Menang karena pengurapan

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 8 Februari 2023 07.20 oleh Leo (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Renungan Khusus 2019.jpgRenungan Khusus 2019-1x1.jpg
Renungan khusus
Tanggal05 Februari 2023
PenulisTwin Hosea Widodo Kristyanto, ST, MT
Renungan khusus lainnya

Dewasa ini, kehidupan sudah berubah selayaknya suatu kompetisi yang ketat. Lingkungan pekerjaan atau sekolah menuntut kita memiliki pencapaian yang spektakuler untuk dapat terus eksis dan diakui keberadaannya. Setiap orang dapat saja memanfaatkan koneksi orang dalam, menjilat atasan, menonjolkan keahlian yang mumpuni, atau kekayaan orang tua untuk dapat memenangkan ‘kompetisi’ itu. Namun, sebagai Insan Pentakosta yang diurapi Tuhan, apakah cara kita memperoleh kemenangan sama dengan orang dunia? Kali ini, kita akan belajar mengenai cara Tuhan memberikan kemenangan kepada umat-Nya yang diurapi.

Pola kemenangan kita, sebagai orang percaya, dapat diadaptasi dari cara orang Israel menang dalam setiap peperangan yang diceritakan di dalam Alkitab. Sebagai bangsa yang ada di kawasan Timur Dekat (Near East) kuno, misalnya Mesir atau Mesopotamia, Israel memiliki budaya perang yang berbeda dengan bangsa di sekitarnya. Bangsa-bangsa di wilayah tersebut biasa mengukur kekuatan militernya melalui jumlah kereta dan kuda perang yang memadai. Bangsa-bangsa itu memegahkan kuda dan kereta perang untuk memastikan kemenangan, kuasa, dan kontrol mereka terhadap bangsa di sekitarnya (Yesaya 31:1-3). Namun, justru Tuhan melarang raja-raja Israel memelihara banyak kuda untuk tujuan memperkuat pertahanannya (Ulangan 17:14-20).[1]

Rahasia kemenangan di dalam peperangan

Lalu, bagaimana bangsa Israel memperoleh kemenangan di masa itu? Setidaknya ada dua prinsip penting yang menjadi rahasia kemenangan bangsa Israel di dalam setiap peperangan.

  1. Takut akan Tuhan dan hidup sesuai dengan hukum taurat
  2. Sikap takut akan Allah adalah natur peperangan orang Israel. Artinya, kemenangan mereka tidak ditentukan oleh seberapa banyak pasukan yang terlibat atau berapa banyak kuda serta kereta yang mereka bawa ke medan peperangan.

    Kemenangan Bangsa Israel ditentukan oleh apakah mereka sedang hidup takut akan Allah atau tidak.[2] Sikap ini yang akan membawa perkenanan Allah, sehingga Ia leluasa memberikan kemenangan itu kepada mereka. Sikap takut akan Tuhan menunjukkan kepercayaan bangsa Israel kepada Allah, bahwa Ia sanggup dan siap memberikan kemenangan kepada mereka.

  3. Percaya kepada setiap janji Tuhan
  4. Tuhan memberikan kemenangan kepada bangsa atau orang yang terikat perjanjian dengan-Nya. Tanda perjanjian Tuhan atas seseorang biasa disahkan dengan penumpangan tangan atau penuangan minyak urapan (2 Timotius 1:6; 1 Samuel 16:1-13).[3]

    Mazmur 20:7 berkata,

    Sekarang aku tahu, bahwa Tuhan memberi kemenangan kepada orang yang diurapi-Nya dan menjawabnya dari sorga-Nya yang kudus dengan kemenangan yang gilang-gemilang oleh tangan kanan-Nya.

    Melalui ayat ini, dapat dipahami bahwa kemenangan tidak diberikan kepada semua orang. Kemenangan adalah pemberian Allah kepada orang-orang pilihan-Nya. Tuhan yang berperang ganti orang yang diurapi-Nya dan Ia pasti akan menang dalam peperangan itu, sehingga orang pilihan-Nya dapat menerima kemenangan dari Allah.

