Article: 20200928/RK: Perbedaan antara revisi

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
k (Leo memindahkan halaman Renungan khusus/2020-40 ke Article:20200928/RK)
k (upd)
Baris 1: Baris 1:
{{unified info | templatetype=renungankhusus
{{unified info | templatetype=renungankhusus
| namespace=Article
| pagename=20200928/RK
| judul = Dimensi yang baru dalam hal mengampuni
| judul = Dimensi yang baru dalam hal mengampuni
| tahun = 2020
| tahun = 2020

Revisi per 25 November 2020 08.02

RK.jpgRK.jpg
Renungan khusus
Tanggal04 Oktober 2020
PenulisPdm Budi Muljono, MTh
Renungan khusus lainnya

Keempat Injil dalam Alkitab mencatat peristiwa penyaliban yang dialami oleh Tuhan Yesus. Catatan-catatan yang tertulis dalam keempat Injil ini semuanya saling melengkapi satu dengan lainnya, sehingga pembaca Injil mendapatkan gambaran yang jelas mengenai peristiwa penyaliban Tuhan Yesus dalam rencana penyelamatan manusia. Tidak ada satu pun yang saling bertentangan satu sama lainnya.

Salah satu yang menarik adalah terlihat seolah-olah ada perbedaan antara Matius dan Lukas yang mencatat adanya perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh kedua penjahat yang disalibkan bersama-sama dengan Tuhan Yesus.

  • Dalam Matius 27:44 tercatat:
    “Bahkan penyamun-penyamun yang disalibkan bersama-sama dengan Dia mencela-Nya demikian juga.”
  • Sedangkan dalam Lukas 23:39-41 tercatat:
    “Seorang dari penjahat yang di gantung itu menghujat Dia, katanya: "Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!". Tetapi yang seorang menegor dia, katanya: "Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah."

Matius mencatat kedua penyamun yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus mencela Dia, sedangkan Lukas mencatat salah satu penjahat mencela sedangkan penjahat lainnya menyatakan hal yang sebaliknya. Secara sepintas lalu hal ini sepertinya berbeda dan bertentangan satu dengan yang lainnya. Dan bagi beberapa orang perbedaan ini membuat mereka menyatakan bahwa Alkitab salah.

Ketika kita mempelajarinya lebih dalam, maka kita mengerti bahwa baik Matius maupun Lukas tidak salah dalam mencatat peristiwa penyaliban Tuhan Yesus. Perbedaan ini terjadi karena kedua peristiwa itu memang adalah dua peristiwa dari timing yang berbeda.


Pada awalnya kedua penjahat tersebut memang mencela Yesus, tetapi kemudian terjadi perubahan; di mana salah satunya menyadari sesuatu hal dan akhirnya berubah dari mencela menjadi “membela” Yesus. Bahkan dalam ayat-ayat berikutnya, Lukas mencatat perubahan dan pertobatan salah satu penjahat tersebut dan pengakuannya akan Yesus sebagai Raja yang akhirnya membuat dia menerima janji keselamatan yang pasti.

Lukas 23:42-43,

“Lalu ia berkata: "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja." Kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus."

Point penting yang harus diperhatikan adalah apa yang membuat salah satu dari kedua penjahat itu mengalami perubahan dari mencela menjadi membela dan akhirnya mendapat keselamatan. Perubahan ini terjadi setelah dia mendengar Tuhan Yesus berkata:

"Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:33-44)

Perubahan itu terjadi ketika pengampunan dilepaskan Yesus justru di tengah penderitaan-Nya yang luar biasa di dalam proses penyaliban yang mengerikan itu.

Semua orang yang disalib karena perbuatannya yang tidak terampuni lagi secara hukum akan mengatakan perkataan-perkataan yang kasar dan jahat. Sumpah serapah, hujatan, makian kemarahan dan perkataan lain yang sangat tidak baik akan dikatakan oleh orang yang disalibkan. Karena salib adalah sebuah hukuman yang paling berat pada zaman itu dan penderitaan yang dialami bukan saja secara jasmani, tetapi juga secara jiwani.

