Article: 20100830/RK: Perbedaan antara revisi
k Penggantian teks - "| judul =" menjadi "| title=" |
k Penggantian teks - "| tanggal =" menjadi "| date=" |
||
Baris 5: | Baris 5: | ||
| tahun = 2010 | | tahun = 2010 | ||
| minggu = 35 | | minggu = 35 | ||
| | | date= 2010-09-04 | ||
| readmore = {{{readmore|}}} | | readmore = {{{readmore|}}} |
Revisi terkini sejak 24 November 2022 04.08
Renungan khusus | |
---|---|
Tanggal | 04 September 2010 |
Renungan khusus lainnya | |
| |
|
Dunia modern baru saja mengalami kebenaran dari apa yang selalu dipercayai oleh orang-orang Yahudi dan Kristen sejak jaman dahulu, yaitu kepribadian manusia tidak dapat dipisah-pisahkan/dikompartementalisasi seperti layaknya lemari atau file kabinet. Terlalu sering dunia sekuler mengajarkan bahwa bagaimana kinerja seseorang di dalam kehidupan publiknya tidak memiliki korelasi langsung dengan kehidupan pribadinya. Bahwa seseorang dapat saja menjadi berhasil dalam kehidupan publik, tetapi gagal total di dalam kehidupan pribadinya -- yang dimaksud di sini adalah kehidupan keluarga dan/atau moralitas dan integritas pribadi -- asal saja dia bisa bersikap “profesional” dan bisa mengambil keputusan yang tepat tanpa mencampur adukkan keduanya.
Nyatanya, setelah skandal demi skandal mengguncang dunia ini, bukan hanya Amerika Serikat, tetapi juga banyak negara lainnya, dan mencakup banyak pemimpin dan pelaku penting di pelbagai bidang;
- kasus Ponzi Scheme (arisan berantai) yang dilakukan oleh Bernard Madoff yang menipu ribuan investor besar dan kecil sehingga mencapai 60 milyar dollar, yang disebut sebagai kasus penipuan keuangan terbesar sepanjang sejarah dunia,
- kasus perselingkuhan Tiger Woods dengan beberapa wanita dengan reputasi yang kurang pantas, dianggap sangat menodai citra olah raga golf profesional yang selama ini dikenal sebagai olah raga yang memiliki nilai-nilai yang “family friendly”,
- sampai kasus senator Rod Blagoyevich dari Chicago yang berbohong di bawah sumpah dan rekaman pembicaraan pribadinya dibocorkan ke depan masyarakat umum, sehingga membuat kasus ini mendapat gelar “Watergate of this decade”,
semuanya menunjukkan bahwa teori di atas hanyalah sebuah mitos atau teori belaka. Dan adalah sangat susah, apabila bukan mustahil, untuk memisahkan karakter seseorang dari keputusan-keputusan yang akan dibuatnya dalam kehidupan. Bahwa memang ada perbedaan antara kehidupan publik dan kehidupan pribadi adalah sesuatu yang wajar, namun kedua dunia ini tidaklah dipisahkan oleh sebuah tembok yang kedap air. Lambat laun, kegagalan karakter di dalam kehidupan pribadi akan meresap dan berdampak kepada keputusan-keputusan yang diambil seseorang di dalam kehidupan publiknya.
Gereja atau dunia pelayanan sudah jauh lebih dahulu melihat hal ini. Di dalam dasar untuk mempertimbangkan kelayakan seseorang untuk terjun di dalam pelayanan, atau bahkan hanya untuk bekerja di dalam sebuah organisasi yang bergerak di bidang pelayanan rohani (istilah Alkitabiahnya; pelayanan meja), maka karakter menjadi kriteria no. 1 untuk dipertimbangkan. Itu pun kadang-kadang tidak dapat mencegah terjadinya penyusupan oleh orang-orang yang cacat karakter, yang perbuatannya mencemari Organisasi atau Institusi yang mereka layani. Dunia usaha lambat laun juga mulai mengakui kembali kebenaran ini, sebagai dasar pertimbangan mereka di dalam menentukan hiring policy mereka.
Sebenarnya, dunia sekuler yang selama ini berusaha mengusir Tuhan dari arena publik, secara tidak langsung mengakui perlunya karakter. Mereka mengakui kekuatan yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin yang “kuat”, yang berhasil menaklukkan berbagai macam halangan seperti Jenderal Douglass McArthur, Jenderal George S Patton, dan para pemimpin militer berhasil lainnya. Hal ini juga berlaku dalam bidang-bidang lainnya - seperti ilmu pengetahuan. Dunia mengagumi para penemu yang bukan hanya jenius di dalam mendapatkan suatu terobosan sains, tetapi juga ketekunan mereka di dalam mengerjakan ide-ide mereka, sampai menjadi suatu purwarupa yang fungsional.
