Ayo Baca Alkitab (26 Jan 2024)
Ayub menjawab: Siapa dapat mengerti kebesaran Allah?
Jawab Ayub: Siapa dapat mengerti kebesaran Allah?
Tetapi Ayub menjawab:
"Alangkah baiknya bantuanmu kepada yang tidak kuat,
dan pertolonganmu kepada lengan yang tidak berdaya!
Alangkah baiknya nasihatmu kepada orang yang tidak mempunyai hikmat,
dan pengertian yang kauajarkan dengan limpahnya!
Atas anjuran siapakah engkau mengucapkan perkataan-perkataan itu,
dan gagasan siapakah yang kaunyatakan?
Roh-roh di bawah menggeletar,
demikian juga air dan penghuninya.
Dunia orang mati terbuka di hadapan Allah,
tempat kebinasaanpun tidak ada tutupnya.
Allah membentangkan utara di atas kekosongan,
dan menggantungkan bumi pada kehampaan.
Ia membungkus air di dalam awan-Nya,
namun awan itu tidak robek.
Ia menutupi pemandangan takhta-Nya,
melingkupinya dengan awan-Nya.
Ia telah menarik garis pada permukaan air,
sampai ujung perbatasan antara terang dan gelap;
tiang-tiang langit bergoyang-goyang,
tercengang-cengang oleh hardik-Nya.
Ia telah meneduhkan laut dengan kuasa-Nya
dan meremukkan Rahab dengan kebijaksanaan-Nya.
Oleh nafas-Nya langit menjadi cerah,
tangan-Nya menembus ular yang tangkas.
Sesungguhnya, semuanya itu hanya ujung-ujung jalan-Nya;
betapa lembutnya bisikan yang kita dengar dari pada-Nya!
Siapa dapat memahami guntur kuasa-Nya?"
Tidak ada harapan bagi orang fasik
Maka Ayub melanjutkan uraiannya:
"Demi Allah yang hidup, yang tidak memberi keadilan kepadaku,
dan demi Yang Mahakuasa, yang memedihkan hatiku,
selama nafasku masih ada padaku,
dan roh Allah masih di dalam lubang hidungku,
maka bibirku sungguh-sungguh tidak akan mengucapkan kecurangan,
dan lidahku tidak akan melahirkan tipu daya.
Aku sama sekali tidak membenarkan kamu!
Sampai binasa aku tetap mempertahankan bahwa aku tidak bersalah.
Kebenaranku kupegang teguh dan tidak kulepaskan;
hatiku tidak mencela seharipun dari pada umurku.
Biarlah musuhku mengalami seperti orang fasik,
dan orang yang melawan aku seperti orang yang curang.
Karena apakah harapan orang durhaka,
kalau Allah menghabisinya, kalau Ia menuntut nyawanya?
Apakah Allah akan mendengar teriaknya,
jika kesesakan menimpa dia?
Dapatkah ia bersenang-senang karena Yang Mahakuasa
dan berseru kepada Allah setiap waktu?
Aku akan mengajari kamu tentang tangan Allah,
apa yang dimaksudkan oleh Yang Mahakuasa tidak akan kusembunyikan.
Sesungguhnya, kamu sekalian telah melihatnya sendiri;
mengapa kamu berpikir yang tidak-tidak?
Inilah bagian orang fasik yang ditentukan Allah,
dan milik pusaka orang-orang lalim yang mereka terima dari Yang Mahakuasa:
kalau anak-anaknya bertambah banyak mereka menjadi makanan pedang,
dan anak cucunya tidak mendapat cukup makan;
siapa yang luput dari padanya, akan turun ke kubur karena wabah,
dengan tidak ditangisi oleh janda mereka.
Jikalau ia menimbun uang seperti debu banyaknya,
dan menumpuk pakaian seperti tanah liat,
sekalipun ia yang menumpuknya, namun orang benar yang akan memakainya,
dan orang yang tidak bersalah yang akan membagi-bagi uang itu.
Ia mendirikan rumahnya seperti sarang laba-laba,
seperti gubuk yang dibuat penjaga.
Sebagai orang kaya ia membaringkan diri, tetapi tidak dapat ia mengulanginya:
ketika ia membuka matanya, maka tidak ada lagi semuanya itu.
Kedahsyatan mengejar dia seperti air bah,
pada malam hari ia diterbangkan badai;
angin timur mengangkatnya, lalu lenyaplah ia;
ia dilemparkannya dari tempatnya.
Dengan tak kenal belas kasihan Allah melempari dia,
dengan cepat ia harus melepaskan diri dari kuasa-Nya.
Oleh karena dia orang bertepuk tangan,
dan bersuit-suit karena dia dari tempat kediamannya."
Manusia tidak dapat menemukan hikmat
"Memang ada tempat orang menambang perak
dan tempat orang melimbang emas;
besi digali dari dalam tanah,
dan dari batu dilelehkan tembaga.
Orang menyudahi kegelapan,
dan batu diselidikinya sampai sedalam-dalamnya,
di dalam kekelaman dan kelam pekat.
Orang menggali tambang jauh dari tempat kediaman manusia,
mereka dilupakan oleh orang-orang yang berjalan di atas,
mereka melayang-layang jauh dari manusia.
Tanah yang menghasilkan pangan,
dibawahnya dibongkar-bangkir seperti oleh api.
Batunya adalah tempat menemukan lazurit
yang mengandung emas urai.