Hidup yang berkemenangan

Melalui kedua prinsip tersebut, maka kita, sebagai Insan Pentakosta, perlu memiliki beberapa spiritualitas khusus dalam menjalani kehidupan yang adalah medan peperangan ini, antara lain:

  1. Hidup sebagai pribadi yang diurapi
  2. Saat peristiwa lahir baru, Roh Kudus diberikan untuk memeteraikan perjanjian rohani kita sebagai anak-anak Tuhan (2 Korintus 1:22)[4]. Tuhan juga meneruskan karya-Nya dengan pengalaman Baptisan Roh Kudus dengan tanda awal berbahasa roh. Baptisan Roh Kudus inilah yang memberikan kita pengurapan dan kuasa untuk menjalani panggilan kita dalam menyelesaikan Amanat Agung Tuhan Yesus.

    Pengurapan itu yang akan mengajar kita untuk mengerjakan hal-hal yang sulit dikerjakan oleh orang lain. Pengurapan akan menuntun kita mengambil keputusan yang sulit di waktu yang tepat. Pengurapan pula yang akan memampukan kita menerobos tantangan yang ada saat kita menjalankan panggilan-Nya. Pengurapan inilah yang membuat kita berjalan dari kemenangan demi kemenangan.

    Namun, sebagai Insan Pentakosta, kita perlu menjaga pengurapan dengan hidup takut akan Tuhan dan membangun keintiman dengan Allah. Kekudusan dan keintimanlah yang akan menjaga urapan kita selalu baru setiap pagi dan kita akan senantiasa memiliki persediaan “minyak di dalam buli-buli kita” (Matius 25:1-4). Keintiman dan hidup dalam kekudusan adalah spiritualitas yang dibutuhkan Insan Pentakosta untuk memperoleh hidup yang berkemenangan.

  3. Hidup senantiasa mengandalkan Tuhan
  4. Mazmur 20:8 mengatakan bahwa saat orang-orang lain memegahkan kereta dan kuda untuk berperang, umat yang diurapi Tuhan memilih untuk memegahkan Allah sebagai sumber kemenangannya. Artinya, saat orang dunia menjadikan hal-hal selain Tuhan (koneksi orang dalam, pengalaman kerja yang sophisticated, fasilitas dari orang tua, dll) sebagai andalan di dalam hidup mereka, justru kita anak-anak Tuhan seharusnya memilih untuk mengandalkan Tuhan.

    Sikap mengandalkan Tuhan ini dapat diwujudkan dengan hidup takut akan Allah, tidak tergoda menggunakan jalan pintas yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya, tidak menyombongkan ketrampilan dan pengalaman diri, dan tidak mengandalkan orang lain untuk mencapai kemenangan.[5]

    Mengandalkan Tuhan bukan berarti kita berhenti belajar dan mengembangkan diri. Meningkatkan keahlian dan keterampilan tentu baik untuk terus dilakukan. Menambah relasi dan pertemanan yang positif juga perlu untuk dijalankan supaya wawasan kita terus bertambah. Justru, saat kita meng-upgrade diri kita sambil mengandalkan Tuhan, maka Ia akan melimpahkan hikmat dan kemampuan untuk kita, sehingga kita dapat lebih mudah dalam belajar atau menguasai suatu ketrampilan baru. Tuhan juga dapat mempertemukan kita dengan orang-orang yang tepat untuk mendukung panggilan-Nya dalam hidup kita.

Kemudian, bagaimana dengan orang-orang yang diurapi tetapi mengalami ‘kekalahan’? Misalnya saat ada orang Kristen yang takut akan Tuhan, tapi ia kalah tender, atau anak Tuhan yang gagal dipromosikan oleh atasannya di kantor. Apakah itu karena dosa? Atau Tuhan sengaja tidak memberikan kemenangan kepadanya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memandang bahwa kemenangan kita bukan hanya diukur dari kesuksesan dalam pekerjaan atau prestasi dari standar dunia. Tuhan bisa saja mengizinkan kita mengalami kegagalan untuk menerima yang lebih baik atau menyelamatkan kita dari suatu masalah yang dapat muncul jika kita mengalami ‘kesuksesan’ atau promosi itu.

