. Dalam pemahaman dikotomi ada sebuah anggapan, jika kita masih menjadi seorang pengusaha dan masih tergiur untuk mengejar keuntungan/materi, jangan melayani atau jadi hamba Tuhan!

Tetapi menariknya, jika kita mencermati kejadian dalam Kisah Para Rasul, dituliskan di sana hanya satu dari empat puluh mukjizat luar biasa dari kuasa Roh Kudus terjadi di tempat religius, yaitu di Gerbang Indah Bait Allah (Kisah Para Rasul 3:1-11). Sedangkan keajaiban rohani lainnya terjadi di tempat-tempat publik. Keajaiban rohani tersebut dimungkinkan terjadi oleh orang-orang seperti Paulus, Priskila dan Akwila. Mereka adalah contoh klasik para pengusaha Kristen.[2]

Hal ini menandakan bahwa Tuhan juga ingin kehadiran-Nya dinyatakan oleh para pelaku bisnis dan ingin semua orang mengenal keselamatan. Sejak awal penciptaan, Tuhan menciptakan manusia segambar dengan Allah untuk menguasai dan mengelola Taman Eden (mandat penciptaan), sambil menikmati hubungan yang intim dengan Allah (Kejadian 1:26). Semua diciptakan baik adanya dan manusia diperintahkan untuk menjadi pengelola dan mengembangkan sumber-sumber daya yang diberikan Tuhan seperti bakat, kemampuan seni, pengetahuan, dana, sumber daya alam, dan lainnya (mandat budaya) dengan maksimal untuk mencapai tujuan Allah yaitu agar ciptaan-Nya bisa menyatakan siapa Allah sebenarnya dan memenuhi bumi dengan kemuliaan-Nya secara maksimal (Kejadian 2:15).

Namun akibat ketidaktaatan, manusia (Adam dan Hawa) melanggar perintah Tuhan dan berdosa, pekerjaan atau bisnis menjadi sulit, melelahkan dan penuh dengan intrik yang berlawanan dengan Firman Tuhan. Seharusnya pekerjaan atau bisnis itu penuh dengan sukacita, kudus dan menghasilkan karya besar untuk memberitakan kemasyhuran Tuhan.

Dari uraian di atas, kita bisa simpulkan bahwa pekerjaan (bahkan yang dianggap sekuler) pada awalnya adalah baik adanya, namun menjadi rusak akibat dosa. Puji Tuhan, karena kasih karunia-Nya, Tuhan Yesus mengembalikan semua untuk kemuliaan Bapa, hal itu Ia lakukan dengan mati dan bangkit kembali untuk menebus dunia serta segala isinya termasuk para pelaku bisnis yang menerima Yesus sebagai Juruselamatnya (Yohanes 3:16). Mereka telah dipindahkan dari gelap kepada terang (ekklesia) dan memiliki status yang berharga di hadapan Allah. Mereka yang berada di marketplace juga sama-sama menerima Amanat Agung untuk menjadi saksi Kristus dan membawa hadirat Tuhan ke tempat bisnis mereka. Mereka harus menggunakan sumber-sumber daya seperti: pengaruh, kantor, bisnis mereka untuk memberitakan kebenaran dengan pemberdayaan Roh Kudus kepada siapa saja yang berinteraksi dengan mereka. Hal ini sama berharganya seperti para pendeta atau hamba Tuhan sepenuh waktu yang memakai mimbar mereka untuk mengajar dan berkhotbah. Jadi DIKOTOMI bukanlah rencana dan kehendak Tuhan. Tidak ada standar ganda dalam kebenaran.

Paradigma baru dalam berbisnis

Selain untuk memenuhi biaya penghidupan kita, bisnis juga harus dilakukan dengan paradigma yang baru. Antara lain adalah:

  1. Bisnis harus menghadirkan hadirat Tuhan
  2. Pentakosta Ketiga sedang terjadi, kita tidak menunggu secara pasif dan menjalani kehidupan ala kadarnya, ‘business as usual’. Sebagai prajurit-prajurit Tuhan yang gagah perkasa yang memiliki DNA Restorasi Pondok Daud, kita yang diutus di marketplace harus meminta dan mengalami kepenuhan Roh Kudus serta kuasa pemberdayaan-Nya. Kepenuhan Roh Kudus tidak dimaksudkan hanya untuk hidup sukses, melainkan hidup yang dituntun oleh Roh, seperti yang terlihat dalam Kisah Para Rasul.

    Ketika dituntun oleh Roh, kita akan menjangkau tempat-tempat yang ‘sunyi’ atau ‘kering’.

    • ‘Sunyi’ karena tidak terdengar ada pujian dan pengagungan kepada Tuhan serta tidak adanya kebenaran Firman yang dinyatakan dan dihidupi.
    • ‘Kering’ karena tidak ada aliran Roh yang membangkitkan kehidupan di dalam Kristus, atau karena tidak ada hikmat Roh yang muncul dari orang-orang yang terlibat dalam mata rantai pekerjaan, usaha dan pelayanan.
    • Ke tempat-tempat seperti inilah kita semua akan dituntun oleh Roh Kudus. [3]

    Pada akhirnya Roh Kudus melalui kehidupan kita menyatakan hadirat Tuhan di marketplace. Dan ketika hadirat Tuhan hadir, maka akan terjadi kasih, sukacita, keadilan, penuaian jiwa, mukjizat, kesembuhan, dan kuasa gelap dipatahkan.