Jalan ke sana tidak dikenal seekor burung buaspun,
dan mata elang tidak melihatnya;
binatang yang ganas tidak menginjakkan kakinya di sana
dan singa tidak melangkah melaluinya.
Manusia melekatkan tangannya pada batu yang keras,
ia membongkar-bangkir gunung-gunung sampai pada akar-akarnya;
di dalam gunung batu ia menggali terowongan,
dan matanya melihat segala sesuatu yang berharga;
air sungai yang merembes dibendungnya,
dan apa yang tersembunyi dibawanya ke tempat terang.
Tetapi di mana hikmat dapat diperoleh,
di mana tempat akal budi?
Jalan ke sana tidak diketahui manusia,
dan tidak didapati di negeri orang hidup.
Kata samudera raya: Ia tidak terdapat di dalamku,
dan kata laut: Ia tidak ada padaku.
Untuk gantinya tidak dapat diberikan emas murni,
dan harganya tidak dapat ditimbang dengan perak.
Ia tidak dapat dinilai dengan emas Ofir,
ataupun dengan permata krisopras yang mahal atau dengan permata lazurit;
tidak dapat diimbangi oleh emas, atau kaca,
ataupun ditukar dengan permata dari emas tua.
Baik gewang, baik hablur, tidak terhitung lagi;
memiliki hikmat adalah lebih baik dari pada mutiara.
Permata krisolit Etiopia tidak dapat mengimbanginya,
ia tidak dapat dinilai dengan emas murni.
Hikmat itu, dari manakah datangnya,
atau akal budi, di manakah tempatnya?
Ia terlindung dari mata segala yang hidup,
bahkan tersembunyi bagi burung di udara.
Kebinasaan dan maut berkata:
Hanya desas-desusnya yang sampai ke telinga kami.
Allah mengetahui jalan ke sana,
Ia juga mengenal tempat kediamannya.
Karena Ia memandang sampai ke ujung-ujung bumi,
dan melihat segala sesuatu yang ada di kolong langit.
Ketika Ia menetapkan kekuatan angin,
dan mengatur banyaknya air,
ketika Ia membuat ketetapan bagi hujan,
dan jalan bagi kilat guruh,
ketika itulah Ia melihat hikmat, lalu memberitakannya,
menetapkannya, bahkan menyelidikinya;
tetapi kepada manusia Ia berfirman:
Sesungguhnya, takut akan Tuhan, itulah hikmat,
dan menjauhi kejahatan itulah akal budi."
Kemuliaan yang dahulu dan kesengsaraan yang sekarang
Maka Ayub melanjutkan uraiannya:
"Ah, kiranya aku seperti dalam bulan-bulan yang silam,
seperti pada hari-hari, ketika Allah melindungi aku,
ketika pelita-Nya bersinar di atas kepalaku,
dan di bawah terang-Nya aku berjalan dalam gelap;
seperti ketika aku mengalami masa remajaku,
ketika Allah bergaul karib dengan aku di dalam kemahku;
ketika Yang Mahakuasa masih beserta aku,
dan anak-anakku ada di sekelilingku;
ketika langkah-langkahku bermandikan dadih,
dan gunung batu mengalirkan sungai minyak di dekatku.
Apabila aku keluar ke pintu gerbang kota,
dan menyediakan tempat dudukku di tengah-tengah lapangan,
maka ketika aku kelihatan, mundurlah orang-orang muda
dan bangkitlah orang-orang yang sudah lanjut umurnya, lalu tinggal berdiri;
para pembesar berhenti bicara, dan menutup mulut mereka dengan tangan;
suara para pemuka membisu, dan lidah mereka melekat pada langit-langitnya;
apabila telinga mendengar tentang aku, maka aku disebut berbahagia;
dan apabila mata melihat, maka aku dipuji.
Karena aku menyelamatkan orang sengsara yang berteriak minta tolong,
juga anak piatu yang tidak ada penolongnya;
aku mendapat ucapan berkat dari orang yang nyaris binasa,
dan hati seorang janda kubuat bersukaria;
aku berpakaian kebenaran
dan keadilan menutupi aku seperti jubah dan serban;
aku menjadi mata bagi orang buta,
dan kaki bagi orang lumpuh;
aku menjadi bapa bagi orang miskin,
dan perkara orang yang tidak kukenal, kuselidiki.
Geraham orang curang kuremuk,
dan merebut mangsanya dari giginya.
Pikirku: Bersama-sama dengan sarangku aku akan binasa,
dan memperbanyak hari-hariku seperti burung feniks.
Akarku mencapai air,
dan embun bermalam di atas ranting-rantingku.
Kemuliaanku selalu baru padaku,
dan busurku kuat kembali di tanganku.
Kepadakulah orang mendengar sambil menanti,
dengan diam mereka mendengarkan nasihatku.
Sehabis bicaraku tiada seorangpun angkat bicara lagi,
dan perkataanku menetes ke atas mereka.
Orang menantikan aku seperti menantikan hujan,
dan menadahkan mulutnya seperti menadah hujan pada akhir musim.
Aku tersenyum kepada mereka, ketika mereka putus asa,
dan seri mukaku tidak dapat disuramkan mereka.
Aku menentukan jalan mereka dan duduk sebagai pemimpin;
aku bersemayam seperti raja di tengah-tengah rakyat,
seperti seorang yang menghibur mereka yang berkabung."