Sejarah dan tradisi perayaan Natal
Renungan khusus | |
---|---|
Tanggal | 20 Desember 2020 |
Penulis | Pdt Chris Silitonga, MEd |
Sebelumnya |
|
Selanjutnya |
|
Setiap kali mendekati dan memasuki bulan Desember, maka orang-orang percaya dan Gereja mempersiapkan diri untuk merayakan Natal, yaitu peringatan akan lahirnya Yesus sang Mesias ke dalam dunia. Natal selalu menjadi sukacita dan kegembiraan, di mana di bulan paling akhir dalam satu tahun kita biasanya berkumpul bersama dengan keluarga, orang-orang yang kita cintai, para anggota COOL dan tentunya dengan jemaat lainnya dalam satu Gereja, untuk merayakan Yesus dan juga mengucap syukur atas perjalanan bersama dengan Tuhan sampai bulan yang terakhir. Sukacita Natal bukan hanya dirasakan oleh orang-orang Kristen, tetapi semua orang di seluruh dunia menikmati suasana yang tercipta karena Natal.
Natal adalah momen umat Kristiani memperingati kelahiran Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat (Mesias) manusia yang datang dan lahir ke dalam dunia. Kata ‘Natal’ sendiri berasal dari kata Latin ‘Natalis’ yang artinya ‘lahir/kelahiran’. Kata ini dibawa ke Indonesia pertama kali oleh para misionaris Katolik untuk menjelaskan peristiwa kelahiran Yesus. Kata ‘Christmas’ yaitu Natal dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Inggris kuno Christes maesse (Christ’s mass) yang menjelaskan bahwa penderitaan Yesus Kristus sebenarnya sudah dimulai sejak Ia datang ke dunia, menjelma menjadi sama dengan manusia. Jadi Natal selalu terkait dengan kehidupan Tuhan Yesus.
Sekalipun merayakan Natal telah menjadi sesuatu yang dilakukan oleh Gereja selama ribuan tahun, namun tidak sedikit orang Kristen, bahkan beberapa Gereja, yang menolak untuk merayakan Natal. Penolakan ini biasanya berdasarkan alasan-alasan seperti ini:
- Natal adalah perayaan yang didasarkan dari penyembahan berhala (pagan Eropa).
- Tidak ada perintah untuk gereja merayakan Natal di Alkitab.
Mengenai pelaksanaan perayaan Natal itu sendiri, GBI secara Sinode telah mengambil sikap bahwa merayakan Natal adalah tidak dilarang dan bahkan amat didorong untuk melakukan ibadah perayaan Natal (tentunya pada era pandemi COVID-19 seperti saat ini, pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan pemerintahan lokal dan tuntunan Roh Kudus kepada Gembala Jemaat). Sikap GBI secara Sinode ini telah dituangkan dalam buku Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia (2019) yang disusun oleh Forum Teolog GBI dan diterbitkan oleh Departemen Teologia GBI.
GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta, juga mengambil sikap yang sama mengenai Natal dengan Sinode GBI. Beberapa anggota Tim Teologia GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta, juga adalah anggota Forum Teolog GBI, yang telah menerbitkan buku tersebut di atas. Dalam hal Perayaan Natal, GBI Jalan Gatot Subroto juga mengeluarkan OSP (Official Standing Paper) Sikap/Pandangan GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta mengenai Perayaan Natal (2020) yang berisikan hal-hal yang lebih spesifik dan detil mengenai perayaan Natal.[1]
Benar atau valid-kah alasan-alasan penolakan tersebut? Kita akan membahas kedua hal tersebut dalam tulisan ini. [Catatan: ada alasan lainnya yang umum digunakan untuk menolak perayaan Natal. Lebih lengkap dapat dilihat dalam OSP Perayaan Natal.]
Apakah alasan-alasan penolakan perayaan Natal itu valid?