  • Secara fisik, penderitaan yang dialami oleh Tuhan Yesus jauh lebih berat daripada biasanya. Cambuk yang dipakai untuk menyiksa Tuhan Yesus, sebagai contoh, bukanlah cambuk yang biasa dipakai untuk menyesah orang sebelum disalibkan. Cambuk yang dipakai untuk menyesah Yesus ujungnya adalah benda-benda tajam seperti duri atau serpihan besi yang tajam sehingga ketika dicambukkan ke punggung Yesus bukan hanya membuat luka luar saja, tetapi sampai merobek kulit dan mencabik daging punggung-Nya, sehingga terjadi luka yang sangat dalam.
  • Belum lagi penderitaan secara jiwa karena pengkhianatan, ejekan, cemoohan, hinaan yang diterima-Nya.
  • Juga penderitaan secara rohani ketika Tuhan Yesus ditinggalkan sementara waktu oleh Bapa karena dosa seluruh umat manusia yang harus ditanggung-Nya.
    Matius 27:46,
    “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Dalam penderitaan yang sehebat itu, ternyata Yesus justru melepaskan perkataan pengampunan dan perkataan kasih kepada orang-orang yang melakukan penyesahan yang hebat atas diri-Nya. Hal inilah yang menjadikan salah satu penjahat tersebut yakin bahwa Yesus disalib bukan karena perbuatan-Nya.

Lukas 23:41,

“Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah."

Kemudian keluarlah ucapan pengakuan dan pertobatannya.

Keteladanan agung dari Tuhan Yesus mengajarkan bahwa pengampunan menghasilkan pertobatan yang membawa kepada keselamatan. Kuasa pengampunan ini pun akan terjadi ketika orang yang percaya kepada-Nya melakukan hal yang sama seperti yang Yesus lakukan yaitu ketika mengampuni orang lain yang bersalah.

Matius 6:14,

“Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga.”

Pengampunan yang kita berikan kepada orang lain akan menghasilkan pengampunan bagi diri kita sendiri bahkan bagi orang lain yang mengalami pengampunan itu baik langsung maupun tidak langsung. Pengampunan menghasilkan keselamatan, itulah dimensi baru mengenai pengampunan.

Pengampunan itu tidak mudah, tetapi tidak mustahil

Mengampuni memang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Manusia lebih mudah untuk membalas dan melampiaskan dendamnya daripada mengampuni. Itulah sebabnya, untuk bisa mengampuni, kita harus terlebih dahulu menerima pengampunan dan kasih Kristus yang mengandung kuasa untuk mengubah hati dan pikiran kita.

Mengampuni memang bukan syarat keselamatan, tetapi harus disadari bahwa mengampuni adalah bukti bahwa kita sudah menerima keselamatan dan sudah mengalami kelahiran baru.

2 Korintus 5:17 mencatat,

'“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”

Orang yang sudah ada di dalam Kristus adalah orang yang sudah mengalami pembaharuan melalui kasih dan kuasa-Nya. Artinya, sekalipun sulit, orang yang sudah ada dalam Kristus sudah mengalami perubahan dari manusia lama yang selalu ingin membalaskan dendamnya; menjadi manusia baru yang memiliki kuasa dalam hal melepaskan pengampunan.

Bahkan 1 Yohanes 3:14 berkata,

“Kita tahu, bahwa kita sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut.”

Ayat ini mengajarkan; tanda bahwa kita sudah pindah dari dalam maut ke dalam ‘hidup’ adalah ketika kita bisa mengasihi orang lain. Keselamatan dalam Kristus pasti membawa perubahan dalam kehidupan seseorang. Kasih dan pengampunan dari Kristus memampukan seseorang untuk mengampuni dan mengasihi orang lain.

Bagaimana bisa mengampuni?

Perlu kita ketahui bahwa pengampunan adalah sebuah keputusan dan bukanlah perasaan. Pengampunan adalah sebuah tindakan yang dimulai dari kehendak dan kemauan yang tidak tergantung dari perasaan. Kehendak dan kemauan yang dihasilkan oleh kuasa Roh Kudus dalam hati seorang percaya yang telah menerima pengampunan dan keselamatan dalam Kristus.

Mentaati Firman Tuhan lahir dari sebuah keputusan untuk mau melakukan kehendak Tuhan, dan tidak bergantung sama sekali dari perasaan. Seharusnya yang terjadi dalam hati seorang percaya adalah perasaan yang mengikuti keputusan; bukan keputusan yang mengikuti perasaan.

Beberapa alasan yang menghambat seseorang untuk bisa mengampuni adalah:

  • Kesalahannya terlalu besar
  • Menganggap bahwa luka hati karena perkataan atau tindakan seseorang terlalu besar dan tidak bisa disembuhkan, apalagi dilupakan.

