Penghakiman vs pendisiplinan

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 3 Mei 2023 04.12 oleh Leo (bicara | kontrib) (baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal07 Mei 2023
PenulisPdm Dr Dony Lubianto, MTh
Renungan khusus lainnya

Pertanyaan ‘bolehkah?’ tentunya bukan sekedar menuntut penjelasan secara teologis biblikal tetapi juga secara etis teologis.

  • Jadi bukan lagi sekedar tentang: “apakah menghakimi benar atau salah menurut Alkitab”,
  • melainkan: “jika benar menurut Alkitab apakah menghakimi boleh untuk dilakukan?”

Mungkin sebagian orang bertanya, jika tidak benar dan tidak diperbolehkan, bagaimana dengan profesi hakim sebagai alat negara yang menegakkan hukum dan keadilan? Apakah orang Kristen tidak boleh menjadi hakim? Mengapa kita tidak boleh menghakimi?

Makna kata 'menghakimi' yang dimaksudkan Tuhan Yesus

Pertanyaan di atas muncul sebagai respon dari pengajaran Tuhan Yesus yang dicatat dalam Matius 7:1-2,

Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

Apa yang dimaksud Tuhan Yesus dengan 'menghakimi' dalam ayat ini? Kata yang digunakan oleh penulis Injil Matius adalah ‘Κρίνω (krinō)’ yang artinya:

memutuskan (secara mental atau yudisial); dengan implikasi mengadili, mengutuk, menghukum: - membalaskan dendam, menjatuhkan hukuman.

Albert Barnes memberikan komentar bahwa perintah ini merujuk pada penghakiman yang gegabah, mencela, dan tidak adil. Kristus tidak mengutuk penghakiman sebagai seorang hakim, karena jika hal itu sesuai dengan keadilan adalah sah dan perlu.

John Gill menambahkan dalam commentary-nya bahwa ini tidak boleh dipahami sebagai penghakiman di pengadilan sipil yang dilakukan oleh hakim-hakim yang tepat, juga tidak boleh dipahami sebagai penghakiman di gereja-gereja Kristus, di mana para pelanggar harus dimintai pertanggungjawaban, diperiksa, diadili, dan ditangani sesuai dengan peraturan-peraturan Injil; tetapi yang dimaksud adalah penghakiman yang gegabah, yang mengecam manusia dengan cara yang sangat keras, bahkan menjatuhkan hukuman kepada mereka, sehubungan dengan keadaan mereka sekarang dan keadaan kekal mereka.

Alasan untuk tidak menghakimi dalam perkataan Tuhan Yesus

Mengapa Tuhan Yesus mengatakan “jangan kamu menghakimi?”

Selain karena makna ‘menghakimi’ sebagaimana diuraikan di atas, perhatikan juga apa yang Tuhan Yesus sampaikan:

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. (Matius 7:3-4)

Manusia tidak mungkin dapat menghakimi secara adil dan benar suatu kesalahan yang sama; bahkan mungkin dalam skala lebih besar dibandingkan dengan yang dihakimi. Bukankah ini sangat sesuai dengan perumpamaan yang Tuhan Yesus sampaikan tentang seorang hamba yang menangkap dan mencekik kawannya serta menyerahkan kawannya itu ke penjara sampai melunasi hutangnya yang hanya seratus dinar padahal dirinya berhutang sepuluh ribu talenta kepada raja? (Matius 18:23-30)

Inilah yang ditegaskan oleh Paulus kepada jemaat di Roma,

Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.
Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah? (Roma 2:1; 3)

Hakim-hakim dalam Perjanjian Lama

Menjawab pertanyaan bagaimana dengan profesi sebagai seorang hakim, mari kita melihat jabatan hakim-hakim dalam Perjanjian Lama. Musa menerima perintah dari TUHAN,

Hakim-hakim dan petugas-petugas haruslah kauangkat di segala tempat yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu, menurut suku-sukumu; mereka harus menghakimi bangsa itu dengan pengadilan yang adil. (Ulangan 16:18)

Dalam perintah tersebut jelaslah bahwa Hakim adalah jabatan yang diberikan kepada seseorang melalui penunjukan dan pengangkatan oleh Musa atas legitimasi yang diberikan oleh TUHAN. Karena itulah mereka memegang otoritas dan tanggung jawab untuk menghakimi bangsa itu, ingat dengan sebuah catatan penting: “dengan penghakiman yang adil”. Bahkan TUHAN memberikan perintah dan peringatan yang tegas bagi para Hakim dalam menjalankan tugasnya:

Janganlah memutarbalikkan keadilan (memelintir perkataan orang-orang benar), janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar. Semata-mata keadilan, itulah yang harus kaukejar, supaya engkau hidup dan memiliki negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. (Ulangan 16:19-20)

Seorang hakim memutuskan sesuai dengan standar yang merupakan kehendak Allah yang dinyatakan, yakni "keadilan, dan hanya keadilan". Para pemimpin (hakim lokal dan Imam) harus mencontoh kemurahan, dan juga keadilan dari TUHAN. (Keluaran 23:6-8)

Bukankah ini juga yang juga menjadi rujukan bagi jabatan hakim di masa sekarang ini? Tanpa penunjukan dan pengangkatan dari pemerintah yang ditetapkan Allah sebagai hamba Allah untuk kebaikan kita, tidak mungkin seseorang dapat menyandang jabatan serta memiliki otoritas dan tanggung jawab sebagai seorang hakim. (Roma 13:1; 4)

Tentunya seorang hakim harus menjunjung tinggi hukum yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur oleh konstitusi negara, terlebih bertanggung jawab kepada TUHAN yang memberikan kesempatan dan kepercayaan tersebut.

