Pengharapan yang pasti
Renungan khusus | |
---|---|
Tanggal | 25 Mei 2009 |
Selanjutnya |
|
Hari-hari ini manusia menghadapi berbagai keadaan yang tidak pasti. Tapi kita umat perjanjian-Nya, memiliki Allah yang nyata dan yang janji-Nya pasti digenapi. “… Kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu.” (Yesaya 60:2). Dalam setiap keadaan yang kita hadapi, kita memiliki pengharapan yang pasti.
Jaminan dan kepastian yang kita miliki bukan terletak pada seberapa besarnya uang yang kita miliki, melainkan dengan siapa kita berjalan, dan apa yang dapat diperbuat-Nya. Kita berjalan bersama Tuhan yang berjanji dan setia menepatinya, dan yang memegang tangan kita dengan tangan-Nya yang membawa kemenangan.
“… teguh berpegang pada … pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia.” (Ibrani 10:23)
“Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya.” (1 Tesalonika 5:24)
“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” (Yesaya 41:10)
Sebagai keturunan Abraham oleh karena Kristus, kita memiliki hak untuk mewarisi janji Allah kepada Abraham. Janji Allah bagi keturunannya juga diperuntukkan bagi kita.
“Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.” (Galatia 3:29)
Allah telah mengatakan kepada Abraham, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau … dan engkau akan menjadi berkat ... dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” (Kejadian 12:2-3)
Berkat Abraham tersedia bagi kita. Kita dipanggil untuk mengikuti jejak iman Abraham sebagai bapa leluhur. Mari kita contoh iman Abraham, karena mereka yang hidup dari iman, mereka itulah yang diberkati bersama-sama dengan Abraham.
Dalam Kejadian 15:1-5, ketika dalam penantian akan janji Allah yang belum jelas kapan digenapi, Abraham memikirkan keadaan buruk yang dihadapinya. Ia belum punya anak, ia mempertanyakan, siapa nanti yang akan mewarisi hartanya? Usianya telah lanjut. Dalam keadaan pikiran pesimis seperti itu, tiba-tiba Allah berfirman: “Kemudian datanglah firman TUHAN kepada Abram dalam suatu penglihatan: “Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar.”
Apakah Abram langsung percaya, melompat dan bersorak: Haleluya?
Tidak.
Abraham adalah bapa orang beriman, tapi toh ia harus melewati proses belajar dalam pertumbuhan imannya. Ia harus mengalahkan dan membuang ketidakpercayaan dari dalam dirinya. Dia menganggap, bahwa Allah tidak akan memberikan anak kepadanya. Ia tidak akan memiliki pewaris. Abram berkata kepada Allah, “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, … “Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, …”
Tetapi Allah tidak membiarkan Abraham tetap dalam keadaan seperti itu, Ia membawanya keluar. Bukan sekedar keluar dari tenda, tapi keluar dari pandangan dan sikap yang salah. Abram disuruh melihat bintang-bintang di langit, disuruh menghitungnya, dan Tuhan katakan, sebegitulah banyaknya nanti keturunanmu.
“Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.” Maka firman-Nya kepadanya: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.”
Maka Abraham percaya dan ia menerima pembenaran Allah.
Saudara juga harus keluar dari “kungkungan”, yang melihat diri dikuasai keadaan yang serba terbatas. Bertindaklah, dan dengan mata iman, mulai mengarahkan pandangan untuk melihat kepada apa yang Allah tunjukkan. Lihatlah kepada apa yang Allah janjikan, percayalah dengan apa yang Allah sediakan di sorga untuk dibawa turun dan diwujudkan di bumi dalam hidup Saudara.
Lihat contoh Abraham. Walaupun keadaan tubuhnya sudah tidak bisa diharapkan karena sudah tua, namun Abraham berharap juga dan percaya bahwa dia akan menjadi bapa banyak bangsa. Mengapa?
Karena dia tetap pegang janji-Nya yang berkata: “demikianlah nanti banyaknya keturunanmu.”
Mengapa imannya tidak goyah dan mencapai garis akhir?
Karena pengharapannya tidak dibatasi oleh kenyataan tubuhnya. Walaupun secara jasmani sudah tidak lagi punya harapan, namun Abraham tetap memandang Allah dan memperhitungkan-Nya sebagai Allah yang sanggup menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada, dan menghidupkan kembali apa yang sudah mati.
“Seperti ada tertulis: “Engkau telah Kutetapkan menjadi bapa banyak bangsa” -- di hadapan Allah yang kepada-Nya ia percaya, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.” (Roma 4:17)
Mungkin masalah yang Saudara hadapi sudah tidak tertanggulangi lagi, bisnis Saudara sudah hancur, karier Saudara kandas, dan Saudara tidak lagi memiliki apa-apa yang bisa diharapkan dan diandalkan.
Inilah saatnya untuk sungguh-sungguh mencari Tuhan sampai bertemu dengan Allah yang dikenal oleh Abraham. Dan Saudara pun dapat mengenal-Nya sebagai Allah yang membangkitkan apa yang sudah mati dan membuat menjadi ada, apa yang semula tidak ada di dalam diri Saudara. Dia sedang menggenapi janji-Nya.
Kuasa kebangkitan Kristus sedang bekerja dan kuasa mujizat kreatif Allah sedang dilepaskan atas umat-Nya. Cepat tanggulangi ketidakpercayaan Saudara selama ini, ikuti jejak iman Abraham, sebab Saudara adalah pewaris dari janji itu. Dengarkan panggilan-Nya, tanggapilah, inilah waktunya Saudara mengalaminya sendiri.
“Carilah TUHAN dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu!” (Mazmur 105:4)
“Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui.” (Yeremia 33:3)
Sumber
- [MG] Renungan Khusus (29 Mei 2010). GBI Jalan Gatot Subroto.