Hidup kudus? Mungkinkah?

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 3 September 2024 02.34 oleh Leo (bicara | kontrib) (Penggantian teks - "border-left " menjadi "border-start ")
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal10 Maret 2024
PenulisPdt Dr Hendrik Timadius, MBA, MTh
Renungan khusus lainnya

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.

Efesus 1:3

Setelah percaya kepada Tuhan Yesus dan menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat dalam hidup kita, firman Tuhan memberikan janji bahwa kita pasti diselamatkan (Kisah Para Rasul 16:31). Kita dipindahkan dari dalam kegelapan ke dalam terang Tuhan yang ajaib. (1 Petrus 2:9)

Perubahan status tersebut menuntut suatu perubahan dalam hidup setiap kita. Dari yang semula kita bebas untuk melakukan apapun sekehendak kita, setelah mengakui Yesus sebagai Tuhan, tentu kita perlu hidup seturut dengan kehendak-Nya. Salah satu kehendak-Nya bagi kita ialah supaya kita hidup kudus. (1 Petrus 1:15)

Supaya bisa hidup kudus, kebanyakan orang akan mencari langkah-langkah atau metode praktis atau resep ‘langkah menuju kekudusan’. Tidak sedikit orang Kristen yang menyamakan langkah untuk hidup kudus sebagaimana langkah untuk meraih kesuksesan di dunia. Hidup kudus seakan-akan dapat diraih dengan mengikuti suatu daftar hal-hal yang harus dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan.

Tidak ada yang salah dengan membuat daftar perintah dan larangan seperti itu asal berdasarkan pada firman Tuhan. Orang pun perlu mengambil tindakan untuk menunjukkan imannya, karena “iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati." (Yakobus 2:26)

Bahkan kitab Imamat berisikan berbagai perintah dan larangan untuk orang Israel agar hidup berkenan di hadapan Allah. Namun, tanpa disadari mengikuti hal ini dapat membuat orang terlalu fokus dengan apa yang dia bisa dan harus lakukan. Dalam istilah Alkitab, ini disebut dengan ‘mengandalkan kekuatan sendiri’ (Yeremia 17:5). Perhatikan bahwa Bangsa Israel pun gagal dalam memenuhi tuntutan hukum Taurat!

Berusaha hidup kudus dengan mengandalkan kekuatan sendiri adalah paradigma lama yang salah.

Jika demikian bagaimana seharusnya kita hidup kudus? 1 Petrus 1:16 berkata,

Kuduslah kamu, sebab Aku [Tuhan] kudus

Dalam ayat-ayat sebelumnya, kita akan menemukan bahwa sebelum Allah Bapa meminta “kuduslah kamu”, Ia;

karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu." (1 Petrus 1:3-4)

Rasul Petrus mengingatkan tentang apa yang Allah Bapa telah lakukan bagi setiap orang percaya di dalam Kristus, yaitu melahirkan mereka kembali untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat cemar, sebelum meminta kita untuk hidup kudus.

Jadi, perintah untuk hidup kudus bisa dilakukan karena Allah telah terlebih dulu menguduskan kita. Inilah paradigma yang benar!

Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita. (1 Korintus 1:30)

Mengapa pada kenyataannya orang sering merasa sulit untuk hidup kudus? Berdasarkan pemahaman yang telah dibahas sebelumnya, sulit hidup kudus terjadi karena seringkali orang lupa bahwa Tuhan terlebih dahulu telah menguduskan mereka. Dapat kita simpulkan bahwa untuk mewujudkan segala sesuatu harus dimulai dengan ‘apa yang Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita’, sebelum ‘apa yang kita akan kerjakan’.

Prioritas utama adalah ‘being’, yaitu identitas kita ‘di dalam Kristus’; baru setelah itu ‘doing’, yaitu apa yang sebaiknya kita kerjakan sesuai dengan identitas tersebut, apa langkah-langkah yang harus diambil. Kita tidak mungkin melakukan sesuatu dalam hidup kita yang sebelumnya Tuhan belum kerjakan atas kita.

Rasul Paulus adalah alat di tangan Tuhan yang menyadarkan orang percaya akan realitas hidup ‘di dalam Kristus’ ini. Ungkapan ‘di dalam Kristus’ atau yang sejenisnya muncul tidak kurang dari 164 kali dalam tulisan Paulus.[1] Ini berarti, kesadaran atau cara pandang bahwa kita ada ‘di dalam Kristus’ adalah sesuatu yang sangat penting menurut Firman Tuhan. Mari kita hidup dengan paradigma ini!