Penerapan disiplin gerejawi vs menghakimi

Bagaimana dengan kasus yang terjadi dalam gereja? Bukankah kita memiliki hukum TUHAN yang standarnya lebih tinggi daripada hukum dunia? Bagaimana jika seandainya ada pribadi-pribadi tertentu yang melakukan pelanggaran terhadap hukum dan perintah TUHAN?

Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus menyatakan,

Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat? (1 Korintus 5:12)

Apakah itu artinya kita boleh menghakimi dalam jemaat? Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan memberikan catatan mengenai ayat ini:

Orang percaya tidak boleh terlibat dalam kritik dangkal atau tidak benar akan orang percaya lainnya. (bdk. Matius 7:1-5)

Akan tetapi, di sini Paulus menunjukkan bahwa gereja harus menghakimi para anggotanya menurut Firman dan standar Allah apabila terlibat dosa serius, kebejatan atau perilaku yang tidak benar. Tindakan jahat semacam ini menuntut penghakiman dan disiplin demi kepentingan orang yang terlibat itu, kemurnian jemaat dan kesaksian Kristus di dunia.

Penghakiman yang dimaksudkan oleh rasul Paulus adalah bentuk pendisiplinan gereja. Paulus menekankan bahwa dosa harus dibenci, dan orang yang hidup dalam dosa harus didisiplinkan. Disiplin yang dijatuhkan semata-mata untuk menjaga kekudusan warga jemaat secara pribadi dan seluruh jemaat. Pada waktu itu jemaat Korintus berada dalam kondisi memprihatinkan, karena ada di antara orang-orang Kristen melakukan perbuatan memalukan, yang bahkan tidak dilakukan oleh orang kafir sekalipun, yaitu:

Jemaat Korintus merasa bangga karena menganggap sikap mereka menerima orang-orang yang melakukan percabulan dalam komunitas jemaat adalah suatu kemajuan.

Di zaman sekarang ini, ada kecenderungan yang sama, yaitu tidak menegur anggota jemaat yang melakukan perbuatan dosa, dengan berbagai alasan, misalnya takut kehilangan anggota jemaat; terlebih jemaat-jemaat kaya yang merupakan penyokong finansial gereja, takut dimusuhi, dan alasan lainnya. Akibatnya perbuatan dosa menjadi hal yang normal dan dimaklumi dalam jemaat (kompromi).

Orang percaya memang tidak boleh menghakimi satu sama lain (Matius 7:1-5; Roma 14:1-15:13), namun kita harus menjalankan disiplin gereja ketika reputasi gereja dan kerohanian jemaat dalam gereja ada dalam bahaya karena kompromi terhadap dosa.

Kita akan menjadi hakim dan menghakimi pada waktu-Nya

Yohanes dalam kitab Wahyu mencatat peristiwa yang luar biasa,

lalu aku melihat takhta-takhta dan orang-orang yang duduk di atasnya; kepada mereka diserahkan kuasa untuk menghakimi. …Berbahagia dan kuduslah ia, yang mendapat bagian dalam kebangkitan pertama itu. Kematian yang kedua tidak berkuasa lagi atas mereka, tetapi mereka akan menjadi imam-imam Allah dan Kristus, dan mereka akan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Dia, seribu tahun lamanya. (Wahyu 20:4; 6)

Akan ada waktunya di mana kita akan memerintah bersama Dia, yakni pada saat kita yang sudah menerima pembenaran (justification), pengudusan (sanctification), mengalami pemuliaan dari TUHAN (glorification), menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya. (Roma 8:29-30)

Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. (1 Korintus 4:5a)

Artinya, janganlah kita saling menyerang, menghakimi; apalagi secara frontal dan terbuka, misalnya sebagaimana marak di media sosial di mana hamba Tuhan yang satu menyerang hamba Tuhan yang lain dengan kritik yang tajam, menjatuhkan, bahkan mengutuk, menghancurkan karakter dengan menyatakan pengajarannya sesat, menyimpang padahal si pengkritik menilai dan melihatnya dari sudut pandang doktrin dan aliran yang berbeda dari yang dikritik. Dengan demikian menyatakan yang lain salah dan sesat, hanya pengajarannya saja yang paling benar.

Mari kita bertobat dan tinggalkan hal-hal seperti itu, yang hanya menyebabkan perpecahan dan kebingungan di kalangan jemaat. (Yakobus 4:11-12)

Terkait dengan kebenaran, Paulus dengan inspirasi Roh Kudus menyatakan,

Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus. (Roma 2:16)

Tuhan Yesus memberkati! (DL)

Pertanyaan ‘bolehkah?’ tentunya bukan sekedar menuntut penjelasan secara teologis biblikal tetapi juga secara etis teologis. Jadi bukan lagi sekedar tentang “apakah menghakimi benar atau salah menurut Alkitab” melainkan “jika benar menurut Alkitab apakah menghakimi boleh untuk dilakukan?”