Kesempatan emas di era postmodern

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal21 Januari 2024
PenulisPdt Chris Silitonga
Sebelumnya
Selanjutnya

Lalu mereka membawanya menghadap sidang Areopagus dan berkata, "Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang kauajarkan ini? Sebab, engkau memperdengarkan kepada kami hal-hal yang asing. Karena itu kami ingin tahu apa artinya semua itu.

Kisah Para Rasul 17:19-20 TB2

Kita sedang hidup di dalam suatu era yang disebut oleh para ahli sebagai era post-modern dan dipengaruhi kuat oleh pandangan postmodernism. Disadari atau tidak, pandangan postmodernism, sangat mempengaruhi cara pandang generasi muda saat ini termasuk bagaimana mereka memandang kehidupan spiritual. Ketika ditanyakan apakah postmodernism dan bagaimana pandangan tersebut berpengaruh pada kehidupan beragama dan spiritual, maka jawaban yang diberikan ChatGPT (artificial intelligent), adalah sebagai berikut:

Postmodernism adalah gerakan filosofis dan budaya yang muncul pada pertengahan abad ke-20, menantang gagasan tradisional tentang kebenaran, pengetahuan, dan otoritas. Dalam hal agama dan spiritualitas, postmodernism menawarkan pandangan beragam yang dicirikan oleh skeptisisme, pluralisme, dan penekanan pada pengalaman subyektif.[1]

Dari definisi tersebut kita mendapatkan bahwa postmodernism merupakan cara pandang dan berpikir (“filosofi”), juga merupakan gaya hidup (“budaya”) yang menantang atau mempertanyakan segala sesuatu yang selama ini secara tradisional tidak pernah dipertanyakan, termasuk mengenai kebenaran, ilmu pengetahuan dan otoritas (misal: struktur dan keteraturan dalam rumah tangga).

Lebih lanjut, postmodernism memiliki banyak sekali pandangan atau pendapat mengenai agama/spiritualitas, namun pandangan tersebut pada umumnya bersifat skeptis dan lebih menekankan pada pengalaman atau perasaan pribadi.

Contoh pandangan postmodernism:

  • tidak ada jenis kelamin yang fix hanya laki-laki dan perempuan; jenis kelamin bersifat fluid dalam arti orang dapat memilih menjadi apa saja tanpa peduli pada alat kelamin yang dimilikinya.
  • aborsi bukanlah pembunuhan tetapi bagian dari perawatan kesehatan dan hak orang yang hamil (ingat: tidak ada yang namanya “perempuan” karena “perempuan” bisa siapa saja, jadi postmodernism lebih menyukai istilah 'orang yang hamil'),
  • kebenaran itu ada namun tidak bersifat absolut, oleh karenanya semua orang boleh beragama tapi semuanya itu hanya relatif.

Dalam hal kekristenan, postmodernism biasanya mempertanyakan hal-hal seperti:

  • bukti bahwa Tuhan itu ada
  • bukti bahwa Alkitab merupakan sumber yang valid, argumen bahwa tidak ada yang namanya kebenaran yang absolut
  • bila Allah yang baik itu berkuasa atas dunia lalu mengapa ada kejahatan
  • apakah masih relevan mengatakan suatu tindakan tertentu sebagai dosa jika sudah banyak orang telah melakukannya secara biasa dan dianggap normal (misalnya: hubungan sex sebelum dan di luar perkawinan yang sah) dan lain-lain.

