Perempuan berharga di mata Tuhan

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 6 Oktober 2024 01.12 oleh Leo (bicara | kontrib) (Penggantian teks - "Rudy Limuria" menjadi "Rudi Limuria")
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal01 Agustus 2021
PenulisPdp Rudi Limuria, MA, CFP
Renungan khusus lainnya

Kebanyakan orang jika diminta untuk menggambarkan sosok Tuhan, gambarnya selalu LAKI-LAKI. Bukan PEREMPUAN. Sosok Tuhan dengan maskulinitas seperti seorang bapa sedang tersenyum jika kita melakukan perbuatan terpuji atau menaruh tangan-Nya di pinggang sambil merengutkan dahi-Nya dengan mata yang marah. Jarang sekali sosok-Nya digambarkan sebagai seorang Ibu yang sedang menaruh kepedulian atau memelihara anak-anaknya.

Tuhan tidak bergender

Tuhan bukan ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’. Dia adalah Roh (Yohanes 4:24). Dia tidak bergender. Namun dalam penulisan Alkitab didasarkan pada budaya bangsa Israel yang patriarkal, Tuhan digambarkan sebagai laki-laki. Tuhan digambarkan sebagai raja bukan ratu, sebagai Bapak bukan Ibu.

Tuhan pun memilih terminologi maskulin ketika Ia mengekspresikan diri-Nya. Bahkan Yesus melambangkan gereja-Nya sebagai mempelai wanita dan Dia sebagai mempelai pria. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Israel menyembah Allah yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di sekeliling mereka, yaitu Allah yang benar, Allah yang memberikan pemeliharaan dan pembelaan dengan tangan-Nya yang kuat. Kebudayaan pagan sekitar Israel saat itu kebanyakan melambangkan sosok ilahi yang disembah; dewi-dewi. (“Is God Male?” oleh Chad Owen Brand, - Apologetics Study Bible HCSB hal 1209)

Iman dasar Kekristenan mempercayai bahwa Yesus itu adalah putera (son) dari Allah (Bapa). Ini juga mengandung makna maskulinitas. Namun demikian Tuhan juga digambarkan sebagai seorang ibu (Mazmur 131:2; Matius 23:37). Tuhan juga tidak pilih kasih. Tuhan menyatakan kasih seperti seorang ibu yang merasakan sakit bersalin (Yesaya 66:12-13; Yesaya 42:14).

Implikasi dari semua penulisan mengenai Tuhan di atas, bukan berarti Tuhan membedakan nilai-nilai, hak, dan martabat antara laki-laki dan perempuan. Perempuan bukan masyarakat kelas dua di hadapan Tuhan. Kita semua sama di hadapan Tuhan sebagai pembawa gambaran-Nya. Demikian juga dalam gereja dan pelayanan. (Kejadian 1:27-28; Galatia 3:28)

Tuhan memberi tempat kepada perempuan dalam gereja

Banyak contoh dalam Alkitab yang menunjukkan perempuan diberikan penghormatan, dipercayakan menjadi pimpinan, mengajar, bahkan bernubuat. Yesus dalam pelayanan-Nya juga menghilangkan diskriminasi terhadap kaum perempuan dan penyalahgunaan otoritas oleh laki-laki. Hal ini banyak tidak diketahui oleh kaum perempuan masa kini.

Dia menuntun mereka untuk menemukan kehidupan kekal. Dia bersahabat dengan Martha, menyuruh Maria Magdalena untuk memberitakan injil setelah ia dibebaskan dari 7 roh jahat. Yesus juga memuji perbuatan perempuan yang mengurapi kaki-Nya dan Yesus bahkan menyelamatkan hidup seorang pelacur dari hukum rajam (Yohanes 8:11). (“Defending Femininity, Why Jesus is good news for women” - Sean Mc. Dowell PhD, Apologetics for A New Generation, hal 226)

Gereja kita pun konsisten mengikuti apa yang Tuhan ajarkan; perempuan dapat diangkat sebagai gembala, guru KOM, Worship Leader, Pengkhotbah, Gembala COOL dan sebagainya.