Contoh yang paling ideal adalah saat Pribadi yang paling diurapi, yaitu Yesus Kristus, disalibkan di bukit Golgota. Bagi dunia, Yesus telah kalah dan gagal dalam ‘perlombaan dunia’. Ia, seolah-olah, tidak berdaya menghadapi ahli Farisi, Kerajaan Romawi, bahkan Iblis. Namun, dunia tidak tahu bahwa justru Yesus berhasil menang dari setiap rintangan dalam menyelesaikan seluruh panggilan-Nya selama ada di bumi. Yesus menang melawan ketakutan, intimidasi, pencobaan, dan tentu saja menang melawan maut. Ia bukan saja menang untuk diri-Nya sendiri, tetapi Ia juga membawa kemenangan bagi seluruh umat manusia dari belenggu dosa.

Jadi, kita tetap perlu percaya bahwa Allah pasti menyediakan kemenangan bagi orang yang diurapi-Nya, hanya saja kita perlu menggunakan kacamata Allah saat memandang dan memaknai kemenangan itu.

Cara hidup Insan Pentakosta, sebagai pribadi yang diurapi, seharusnya berbeda dengan cara hidup orang dunia; termasuk dalam cara memandang dan meraih kemenangan. Orang dunia bisa saja mengandalkan hal-hal duniawi, yang bersifat sementara, untuk meraih kesuksesan hidup. Namun, Insan Pentakosta memiliki caranya sendiri dalam menerima kemenangan itu, yaitu dengan hidup takut akan Allah dan senantiasa mengandalkan Tuhan. Mari kita mulai membangun kehidupan yang takut akan Allah, memiliki keintiman yang berkualitas dengan-Nya, dan senantiasa mengandalkan Tuhan. Spiritualitas ini yang akan membawa kita senantiasa hidup dalam pengurapan Allah untuk sah menerima kemenangan dari tangan kanan-Nya yang kuat itu. Tuhan Yesus memberkati.

Referensi

  1. ^ Crossway Bibles, “The ESV Study Bible,” Wheaton, IL: Crossway Bibles, 2008, 6465.
  2. ^ Willem A. VanGemeren, Tremper Longman III, and David E. Garland, Psalms: The Expositor’s Bible Commentary, Revised Edition (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2008), 368.
  3. ^ R Alan Culpepper, “The Biblical Basis for Ordination,” Review & Expositor 78, no. 4 (1981): 472–73, 478–79.
  4. ^ Amy Lindeman Allen, “Baptism as Transformation and Promise: The Seal of the Spirit in 2 Corinthians, Ephesians, and Lutheran Liturgy,” Word & World 39, no. 2 (2019): 179.
  5. ^ VanGemeren, III, and Garland, Psalms: The Expositor’s Bible Commentary, 368–70.

Daftar Pustaka

  • Allen, Amy Lindeman. “Baptism as Transformation and Promise: The Seal of the Spirit in 2 Corinthians, Ephesians, and Lutheran Liturgy.” Word & World 39, no. 2 (2019).
  • Bibles, Crossway. “The ESV Study Bible.” Wheaton, IL: Crossway Bibles, 2008.
  • Culpepper, R Alan. “The Biblical Basis for Ordination.” Review & Expositor 78, no. 4 (1981): 471–84.
  • VanGemeren, Willem A., Tremper Longman III, and David E. Garland. Psalms: The Expositor’s Bible Commentary. Revised Edition. Grand Rapids, MI: Zondervan, 2008.

    Dewasa ini, kehidupan sudah berubah selayaknya suatu kompetisi yang ketat. Lingkungan pekerjaan atau sekolah menuntut kita memiliki pencapaian yang spektakuler untuk dapat terus eksis dan diakui keberadaannya. Setiap orang dapat saja memanfaatkan koneksi orang dalam, menjilat atasan, menonjolkan keahlian yang mumpuni, atau kekayaan orang tua untuk dapat memenangkan ‘kompetisi’ itu.