Memberi yang terbaik

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal06 Desember 2020
PenulisPdm Dr Dony Lubianto, MTh
Renungan khusus lainnya

“…Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Matius 7:9-11)

Dalam bagian ayat ini, Tuhan Yesus sedang berbicara mengenai hal pengabulan doa. Pengabulan doa selalu diawali dengan satu hal kunci, yakni 'meminta'. Dalam konteks ini Tuhan Yesus membuat sebuah komparasi antara pendengar pada waktu itu yang disebut dengan istilah “kamu yang jahat" dengan 'Bapamu yang di Sorga'. Apa yang sedang Tuhan Yesus komparasikan terkait dengan pemberian? Jika manusia yang jahat saja tahu memberi yang terbaik bagi anak-anaknya, apalagi Bapa di Sorga.

Dari perkataan Tuhan Yesus ini, jika kita kesampingkan konteks meminta dan pengabulan doa, tanpa mengurangi makna dan nilai kebenaran dari ayat-ayat ini, kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: Dalam memberi, Bapa Sorgawi memiliki sebuah standar, yaitu YANG TERBAIK.

Tentu hal ini tidak dapat kita pungkiri, sebab Bapa telah membuktikannya dengan puncaknya adalah memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk menebus dosa manusia sebagaimana dicatat dalam Yohanes 3:16.

Kesimpulan lainnya yang dapat kita ambil adalah, manusia yang jahat (poneros), berdosa juga ternyata memiliki standar yang sama dalam memberi yaitu YANG TERBAIK kepada anak-anaknya.

Betapa dahsyatnya apa yang sedang Tuhan Yesus sampaikan kepada kita mengenai pengajaran ini. Membandingkan dua kutub yang sangat jauh berbeda, Allah Bapa dan manusia berdosa yang memiliki sebuah kesamaan, yakni standar 'memberi yang terbaik', sekalipun tentu secara kualitas tidak dapat disamakan. Tuhan Yesus berkata:

“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, APALAGI Bapamu yang di Sorga."

Jika kita coba telaah lebih jauh, maksudnya dengan kesamaan di sini adalah ketika pemberian itu terkait dengan hubungan (relationship), "...memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu", maka ukuran yang digunakan dalam memberi bukanlah ukuran yang biasa, melainkan yang terbaik.

Lima belas tahun yang lalu, kami mempersiapkan kelahiran anak yang dinantikan. Kami persiapkan semua yang terbaik. Ranjang bayi dengan kasur yang terbaik, pakaian-pakaian yang terbaik, boneka, mainan dan lain-lain; bahkan sebelum anak kami bisa menyatakan secara pribadi apa yang diinginkan, serta apa yang menjadi kesenangannya. Berapa banyak ayah dan ibu yang rela berkorban hanya agar dapat memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.

Ternyata memberi yang terbaik berdasarkan hubungan bukan hanya terjadi antara orangtua terhadap anaknya saja, melainkan juga diantara pasangan kekasih. Mereka berupaya tampil yang terbaik di depan pasangan, serta selalu mengupayakan yang terbaik untuk kebahagiaan pasangannya. Hubungan yang kita miliki berpengaruh terhadap standar kita dalam memberi.

Semakin berkualitas sebuah hubungan, semakin tinggi standar memberi yang ada dalam hubungan tersebut.

Bertolak dari pemahaman ini, standar kita dalam memberi bagi pekerjaan Tuhan melalui Gereja salah satunya juga ditentukan oleh kualitas hubungan kita dengan TUHAN. Kita bisa melihat hal ini dari catatan Alkitab. Di Perjanjian Lama kita akan jumpai hal itu dalam kisah hidup para patriakh, yakni era sebelum adanya hukum Taurat. Di situ kita akan menjumpai bahwa hanya mereka yang memiliki hubungan yang dekat, kualitas hubungan yang sangat intim dengan TUHAN; yang tahu bagaimana memberi yang terbaik dengan inisiatif yang berasal dari dalam dirinya. Nuh, Abraham, Ayub, menjadi salah satu contoh teladan bahwa memberi bukan karena ada hukum yang mencatat atau mengatur tentang hal itu, tetapi memberi karena mereka memiliki hubungan yang berkualitas dengan TUHAN.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Mereka yang memiliki hubungan yang berkualitas dengan TUHAN umumnya memiliki standar yang tinggi dalam memberi, yakni senantiasa berupaya memberi yang terbaik.
  2. Dalam Perjanjian Baru kita bisa meneladani apa yang Maria lakukan. (Yohanes 12:1-8)

    Maria mempersembahkan minyak narwastu murni yang harganya diperkirakan hampir setara dengan upah buruh selama setahun. Bukan hanya soal harga minyaknya yang menjadikan persembahan Maria berkualitas, tapi juga apa yang ia lakukan selanjutnya, menyeka kaki Yesus dengan rambutnya.

