Sembahyang: Sikap hati bukan bukan sekedar sikap tubuh

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari

Jika kita mendengar kata sembahyang maka dalam benak kita masing-masing secara otomatis akan membayangkan hal yang berbeda-beda tergantung dari latar belakang agama dan kepercayaan masing-masing kita. Namun demikian secara umum semuanya mengacu kepada sebuah tindakan, aktivitas atau ritual keagamaan.

Kata sembahyang berasal dari kata sembah dan yang (atau kata hyang dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali), yang artinya menyembah atau memuja yang menguasai alam semesta. Bagi kita orang percaya kata sembahyang berarti menyembah kepada TUHAN.

Gembala Jemaat Induk, Bapak Pdt Dr Ir Niko Njotorahardjo, menyampaikan bahwa orang yang berdoa belum tentu sembahyang, tetapi orang yang sembahyang sudah pasti berdoa. Artinya bisa saja doa yang disampaikan hanya sekedar ucapan atau permohonan yang diucapkan namun tidak bersumber dari hati yang menyembah Tuhan.

Dalam beberapa ritual keagamaan secara umum, sembahyang melibatkan aktivitas atau sikap tubuh seperti bersila, bersujud, melipat tangan dan mengangkat tangan sambil memegang dupa dan aktivitas lainnya. Demikian juga dalam kekristenan. Dalam sembahyang kita memiliki gerakan atau aktivitas yang menyertai seperti tersungkur, sujud menyembah, berlutut, mengangkat tangan, menari, melambaikan tangan dan lainnya. Hal ini tentu tidak salah, mengingat bahwa kita menyembah DIA secara utuh yakni roh, jiwa dan tubuh kita. Namun, yang perlu kita renungkan dan pahami bersama adalah bahwa sikap hati kita dalam sembahyang menjadi sangat penting lebih dari sikap tubuh kita. Orang yang memiliki sikap hati yang benar dalam sembahyang pasti akan menunjukkan sikap tubuh yang benar, namun sikap tubuh yang benar belum tentu menunjukkan sikap hati yang benar.

Sikap hati yang benar dalam sembahyang adalah merendahkan diri di hadapan Tuhan, mengakui kedaulatan Tuhan dalam hidup kita, menyadari bahwa Dia tidak dapat dibandingkan dan disandingkan dengan siapa pun. Sebagaimana juga yang kita pahami dalam salah satu makna dalet dalam abjad Ibrani, yakni merasa miskin dihadapan Tuhan, bahwa kita tidak berdaya tanpa Tuhan dan membutuhkan pertolongan dan keselamatan dari Tuhan.

Lukas 18:10-14,

"Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."

Siapa diantara kedua orang dari mereka yang sembahyang? Tentunya si pemungut cukai yang merendahkan dirinya, menyadari bahwa dirinya tidak layak, dan membutuhkan keselamatan. Sekalipun mungkin saja sebagai seorang penganut Farisi yang menjalankan aturan dan ajaran agama dengan ketat, menurut dirinya dia mengatakan yang sebenarnya dalam doa tersebut, namun sembahyang adalah soal sikap hati yang benar lebih daripada sekedar sikap tubuh yang benar. Amin. (DL)

Jika kita mendengar kata sembahyang maka dalam benak kita masing-masing secara otomatis akan membayangkan hal yang berbeda-beda tergantung dari latar belakang agama dan kepercayaan masing-masing kita.