Mengapa Engkau meninggalkan aku?

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari

Di salib, Tuhan Yesus mengalami penderitaan fisik dan batin yang luar biasa dalam kesendirian. Biasanya, Dia selalu dikelilingi oleh murid-murid dan dekat dengan Bapa-Nya. Tapi kali ini, Dia merasa sendirian dan tidak ada yang dapat menolong-Nya.

Kita baru saja bersama-sama merayakan dua peristiwa yang luar biasa dalam iman kita: Jumat Agung (18 April 2025) dan Paskah (20 April 2025). Jumat Agung memperingati penderitaan Yesus—tahap demi tahap penyiksaan hingga penyaliban. Dan pada hari ketiga, Yesus bangkit, dan kita rayakan sebagai Paskah, lambang kemenangan atas maut.

Namun malam ini, saya tidak akan membahas kebangkitan-Nya, melainkan bagaimana saat Tuhan Yesus mengalami peristiwa penderitaan yang luar biasa dan tahap demi tahap hingga Dia disalibkan. Di salib itu, Tuhan Yesus mengalami penderitaan fisik dan batin yang luar biasa dalam kesendirian. Biasanya, Dia selalu dikelilingi oleh murid-murid dan dekat dengan Bapa-Nya. Tapi kali ini, Dia merasa sendirian dan tidak ada yang dapat menolong-Nya.

Di puncak penderitaan-Nya, kira-kira jam 3 sore, Yesus berseru:

“Eli, Eli, lama sabakhtani?”
“Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
(Matius 27:46)

Yesus bukan hanya disiksa secara fisik—pukulan, paku, darah. Tapi juga secara rohani dan jiwa: Ia merasa sendirian, bahkan Bapa yang biasa dekat, terasa jauh.

Dalam Mazmur 22:2, ada seruan yang sama oleh bangsa Israel di masa lampau.

Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh, dan tidak menolong aku.

Jadi Yesus mengungkapkan perasaan manusia juga waktu itu, kenapa Allah meninggalkan saya?

Saya punya seorang cucu. Saya dan omanya sangat dekat dengan cucu kami ini. Tapi ketika cucu saya melakukan kesalahan dan harus dihukum oleh orang tuanya, kami tidak bisa langsung menolong. Meskipun saya kasihan, saya harus tega melihatnya dihukum, karena itu bagian dari proses pendewasaannya. Hati saya sakit, tapi saya tahu itu perlu. Sementara Tuhan Yesus, bukan kesalahan diri-Nya sendiri yang ditanggung, tapi kesalahan seluruh manusia.

Begitu pula Bapa di Sorga terhadap Yesus. Hati-Nya hancur, tapi Ia diam. Karena Yesus sedang menanggung dosa manusia—bukan karena kesalahan-Nya sendiri, tetapi karena kita.

Mungkin kita juga sedang mengalami begitu banyak problem, baik dalam keluarga, pekerjaan, teman-teman, pelayanan. Kadang kita seolah merasa sendiri, kita mengalami cercaan, disalahartikan. Kita merasa kok sepertinya tidak ada yang menolong saya. Tapi kita ingat, Tuhan itu ada, Dia tidak pernah meninggalkan kita.

Amin.