Di sinilah kesalahan dunia sekuler. Tanpa Allah di dalam pemikiran mereka, mereka hanya dapat melihat dan mengidentifikasikan Kekuatan Karakter, tetapi tidak dapat melihat dan menilai kemurnian karakter. Dunia sekuler yang tanpa Allah sangat terobsesi dengan kekuasaan (power) dan kesuksesan, sehingga mereka hanya menganggap karakter sebagai komponen pendukung untuk mencapai kesuksesan. Di sinilah terletak perbedaan di antara orang Kristen dengan dunia sekuler. Orang Kristen menganggap pembentukan karakter sebagai suatu tujuan mulia yang berdiri sendiri dan bernilai kekal, bukan hanya sebagai komponen pendukung untuk meraih kesuksesan.
Di sinilah perbedaannya:
- Kekuatan karakter akan membantu kita meraih kesuksesan, tetapi kemurnian karakter akan membuat kita tetap berada di dalam posisi kesuksesan.
- Jika pencapaian kesuksesan menjadi ukuran yang pertama dan satu-satunya di dalam menilai karakter seseorang, maka kita harus memberikan penilaian yang tinggi kepada orang-orang seperti Michael Jackson dan Mike Tyson yang telah membayar harga yang diperlukan untuk bangkit dari tragedi keluarga mereka dan dengan disiplin yang tinggi, berhasil meraih kesuksesan di bidang mereka masing-masing. Tetapi di sinilah letak ironisnya kebenaran di atas. Kekuatan karakter hanya bisa membawa kita ke pintu gerbang kesuksesan, tetapi untuk tetap berada di sana, kita perlu sesuatu yang lebih. Kita perlu kemurnian karakter.
- Kekuatan karakter akan membawa berkat bagi diri kita sendiri dan “kelompok” kita saja, sedangkan kemurnian karakter akan membuat kita menjadi berkat bagi semua orang.
- Siapakah yang ingin kita bahagiakan di dalam kesuksesan kita? Jika kita hanya berfokus kepada diri kita sendiri dan kelompok terdekat kita, maka kita adalah orang-orang yang segolongan dengan Genghis Khan, Hitler, Mussolini, dan semua gembong mafia yang ada di dunia ini, yaitu kategori orang yang memiliki karakter, dan di dalam definisi yang sempit ini, mereka semua adalah orang-orang yang memiliki kekuatan karakter.
- Ada orang yang pernah berkata tentang Adolf Hitler, bahwa kesalahan yang diperbuat olehnya hanyalah satu saja, yaitu ia masih tetap hidup melewati tahun 1939. Jika Hitler meninggal tahun 1939, maka ia masih akan dikenang dunia sebagai orang yang berhasil mengembalikan harkat dan derajat bangsa Jerman setelah terpuruk di dalam kekalahan dalam Perang Dunia I. Kebijakan-kebijakan Hitler mendorong Jerman maju kembali bahkan melewati bangsa-bangsa sekutu dalam pelbagai hal, tetapi selanjutnya ia membawa kesengsaraan yang tidak terperi bagi jutaan penduduk Eropa lainnya.
- Kekuatan karakter akan membuat kita bisa menikmati barang-barang tanda kesuksesan kita, tetapi kemurnian karakter akan membawa kita menikmati persekutuan yang intim dengan Tuhan dan rasa penerimaan diri yang sesungguhnya.
- Jika benda-benda duniawi dapat memuaskan dahaga jiwa kita yang paling dalam, seharusnya kita tidak akan pernah mendengar kasus bunuh diri dari banyak selebritis di dunia ini. Dunia entertainment sangat jelas mengilustrasikan ironisnya prinsip ini. Sementara jutaan manusia di luar mengidolakan mereka, mereka tidak dapat hidup dengan diri mereka sendiri. Setiap kali mereka bangun dan melihat ke cermin, mereka tidak merasa puas akan diri mereka dan merasa bahwa ada kekosongan besar dan merasa bahwa mereka tidak hidup sebagaimana seharusnya mereka hidup.
- Mazmur 25:14 berkata “TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan rahasia perjanjian-Nya diberitahukan kepada mereka.” Ketika kita berjalan dalam takut akan Tuhan, kita akan mengembangkan kemurnian karakter. Dan sebagai balasannya, Tuhan berjanji bahwa Ia akan bergaul karib dengan kita. Sebagai sahabat karib kita, salah satu hal yang Ia berikan kepada kita adalah pertemanan (companionship). Ia berjanji akan menyertai kita di mana pun kita berada, dan penerimaan (approval). Tuhan akan berkata bahwa bukan hanya Ia mengasihi kita, tetapi juga Ia menyukai kita.
- Banyak dari para selebritis terlibat di dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang sebenarnya memiliki tujuan yang mulia, dan untuk ini kita patut mengacungkan jempol kepada mereka. Tetapi jika kita meneliti lebih jauh, alasan utama kenapa mereka melakukan hal-hal tersebut adalah kebutuhan yang amat mendalam untuk memiliki suatu rasa dihargai dan diapresiasi dan merasakan bahwa kehidupan mereka benar-benar telah menjadi kehidupan yang berguna. Hanya penerimaan (approval) dari Allah sebagai sahabat terbaik kita, akan mampu memenuhi kekosongan jiwa kita.