Walaupun di masa yang berbeda, rasul Paulus pernah menghadapi situasi yang serupa saat berada di Atena, Yunani. Ketika mereka tiba di sana, mereka melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala yang menandakan bahwa ada banyak cara pandang dan budaya di Atena. (Kisah Para Rasul 17:16)

Tidak ada satu dewa yang absolut, sebab ada sangat banyak sesembahan/ilah. Demikian juga ada banyak jenis filosofi di Atena, yang bahkan menjadi fondasi filosofi dunia barat.[2] Tidak heran ketika Paulus dan rekan-rekannya mulai membagikan Injil dan berita tentang Kristus, mereka ditertawakan dianggap sebagai peleter atau pembual. (Kisah Para Rasul 17:18)

Namun dibalik itu semua ternyata ada rasa penasaran dan kehausan untuk mengetahui lebih lanjut apa yang diajarkan oleh Paulus. (Kisah Para Rasul 17:19-20)

Rasul Paulus diundang untuk berbicara di sidang Areopagus, di mana siapa pun bebas untuk berbicara dan berpendapat. Ini adalah kesempatan emas yang diberikan oleh warga Atena kepada Paulus. Paulus menggunakan kesempatan itu untuk memberitakan kebenaran. Hasilnya, ada beberapa orang Atena yang menjadi percaya kepada Tuhan dan menggabungkan diri dengan persekutuan orang percaya. (Kisah Para Rasul 17:34)

Bagaimana Paulus menghadapi situasi di Atena menjadi pembelajaran yang berharga bagaimana kita sebagai orang percaya juga dapat menggunakan kesempatan emas di era postmodern ini:

  1. Miliki kepekaan akan kondisi kerohanian yang terjadi pada era ini
  2. Ketika Paulus melihat bahwa di Atena penuh dengan spiritualisme yang tinggi namun bersifat berhala, maka sedihlah hatinya. (Kisah Para Rasul 17:16)

    Dalam bahasa Inggris dikatakan “his spirit was stirred” (ver. KJV) atau “his spirit was grieved and roused to anger” (ver. AMPC). Jelaslah bukan hanya suasana hati Paulus bergejolak melihat kenyataan yang ada, tetapi rohnya pun bereaksi sedih dan bahkan marah melihat bagaimana jiwa-jiwa di Atena telah demikian dirusak oleh ilah zaman itu. Lukas kerap mencatat dalam Kisah Para Rasul bagaimana Paulus yang dipenuhi Roh Kudus selalu peka dan bereaksi ketika melihat jiwa-jiwa disesatkan oleh ilah-ilah dan pandangan yang tidak benar.

    Sebagai insan Pentakosta yang dipenuhi Roh Kudus, kita seharusnya peka akan kondisi rohani yang terjadi pada era ini. Situasi yang kita hadapi di era postmodern adalah banyak orang yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan dan kebenaran-Nya atau mungkin percaya adanya kekuatan ilahi yang lebih besar dari manusia, tetapi sosok tersebut bukanlah Tuhan yang benar.

    Dua sisi spiritualisme ini sebenarnya membuka peluang bagi kita untuk membicarakan mengenai Tuhan, kebenaran, firman-Nya (Alkitab). Ini era Pentakosta Ketiga, pencurahan Roh Kudus bukan hanya kepada jiwa-jiwa yang baru percaya, tetapi juga untuk kita yang sudah percaya, bahkan sudah dipenuhi Roh Kudus, agar memiliki kepekaan untuk mencermati situasi dan kondisi kerohanian generasi ini.

  3. Siap sedia untuk berdiskusi mengenai Kristus dan Injil keselamatan
  4. Salah satu pintu masuk untuk berbicara dengan generasi yang berpandangan postmodernism adalah keterbukaan untuk berargumentasi dan berpendapat. Ini adalah suatu masa dan generasi yang amat terbuka dan kritis akan segala hal dan tidak mudah untuk menerima sesuatu begitu saja. Hal tersebut justru menjadi kesempatan emas untuk memberitakan Injil Keselamatan.

    Pandangan postmodernism yang suka menantang agama dan kebenaran, justru menjadi peluang bagi kita untuk menjawab tantangan tersebut dengan menjelaskan Sang Kebenaran, yaitu Tuhan Yesus Kristus. (Yohanes 14:6) Pemberitaan kita ujungnya adalah Yesus Kristus.

