Insan Pentakosta dan kepedulian terhadap pemerintahan

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 6 Desember 2024 07.45 oleh Leo (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal24 November 2024
PenulisPdt Chris Silitonga, MEd
Renungan khusus lainnya

Tahun 2024 dapat dikatakan sebagai tahun politik, bukan hanya untuk Indonesia tetapi juga untuk seluruh dunia. Majalah TIME menyatakan bahwa 64 negara di dunia, termasuk Uni Eropa, melakukan Pemilihan Umum (Pemilu) di negara masing-masing.[1] Ini melibatkan 49% jumlah total penduduk dunia.[2] Pemilihan ini mencakup pemilihan pejabat eksekutif, seperti Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, maupun legislatif, seperti anggota DPR, Senat dll.

Seluruh Indonesia pun di penghujung 2024 ini akan menggelar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Para pemimpin yang terpilih akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan yang akan sangat mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat pada cakupan kekuasaan masing-masing pemimpin.

Dinamika ini memunculkan pertanyaan yang kerap diutarakan oleh umat Kristen:

“Apakah umat Kristen, khususnya insan Pentakosta, perlu peduli terhadap dinamika politik dan pemerintahan bangsanya?”

Pertanyaan yang sesungguhnya dapat dibahas panjang lebar dan dikembangkan lebih jauh ini, akan dijawab dengan relatif singkat dan padat melalui artikel ini.

Politik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:

  1. pengetahuan tentang ketatanegaraan atau mengenai kenegaraan seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan,
  2. segala urusan dan tindakan – kebijakan, siasat dan sebagainya – mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain,
  3. cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah; kebijaksanaan.

Dari pengertian-pengertian ini dapat disimpulkan politik adalah penting karena berkisaran dalam hal pengambilan dan penentuan kebijakan/keputusan/tindakan yang mempengaruhi masyarakat dan negara.

Kepedulian insan Pentakosta dalam politik/pemerintahan, sebagai warga negara, adalah hal yang sepatutnya dilakukan. Dalam hal ini umat Kristen di Indonesia pun sudah terlibat dalam politik/pemerintahan semenjak dahulu, termasuk dalam menyusun dan menetapkan konstitusi UUD 1945 pada awal kelahiran Indonesia. Kepedulian maupun keterlibatan umat Kristen dalam politik biasanya diklasifikasikan dalam 2 (dua) kategori, yaitu:

  • keterlibatan: secara pasif, seperti membayar pajak dan menuruti hukum yang berlaku, dan
  • keterlibatan secara aktif, seperti menentukan pilihan dalam Pemilihan Umum, mendukung partai tertentu, maupun mencalonkan diri untuk posisi jabatan publik tertentu.

Berdasarkan Kejadian 41:38-41; Yeremia 29:7, kita melihat pentingnya keterlibatan umat percaya dalam politik dan spiritual, selaku warga negara. Kita juga melihat beberapa teks Alkitab yang menunjukkan pentingnya untuk memilih dan menetapkan pemimpin-pemimpin yang baik agar penata-layanan atas masyarakat dapat berjalan baik.

Dari kisah pengangkatan Yusuf sebagai kuasa atas seluruh Mesir (Kejadian 41:38-31), yang memiliki kekuasaan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan kerajaan Mesir, kita mendapatkan empat prinsip mengenai keterlibatan umat Tuhan dalam menentukan arah kehidupan masyarakat:

  1. Umat Kristen dapat membuat suatu perbedaan yang positif dengan berada di dalam sistem kenegaraan atau pemerintahan, dengan memberi kontribusi yang positif.
  2. Karakter yang saleh membuat perbedaan, bahkan ketika segala sesuatunya berjalan berlawanan dengan kita.
  3. Kebijaksanaan dan kearifan berasal dari Tuhan. Orang-orang akan mengetahui dan memperhatikan ketika kita mengandalkan Tuhan dan mengembalikan segala kemuliaan serta penghargaan kepada-Nya.
  4. Tuhan memberikan hikmat untuk membuat strategi yang baik dalam menjalankan pemerintahan dan menggerakkan ekonomi.

Anggapan bahwa politik/pemerintahan adalah “kotor” justru seyogyanya membuat insan Pentakosta — sebagai garam dan terang dunia (Matius 5:13-16) — masuk ke dalam apa yang dipandang “kotor” tersebut, menggaraminya dengan nilai-nilai kebenaran, dan dengan memancarkan cahaya Allah di sana, sehingga yang kotor menjadi bersih dan yang gelap berubah menjadi terang.