Komponen karakter Ilahi
Dr John C Maxwell, seorang pakar kepemimpinan Kristiani mengusulkan keempat hal di bawah ini sebagai komponen karakter Ilahi di dalam diri setiap orang Kristen, yang di dalamnya mencakup unsur kekuatan dan kemurnian karakter:
- Identitas yang Ilahi
- Temperamen yang dikuasai oleh Roh Kudus
- Nilai-nilai yang Alkitabiah
- Disiplin diri yang teguh
Identitas yang Ilahi
Amsal 23:7 berkata ”as a man thinks, so he is ...” (Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia). Kita harus mulai belajar melihat dan menilai diri kita sebagaimana Pencipta kita melihat kita. Inilah hal yang sering dilihat dan ditangkap oleh dunia sekuler, terutama di dalam keberhasilan di dunia olah raga. Sebelum seseorang menjadi juara, terlebih dahulu ia harus bisa melihat dirinya sendiri sebagai juara. Di sinilah peranan penting seorang pelatih (coach). Pelatih seringkali lebih dapat melihat potensi yang ada di dalam diri seorang atlet lebih daripada atlet itu sendiri. Kita harus mengijinkan Roh Kudus menulis identitas baru di dalam diri kita. Kadang-kadang Ia harus mengganti nama kita dan memberikan nama baru kepada kita, seperti yang dilakukan-Nya kepada Yakub, dari seorang penipu menjadi seorang juara bersama dengan Allah.
Temperamen yang dikuasai oleh Roh Kudus
Kita diciptakan oleh Tuhan dengan kepribadian yang berbeda-beda, masing-masing dengan kekuatan dan kelemahan di dalam pola kepribadian tersebut. Hal itu adalah sesuatu yang wajar, tetapi ada kalanya kita mengijinkan perangai dan suasana hati kita begitu mendikte kita, sehingga kita akhirnya kita melakukan tindakan dan mengeluarkan perkataan yang akhirnya kita sesali.
Ada pepatah yang berkata bahwa:
- suasana hati akan melahirkan tindakan,
- tindakan akan melahirkan kebiasaan,
- kebiasaan akan melahirkan karakter,
- dan karakter akan menentukan nasib (destiny) seseorang.
Kita harus mengijinkan Roh Kudus untuk selalu menjadi Roh Penghibur yang menenangkan dan meneduhkan hati kita senantiasa, sehingga kita tidak hanya bereaksi terhadap stimulan yang ada di sekitar kita. Yesaya 26:3 berkata “Yang hatinya teguh Kau jagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya.”
Nilai-nilai yang Alkitabiah
Masyarakat modern sudah tidak memiliki definisi yang jelas mengenai nilai-nilai. Sebetulnya sederhana saja, nilai adalah suatu sistem untuk menentukan; mana yang kita hargai lebih dari pada yang lain. Manakah yang lebih berharga:
- benda-benda material atau hubungan-hubungan yang kita miliki?
- melakukan apa yang benar atau menyelamatkan citra diri kita?
Jawaban-jawaban kita akan menunjukkan sistem nilai yang kita anut. Orang akan bertanya-tanya jika kita menaruh label harga yang salah kepada benda-benda materi. Mengapa sesuatu yang bermutu rendah diberi harga mahal hanya karena suatu merek tertentu, maka masyarakat akan memberikan penilaiannya: barang itu memiliki harga (price) tetapi harga itu tidak memiliki nilai (value). Demikian juga dengan kita. Jika kita terus membuat penilaian-penilaian yang salah, menaruh prioritas yang salah di dalam mengambil keputusan (seperti Esau, yang menilai hak kesulungannya begitu rendah, sehingga rela menjualnya demi semangkuk kacang merah), maka masyarakat akan bertanya kepada kita, nilai-nilai apakah yang kita pancarkan selama ini?
Disiplin diri yang teguh
Prinsip inilah yang menjadi pengunci ketiga hal di atas. Kita harus mempraktekkan ketiga hal tersebut setiap kali di dalam setiap keadaan, bukan hanya dalam keadaan yang mengenakkan kita saja, tetapi dalam segala keadaan.
Disiplin juga dibutuhkan ketika kita melakukan semua hal-hal yang bersifat detail dan rutin, sehingga kita tidak terjerumus kepada kebosanan dan kelalaian.
Disiplinlah yang pada akhirnya memasukkan ketiga hal tersebut ke dalam jati diri kita, sehingga bukan hanya menjadi sesuatu yang eksternal, tetapi menjadi bagian integral dari kepribadian kita.
Sumber
- [AL] Renungan Khusus (04 September 2010). Warta Jemaat. GBI Jalan Gatot Subroto.