Article: 20240623/RK: Perbedaan antara revisi
kTidak ada ringkasan suntingan |
k (upd) |
||
Baris 2: | Baris 2: | ||
| namespace= Article | | namespace= Article | ||
| pagename= 20240623/RK | | pagename= 20240623/RK | ||
| title= ''World-oriented or God-oriented culture'' | | title= ''World-oriented or God-oriented culture?'' | ||
| date= 2024-06-23 | | date= 2024-06-23 | ||
| name= Twin Yoshua | | name= Twin Yoshua |
Revisi terkini sejak 1 Juli 2024 08.15
Renungan khusus | |
---|---|
Tanggal | 23 Juni 2024 |
Penulis | Ir Twin Yoshua Raharjo Destyanto, ST, MSc, MTh |
Renungan khusus lainnya | |
| |
|
Kebiasaan dan perilaku yang terpola, dapat membentuk sebuah kebudayaan dalam suatu komunitas. Perkembangan kebudayaan ini pun tidak lepas dari tuntutan zaman, baik dari segi kebutuhan yang semakin beragam, maupun perkembangan teknologi, yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses, serta menyebarkan informasi dalam waktu yang instan. Tuntutan zaman inilah yang juga berdampak pada bagaimana masyarakat mengarahkan orientasinya dalam berperilaku atau berbudaya.
Dunia (“world”) saat ini memiliki standar-standar khusus, yang digunakan untuk melakukan justifikasi, bahwa seseorang dapat diterima atau tidak, dalam komunitas mereka. Sebagai contoh, salah satu kebudayaan baru yang muncul di kalangan anak muda adalah maraknya standar “good looking” yang saat ini sering disematkan sebagai salah satu syarat dalam circle pertemanan hingga lowongan pekerjaan. Lantas bagaimanakah kita sebagai orang percaya dan Insan Pentakosta merespons tantangan zaman tersebut.
Bagaimana sebaiknya kita mengorientasikan perilaku dan budaya kita ke depan? Melalui artikel ini, kita akan membahas bagaimana kebenaran Firman Tuhan menuntun kita untuk memiliki kebudayaan yang “God-oriented” dan relevan untuk diterapkan pada era saat ini.
- Merespons budaya FOMO (fear of missing out)
- Budaya cinta uang
- Budaya kompromi akan dosa seksual
Perkembangan teknologi yang membuat pertukaran informasi terjadi begitu cepat, memungkinkan terjadinya banjir informasi pada masyarakat.[1]
Kedua contoh ini, membuktikan bahwa FOMO merupakan budaya yang “world-oriented”, yaitu budaya yang dituntut oleh zaman ini, untuk dapat memenuhi kebutuhan ego manusia, agar dianggap up-to-date atau tidak ketinggalan zaman.
Manusia mengejar pengakuan ngetrend dari komunitasnya, untuk memenuhi kepuasan diri akan rasa takut tertinggal dari orang lain. Tentu, hal ini tidak sesuai firman Tuhan, sebab dapat mengarahkan kita kepada rasa dengki dan memicu sikap sombong.
Rasul Yakobus mengingatkan bahwa iri hati dan mementingkan diri sendiri dapat menjadi awal mula kekacauan dalam komunitas, dan memicu perbuatan jahat manusia (Yakobus 3:16). Firman Tuhan mengajarkan untuk kita dapat mencukupkan dengan apa yang ada pada kita (Ibrani 13:5),
Sebuah budaya yang God-oriented akan membuat kita cukup walau kita tidak mengikuti apa yang sedang dikerjakan orang lain karena tren. Sebaliknya, budaya ini akan mendorong rasa syukur atas apa yang Tuhan sudah berikan dan kerjakan.
Selain itu, sikap yang mudah sharing info pun, dapat ditangkal dengan budaya menguji segala sesuatu sesuai 1 Tesalonika 5:21. Budaya yang dituntun firman ini, memungkinkan kita sebagai orang percaya, tidak menjadi bagian dari penyebar hoaks, dengan merelakan dicap kudet, daripada cepat menyebar berita bohong karena enggan menguji informasi yang diterima, demi dianggap paling up to date.
Uang adalah salah satu kebutuhan umat manusia, termasuk orang percaya. Namun, jika tidak waspada, manusia akan jatuh kepada cinta uang. Manusia saat ini mudah mengukur kesuksesan orang lain dengan standar seberapa banyak harta yang dimiliki. Pertemanan didasarkan pada seberapa besar “cuan” atau benefit yang akan didapat jika berelasi dengan seseorang. Hubungan antar manusia menjadi sekedar transaksional dan tidak didasarkan kepada ketulusan.
Sebenarnya, hal ini sudah diperingatkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Timotius 3:1-2, bahwa di akhir zaman, manusia akan menjadi hamba uang, sehingga dunia menjadikan uang sebagai ukuran dalam budayanya. Akibatnya, kecintaan akan uang menjadi akar dari segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Manusia rela menjegal rekan kerja demi uang, keluarga tidak rukun karena perebutan harta warisan, hingga terjerat pinjol (pinjaman online) atau tertipu investasi bodong, bahkan sampai melakukan judi online demi mendapatkan uang yang banyak.
