Persembahan Perjanjian (Covenantal Offering) (Sikap teologis)
Sikap teologis GBI Jalan Gatot Subroto | |
---|---|
Tanggal | 26 Juli 2020 |
Penulis‑1 | Pdt Dr Abraham Lalamentik, MTh |
Penulis‑2 | Pdt Chris Silitonga, MEd |
Video | Voice of Pentecost 11 ( Helen Wahyu ) |
Unduh | Unduh OSP |
“Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan. Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak terselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.” (2 Korintus 3:17-18)
I. Persembahan sebagai ekspresi penyembahan dan penyerahan diri
Memberikan persembahan adalah salah satu bentuk penting dan nyata ekspresi penyembahan dan bukti penyerahan hidup kita kepada Tuhan. Memberikan persembahan tidak terpisahkan dari kehidupan spiritualitas orang percaya dan hal ini sudah dilakukan selama ribuan tahun sejarah Gereja dan juga sebagaimana dicatat di dalam Alkitab. Bentuk-bentuk persembahan yang diberikan pun memiliki variasi dari masa-ke-masa, walaupun bentuk yang paling umum di era Perjanjian Baru adalah dalam bentuk mata uang. Karena memiliki pengaruh langsung kepada keadaan ekonomi seseorang, maka perihal memberikan persembahan kerap menjadi pertanyaan yang diajukan oleh jemaat, baik mengenai dasar teologis pemberian persembahan maupun teknis pemberiannya.
Keadaan dan situasi yang berefek langsung kepada kemampuan keuangan jemaat, terutama yang negatif seperti: kesakitan, kehilangan pekerjaan, musibah/bencana, pandemi dan lain-lainnya, seringkali memunculkan pertanyaan-pertanyaan seputar persembahan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan umumnya seperti berikut:
- Dalam situasi “susah” apakah kita tetap perlu memberikan persembahan?
- Bukankah memberi persembahan adalah hal “Taurat” sehingga tidak perlu melakukan hal tersebut di era Perjanjian Baru ini?
- Perlukah kita memberi persembahan jika kita merasa persembahan yang diberikan ke Gereja sepertinya tidak digunakan untuk membantu orang-orang yang berkekurangan?
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas dan lain-lainnya banyak kita temukan terutama pada saat situasi sulit sedang menimpa seseorang atau masyarakat secara keseluruhan. Keadaan yang sulit, seperti pandemi COVID-19 yang melanda dunia, menjadi waktu yang tepat untuk membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut oleh karena mayoritas sedang mengalami kesukaran. Pemahaman tentang memberi persembahan harus didasarkan pada pengertian yang benar dan bukan karena “mampu atau tidaknya” seseorang memberi persembahan menurut pandangan dia.
Artikel mengenai Persembahan ini akan membahas akar mengapa kita perlu tetap memberi persembahan kepada TUHAN, apapun situasinya. Hal-hal seperti dasar-dasar teologis bentuk persembahan yang spesifik, tidak dibahas dalam artikel ini karena telah ditetapkan dalam artikel lainnya, seperti:
- Persembahan Persepuluhan telah diangkat dalam Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Teologia Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia (2018),
- Persembahan Sulung telah diangkat dalam Sikap/Pandangan GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta mengenai Persembahan Sulung[1] yang diterbitkan oleh Tim Teologia GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta (2020).
Dengan mengerti mengapa kita perlu tetap memberi persembahan kepada TUHAN di tengah situasi “sulit” akan menjadi fondasi yang kuat dalam kita menjalankan salah satu ekspresi penyembahan kita ini.
Dasar yang perlu kita pahami adalah mengerti perbedaan antara covenantal offering yaitu persembahan karena perjanjian hubungan kita dengan TUHAN, dengan horizontal giving yaitu persembahan untuk kebutuhan sesama.
II. Covenantal offering lahir dari covenantal relationship
Salah satu bidang di mana Rasul Paulus dipakai Tuhan dengan dahsyat adalah menjelaskan kekayaan hukum Taurat kepada pembacanya dari golongan bangsa non-Yahudi. Tentu kita mengerti bahwa mengerjakan hukum Taurat tidak menjadi faktor penentu keselamatan, tetapi hukum Taurat mengandung kekayaan hikmat yang begitu memberkati bangsa Israel sehingga mereka menjadi bangsa yang maju di tengah-tengah pergaulan dengan bangsa-bangsa lain, meskipun jika dilihat secara objektif tanah Israel tidaklah memiliki kemampuan untuk menghasilkan ekonomi yang dahsyat. Berkat yang Tuhan berikan kepada bangsa Israel salah satunya adalah ‘DNA of Freedom’ yang membuat bangsa Israel memiliki konsep ‘Rule of Law’ (supremasi hukum) di mana di dalamnya Tuhan sebagai penguasa tertinggi dari segalanya pun ‘tunduk’ kepada aturan main yang berlaku; dalam hal ini hukum Taurat dapat dilihat sebagai “SOP” atau pedoman tingkah laku kita kepada Tuhan dan Tuhan kepada kita.