    Sebagai orang percaya, kita mengerti bahwa Tuhan Yesus memiliki kuasa yang tidak terbatas. Hal ini berarti, Tuhan Yesus sanggup memulihkan dan menyembuhkan luka hati sedalam apapun. Ketika kita mengatakan bahwa luka yang dialami terlalu dalam berarti kita sedang membatasi kuasa Tuhan.

    Ingatlah, pikiran adalah medan peperangan rohani di mana si jahat membangun benteng keragu-raguan akan Firman Tuhan untuk mencegah seseorang mengalami kuasa Tuhan.

  • Waktu akan menyembuhkan
  • Menganggap seiring berjalannya waktu maka luka hati akan sembuh dengan sendirinya.

    Luka hati harus dibereskan di hadapan Tuhan melalui iman. Luka hati yang dibiarkan akan berkembang dan mengakar menjadi akar pahit yang menimbulkan kerusuhan dan mencemarkan banyak orang. (Ibrani 12:15)

  • Yang bersalah meminta maaf
  • Mau mengampuni asalkan yang bersangkutan meminta maaf.

    Apa yang terjadi seandainya orang yang bersalah kepada kita tidak mau atau tidak sempat minta maaf? Apakah kita tidak akan melepaskan pengampunan? Akhirnya kita sendiri yang menanggung semua konsekuensinya.

  • Pengampunan identik dengan toleransi
  • Menganggap jika diampuni, maka yang bersangkutan akan melakukan perbuatannya lagi.

    Sadarilah bahwa seseorang bisa berubah karena kuasa Tuhan. Jangankan untuk mengubah orang lain, kita sering mengalami kesulitan untuk mengubah diri sendiri. Ketika kita melepaskan pengampunan maka pada saat itu kita juga melepaskan kuasa Tuhan yang akan mengubah seseorang.

  • Menyerahkan kepada Tuhan
  • Alasan yang dipandang rohani, yaitu menyerahkannya kepada Tuhan.

    Kelihatannya seperti rohani, padahal maksudnya adalah ingin melihat pembalasan yang terjadi atas orang yang menyakiti kita.

    Amsal 20:22 berkata,

    “Janganlah engkau berkata: "Aku akan membalas kejahatan," nantikanlah TUHAN, Ia akan menyelamatkan engkau.”

    Alasan ini hanyalah untuk memuaskan dendam, bukan alasan rohani yang berkenan di hadapan Tuhan.

Jika kita mau mengampuni maka hal itu adalah sebuah keputusan untuk taat kepada Firman Tuhan dan menjadikan hati dan pikiran kita benar di hadapan Tuhan. Pengampunan membuat orang percaya mengalami kebebasan dan kemerdekaan dari beban dan ikatan dendam; dan akan mendatangkan perasaan damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus yang melimpah dalam hati.

Tuhan Yesus mengajar bahwa orang percaya adalah seumpama orang yang sudah dibebaskan dari hutang sepuluh ribu talenta dan diminta mengampuni saudaranya yang berhutang seratus dinar.

Sebagai perbandingan,

  1. Satu talenta diperkirakan adalah upah kerja selama lima belas tahun sedangkan satu dinar adalah upah untuk bekerja satu hari lamanya. (15X365X10.000): (1x100)=54.750.000:100=547.500:1.
  2. Ada juga yang memperkirakan 1 talenta = 6000 dinar artinya (6000X10.000):100= 60.000.000:100 = 600.000:1, sebuah perbedaan yang sangat besar nilainya.

Orang percaya sebenarnya sudah mengalami penebusan dan kebebasan dari dosa-dosanya yang sangat besar terhadap Tuhan, lalu diminta mengampuni kesalahan kecil sesamanya.

Di sini kita menemukan alasan untuk mengampuni, yaitu karena kita sendiri sudah menerima pengampunan yang jauh lebih besar atas dosa-dosa kita. Itu sebabnya kita harus mengampuni tanpa batas dan tanpa syarat.

Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.(Matius 18:21-22)

Amin.

Sumber

  • Pdm Budi Muljono, MTh (04 Oktober 2020). "Renungan Khusus". Warta Jemaat. GBI Jalan Gatot Subroto. Diakses pada 30 Oktober 2020.

    Keempat Injil dalam Alkitab mencatat peristiwa penyaliban yang dialami oleh Tuhan Yesus.