Yesus pun mengajak kita untuk berjaga-jaga dan waspada akan ketamakan, sebab hidup manusia tidak dapat bergantung kepada hartanya, sekalipun harta itu berlimpah jumlahnya (Lukas 12:15).
Sebaliknya, orientasi kita terhadap uang, harus didasarkan pemahaman bahwa kita adalah pengelola uang tersebut.[2] Tuhanlah pemilik harta yang dititipkan kepada kita. Sehingga, alih-alih kita bergantung kepada uang, hingga terlalu mencintainya, kita sebagai orang percaya, hendaknya terus bergantung kepada Allah yang adalah sumber berkat.
Salah satu penawar atau pencegah sikap cinta uang adalah karakter yang rela memberi. Kita perlu menyadari bahwa segala berkat yang Tuhan titipkan, terdiri dari roti untuk dimakan, dan benih untuk ditabur kembali (2 Korintus 9:10), sehingga tidak untuk dihabiskan semua.
Gaya hidup yang God-oriented akan menyadari bahwa berbagi dan memberi adalah suatu budaya Kerajaan Allah, yang tidak akan membuat orang percaya kekurangan. Justru, sikap murah hati akan menunjukkan bahwa orang percaya terpanggil untuk bangkit dan menjadi terang serta saluran berkat bagi dunia. Dengan jalan itu, dunia akan mengenal Kristus yang mengasihi mereka, melalui kemurahan hati anak-anak Tuhan.
Era saat ini juga dimarakkan dengan anggapan bahwa kebenaran dapat berlaku relatif, atau tidak mutlak, sehingga standar kebenaran antara satu dengan yang lain bisa berbeda. Budaya ini berpotensi untuk menimbulkan sikap berkompromi untuk melakukan perbuatan dosa. Dunia memiliki pasar yang membutuhkan paradigma yang abu-abu untuk dapat dijadikan landasan “kebenaran” dalam memuaskan keinginan daging.
Sebagai contoh, standar good looking untuk standar pertemanan, yang jika melampaui batas dapat menjadi dasar untuk membenarkan diskriminasi.
Fenomena friend with benefit (FWB), yaitu hubungan pertemanan yang diwarnai dengan aktivitas hubungan intim, layaknya suami-istri, yang banyak terjadi pada generasi muda saat ini. Fakta tersebut jelas menggerogoti nilai kebenaran dan kekudusan dalam berelasi. Terdapat beberapa podcast anak muda, yang dengan santainya membahas tentang aktivitas FWB mereka, tanpa adanya rasa takut atau sungkan, bahwa video itu akan disaksikan orang tua atau guru mereka.[3]
Firman Tuhan dalam 1 Petrus 1:15-16 jelas mengatakan bahwa kita perlu menjaga kekudusan sebab Allah kita kudus adanya. Budaya yang God-oriented, khususnya pada kalangan Generasi Yeremia, akan terus menjunjung prinsip kekudusan, sekalipun harus melawan arus di dalam pergaulan. Anak-anak muda yang memiliki orientasi untuk menyenangkan hati Tuhan, tidak akan kompromi kepada dosa.[4] Budaya inilah yang akan membentuk Generasi Yeremia menjadi teladan bagi generasi muda yang lain, dan akhirnya bergerak untuk memenangkan jiwa yang terhilang dalam budaya yang world-oriented.
Melalui pemaparan di atas, maka kita mengerti bahwa sebagai Insan Pentakosta, kita diajak untuk memiliki budaya yang God-oriented, yaitu menjadi orang percaya yang memiliki rasa cukup di dalam Tuhan, tidak cinta uang dan bergantung penuh kepada Allah, serta setia menjaga kekudusan dengan tidak kompromi terhadap dosa.
Budaya seperti ini, akan melawan arus dunia yang world-oriented, yang mungkin akan terasa sulit bagi kita. Namun, kesetiaan kita untuk menyangkal diri dan memikul salib dalam mengiring Yesus, akan menjadikan kita saksi-saksi Kristus yang kuat dan militan. Mari terus bangkit dan menjadi teranglah, agar Nama Tuhan dimuliakan di dalam kita. Tuhan Yesus memberkati, maranatha.(TY)
Referensi
- ^ Graf and Antoni, “Drowning in the Flood of Information: A Meta-Analysis on the Relation between Information Overload, Behavior, Experience, and Health and Moderating Factors.”
- ^ Utomo, “Tafsir Kejadian 2: 15 Sebagai Konstruksi Memahami Pelayanan Dan Tanggung Jawab Orang Percaya Terhadap Lingkungan.”
- ^ Destyanto, Kristyanto, and Kadarisman, “R-HEALS: A Doctrinal-Experiential Discipleship Model for Indonesian Youth in Taiwan in the Postmodern Era.”
- ^ Sartika and Ravena, “Liquid Discipleship Bagi Generasi Muda Bersdasarkan Ekklesiologi Cair Guna Penggenapan Pentakosta Ketiga.”
Kebiasaan dan perilaku yang terpola, dapat membentuk sebuah kebudayaan dalam suatu komunitas. Perkembangan kebudayaan ini pun tidak lepas dari tuntutan zaman, baik dari segi kebutuhan yang semakin beragam, maupun perkembangan teknologi, yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses, serta menyebarkan informasi dalam waktu yang instan.