Apa yang akan terjadi apabila anak-anak Tuhan memakai paradigma ini dalam hidupnya? Orang yang memiliki paradigma bahwa ia telah dikuduskan, atau telah dijadikan orang kudus oleh Yesus, tidak akan berkata dalam hatinya ‘betapa sulitnya hidup kudus, betapa gampangnya berbuat dosa’. Ini adalah paradigma yang lama. Sebaliknya, ia akan berkata dalam hatinya ‘saya ini orang kudus, karenanya saya mencintai dan memilih perbuatan yang kudus’. Inilah paradigma yang baru! Ini tentu bukan berarti hidup kudus bisa dilakukan tanpa upaya atau perjuangan kita sama sekali. Akan tetapi, ada perbedaan besar antara upaya hidup kudus yang dilakukan dengan kekuatan sendiri dengan upaya yang dilakukan dengan kesadaran bahwa seseorang telah dikuduskan.

Ada kisah menarik yang bisa menggambarkan kebenaran ini.[2]

Ingwer Ludwig Nommensen, atau yang lebih dikenal sebagai Opung Nommensen, datang ke Sumatera di abad ke-19 untuk memberitakan Injil kepada suku-suku Batak. Suatu ketika seorang kepala suku menyambut Nommensen dan berkata, “Anda punya waktu dua tahun untuk mempelajari adat kami dan untuk meyakinkan kami bahwa Anda membawa pesan yang layak untuk kami dengar." Setelah dua tahun berlalu, si kepala suku bertanya kepada Nommensen bagaimana Kekristenan berbeda dari aturan moral dan tradisi yang mereka anut.

"Kami sudah tahu apa yang benar,” ucap si kepala suku. Kami juga memiliki hukum-hukum yang melarang kami mencuri, atau mengambil istri sesama, atau berbohong.

Nommensen menjawab, “Itu benar adanya. Tapi Allahku memberikan kemampuan untuk menaati hukum-hukum tersebut."

Hal ini mengagetkan si kepala suku. “Bisakah engkau mengajari orang-orangku untuk hidup lebih baik?

Tidak, saya tidak bisa,” jawab Nommensen. “Tapi kalau mereka menerima Yesus Kristus, Allah akan memberikan mereka kekuatan untuk melakukan apa yang benar."

Si kepala suku kemudian mengundang Nommensen untuk tinggal selama enam bulan lagi. Dalam kurun waktu itu, Nommensen memberitakan Injil dan mengajar orang-orang di kampung tentang bagaimana Roh Kudus bekerja dalam kehidupan orang Kristen.

Kamu boleh tinggal selama yang kamu suka,” ujar si kepala suku. “Agamamu lebih baik dari agama kami, karena Allahmu berjalan bersama manusia dan memberikan mereka kekuatan untuk melakukan hal-hal yang Ia minta."

Haleluya! Paradigma tentang apa yang Allah telah lakukan buat kita menentukan apa yang kita akan kerjakan dalam hidup kita.

A high view of God leads to high worship and holy living, but a low of God leads to trivial worship and low living."
(Pandangan yang tinggi tentang Allah akan menghasilkan penyembahan yang tinggi dan kehidupan kudus, tapi pandangan yang rendah tentang Allah akan menghasilkan penyembahan pura-pura dan kehidupan bermoral rendah)

— Steven J Lawson

Referensi

  1. ^ Reid, JKS (1960). "The Phrase “In Christ.”". Theology Today Volume 17 Issue 3. hal. 353-365. doi: 10.1177/004057366001700309. 
  2. ^ Davon Huss (30 Juni 2014). "Power For Holy Living". Sermon Illustrations. Sermon Central. Diakses pada 20 Juni 2022.

Setelah percaya kepada Tuhan Yesus dan menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat dalam hidup kita, firman Tuhan memberikan janji bahwa kita pasti diselamatkan (Kisah Para Rasul 16:31). Kita dipindahkan dari dalam kegelapan ke dalam terang Tuhan yang ajaib. (1 Petrus 2:9)
Perubahan status tersebut menuntut suatu perubahan dalam hidup setiap kita.