Mengapa kita butuh Juruselamat?

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal10 April 2022
PenulisPdp Willy Pandi, BSc, MTh
Sebelumnya
Selanjutnya

Pertanyaan “mengapa kita butuh Juruselamat?” adalah pertanyaan klasik yang masih sering muncul di tengah-tengah zaman ini dengan segala kemajuan teknologi yang ada di berbagai bidang. Di saat mana teknologi dunia sudah mulai merambah ke konsep metaverse, pertanyaan yang pada abad-abad sebelumnya memiliki jawaban yang absolut, namun saat ini, jawaban atas pertanyaan ini mungkin menjadi sesuatu yang relatif.

Kekristenan, sebagai suatu ajaran yang mengemukakan konsep ini, tentu tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan kritis seperti demikian. Masih relevankah ajaran Kristen, dalam hal ini Firman Tuhan, berbicara tentang perlunya seorang Juruselamat? Beberapa dari kita mungkin pernah mendengar bahwa, jika seseorang membutuhkan Juruselamat, artinya ia adalah seorang yang lemah. Kita percaya bahwa memang manusia itu lemah karena:

Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. (Roma 3:23)

Dosa telah mendegradasi segala yang baik yang diciptakan oleh Allah pada mulanya. Di bulan April ini di mana kita merayakan hari Paskah, mari kita melihat sekali lagi mengapa Tuhan Yesus harus menjadi Juruselamat melalui kematian dan kebangkitan-Nya untuk menyelamatkan kita semua?

Sebelum kita melihat lebih jauh jawaban atas pertanyaan di atas, kita perlu mengingat bahwa:

Upah dosa ialah maut (Roma 6:23)

Nahum 1:3a juga mencatat:

TUHAN itu panjang sabar dan besar kuasa, tetapi Ia tidak sekali-kali membebaskan dari hukuman orang yang bersalah.

Allah menghukum manusia yang berdosa dengan ganjaran maut, bukan karena Ia tidak mengasihi dan tidak mau mengampuni manusia. Allah itu Maha Kasih di satu sisi, namun di sisi yang lain, Ia juga Maha Adil. Keadilan-Nya muncul dari kekudusan-Nya. Adil adalah salah satu atribut Allah. Yeremia 23:6 mencatat salah satu nama Allah yaitu: "TUHAN keadilan kita" (dari bahasa Ibrani ‘tsedeq’ yang artinya adil, benar).

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan keadilan sebagai “sifat yang tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar, sesuatu yang sepatutnya”.

Westminster Dictionary of Theology menjelaskan bahwa konsep keadilan berhubungan erat dengan kasih sayang. Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep keadilan dibedakan menjadi dua; yang pertama adalah seseorang menerima keadilan karena ia telah melakukan hal yang salah, dan dengan demikian, ia menerima apa yang menjadi haknya karena perbuatannya, yang kedua adalah konsep pemberian keadilan kepada seseorang ketika apa yang diberikan tidak datang sebagai akibat dari orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang salah.

Berdasarkan atribut Allah ini, ada beberapa alasan mengapa manusia tetap memerlukan Juruselamat yang menyelamatkan dari hukuman Allah, yaitu:

  1. Keadilan Allah Harus dipenuhi
  2. Di dalam pemahaman dunia terkait keselamatan, khususnya dalam agama-agama suku, pada umumnya manusia mempersembahkan sesajen kepada para dewa untuk menyurutkan amarah sang dewa, sehingga hukuman atas manusia tersebut dapat dielakkan.

    Di dalam Kekristenan, kita percaya bahwa Yesus, sebagai Anak Allah yang berinkarnasi menjadi manusia-lah yang menjadi persembahan untuk menyurutkan amarah Bapa bahkan menghapuskan semua hukuman akibat dosa yang dilakukan manusia.

    2 Korintus 5:21 mencatat:

    Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.

    Hukuman maut yang tadinya diperuntukkan kepada manusia yang berdosa, menjadi diperuntukkan kepada Yesus karena Ia telah menjadi dosa. Di dalam Alkitab Perjanjian Baru terjemahan bahasa Ibrani, kata ‘Tetelestai’ dalam Injil Yohanes 19:30 yang berarti “Sudah selesai” diterjemahkan dengan kata “Nish’lam”, yang erat hubungannya dengan kata ‘Shalom’. Jadi, secara harafiah, kata “Nish’lam” berarti “(sudah) diperdamaikan”. Dari hal ini, dapat kita mengerti bahwa kematian Yesus di atas kayu salib telah mendamaikan manusia dengan Allah karena keinginan-Nya akan keadilan telah dipenuhi.