Kita juga melihat contoh lain seperti Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya, yang juga menerapkan prinsip-prinsip serupa sebagai para pemimpin Kerajaan Babel (Daniel 1:19-20, bdk. Yeremia 29:7). Keempat prinsip di atas harus diingat dan dilakukan saat umat Kristen terlibat aktif dalam politik/pemerintahan.

Apa yang TUHAN katakan kepada Salomo setelah penahbisan Rumah Allah menunjukkan bahwa kondisi fisik suatu wilayah, bangsa dan negara, ternyata sangat bergantung kepada kualitas rohani umat Tuhan yang ada di sana (2 Tawarikh 7:13-14). Apa yang Tuhan katakan dalam ayat tersebut sepertinya berupa tindakan pasif, yaitu berdoa bagi negeri, namun jika kita perhatikan ternyata hal tersebut berdampak aktif, yaitu kondisi yang berpengaruh langsung kepada kehidupan suatu bangsa/negara. Korelasi antara kedua faktor ini penting untuk diperhatikan senantiasa oleh umat Tuhan di dalam suatu negara.

Faktor doa dan tuntunan Roh Kudus yang didapatkan dari iluminasi kebenaran Firman dan tuntunan-Nya, merupakan suatu keharusan bagi insan Pentakosta yang peduli pada kondisi politik/pemerintahan bangsanya.
Ini faktor yang penting. Mark J. Cartledge dalam bukunya “The Holy Spirit and Public Life” mengatakan bahwa Roh Kudus sebagai pengantara hadirat Kristus dalam kehidupan murid-murid, menjadi rangka pikir yang amat penting bagaimana umat Kristen dapat aktif dalam menjalankan perannya sebagai bagian masyarakat, menjadi berkat bagi masyarakat, dan tetap menjalankan misi Kristus di dunia, sekalipun ada tentangan-tentangan dari dunia.[3] Penyertaan Roh Kudus penting dalam dinamika politik dan bernegara. Itulah sebabnya konsistensi hubungan insan Pentakosta dengan Tuhan melalui doa dan pujian-penyembahan di dalam roh dan kebenaran, menjadi sangat krusial bagi insan Pentakosta dalam menjalankan perannya sebagai bagian dari masyarakat, dan kepeduliannya terhadap politik/pemerintahan, oleh karena kualitas hubungan dengan Tuhan-lah yang akan menjadi saluran tuntunan Roh Kudus dalam penyusunan, pengambilan, penetapan berbagai kebijakan, keputusan maupun mengangkat pemimpin-pemimpin publik.

Perlu diperhatikan bahwa konteks kepedulian/keterlihatan insan Pentakosta dalam politik/pemerintahan adalah sebagai individu Kristiani yang juga adalah warga negara. Gereja secara institusi tidaklah melakukan politik praktis, namun memberikan pembelajaran kepada jemaatnya untuk berpartisipasi aktif menjalankan tugas kewarganegaraan mereka.

Lalu bagaimana dengan keterlibatan insan Pentakosta dalam Pemilu — khususnya Indonesia yang akan melakukan Pilkada serentak — dalam memilih siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin-pemimpin di pemerintahan?

Secara esensi, setiap organisasi membutuhkan pertimbangan yang dalam bila akan memilih orang-orang yang akan dipercaya untuk membuat dan mengambil keputusan-keputusan bagi organisasi tersebut. “Organisasi” yang dimaksudkan di sini bisa dari skala kecil, seperti sekelompok kecil masyarakat, sampai yang amat besar yaitu negara.

Dr. Johannes Leimena, seorang Kristen, Politikus dan Pahlawan Nasional Indonesia, mengungkapkan bahwa negara adalah persekutuan dari orang-orang yang hidup dalam satu daerah.[4] Persekutuan tersebut memiliki pemerintah yang mempunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk menjalankan negara. Negara adalah suatu bangsa yang mempunyai organisasi teritorial dengan suatu peraturan hukum yang dijalankan atas dasar suatu kekuasaan yang berdaulat.[4] Untuk negara dapat dijalankan sebagai pelindung kehidupan dan hak-hak warga, menjalankannya atas dasar hukum dan keadilan, maka dibutuhkan kewarganegaraan (‘politik’) dan penempatan orang-orang yang bertanggung-jawab.

Alkitab mengungkapkan hal yang sama pun dilakukan dari waktu ke waktu oleh orang percaya, misalnya:

  • Di Perjanjian Lama, Musa memilih para pemimpin-pemimpin di bawahnya dan memberi mereka kewenangan dalam mengambil keputusan sesuai level otoritas mereka (Keluaran 18:21-26).
  • Di Perjanjian Baru, para rasul meminta jemaat untuk memilih dengan baik tujuh orang diantara jemaat untuk melakukan tugas-tugas administratif dan diakonia gereja (Kisah Para Rasul 6:3).

