Integritas Ilahi vs integritas duniawi
Renungan khusus | |
---|---|
Tanggal | 27 Juni 2021 |
Penulis | Willy Pandi, BSc, MTh |
Voice of Pentecost | Voice of Pentecost 50 (Bryan Colin Njotorahardjo) |
Renungan khusus lainnya | |
| |
|
Integritas: suatu kata yang mudah untuk diucapkan, namun tampaknya tidak terlalu mudah untuk dipraktekkan. Mungkin bahkan, banyak orang sudah menyepelekan makna kata “integritas” ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi kata “integritas” adalah sebagai berikut: mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Sedangkan menurut Oxford Online Dictionaries, definisi kata “integritas” adalah kualitas kejujuran dan memiliki prinsip moral yang kuat; keadaan yang utuh dan tidak terbagi.
Alkisah tentang seorang karyawan yang jujur di kantornya. Dia selalu datang tepat waktu, bahkan lebih pagi dari rekan-rekan lainnya, namun dia biasa pulang lebih malam untuk memastikan semua pekerjaannya rampung. Dia tidak mau berbohong, tidak mau menipu, tidak pernah korupsi meskipun ada kesempatan untuk melakukannya. Apa yang dia katakan, selalu dia kerjakan, tidak pernah ia ingkar akan janjinya. Orang ini sungguh berintegritas tinggi.
Namun, orang ini adalah orang yang pemarah, keras, dan suka memaksakan kehendaknya. Karena dia adalah orang yang sangat berkomitmen tinggi terhadap pekerjaannya, ia pun berharap bahwa semua orang pun menunjukkan level komitmen yang tinggi seperti dia, karena menurutnya, hal ini adalah suatu keharusan. Keberadaannya di kantor sering membuat suasana kantor menjadi tegang dan penuh intimidasi. Menurut definisi yang diberikan oleh KBBI dan Oxford, orang ini termasuk kategori orang yang berintegritas. Akan tetapi, ia mungkin bukan orang yang baik bagi sebagian besar orang karena karakternya yang pemarah itu. Dari kisah ini dapat kita tarik suatu pelajaran bahwa definisi integritas versi dunia hanya mencakup sisi kejujuran, prinsip moral yang kuat, keadaan yang utuh dan tidak terbagi, tanpa mencakup sifat dan karakter Allah, Sang sumber moral itu sendiri. Sehingga kita dapat katakan bahwa definisi dunia tentang “integritas” tidaklah cukup, karena ini adalah suatu keadaan tidak lengkap berintegritas di mata Allah.
Mari sekarang kita lihat definisi “integritas” lainnya. Menurut Westminster Dictionary of Theological Terms, integritas adalah sebuah istilah teologis untuk menunjukkan kemurnian dan kejujuran sebagaimana manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27). Dalam Dictionary tersebut juga dikatakan bahwa di dalam konteks Etika Kristen, integritas adalah ketaatan dalam prinsip dan karakter moral yang dibentuk oleh hati nurani Kristiani. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari definisi “integritas” ini adalah bahwa seseorang dikatakan berintegritas jika gambar dan rupa Allah pulih di dalam hidupnya, dan juga bahwa integritas itu dibentuk oleh hati nurani Kristiani.
Kata “gambar” sendiri di dalam bahasa Inggris disebut sebagai “image” yaitu kata yang berasal dari akar kata bahasa Latin “imago” yang berkaitan dengan kata “imitate” (Oxford Online Dictionaries) atau “tiru” di dalam bahasa Indonesia. Kata “tiru” memiliki implikasi “menjadi serupa”. Dengan demikian, kata “gambar dan rupa” memiliki arti yang sepadan. Dari pengertian ini kita mengerti bahwa manusia yang berintegritas adalah manusia yang memiliki keserupaan dalam pikiran, perasaan, kehendak, karakter, sifat, sikap, dan moral dengan kualitas seperti Allah.