    Situasi yang serupa dialami oleh Paulus dan rekan-rekannya di Atena. Mereka langsung membuka ruang untuk bertukar pikiran baik dengan orang-orang Yahudi, non-Yahudi, bahkan dengan golongan filsuf. (Kisah Para Rasul 17:17-18)

    Dalam Alkitab versi AMPC, dikatakan “he reasoned and argued” yang artinya Paulus bukan hanya berbincang belaka, tetapi memberikan alasan dan argumentasi yang tepat dalam memberitakan kebenaran dan Injil Keselamatan.

    Perhatikanlah bahwa semua diskusi dan perbincangan yang disampaikan dari pihak Paulus, selalu memuncak pada pemberitaan tentang Yesus dan kebangkitan-Nya (Kisah Para Rasul 17:18), demikian juga saat ia diminta untuk berbicara di Areopagus, Paulus tetap memusatkan pemberitaannya ke arah Kristus dan menyerukan pertobatan.[3] (Kisah Para Rasul 17:26-28, 30-31)

  5. Mempergunakan narasi dan argumentasi postmodernism
  6. Kita perlu melihat narasi dan argmentasi postmodernism itu sebagai pintu masuk untuk menjawab kebutuhan yang tersirat pandangan tersebut.

    Semua argumentasi yang mencoba untuk membenarkan suatu gaya hidup atau cara pandang yang tidak sejalan dengan kebenaran firman Allah, akan selalu memiliki kelemahan. Di sini kita juga harus memahami bahwa dibalik semua argumentasi itu, sebenarnya terkandung suatu kebutuhan dan kehausan untuk mendapatkan jawaban yang kuat dan benar. Di sinilah kebenaran firman menjadi jawaban. Paulus mengerti akan hal ini dan mempergunakan situasi yang ada untuk menjawab kehausan warga Atena.

    Ketika Rasul Paulus melihat bahwa warga Atena menyembah Allah “yang tidak dikenal.” (Kisah Para Rasul 17:23), Paulus menggunakan hal ini untuk menyampaikan tentang Kristus --Allah yang tidak mereka kenal-- dan bagaimana Ia tidaklah sama/setara dengan semua ilah lain yang mereka kenal.

    Sama juga pada era kini, ketika generasi postmodern menganggap semua pandangan dan ilah adalah sama, justru membuka peluang untuk kita menjelaskan mengapa Yesus Kristus yang kita sembah berbeda dengan ilah mana pun.

    Ketika generasi postmodern ini berargumentasi dari sisi moral bahwa hidup dan kebenaran itu subyektif, maka kita menjelaskan bahwa moralitas dan kebenaran itu obyektif dan melekat kepada aturan-aturan yang Allah tetapkan bagi semua manusia.

Tantangan postmodernism yang diusung oleh banyak orang di generasi ini janganlah dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari, justru harus dilihat sebagai pintu untuk bisa berdiskusi terbuka dan berbicara mengenai kebenaran dan keselamatan, tentunya dengan tetap saling menghormati satu sama lain. Kita tidak boleh takut dan gentar untuk membagikan kebenaran. (1 Petrus 3:14)

Kepenuhan Roh Kudus dalam diri kita menjadi penting sehingga kita berani dan dengan hikmat-Nya dapat berkata-kata dengan tepat (Markus 13:11) serta siap untuk menjelaskan iman kita dengan lemah lembut, hormat dan hati yang dipenuhi kasih Allah kepada semua orang (1 Petrus 3:15-16)di era postmodern ini. (CS)

Referensi

  1. ^ www.chatopenai.com diakses 24 Mei 2023 pukul 09:41 WIB, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh penulis.
  2. ^ C. Peter Wagner, The Book of Acts: A Commentary (Minneapolis, MN: Chosen Books, 2008), 391-392
  3. ^ Ibid, 402

Kita sedang hidup di dalam suatu era yang disebut oleh para ahli sebagai era post-modern dan dipengaruhi kuat oleh pandangan postmodernism.