Perlukah peduli dengan isu-isu global?

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal31 Juli 2022
PenulisPdp Willy Pandi, BSc, MTh
Renungan khusus lainnya

Pernahkah kita mendengar selentingan ucapan di kalangan Kristen bahwa orang-orang yang menganut gerakan Pentakosta adalah golongan orang-orang yang ‘melayang-layang' atau tidak ‘membumi’? Hal yang dimaksud di sini adalah orang-orang Pentakosta seakan-akan hanya peduli tentang karunia-karunia Roh, kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali, dunia roh, dan hal-hal lain yang dianggap abstrak atau tidak relevan bagi kehidupan manusia di bumi pada saat ini.

Dari sini, timbullah pertanyaan “Perlukah kita sebagai orang Pentakosta peduli terhadap isu-isu kontemporer dunia ini?” Mari kita sama-sama melihat, apa yang Firman Tuhan ajarkan kepada kita tentang kepedulian terhadap hal-hal yang berkembang di masyarakat kita.

Philip Graham Ryken Ph.D., seorang teolog dari Amerika Serikat dan Rektor dari Wheaton College, sebuah universitas Kristen, di dalam bukunya “What is The Christian Worldview?” menuliskan bahwa sejak awal penciptaan, Tuhan menciptakan manusia segambar dan serupa dengan Allah dengan tujuan agar manusia menguasai dan mengelola taman Eden, sambil mereka menikmati hubungan yang intim dengan Allah. Hal ini kita kenal dengan sebutan Mandat Penciptaan/Creation Mandate. (Kejadian 1:28)

Semua hal diciptakan Tuhan baik adanya, dan manusia diperintahkan untuk mengembangkan, mengelola, dan memelihara segala sumber daya yang ada secara maksimal, agar manusia dapat menyatakan siapa Allah sebenarnya dan memenuhi bumi dengan kemuliaan-Nya. (Kejadian 2:15)

Dengan adanya mandat ini, manusia; secara khusus orang percaya, diperintahkan untuk menguasai bidang-bidang kehidupan dengan cara memberikan dampak sosial di bumi ini. Rasul Paulus juga menuliskan di Filipi 1:22a,

“Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.”

Mari kita lihat bersama-sama menyimak beberapa isu hangat yang berkembang di masyarakat global, dan bagaimana kita sebagai Insan Pentakosta perlu menyikapinya.

  1. ISU PERUBAHAN IKLIM
  2. PBB mendefinisikan ‘Perubahan Iklim’ sebagai “perubahan jangka panjang pada temperatur dan pola cuaca”.[1] Ada beberapa kejadian di dunia akhir-akhir ini yang perlu menjadi perhatian kita. Tahukah kita bahwa tahun 2022 ini, suhu udara di Antartika pada tanggal 18 Maret 2022 mencapai -11.5°C (di mana seharusnya suhu normal Antartika pada bulan Maret adalah -49oC).[2] Di bagian dunia yang lain, yaitu di Istanbul, Turki juga pada bulan Maret 2022, turun hujan salju lebat (di mana kejadian ini tidak seharusnya terjadi di bulan Maret).[3]

    Semua kejadian ini adalah bukti nyata dari perubahan iklim drastis pada bumi yang tidak dapat dipungkiri dan disepelekan. Hal ini terjadi karena pemanasan global yang disebabkan oleh ulah manusia yang tidak menjaga keseimbangan alam. Emisi gas rumah kaca yang berlebihan, polusi yang tidak terkendali, dan pembalakan hutan secara liar menyebabkan terlepasnya gas-gas berbahaya ke atmosfer bumi sehingga suhu bumi makin lama makin hangat. Jika hal ini terus dibiarkan, suatu hari nanti, bumi akan kehilangan banyak biodiversitas. Sebagai bagian dari penduduk bumi, kita sebagai Insan Pentakosta pun harus turut bertanggung jawab menanggulangi masalah ini dengan cara yang sederhana, yaitu taat kepada pemerintah yang telah membuat peraturan untuk menjaga lingkungan hidup. (Roma 13:1; Titus 3:1)

    Dengan demikian, kita pun telah memberi hidup kita “dipimpin oleh Roh” karena pemerintah pun ditetapkan oleh Allah. (Galatia 5:25)

    Ingatlah bahwa tugas kita dari Tuhan adalah juga untuk memelihara segala ciptaan-Nya, supaya selalu dalam keadaan baik sebagaimana keadaannya semula ketika diciptakan oleh Tuhan. (Kejadian 2:15)