Westminster Dictionary berkata integritas adalah hasil pembentukan dari hati nurani Kristiani. Hati nurani Kristiani adalah suatu kesadaran moral yang bersumber dari Allah sendiri. Dengan demikian, kita harus terus melekat kepada Allah agar moral ilahi juga tertransfer ke dalam hidup kita, sebab “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5c).
Berbicara tentang integritas ilahi, contoh terbaik di Alkitab tentang pribadi yang menunjukkan integritas ilahi yang sempurna tidak lain dan tidak bukan hanyalah Tuhan Yesus. Rasul Yohanes berpesan: “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus hidup.” (1 Yohanes 2:6). Menjadi seperti Yesus adalah suatu kewajiban orang percaya, dalam hal ini dikatakan secara spesifik untuk kita meneladani cara-cara Tuhan Yesus hidup.
Satu contoh integritas ilahi yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus tercatat di dalam kisah di Injil Yohanes 7:53-8:11 yaitu tentang seorang perempuan yang kedapatan berzinah dan akan dilempari batu oleh para ahli Taurat sesuai dengan hukum Musa. Apa yang Tuhan Yesus, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yohanes 8:7) adalah perkataan penuh hikmat yang menghargai kehidupan si perempuan, sekaligus menegur para ahli Taurat yang hafal akan hukum Musa tetapi tidak mengerti esensi hukum tersebut, yang adalah kasih, di mana Allah adalah Sumber kasih itu. Di sisi lain, Yesus pun tidak menolerir apa yang dilakukan oleh perempuan tersebut, yang terbukti dari perkataan-Nya kepada perempuan tersebut, “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yohanes 8:11 bdk. 8:7). Dari perkataan ini, dapat kita lihat 2 (dua) hal: aliran kasih dari Tuhan yang tidak menghukum si perempuan, namun di saat yang sama, Tuhan Yesus tidak membenarkan perbuatan dosa yang dilakukan oleh perempuan tersebut. Kita juga mengerti bahwa alasan perempuan itu tidak dihukum sesuai hukum Musa bukan karena Tuhan Yesus tidak mempraktekkan keadilan dalam hukum- hukum-Nya, namun karena Yesus sendirilah yang akan dihukum mati ganti perempuan itu, bahkan mati karena kasih-Nya akan semua orang.
Kita melihat ada 2 sisi yang sangat penting dari integritas Tuhan Yesus, yaitu murni dan jujur:
- Murni artinya Yesus mengakui dosa si perempuan itu sesuai dengan hukum Musa. Yesus tidak membela dosa perempuan itu dengan mengatakan ia tidak bersalah. Jelas ia bersalah. Ada kemurnian hati nurani Yesus yang sama dengan hukum Allah yang tidak terkontaminasi dengan apapun juga.
- Jujur artinya kualitas dalam mempraktekkan kemurnian hukum Allah dengan Karakter Allah. Hukum Allah jelas menyatakan upah dosa adalah maut (Roma 6:23). Namun karakter Allah adalah kasih. Karenanya, Tuhan Yesus mampu mengampuni kesalahan perempuan itu. Pengampunan itu pun mengalir sehingga perempuan itu dipulihkan. Pengampunan yang Yesus berikan bahkan sampai mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib, bagi perempuan itu dan bagi kita semua. Inilah karakter ilahi yaitu kasih.
Sehingga dapat disimpulkan, Integritas Ilahi adalah kemurnian sesuai dengan Firman Allah dan kejujuran dalam mempraktekkannya yang disertai dengan karakter ilahi. Di sini jelas bahwa Integritas Ilahi lebih tinggi daripada integritas duniawi dari sisi sumber acuan moral dan keseluruhan cakupan prakteknya dalam kehidupan. Dan Integritas ilahi hanya dimungkinkan untuk dihidupi apabila kita senantiasa bersekutu dan mengenal Allah secara pribadi. (WP)