Tentu kita dapat memasukkan kisah Daniel dan kawan-kawan ke dalam contoh di atas. Dari contoh-contoh ini saja, kita mengerti bahwa pemilihan seorang pemimpin dalam organisasi, bukan saja harus memperhatikan kapasitas dan kapabilitas/kemampuannya semata, tetapi juga kredibilitas, karakter dan integritas-nya sebagai individu.

Baik narasi Perjanjian Lama dan Baru juga menunjukkan bahwa pemimpin yang dipilih hendaklah yang takut akan Allah (bdk. Lukas 19:11-27). Paulus dalam nasihatnya kepada Timotius menambahkan syarat pentingnya seorang pemimpin organisasi, dalam hal ini gereja, memiliki kemampuan untuk mengajar, berkomunikasi, membangun hubungan serta memiliki kehidupan pribadi dan keluarga yang tidak menjadi sandungan (1 Timotius 3:1-13). Prinsip yang sama sangat dapat diterapkan untuk pemilihan pemimpin pemerintahan.

Pemilihan pemimpin pemerintahan yang memenuhi kriteria-kriteria Alkitabiah di atas akan membuat negara dapat dijalankan dengan baik (Roma 13:1-7). Negara yang baik adalah negara yang bergerak di dalam keputusan-keputusan yang benar, yang dibuat oleh orang-orang yang benar dalam memimpin. Paulus dengan gamblang dalam Roma 13:4 bahwa pemerintahan adalah alat yang Tuhan gunakan untuk mendatangkan kebaikan bagi kita; namun bagian kita secara Aktif adalah memilih dan menempatkan para pemimpin yang mau bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran yang Alkitabiah.

Aplikasi sebagai Insan Pentakosta di Indonesia

Mempelajari dan memperhatikan apa yang telah kita bahas di atas, maka aplikasinya sebagai umat Kristen warga negara Indonesia, khususnya insan Pentakosta, adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai insan Pentakosta dan warga negara Indonesia, kita harus peduli pada kondisi politik/pemerintahan bangsa ini, baik secara pasif dan aktif, karena kehidupan dan dinamika yang terjadi di Indonesia akan mempengaruhi kehidupan kita. Allah juga meminta kita memperhatikan dan peduli pada negeri di mana Ia telah menempatkan kita.
  2. Kita harus menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan, dengan kesadaran penuh bahwa dengan mengandalkan Roh Kudus, Ia yang akan memberi tuntunan, hikmat dan kearifan kepada kita saat kita menjalankan bagian kita sebagai warga negara Indonesia.
  3. Memilih dengan mempelajari dan pertimbangan yang dalam menentukan pilihan pemimpin daerah dan partai pengusungnya, yang akan didudukkan sebagai penerus aspirasi, pandangan dan kerinduan kita. Ini juga perlu hikmat dan tuntunan Roh Kudus.
  4. Gunakan hak pilih sebagai warga negara Indonesia. Sikap masa bodoh, tidak peduli, bahkan ‘golput’, bukanlah sikap yang benar. Alkitab mengajarkan bahwa kita perlu mengenali dengan baik siapa yang hendak kita angkat menjadi pemimpin kita. Hal ini mungkin terdengar ribet, namun kita percaya bahwa dengan hikmat Roh Kudus yang berjalan bersama dengan kita, kita akan mampu menentukan pilihan kita.

Sebagai penutup, mari perhatikan dan renungkan apa yang Dr. J. Leimena tuliskan berikut ini:

Dalam hal kecintaan, kesetiaan, ketaatan kepada dan pengorbanan bagi tanah air, bangsa dan negara, orang Kristen tidak dan tidak boleh kurang dari pada orang-orang lain, bahkan ia harus menjadi teladan bagi orang lain sebagai pecinta tanah air, warga negara yang bertanggung jawab dan nasionalis sejati. Segala sesuatu ini adalah refleksi dari pada kecintaan, kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhannya, dengan pengertian: “Soli Deo Gloria” (segala kemuliaan adalah hanya bagi Tuhan).[4]

Mari kita lakukan bagian kita sebagai warga negara, dengan iman percaya apapun hasilnya Roh Kudus akan membawa kesejahteraan dan keadilan yang lebih baik bagi Indonesia, melalui para pemimpin yang terpilih. Amin.(CS)

Referensi

Tahun 2024 dapat dikatakan sebagai tahun politik, bukan hanya untuk Indonesia tetapi juga untuk seluruh dunia. Majalah TIME menyatakan bahwa 64 negara di dunia, termasuk Uni Eropa, melakukan Pemilihan Umum (Pemilu) di negara masing-masing.