Keberatan #1
- Keberatan #1: Natal adalah perayaan yang didasarkan dari penyembahan berhala (pagan Eropa)
- Respons: Natal sudah lebih dahulu dirayakan sebelum pagan “ikut-ikutan”
Banyak orang beranggapan bahwa Natal merupakan perayaan pagan Eropa, yaitu festival Romawi Natalis Solis Invicti, yaitu hari kelahiran matahari yang tak terkalahkan. Festival pagan ini juga umum dikaitkan dengan penghormatan kepada Saturnus, sehingga juga dikatakan hari Saturnalia. Festival ini dirayakan di kekaisaran Romawi atas prakarsa Kaisar Aurelius pada tahun 274 M. Perayaan ini dilakukan pada hari titik balik matahari di musim dingin (winter solstice), yang umumnya jatuh pada sekitar tanggal 25 Desember pada kalender Masehi. Informasi ini banyak beredar di internet dan berbagai publikasi sehingga banyak orang Kristen menggunakan hal ini sebagai keberatan untuk merayakan Natal, tanpa melihat kenyataan catatan sejarah perjalanan gereja.
Pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung, yaitu kaisar Romawi yang menyatakan dirinya Kristen pada tahun 325 Masehi, festival pagan Romawi Natalis Solis Invicti diubah menjadi hari perayaan kelahiran Yesus Kristus. Perayaan ini tidak lagi dilakukan di kuil-kuil matahari dan Saturnus, melainkan di berbagai kapel dan Gereja. Yesus Kristus adalah:
- sang ‘Surya Kebenaran’ (Maleakhi 4:21; Mazmur 84:12) dan
- sang ‘Surya pagi ditempat tinggi’ (Lukas 1:78)
Fokus perayaan bukan lagi untuk menyembah matahari dan Saturnus yang adalah benda-benda ciptaan di angkasa, tetapi berfokus kepada TUHAN yang telah menciptakan semuanya itu. (Kejadian 1:14-18 bdk. Kolose 1:16)
Dengan demikian, pengalihan tanggal 25 Desember dari perayaan kelahiran matahari kepada Kristus sebagai Sang Matahari Kebenaran memiliki dasar Alkitabiah. Mengambil alih hari raya matahari menjadi hari kelahiran Yesus Kristus, tidaklah membuat orang-orang Kristen menjadi penyembah matahari.
Catatan Gereja sendiri menunjukkan bahwa Gereja-gereja, khususnya di Eropa, telah memperingati dan merayakan Natal. Natal yang jatuh pada bulan Desember adalah berdasarkan tradisi yang disepakati oleh gereja-gereja Eropa. Tanggal 25 Maret diperingati sebagai hari Annunciation atau hari di mana Maria menerima kabar baik bahwa ia akan mengandung Sang Juruselamat. Mengambil jarak 9 bulanan masa kehamilan, maka Desember masuk dalam perhitungan kehamilan yang wajar, sehingga Gereja-gereja Eropa memperingati baik Annunciation dan Natal. Ini diungkapkan oleh generasi bapa-bapa Gereja abad pertama dan kedua, seperti Irenaeus (130-202 M). Hippolytus tahun 204 M mengutarakan hal yang sama dengan Irenaeus, demikian juga Sextus Julius Africanus dan Cyprianus. Semua mereka mencatat bahwa Gereja telah merayakan dua peristiwa itu selama ratusan tahun, lebih awal dari perayaan matahari dan Saturnus yang baru diadakan pada tahun 274 M oleh Kaisar Aurelius (lihat kembali catatan di atas sebelumnya).
Melihat catatan-catatan para petinggi Gereja tentang perayaan kelahiran Yesus, maka perayaan Natal bukanlah upaya Kristenisasi dari festival matahari orang-orang non-Kristen, malah mungkin sebaliknya adalah bahwa festival matahari adalah upaya romanisasi hari Natal.
