Pentingnya pengakuan iman
Renungan khusus | |
---|---|
Tanggal | 02 Juni 2024 |
Penulis | Pdp Willy Pandi, BSc, MTh |
Renungan khusus lainnya | |
| |
|
Pernahkah kita merenungkan pertanyaan berikut: “Dari jumlah jemaat yang datang di kebaktian Minggu di gereja lokal kita masing-masing, kira-kira berapa persenkah yang sungguh-sungguh hidup berdasarkan Firman Tuhan?”
Sebuah survei yang dilakukan oleh Dr. George Barna, Direktur Riset dari Cultural Research Center di Arizona Christian University yang dirilis pada tanggal 24 Mei 2022, memberikan suatu gambaran yang boleh dikatakan genting, karena penemuannya sangatlah mengagetkan, yaitu hanya rata-rata 37% dari hamba-hamba Tuhan di gereja-gereja di Amerika Serikat yang memiliki pandangan alkitabiah di dalam hidupnya.
Bayangkan saja, jika hanya 37% hamba Tuhan yang memiliki pandangan alkitabiah dalam hidupnya, bagaimana dengan jemaatnya? Kira-kira berapa persentase jemaat suatu gereja lokal yang sungguh-sungguh hidup sesuai dengan Firman Tuhan?
Dari hasil penemuan ini, mungkin kita dapat mengambil kesimpulan bahwa gereja-gereja telah gagal dalam mengintegrasikan iman ke dalam perilaku sehari-hari sehingga jemaat bisa memiliki sudut pandang yang alkitabiah. Jadi, apakah yang dapat kita lakukan setelah melihat fakta ini?
Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan agar seseorang memiliki kehidupan yang berpandangan secara alkitabiah adalah dengan mengimplementasikan pengakuan iman dengan benar di dalam hidupnya. Di dalam sejarahnya, para bapa-bapa gereja (era sesudah Para Rasul) telah merumuskan beberapa pengakuan iman, di mana 2 (dua) di antaranya memiliki tempat yang khusus di dalam Kekristenan, yaitu:
- Pengakuan Iman Rasuli (Symbolum Apostolicum) dan
- Pengakuan Iman Nicea (Symbolum Nicaenum).
Kata “Symbolum” dalam bahasa Latin atau “Symbolon” dari bahasa Yunani menggambarkan separuh dari sebuah benda yang utuh yang dipecahkan menjadi dua (contohnya segel), yang dipakai sebagai tanda pengenal. Kedua bagian itu dihubungkan untuk memeriksa identitas pemakai. Jadi, “symbolon iman” adalah tanda pengenal dan tanda persekutuan untuk orang beriman.
“Symbolon” juga berarti “himpunan, ringkasan, ikhtisar”. Di dalam “symbolon iman” ini diringkaskan kebenaran-kebenaran iman yang pokok, yang dipakai sebagai pegangan pertama. Gereja segala abad dan zaman pun mengucapkan pengakuan iman ini yang diawali dengan ungkapan: “Aku Percaya”. Pengakuan iman ini adalah hasil kesepakatan para bapa-bapa gereja, yang tentu kita percaya dituntun oleh Roh Kudus, yang secara bersama-sama merumuskan suatu dasar pengakuan iman Kristen yang berlaku sepanjang zaman.
Sebagai orang percaya yang adalah bagian dari Gereja Kristus yang Am, seharusnya kita berpegang kepada nasihat Rasul Paulus:
- Sebab itu, Saudara-saudara, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik melalui pemberitaan maupun surat. (2 Tesalonika 2:15 TB2)
di mana pengakuan iman adalah salah satu contoh ajaran yang dirumuskan oleh para bapa-bapa gereja melalui sebuah konsili ekumenis.
Jauh sebelum para bapa-bapa gereja merumuskan pengakuan iman ini, Rasul Petrus pun telah membuat suatu pengakuan iman yang merupakan jawaban atas pertanyaan Yesus: “Menurut kamu, siapakah Aku ini?”, di mana Petrus menjawab: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Matius 16:15-16 TB2)
Pengakuan Petrus ini, yang merupakan wahyu dari Bapa, merupakan pengakuan iman gereja mula-mula. Rumusan pengakuan iman yang singkat dan jelas itu terlihat dalam pernyataan: “Yesus itu Kristus dan Yesus itu Tuhan” (1 Korintus 12:3; Kisah 8:37)
Rasul Paulus pun menasehati:
- Sebab, dengan hati orang percaya sehingga dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku sehingga diselamatkan. (Roma 10:10 TB2)
Kata “mengaku” di sini diambil dari kata Yunani “homologeō” yang memiliki makna mengungkapkan kepercayaan yang berasal dari hati seseorang dengan sungguh dan bukan dengan pura-pura. Yang terpenting adalah adanya keselarasan antara mulut yang mengaku dan hati yang percaya sehingga yang diucapkan lewat mulut adalah pengakuan iman: “Aku Percaya”. Berdasarkan hal ini, maka kita dapat melihat syarat untuk terucapnya suatu pengakuan iman yang sungguh yaitu:
- Diucapkan sebagai pernyataan iman kepada Tuhan.