  3. Manusia berhutang kekudusan kepada Allah
  4. Anselmus, seorang bapa gereja di abad ke-12, di dalam bukunya Cur Deus Homo (Mengapa Allah menjadi manusia) menuliskan bahwa jika ada orang yang bertanya seperti itu, artinya ia tidak mengerti dengan jelas arti kedalaman kejatuhan manusia di dalam dosa, dan dia tidak mengerti apa artinya 'kudus' menurut kekudusan Tuhan.

    Friberg Analytical Greek Lexicon mendefinisikan kata ‘kudus’ (Yunani: hagios) dengan arti “sesuatu yang dipisahkan untuk tujuan Tuhan”. Konsep ‘dipisahkan’ untuk kata ‘kudus’ memiliki pengertian yang sama seperti di dalam Kejadian 1:4 di mana Allah memisahkan terang dari gelap. Artinya, benar-benar terpisah.

    Manusia yang pada awalnya diciptakan Allah dalam keadaan mulia, kudus, baik menjadi kehilangan segalanya saat manusia jatuh ke dalam dosa, sehingga manusia pun ‘berhutang’ kekudusan kepada Allah. Dengan standar manusia, meskipun manusia terus berbuat baik, mereka tetap tidak dapat mengganti hutang kekudusan ini.

    Yesaya 64:6 mencatat bahwa bahkan setiap kesalehan manusia itu seperti kain kotor di mata Allah. Hanya Anak Allah yang kudus yang berinkarnasi menjadi manusia sajalah yang dapat membayarkan hutang kekudusan ini kepada Allah.

Apa yang Yesus lakukan di kayu salib sesungguhnya adalah penggenapan yang sempurna dari rencana keselamatan Allah bagi manusia. Dari peristiwa di Taman Eden, di mana Allah mengenakan pakaian dari kulit binatang kepada Adam dan Hawa (di mana darah binatang harus tercurah sebagai lambang penghapusan dosa Adam dan Hawa) sebagai protoevangelium (kabar baik tentang penebusan yang pertama) (Kejadian 3:21) hingga hukum tentang korban penghapusan dosa dari Hukum Taurat (Imamat 4:1-35), di mana semuanya adalah cara Allah untuk membawa manusia yang telah jatuh ke dalam dosa untuk kembali kepada-Nya.

Namun, persembahan darah binatang, tidaklah cukup untuk secara permanen menebus dosa-dosa manusia. Oleh sebab itu, kembali Allah berinisiatif untuk menyelamatkan manusia melalui peristiwa inkarnasi Anak Allah, karena hanya lewat pengorbanan Anak Allah yang kudus dan tidak bercacat ini sajalah, penebusan dosa manusia terjadi secara sempurna. Cara pengorbanan yang ditempuh adalah cara yang paling keji, yaitu lewat salib. Inilah kulminasi pertemuan antara keadilan dan kasih Allah. Inilah yang kita rayakan melalui Hari Paskah.

Di momen Paskah ini, kita dibawa untuk mengingat dan merenungkan kembali apa yang telah Tuhan Yesus kerjakan bagi kehidupan kita. Di mana tanpa pengorbanan Tuhan Yesus, tidak ada satu orang pun yang bisa luput dari hukuman karena keadilan Allah yang lahir dari kekudusan-Nya itu.

Oleh sebab itu, hendaknya kita selalu menghormati pengorbanan Tuhan Yesus dengan cara “tetap mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar.” (Filipi 2:12)

Kita bersyukur karena Tuhan Yesus bukan saja telah mati, tetapi terlebih, Ia juga telah bangkit, karena jika Ia tidak dibangkitkan, maka sia-sialah iman kita kepada-Nya (I Korintus 15:17), sehingga “sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” (Ibrani 5:9)

Dari penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan, bahwa meskipun manusia saat ini berada di zaman yang sangat maju di dalam segala bidang, manusia tetap membutuhkan Juruselamat yang sanggup menyelamatkan dari hukuman akibat dosa. Dan Juruselamat itu ialah Yesus Kristus, yang telah mati, bangkit, naik ke sorga mulia, dan akan kembali ke dunia menjemput kita dalam kemuliaan-Nya untuk membawa kita hidup dan memerintah selama-lamanya bersama dengan Dia. Selamat merayakan Hari Raya Paskah! (WP)