Pentecost Again!

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 29 Maret 2023 09.18 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal02 April 2023
Penulis(RT)
Renungan khusus lainnya

Dalam 2 Raja-raja 4:1-6, kita membaca sebuah kisah kehidupan janda dari seorang nabi. Janda tersebut mengutarakan kondisinya kepada Elisa, bahwa ia sedang dikejar-kejar oleh penagih hutang, dan anaknya terancam untuk diambil sebagai budak. Peristiwa ini dapat kita maknai secara rohani sebagai gambaran gereja di masa kini. Janda yang ditinggal suami yang berhutang dapat dianalogikan sebagai gereja yang merasa ditinggalkan Tuhan sebagai yatim piatu di dunia ini, yaitu orphan spirit yang ada di dalam gereja.

Penagih hutang, dalam konteks ini, dapat menjadi sebuah tipologi atau kiasan dari Iblis yang selalu berupaya menggocoh dan menuntut hutang darah (2 Korintus 12:7).

Kreditur ini mengancam dan mengintimidasi janda nabi karena hutang yang ditinggalkan oleh suaminya. Bukan rumah atau harta benda lainnya yang dituntut, tetapi kedua anaknya yang diancam untuk dirampas dan dijadikan budak.[1] Sikap penagih hutang yang intimidatif ini sejalan dengan karakter pencuri yang suka mencuri, membunuh, dan membinasakan (Yohanes 10:10a). Namun, perlu dipahami, bahwa hal ini tentu tidak berarti bahwa profesi debt collector dapat diasosiasikan dengan Iblis.

Sementara itu, situasi yang dihadapi oleh wanita janda ini juga dapat menggambarkan kondisi yang menekan gereja hari-hari ini. Tekanan ini dapat muncul saat gereja lengah, tidak berjaga-jaga, atau membuka celah bagi Iblis untuk mengintervensinya. Celah ini digambarkan dengan baik oleh jerat hutang dari suaminya yang adalah seorang nabi. Padahal, orang yang takut akan Allah tentu akan senantiasa mengandalkan-Nya dan tidak akan jatuh pada jerat hutang piutang yang tidak dapat dibayarkan sesuai waktu yang ditentukan.

Uniknya, kondisi ini tidak hanya berdampak pada sang istri nabi, tetapi juga dapat berdampak pada generasi muda, yaitu anak-anak mereka. Kondisi tanpa ayah ini membuat anak-anak janda itu kehilangan tudung rohani. Sehingga, kedua putra nabi ini menjadi sasaran empuk para penagih hutang untuk dijadikan budak tuannya. Mereka juga kehilangan figur bapa yang memiliki fungsi mengayomi dan menjamin masa depan mereka. Anak-anak janda ini menjadi generasi yang terhilang dan warisan panggilan dari ayahnya pun tidak dapat dilanjutkan.

Di tengah kondisi yang sulit itu, sang janda mencari pertolongan hamba Tuhan, yaitu nabi Elisa. Nabi yang juga mentor, guru, dan teladan bagi suaminya, dan mungkin keluarganya, ketika suaminya masih hidup. Elisa kemudian mengingatkan keluarga itu bahwa mereka belum kehilangan segalanya. Masih ada harapan, sebab masih ada minyak yang disimpan dalam buli-buli di rumah mereka. Minyak, di dalam konteks gereja Tuhan, dimaknai sebagai urapan dari Roh Kudus. Sisa dari urapan itu dapat menyelamatkan gereja Tuhan dari kondisi yang sulit. Namun, jumlah minyak sedikit tidaklah cukup untuk membawa keluarga ini, sebagai tipologi gereja Tuhan, untuk lepas dari intimidasi si penagih hutang.

Seperti yang diceritakan di dalam kisah ini, diperlukan minyak yang berlimpah. Perlu pengurapan Roh Kudus dengan kapasitas yang besar dan luar biasa. Untuk memperoleh urapan Roh Kudus itu, kita sebagai gereja Tuhan perlu untuk mendengarkan pesan Tuhan lewat hamba-Nya dan taat melakukan perintah Tuhan itu. Dalam konteks cerita ini, ada dua hal yang harus kita lakukan:

  1. Pemulihan hubungan inter-generasi (ibu-anak)
  2. Perlu adanya kerjasama antara generasi muda dengan generasi yang lebih tua dalam menghadapi kondisi sulit yang dipicu oleh ‘penagih hutang’ ini. Perlu ada arahan visioner nan relevan dari generasi orang tua bagi anak-anak mereka. Di sisi lain, perlu adanya kepercayaan dan ketaatan dari generasi muda untuk menjalankan visi yang mereka terima. Generasi orang tua dan generasi anak muda harus bersinergi mengambil beban yang sama.

  3. Menyiapkan bejana-bejana dan menuangkan minyak
  4. Artinya, gereja Tuhan perlu mempersiapkan hati yang haus dan lapar akan pengurapan Roh Kudus. Sehingga, Roh Kudus dapat dilimpahkan dengan dahsyat dan bejana hati kita tidak akan kering atau kekurangan minyak lagi.

Melihat tantangan yang dihadapi oleh gereja Tuhan hari-hari ini, mutlak perlu adanya pencurahan Roh Kudus yang dahsyat. Sebagai keluarga besar GBI Gatot Subroto, kita sepakat bahwa Pentakosta Ketiga lah yang akan menjadi jawaban bagi keringnya bejana hati Gereja Tuhan di zaman akhir ini. Kita membutuhkan Pentakosta yang baru (Pentecost Again), supaya urapan Roh Kudus dapat berlimpah-limpah di tengah tuntutan dan intimidasi dari Iblis yang semakin kuat di era ini. Kita membutuhkan kebangunan rohani sekali lagi, supaya generasi muda tidak lagi dapat diintimidasi musuh, dan menyadari bahwa mereka memiliki Bapa yang akan menjadi tudung rohani yang sejati, yang membawa perlindungan Allah bagi gereja-Nya.[2]

Jadi, mari sama-sama terus membangun relasi inter-generasi yang baik dan terus memiliki hati yang haus dan lapar, supaya lawatan Roh Kudus di era Pentakosta Ketiga segera digenapi, dan bejana hati kita tidak akan pernah kekurangan minyak lagi. (RT)

Sumber

  • Bodner, Keith, and Benjamin J M Johnson. Characters and Characterization in the Book of Kings. Bloomsbury Publishing, 2019.
  • Njotorahardjo, Niko, French L Arrington, and Tim Hill. Pentecost Again (Terjemahan Bahasa Indonesia). Cleveland, TN: Church of God, Claveland, Tennesse, 2022.

Referensi

  1. ^ Keith Bodner and Benjamin J M Johnson, Characters and Characterization in the Book of Kings (Bloomsbury Publishing, 2019), 205–8.
  2. ^ Niko Njotorahardjo, French L Arrington, and Tim Hill, Pentecost Again (Terjemahan Bahasa Indonesia) (Cleveland, TN: Church of God, Claveland, Tennesse, 2022), 224–26.

Dalam 2 Raja-raja 4:1-6, kita membaca sebuah kisah kehidupan janda dari seorang nabi. Janda tersebut mengutarakan kondisinya kepada Elisa, bahwa ia sedang dikejar-kejar oleh penagih hutang, dan anaknya terancam untuk diambil sebagai budak. Peristiwa ini dapat kita maknai secara rohani sebagai gambaran gereja di masa kini.