Kedaulatan Tuhan dan kehendak bebas manusia

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 22 November 2022 17.22 oleh Leo (bicara | kontrib) (Penggantian teks - "| illustration1x1= Berkas: Renungan Khusus 2019-1x1.jpg↵| illustration16x9= Berkas: Renungan Khusus 2019.jpg" menjadi "| illustration1x1= Renungan Khusus 2019-1x1.jpg | illustration16x9= Renungan Khusus 2019.jpg")
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal29 Agustus 2021
PenulisPdt Nathan Subroto, MDiv
Sebelumnya
Selanjutnya

Bukti bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan kualitas “segambar” dan “serupa” dengan Tuhan, Allah Sang Pencipta, adalah manusia diberi akal budi untuk berpikir dan menimbang-nimbang keputusan. Manusia tidak diciptakan bagai sebuah robot atau mesin yang hanya beroperasi sesuai dengan tombol-tombol ataupun perintah-perintah dari “sang operator”. Waktu menghadapi banyak pilihan, sebagai makhluk berakal budi, manusia dilatih untuk dapat menimbang-nimbang segala pilihan-pilihan itu, inilah yang disebut dengan kehendak bebas.

Di Taman Eden ada berbagai jenis pohon, yaitu pohon-pohon yang buahnya bisa dimakan, pohon kehidupan dan pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. (Kejadian 2:16-17)

Pohon pengetahuan yang baik dan jahat tidak dilenyapkan dari taman Eden oleh Tuhan sebagai bukti bahwa Allah menghargai kehendak bebas manusia. Manusia diajar untuk bertanggung jawab dengan pilihan yang dibuatnya, karena ada konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil.

Tuhan yang Maha Berdaulat menciptakan manusia dengan memiliki kehendak bebas (kemerdekaan) dalam memilih, sebagai cerminan pemberian Kedaulatan Tuhan bagi manusia dalam porsi yang terbatas. Kehendak bebas manusia sama sekali tidak dapat melunturkan kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan.

Mengenai kemerdekaan/kebebasan manusia, ada peringatan keras dalam Galatia 5:13. Walaupun manusia dipanggil untuk hidup dalam kemerdekaan, jangan sampai kehendak bebas itu digunakan untuk hidup dalam dosa yang dapat merusak kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya, kemerdekaan itu hendaknya dipakai untuk dapat melayani/membangun satu dengan lainnya atas dasar kasih sesuai dengan kehendak Tuhan.

Barry Schwartz, lewat ‘The Paradox of Choice’ menyatakan bahwa ada dua jenis kebebasan atau kemerdekaan:

  • Kebebasan negatif (Negative Freedom): adalah bebas dari perintah dan aturan. Dengan bebas dari perintah dan aturan, manusia menjadi makhluk liar.
  • Kebebasan positif (Positive Freedom): adalah suatu keadaan di mana manusia dengan kebebasan yang dimiliki memilih untuk melakukan isi perintah dan aturan yang dapat memaksimalkan potensi manusia.

Bila manusia yang diciptakan dengan memiliki kehendak bebas menggunakan kebebasannya secara negatif, manusia menjadi bebas sebebas-bebasnya, tanpa aturan, tanpa hukum, tanpa etika, tanpa moral, tanpa mempertimbangkan hak dan kewajiban sesamanya; dan manusia akan menjadi makhluk yang liar.

Tapi bila manusia yang memiliki kehendak bebas menggunakan kebebasannya untuk memilih yang baik dan benar, maka lewat pilihannya itu, ia dapat memaksimalkan potensi dirinya sendiri dan juga potensi orang lain, sehingga apa yang sudah dirancangkan oleh Allah Sang Pencipta dapat dicapai secara penuh.

Penjelasan Barry Schwartz dapat membantu menjawab, mengapa Tuhan ‘membiarkan’ pohon tersebut tetap berada di dalam taman Eden. Tuhan menghendaki manusia menggunakan kehendak bebasnya untuk menaati kehendak Tuhan. Sehingga Allah melihat bahwa manusia mengikuti kehendak-Nya bukan karena tidak ada pilihan lain, melainkan dengan sadar memilih untuk taat akan perintah Tuhan. Inilah tujuan Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia, di tengah-tengah segala pilihan yang ada, manusia tetap dapat menaati Kehendak Tuhan.

Sayangnya, manusia gagal, keliru menggunakan kehendak bebasnya, sehingga jatuh ke dalam dosa. Padahal, jika manusia memilih untuk taat kepada Tuhan, rencana Tuhan akan digenapi dengan sempurna. (Kejadian 1:28)

Tuhan tetap bekerja di atas kehendak bebas manusia

Roma 8:28, Allah turut bekerja dalam ‘segala sesuatu’, termasuk di dalamnya adalah kehendak bebas manusia. Allah dapat menunjukkan kedaulatan-Nya dalam kehendak bebas manusia.