Rasul Paulus juga mendukung para perempuan untuk bernubuat (1 Korintus 11:5), memakai penutup kepala sebagai lambang kehormatan saat zaman itu.

Lalu bagaimana dengan ayat 1 Timotius 2:9-15 di mana sepertinya perempuan harus berdiam diri, tidak boleh mengajar, tidak boleh berdandan dengan memakai perhiasan yang mahal-mahal? Sekali lagi hal ini bukan dimaksudkan untuk merendahkan martabat atau status dari perempuan. Paulus pada saat itu sedang menangani masalah dalam jemaat Efesus, di mana kaum perempuannya sedang dilanda ajaran sesat, di mana perempuan mendominasi, mengambil alih otoritas sehingga merusak tatanan struktur yang Tuhan kenan. Ini pengaruh dari budaya paganisme setempat.

Pada zaman itu Efesus memiliki kuil terbesar dewi Artemis (dewi kesuburan). Banyak dari kalangan perempuan elit yang melayani jemaat saat itu dihormati dan dianggap sebagai dewi. Banyak dari mereka yang mengajarkan ajaran-ajaran sesat. (“The Bible Handbook of Difficult Verses”, Josh and Sean Mc. Dowell PhD, hal 272-273). Jika Paulus melarang perempuan untuk mengajar, maka tidaklah mungkin dia menyebut Euodia dan Sintikhe, perempuan yang berjuang dalam pekabaran injil bersama. Paulus. (Filipi 4:2-3)

Paulus juga menghormati dan memperhitungkan jerih payah Febe, seorang perempuan yang bertugas sebagai Diakones jemaat di Roma. (Roma 16:1-2)

Injil menghormati hak-hak perempuan

Jadi Kekristenan sebenarnya membawa kabar sukacita kepada kaum perempuan dan merubah pola pikir laki-laki yang menganggap dirinya lebih superior. Negara-negara yang mengeksploitasi perempuan umumnya adalah yang membatasi penginjilan atau sedikit terpapar oleh injil (“Does the Bible Demean women?”, Sharon James, Apologetics Study Bible HCSB hal 730).

Lihatlah Korea Utara, Afganistan, Siria; tentu lebih banyak lagi eksploitasi terhadap kaum perempuan di negara-negara tersebut. Kita di Indonesia perlu terus berdoa dan berupaya, karena belum adanya undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang spesifik mendefinisikan tindakan-tindakan kekerasan dan pelecehan seksual dan yang mengharuskan adanya pemulihan dari si korban, terutama perempuan.

Akibat salah memahami posisi Tuhan terhadap gender

Mengapa perlu mengetahui bahwa Tuhan itu bukan hanya sebagai bapa tetapi juga seperti ibu dan bahwa Dia sahabat kaum perempuan, adalah penting buat gereja-Nya? Sebab banyak kaum perempuan merasa direndahkan. Mereka merasa tidak mempunyai nilai dalam kehidupan sosial dan rohani, sehingga banyak yang karunianya tidak dipakai/terabaikan untuk membangun kerajaan Allah.

Sebagian lagi mungkin menganggap Alkitab itu salah isinya dan jadinya tidak mau menaati otoritas firman Tuhan lagi. Bahkan ada yang mengikuti gerakan feminisme dan merasa bahwa perempuan lebih berkuasa dari laki-laki. Atau memilih diam sama sekali, dengan kepahitan di hatinya. Banyak juga yang tidak bisa mendekat kepada Tuhan karena mengalami trauma oleh ayahnya yang sering menganiaya atau melakukan pelecehan seksual, sehingga kehilangan figur bapa yang baik. Tidak heran banyak yang sukar memanggil Allah sebagai ‘Bapa’ dalam doa, karena mengalami figur laki-laki/ayah/bapa yang tidak baik dalam hidupnya.