  3. Bisnis harus dikelola dengan paradigma Allah (biblikal)
  4. Ada perbedaan paradigma yang sangat menyolok antara bisnis yang duniawi dengan bisnis yang Ilahi (biblikal) terhadap aspek-aspek bisnisnya, seperti:
    • cara memperlakukan karyawan,
    • mendefinisikan tujuan bisnis,
    • membuat laporan keuangan kepada para stakeholder-nya,
    • membayar pajak, dll.

    Cara pandang orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus dan berbuah akan membuat perbedaan besar dalam perilaku berbisnisnya di mana nilai-nilai kasih, kebajikan dan keadilan sangatlah dijunjung tinggi. Memperoleh keuntungan sebagai insentif untuk sebuah bisnis memenangkan tantangan-tantangan yang sulit, tidak-lah salah. “Motivasi untuk mendapatkan keuntungan bagi seorang pengusaha sama halnya dengan dorongan untuk menang bagi seorang atlet”, asalkan menggunakan prinsip-prinsip Tuhan. [4]

    Berikut beberapa contoh perbedaan antara paradigma dunia dan paradigma Allah dalam bisnis:

    Paradigma DuniaParadigma Allah
    Tujuan Bisnis
    • Profit Maximization.
      Melakukan perolehan laba sebanyak-banyaknya untuk para pemiliknya dengan menghalalkan segala cara, termasuk tindakan yang tidak etis.
    • Memperoleh laba sebagai hasil dari penggunaan sumber daya secara efisien. (Kejadian 2:15)
    • Laba digunakan untuk menghidupi para stakeholder (pemangku kepentingan) agar pelayanan kepada masyarakat dan pemberitaan Injil tetap dapat dipertahankan. (1 Timotius 6:10; Amsal 13:11)
    • Melayani masyarakat melalui penyediaan produk atau jasa yang berkualitas sebagai misi panggilan dari Tuhan.
    Karyawan Sebagai Human Capital:

    Karyawan diperlakukan sebagai salah satu faktor produksi seperti mesin atau modal yang harus memberi hasil secara konsisten untuk mengembalikan investasi.

    Sebagai Partner Bisnis:

    Karyawan diberikan kesempatan untuk memiliki sebagian bisnis misalnya melalui ESOP (Employee Stock Ownership Program). (Kisah Para Rasul 4:32)

    Pajak Tax Evasion: Penghematan pajak dengan melanggar ketentuan-ketentuan perpajakan yang ada, atau dengan menyembunyikan fakta. Tax Planning: Penghematan pajak dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dengan menggunakan hikmat. (Matius 22:21)

Bisnis yang menjunjung nilai integritas, kinerjanya lebih unggul

Sebuah riset menunjukkan bahwa organisasi yang menjunjung tinggi nilai etika dapat memberikan dampak positif kepada para stakeholder-nya. Selain berkinerja lebih unggul, organisasi tersebut bisa lebih mudah untuk merekrut karyawan yang bagus, karyawannya merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih lama, lebih produktif, yang akhirnya membuat customer lebih loyal terhadap produk atau jasa perusahaan.

Dari 207 perusahaan bisnis yang dipelajari selama sebelas tahun, ternyata ditemukan 20 besar yang menduduki ranking teratas adalah perusahaan-perusahaan yang menekankan nilai Integritas. Mereka menghasilkan rata-rata laba 571 persen lebih tinggi, ROI (Return on Investment) 417 persen lebih tinggi, dan harga sahamnya mengalami kenaikan 363 persen.[5]

Pada akhirnya para pelaku usaha di marketplace adalah mulia di hadapan Tuhan dan memperoleh perkenanan dari Tuhan sepanjang melakukannya dengan menghadirkan hadirat Tuhan dan menggunakan paradigma baru dari Tuhan. Di samping itu bisnis bukan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, tetapi membentuk karakter kita, memuliakan Allah, dan menjadi sarana untuk menjangkau jiwa-jiwa dengan melalui pemberdayaan Roh Kudus. Jadi konsep bahwa seseorang bisa sukses dalam usaha bisnisnya dan sekaligus menjadi murid Yesus bukanlah hal yang mustahil, jika kita melakukan bisnis dengan menggunakan paradigma yang baru sebagai bentuk manifestasi dari Pentakosta Ketiga di marketplace. (RL)

Referensi

Sering kali kita mendengar filosofi di kalangan orang yang bekerja atau berbisnis: “Hari Senin sampai Sabtu kita hidup secara duniawi karena kita berbisnis dan mencari uang, hari Minggu baru kita hidup secara rohani dan jadi orang kudus karena beribadah dan melakukan kegiatan di gereja!” Dengan ungkapan itu seakan-akan kerohanian tidak mungkin bisa dicampur atau disandingkan dengan masalah bisnis, sebab bagi kebanyakan orang yang belum memahami kebenaran, bisnis adalah upaya mengejar hal-hal sekuler seperti uang, karir, penghidupan, bahkan membangun jejaring dengan orang-orang yang belum mengenal Tuhan.