Kisah Perjalanan Hidup Yusuf (Kejadian 37) Waktu saudara-saudara Yusuf melihat bahwa Yakub lebih mengasihi Yusuf, bencilah mereka kepada Yusuf, dan kebencian kepada Yusuf bertambah, setelah Yusuf menceritakan mimpi-mimpinya kepada mereka. Akhirnya mereka berniat untuk membunuh Yusuf, tapi Ruben mengusulkan supaya Yusuf dimasukkan ke dalam sumur kering. Selanjutnya, tanpa sepengetahuan Ruben, mereka menjual Yusuf kepada rombongan orang Ismael yang sedang dalam perjalanan ke Mesir.

Kisah perjalanan hidup Yusuf sarat dengan penderitaan, dimulai dengan kedegilan saudara-saudara kandungnya, tipu daya istri Potifar, dan ketidaksetiaan dari sahabat-sahabatnya di penjara; tapi berakhir dengan penuh kemenangan dan sukacita. Ia dipakai Tuhan untuk menyelamatkan keluarganya dari bencana kelaparan.

“Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kejadian 50:20)

Ketika saudara-saudara Yusuf merancangkan yang jahat kepadanya, Tuhan tidak melakukan intervensi atas tindakan jahat mereka tapi Allah menggunakan perbuatan-perbuatan jahat saudara-saudara Yusuf tersebut untuk menjadi jalan bagaimana Allah membangun sebuah bangsa yang besar.

Menggunakan kehendak bebas dengan benar

Yesus Kristus dalam Yohanes 15:7 mengajarkan:

“Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.”

Dalam frasa “Mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.” terlihat betapa Tuhan juga tetap menghargai kehendak bebas manusia. Bagaimana supaya kehendak bebas manusia tidak dipakai sembarangan sehingga jatuh dalam dosa? Jawabannya adalah, “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu”. Supaya tidak salah dalam menggunakan kehendak bebasnya, manusia harus betul-betul hidup melekat dengan Tuhan dan selaras dengan Firman Tuhan.

Tuhan mengajarkan manusia untuk memiliki pengetahuan (cognitive) yang benar tentang Tuhan dan memiliki pengalaman hidup (affective) bersama dengan Tuhan sehingga manusia dapat menggunakan ‘kehendak bebas’ yang sesuai dengan Kehendak Tuhan.

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran (cognitive) dan perasaan (affective) yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” (Filipi 2:5)

Paulus dalam Galatia 5 mengajarkan supaya tidak tersesat dalam kehendak bebasnya, manusia harus hidup sesuai dengan pimpinan Roh Kudus,

“Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging.” (Galatia 5:16)

Berjalan dalam kehendak Tuhan tidak selalu mulus

Pada tahun 1921, ada dua keluarga; David Flood dan Svea serta Joel Erickson dan Bertha; yang atas keinginan mereka sendiri berangkat menuju pedalaman Afrika untuk menginjil di sana. David dan Svea membawa serta David Jr, bayi pertama mereka yang berusia dua tahun. Dalam perjalanan itu, David Jr. terkena penyakit malaria. Waktu tiba di suatu desa, mereka tidak diizinkan untuk masuk desa itu, sehingga mereka mendirikan pondok dari lumpur yang berada di tepi luar desa dan tinggal menetap di sana.

Setelah beberapa bulan, mereka menderita kekurangan gizi parah dan jarang berhasil berhubungan dengan penduduk desa. Setelah lewat enam bulan, kedua keluarga ini berpikir untuk pulang. Keluarga Erickson memutuskan untuk kembali ke Swedia, tetapi karena Svea hamil, keluarga Flood tetap tinggal di desa itu. Saat itu, Svea pun terserang malaria dan sering mengalami demam, tetapi ia tetap memberikan bimbingan rohani kepada satu-satunya kontak mereka dengan penduduk lokal, seorang anak kecil dari penduduk desa tersebut.

Malaria membuat kondisi Svea terus memburuk di tengah-tengah kehamilannya. Ia berhasil melahirkan seorang bayi perempuan, tetapi setelah melahirkan, ia meninggal dunia. Secara manusia, mereka gagal dalam melaksanakan apa yang menjadi kerinduan mereka untuk menjadi misionaris di Afrika, bahkan David Flood harus kehilangan istrinya.

Tapi siapa yang menyangka bahwa seorang anak kecil yang membantu keluarga Flood, satu-satunya penduduk asli yang berhasil dibimbing untuk menjadi pengikut Kristus akhirnya menjadi penginjil yang berhasil dan memimpin sebuah gerakan Pentakosta dengan 110.000 orang Kristen, 32 pos penginjilan, satu pusat sekolah Alkitab, dan rumah sakit dengan kapasitas 120 tempat tidur. Nama orang itu adalah Ruhigita Ndagora.

Walaupun secara manusia mereka merasa gagal, bahkan harus kehilangan banyak hal, tapi “Allah lewat Roh-Nya turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”

Tuhan Yesus memberkati kita semua. (NS)