Anggapan salah sebagai penyebab konflik

Ada beberapa anggapan yang salah sehingga menyebabkan para perempuan merasa rendah diri, berkonflik dengan para pria, bahkan menganggap diri mereka sebagai masyarakat kelas dua di hadapan Tuhan. Kita perlu mengoreksi anggapan tersebut dengan mencermatinya sesuai firman Tuhan.

Anggapan-anggapan yang salah antara lain sebagai berikut:

  1. Kesetaraan berarti serupa
  2. Kesetaraan bukan berarti serupa dalam fungsi, tugas dan kewajiban. Hal ini bisa kita pahami dari firman Tuhan yang menggambarkan ketritunggalan Allah. Secara esensi, tiga pribadi ini adalah Allah sendiri, namun dalam menjalankan fungsinya masing-masing; Allah Bapa, Anak/Putera, dan Roh Kudus mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda.

    Dalam karya keselamatan Bapa berfungsi untuk merencanakan keselamatan, Anak (Kristus) melaksanakannya melalui salib dan kebangkitan-Nya, dan Roh Kudus mewujudkannya dengan memberikan kelahiran baru (bahan ajar diklat Pdp “ROH KUDUS” oleh Pdt Rubin Adi Abraham).

    Demikian juga mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan: meskipun memiliki hak-hak sama sebagai pembawa gambaran Allah seperti hak untuk hidup, menikmati hasil kerja dan didengarkan, adalah hak-hak yang wajib untuk diperjuangkan, namun seorang perempuan dalam fungsi dan kewajibannya tetap tidak serupa dengan laki-laki, khususnya dalam pernikahan.

    Laki-laki dengan kekuatan maskulinnya sebagai KEPALA berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga dan memberi perlindungan. Perempuan dengan karunia lemah lembutnya adalah PENOLONG yang memelihara keluarganya dan membantu mewujudkan rencana keluarga.

  3. Penundukan diri adalah tanda nilai status yang lebih rendah
  4. Umumnya dunia mengajar bahwa orang yang tunduk kepada otoritas lebih tinggi artinya orang tersebut punya nilai status lebih rendah. Nyatanya tidak selalu demikian. Penundukan diri bisa berupa bentuk ekspresi ketaatan dan penghormatan. Yesus tunduk perintah Bapa, meskipun Dia sama derajatnya dengan Bapa. Dia taat sampai mati di kayu salib (Lukas 22:42). Penundukan diri-Nya adalah suatu kemuliaan di hadapan Allah. Perempuan/istri sebagai penolong laki-laki/suami bukan berarti lebih rendah derajatnya di hadapan Allah. Justru mereka penolong yang sepadan dan melengkapi gambaran Allah yang utuh.

  5. Perempuan bernilai hanya jika mempunyai status jabatan yang sama dengan laki-laki
  6. Pandangan ini berlawanan dengan Amsal 31:10 dan 29. Di sini kita melihat seorang ibu rumah tangga yang Tuhan beri kehormatan tinggi. Sekalipun jabatan ibu rumah tangga, mereka tetap mempunyai nilai yang hakiki di hadapan Tuhan (lihat KOM 230.7 hal 191). Ini sejalan dengan prinsip Tuhan mempercayakan perempuan untuk melakukan pelayanan dalam tubuh-Nya.

Pandangan yang salah bisa membuat kaum perempuan merasa didiskriminasi dan terkucilkan sehingga talenta yang dimilikinya untuk membangun tubuh Kristus tidak tergunakan maksimal. Perempuan bukanlah masyarakat kelas dua; mereka berperan sebagai penolong dan bersama-sama dengan laki-laki mempunyai nilai martabat yang sama di hadapan Tuhan. (RL)

Sumber

  1. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (APHB)
  2. The Apologetic Study Bible (HCSB)
  3. Apologetics for A New Generation (Sean McDowell)
  4. The Bible Handbook of Difficult Verses (Josh and Sean McDowell)
  5. https://www.instagram.com/tv/CGFd4xRH4v7
    https://www.youtube.com/watch?v=Rg2Sh4T6VrQ&t=807s