Tidak heran, bahkan setelah Kaisar Konstantinus Agung menjadi Kristen, sejarah Romawi menunjukkan bahwa festival matahari masih terus diupayakan oleh orang Romawi non-Kristen hingga tahun 354 M. Ini nampaknya usaha dari kaum kafir/pagan untuk menarik orang-orang Kristen kembali kepada paganisme. Upaya ini mendapat tantangan besar pada tahun 345 M, yaitu saat Uskup Roma (kelak menjadi Paus), Julius I, membuat ibadah tandingan terhadap festival matahari, yaitu dengan membuat perayaan Natal tanggal 25 Desember 345 di kota Roma guna melihat mana yang lebih banyak menarik pengunjung; warga Gereja atau kuil matahari/kuil Saturnus. Ternyata Gereja-gereja lebih banyak dipenuhi oleh warga Roma. Semenjak itu festival Natalis Solis Invicti semakin kehilangan pamor dan memudar dengan sendirinya. Uskup Roma, Julius I menetapkan secara resmi 25 Desember sebagai hari Natal dan ini diikuti oleh mayoritas Gereja-gereja hingga kini.
Setelah melihat tersebut di atas, kita dapat menerima tanggal 25 Desember sebagai tanggal tradisi perayaan Natal, namun bukan sesuatu yang bersifat mutlak sehingga kita tidak harus merayakan tepat pada tanggal 25 Desember.
Keberatan #2
- Keberatan #2: Tidak ada perintah untuk merayakan Natal dalam Alkitab
- Respons: Merayakan Natal secara esensial adalah Alkitabiah
GBI mengambil sikap bahwa perayaan Natal secara esensial adalah tidak keliru. Pendapat yang berkata bahwa perayaan Natal adalah hal yang tidak boleh dilakukan karena tidak ada perintah atau terdapat dalam Alkitab adalah pendapat yang tidak tepat. Jangan sampai kita memaksakan penafsiran yang ayatiah/literal, sehingga apabila tidak ada ayat pendukungnya secara spesifik maka dianggap keliru dan tidak boleh dilakukan, padahal secara esensial justru Alkitabiah.
Merayakan, menceritakan, mengingat dan mewartakan kehidupan Yesus Kristus mulai dari kelahiran-Nya hingga kenaikan-Nya adalah justru hal yang harus dilakukan oleh Gereja untuk memuridkan jemaat dan memberitakan Injil Kristus kepada semua bangsa. (Matius 28:19-20; Kolose 1:28; bdk. 2 Timotius 4:2)
Perayaan Natal justru selalu menjadi momen yang sangat baik untuk menyegarkan jiwa dan iman umat Tuhan, dan momen untuk menceritakan kasih Tuhan yang luar biasa kepada dunia yaitu Bapa mengutus Anak-Nya, Kristus Yesus, datang ke dunia menjadi sama dengan manusia untuk menebus manusia dari dosa-dosa mereka. Upaya-upaya untuk mendiskreditkan hari Natal adalah justru upaya-upaya untuk memecah-belah umat Kristen dan untuk menghalangi pemberitaan tentang kedatangan Kristus yang pertama kali dan rencana karya Keselamatan-Nya.
Merayakan Natal di tengah masa pandemi COVID-19
Sekalipun perayaan Natal tahun 2020 ini mungkin tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya oleh karena situasi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung sampai hari ini, tetapi ingatlah bahwa terang Kristus itu tetap ada dalam hidup kita dan Roh Kudus terus mengingatkan bahwa kita tidak menjalani kehidupan ini sendirian, tetapi bersama-Nya. Kemeriahan perayaan bukan menjadi kekuatan kita, tetapi merayakan Kristus dan kehadiran-Nya-lah yang menjadi sukacita kita di tengah pandemi ini. Selamat Hari Natal. (CS)
Catatan kaki
- ^ OSP Perayaan Natal ini bisa diakses di OSP Perayaan Natal (20 Des 2020). Jemaat amat disarankan untuk mengakses dan membaca OSP Perayaan Natal ini.
Sumber
- Pdt Chris Silitonga, MEd (20 Desember 2020). "Renungan Khusus". Warta Jemaat. GBI Jalan Gatot Subroto. Diakses pada 19 Desember 2020.