    Bagi seorang perempuan rambut adalah mahkotanya yang berharga. Semua yang Maria lakukan adalah contoh standar yang tinggi dalam memberi, yang dilakukan karena memiliki hubungan yang berkualitas dengan TUHAN.

    Ketika Maria melakukan hal tersebut, tidak semua orang mendukung apa yang dilakukannya. Kritik datang dari seorang yang cinta uang dan suka mencuri uang kas yang biasa disimpan dan digunakan untuk mendukung pelayanan dan perjalanan Tuhan Yesus beserta dengan murid-murid yang lain.

    Dengan sangat politisnya, si pencuri uang kas membandingkan antara mempersembahkan sesuatu yang berharga kepada Yesus dengan pelayanan kepada orang-orang miskin. Sebuah alasan yang jika dipandang dari sudut pandang humanisme dan sosial sebagai argumen yang kelihatannya benar, lebih bermakna dan lebih berdampak, namun Tuhan Yesus melihat jauh sampai ke dalaman hati seseorang.

  3. Mereka yang tidak memiliki hubungan yang berkualitas dengan TUHAN hanya dapat memahami pemberian sebagai sebuah hukum yang tertulis.
  4. Sehingga ukuran dan keputusan dalam memberi senantiasa ditimbang berdasarkan hukum yang tertulis semata, sambil meninjau konteks, konteks dan konteksnya. Ketika yang lainnya sudah dengan tekun dan setia mengembalikan persepuluhan, dirinya masih sibuk menggali:

    • Apakah persepuluhan ini benar Alkitabiah?
    • Apakah persepuluhan tetap berlaku di masa Gereja sekarang ini?
    • Ataukah hanya di Perjanjian Lama?
    • Apakah Persepuluhan bisa diterapkan dalam jemaat masa kini atau hanya bagi orang Yahudi saja?

    Dan masih banyak lagi pembahasan-pembahasan yang demikian. Sebenarnya ujung pangkal dari semuanya itu adalah mencari sebuah pijakan untuk menguatkan agar tidak mengembalikan persepuluhan.

    Betapa indah dan luar biasanya jemaat yang mengembalikan persepuluhan atau memberi dengan standar yang terbaik karena dorongan kasih kepada TUHAN, karena memiliki hubungan yang berkualitas dengan TUHAN dan bukan sekedar dorongan dari hukum yang tertulis.

  5. Kaum "cinta akan uang" dan "pencuri kas" milik TUHAN dengan alasan-alasan yang penuh dengan retorika akan selalu mengkritik mereka yang memberi dengan standar yang tinggi bagi pekerjaan TUHAN melalui Gereja.
  6. Tidak jarang dengan piciknya mereka menyamaratakan semua pendeta/hamba Tuhan yang mengajarkan tentang memberi persembahan sebagai golongan pendeta yang mencari keuntungan pribadi dari jemaat. Sekedar memandang apa yang kasat mata tanpa berupaya membuka komunikasi dan mencari tahu berdasarkan fakta, mereka ‘membabi buta’ menghina, mencerca dengan motif seakan membela warga Gereja, namun yang sebenarnya hanyalah mencari muka (popularitas).

Kekristenan adalah hubungan. Hubungan kita dengan Kristus dan hubungan kita dengan sesama. Itulah yang digambarkan dengan hukum yang pertama dan terutama:

Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
(Matius 22:37-40)

Tuhan Yesus mengatakan bahwa dalam hukum kasih inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Hukum kasih haruslah menjiwai, mewarnai semua hukum yang tertulis. Kasih kepada TUHAN dan kasih kepada sesama melampaui konteks, konteks dan konteks. Ketika kasih kepada TUHAN dan kasih kepada sesama memenuhi hidup kita karena Kasih Yesus yang terlebih dahulu telah menjamah kita, maka kita hanya akan memiliki satu standar dalam memberi, YANG TERBAIK! Maranatha. (DL)

Sumber