- Dinyatakan di hadapan manusia sekalipun dalam situasi sulit.
- Dilakukan berdasarkan pilihan individual, dan bukan karena paksaan.
- Dilakukan dalam rangka memperdengarkan kesaksian Alkitab dan bukan membela pendapat siapapun.
(Sumber: Tata Gereja Gereja Bethel Indonesia Edisi 2021)
Jadi, pentingkah untuk kita memahami pengakuan iman? Secara sederhana, kita dapat melihat pentingnya pengakuan iman untuk dipahami oleh seluruh jemaat dalam 3 (tiga) konteks:
- Konteks pengajaran
- Konteks bahaya ajaran sesat
- ajaran tentang Allah Tritunggal yaitu: Bapa, Putra, dan Roh Kudus dan
- ajaran tentang dua natur Kristus yaitu Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia.
- Konteks kesatuan gereja
Pengakuan iman itu penting karena jemaat perlu diajar mengenai intisari ke-Kristen-an. Meskipun pengakuan iman itu bukanlah bahan yang menjelaskan perihal seluruh ajaran ke-Kristen-an, ia merupakan bahan yang berisi pokok-pokok yang penting, mendasar, dan yang menjadi tulang punggung iman Kristen. Namun perlu diingat juga bahwa pengakuan iman sama sekali tidak menggantikan posisi Alkitab maupun doktrin suatu gereja, melainkan ia adalah sarana yang menyediakan pokok-pokok yang ringkas, penting, dan dapat dimengerti oleh jemaat.
Di dalam sejarahnya, para bapa-bapa gereja, melalui suatu konsili ekumenis bersepakat untuk merumuskan suatu Pengakuan Iman sebagai benteng pertahanan iman gereja terhadap ajaran sesat, yang berkembang dari zaman ke zaman.
Dua ajaran inti Kekristenan yang sangat dipertahankan oleh para bapa-bapa gereja adalah:
Jadi, jika suatu ajaran menolak salah satunya, dapat dipastikan bahwa ajaran tersebut dapat dikategorikan sebagai ajaran non-Kristen.
Suatu ajaran baru yang berkembang mungkin saja merupakan metamorfosis dari suatu ajaran yang pernah dikategorikan bidat pada masa yang lalu. Di sinilah fungsi pengakuan iman yaitu menjadi tolak ukur untuk menilai suatu ajaran apakah ia benar atau tidak sesuai dengan ajaran Kristen.
Kesatuan memang bukan keseragaman, namun kebenaran tidak boleh dikompromikan. Kesatuan gereja bukanlah kesatuan yang murahan, namun kesatuan di dalam iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah. (Efesus 4:13)
Bukan artinya kita harus membenci orang-orang yang berbeda dengan kita, tetapi kita harus berdiri di atas Firman Tuhan, bahwa untuk hal-hal yang mendasar, kita harus bersatu, namun untuk hal-hal yang tidak mendasar, kita bisa berbeda, dan dalam segala hal kita harus saling mengasihi.
Lebih lanjut, meskipun pengakuan iman tidak menggantikan posisi Alkitab, namun ia dirumuskan berdasarkan Alkitab, dan dengan demikian, ia memiliki otoritas yang jelas. Pengakuan iman ini bukanlah suatu konspirasi belaka. Kita harus berhati-hati pada pengajaran yang menyepelekan pengakuan iman dengan dalih “Back to the Bible”, seakan-akan pengakuan iman ini tidaklah bersumber dari Alkitab.
Setelah melihat penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengakuan iman itu adalah sangat penting. Dalam kehidupan bergereja dan berjemaat adalah baik jika dalam ibadah-ibadah tertentu kita boleh bersama membaca dan mengucapkan pengakuan iman, di mana di GBI pun kita memiliki Pengakuan Iman GBI. Sebab jika pengakuan iman tersebut dipahami dan diimplementasikan dengan benar, maka seharusnya, kita akan memiliki hidup yang berpadanan dengan Firman Tuhan karena pengakuan kita bukanlah sekedar pengakuan di mulut, namun terlebih melalui hati dan tindakan, kita mengakui dan mengagungkan Allah Tritunggal. (WP)
Pernahkah kita merenungkan pertanyaan berikut: “Dari jumlah jemaat yang datang di kebaktian Minggu di gereja lokal kita masing-masing, kira-kira berapa persenkah yang sungguh-sungguh hidup berdasarkan Firman Tuhan?”