    Dari Alkitab, kita bisa mencontoh Nuh, sebagai seorang yang hidup bergaul dengan Allah (Kejadian 6:9), dan seorang petani yang pertama kali membuat kebun anggur. (Kejadian 9:20)

    Kita juga bisa melihat bahwa Nuh adalah seseorang yang turut serta menjaga kelestarian biodiversitas karena ia membawa serta segala binatang ke dalam bahteranya, supaya “terpelihara hidup keturunannya di seluruh bumi”. (Kejadian 7:2-3)

  3. ISU SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan)
  4. Masalah-masalah yang terkait dengan SARA bukan hanya dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan negara maju sekalipun, seperti Amerika Serikat, masih sering dirongrong oleh isu-isu ini. Dalam konteks Amerika Serikat, siapa yang tidak ingat peristiwa demonstrasi Black Lives Matter yang sudah muncul sejak tahun 2013, namun tahun 2020, gerakan ini meledak kembali.[4]

    Di Indonesia, isu SARA seringkali dimanfaatkan dalam dunia politik. Mungkin masih sangat jelas terekam di benak sebagian besar kita peristiwa demonstrasi besar-besaran beberapa tahun yang lalu yang menjadi bukti adanya polarisasi di masyarakat. Setelah itu, seringkali satu pihak menyebut pihak lain dengan berbagai istilah yang sangat tidak pantas. Sungguh memprihatinkan bahwa tidak sedikit orang Kristen yang terprovokasi dan ikut-ikutan dalam merespon hal ini dengan kurang baik di media sosial.

    Dari hal ini, kita bisa melihat bahwa isu SARA dapat membuat polarisasi di masyarakat, tidak terkecuali di dalam gereja. Padahal kita perlu mengingat bahwa Tuhan menciptakan semua manusia dalam gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:26) dan karena Ia adalah Bapa segala roh (Ibrani 12:9), artinya kedudukan semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan.

    Lebih lanjut, secara konteks di dalam gereja, perbedaan golongan tidak boleh menjadi isu pemecah-belah persatuan anak-anak Tuhan. Rasul Paulus menasihati bahwa Kristus tidak terbagi-bagi antara golongan Paulus, Apolos, atau Kefas (I Korintus 1:12-13). Bahkan, Tuhan Yesus sendiri mendoakan para murid, pada waktu Ia berdoa di Taman Getsemani, agar mereka menjadi satu (Yohanes 17:21-23).

    Apalagi di era Pentakosta Ketiga ini, sebagaimana kejadian di kamar loteng di Kisah 2, kita yakin bahwa Roh Kudus akan dicurahkan ke atas manusia tanpa melihat perbedaan suku atau golongan. Salah satu bukti nyata bahwa Insan Pentakosta berdiri di atas suku atau golongan yang berbeda adalah dengan adanya Pentecostal World Fellowship (PWF), di mana gereja kita GBI Jl. Jendral Gatot Subroto juga menjadi anggotanya, yaitu sebuah persekutuan gereja-gereja Pentakosta yang mempunyai misi untuk menyatukan dan memobilisasi keluarga-keluarga yang dipenuhi oleh Roh Kudus di seluruh dunia dalam rangka menyelesaikan Amanat Agung Yesus Kristus.[5]

Dari pemaparan kedua hal di atas, maka sangatlah jelas, bahwa kita sebagai Insan Pentakosta pun perlu peduli dan harus turut serta berperan aktif di dalam mengatasi isu-isu sosial kontemporer yang berkembang di masyarakat kita, sehingga Insan Pentakosta tidak dianggap sebagai insan yang ‘ngawang’ dan bisa juga memikirkan hal-hal yang ‘membumi’.

Kita dipanggil Tuhan untuk menjadi ‘garam dan terang dunia’, artinya kita harus menjadi berkat di manapun kita ditempatkan. Mari kita semua di Tahun Paradigma yang Baru ini sungguh-sungguh berdoa supaya kita mendapatkan paradigma yang baru dalam memandang isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat kita. Amin. (WP)

Referensi

Pernahkah kita mendengar selentingan ucapan di kalangan Kristen bahwa orang-orang yang menganut gerakan Pentakosta adalah golongan orang-orang yang ‘melayang-layang' atau tidak ‘membumi’?