Inilah yang disebut dengan Covenantal Relationship atau hubungan berdasarkan ikat janji yang sangat kuat. Di dalam hubungan-hubungan manusia, kita mengenal dua macam hubungan yaitu:
- Hubungan Casual; hubungan yang berdasarkan perasaan saling (mutual feeling) tanpa harus membuat perjanjian apapun. Contohnya adalah hubungan pertemanan dan tetangga.
- Hubungan Covenantal; hubungan yang lebih resmi yang memiliki kekuatan mengikat. Perasaan tentu saja masih memiliki nilai di dalam hubungan jenis ini, tetapi hubungan ini tetap berlangsung meskipun kadang-kadang perasaan sedang tidak mendukung kelangsungan hubungan tersebut. Yang paling tinggi dari contoh hubungan covenantal adalah pernikahan.
Dalam 2 Korintus 3 rasul Paulus menjelaskan fungsi hukum Taurat bagi bangsa-bangsa non-Yahudi. Fakta bahwa kita sekarang telah memiliki Kristus bukan berarti bahwa kita tidak bisa mengambil pelajaran dari kekayaan hikmat yang ada di dalam hukum Taurat, sebaliknya kita memiliki suatu keuntungan yang lebih untuk melakukan hukum Taurat dengan diberdayakan oleh kemuliaan yang datangnya dari Roh Kudus.
Prinsip ini juga sudah pernah digambarkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 5:41,
- “Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.”
Yesus memakai contoh dari hukum penjajahan Romawi yang diterapkan kepada orang Yahudi pada waktu itu. Seorang prajurit Romawi berhak memanggil siapapun yang ada di sekitarnya untuk membantunya membawa perlengkapan tetapi hanya sebatas satu mil. Bangsa Yahudi juga memakai pengertian mil (mil Romawi yang berarti secara umum 1.000 langkah) sebagai batas perjalanan pada hari sabat. Yesus mengajarkan bahwa sebagai murid-murid-Nya keinginan kita untuk menolong ‘musuh’ kita (orang yang belum tentu bersikap baik terhadap kita, yang dalam konteks waktu itu adalah orang Romawi) haruslah lebih besar dari hanya sekedar apa yang diperbolehkan oleh hukum. Kita harus sungguh-sungguh ingin menolong orang itu sehingga kita rela melakukan dua kali lipat dari apa yang disahkan oleh hukum jika diperlukan. Inilah yang disebut dengan ‘DNA of Freedom’ di mana sebagai orang Kristen yang dipimpin oleh Roh Kudus, kita mengerjakan hukum Taurat dengan sukarela, bukan karena paksaan.
Jika kita melihat kepada dua jenis hubungan di atas kita dapat melihat bahwa hubungan casual meskipun kelihatannya tidak mengikat, tetapi memiliki tingkat kedalaman hubungan yang lebih dangkal dibandingkan hubungan covenantal [2] Dapat terlihat dengan jelas di dalam hubungan pacaran dibandingkan dengan pernikahan. Hubungan pernikahan memiliki ikatan yang jelas dan permanen. Sekali seseorang menikah, ia menjadi ‘tidak bebas’ di dalam hubungan sosialnya tetapi sebaliknya ia memiliki kebebasan yang lebih besar dengan ‘isteri/suaminya’ justru karena batasan-batasan yang dikenakan pada hubungan pernikahan tersebut. Demikian juga di dalam hubungan Tuhan dengan kita dan kita dengan Tuhan, kita memiliki kebebasan (‘DNA of freedom’) justru di dalam batasan-batasan covenant, termasuk di dalamnya dengan cara yang Tuhan kenan dan terima dalam kita mengekspresikan penyembahan kepada Tuhan, salah satunya dalam bentuk memberi persembahan.
Di dalam hal memberi kita dapat melihat contoh yang indah di dalam kitab Imamat. Di dalam 7 (tujuh) pasal pertama kitab Imamat kita melihat 5 (lima) macam korban yang dipersembahkan oleh Israel kepada Tuhan:
- Korban Bakaran (olah)
- Korban Curahan/lambaian (minhah)
- Korban Pendamaian (shelem)
- Korban Penghapus Dosa (chattat)
- Korban Kesalahan (asham)
Para sarjana Alkitab hampir semua setuju bahwa kelima macam korban ini adalah lambang kelima aspek korban Kristus di atas kayu salib bagi kita manusia.
- Korban Bakaran melambangkan kematian Kristus yang penuh penderitaan di atas kayu salib.
- Korban Curahan adalah satu-satunya korban yang non-daging tapi bersifat benih/biji-bijian yang melambangkan karakter Kristus yang sempurna di hadapan Allah dan manusia.
- Korban Pendamaian melambangkan hasil karya Kristus di atas kayu salib yang mendamaikan manusia dengan Tuhan.
- Korban Penghapus Dosa melambangkan kematian Kristus di kayu salib yang menebus pemberontakan manusia di dalam setiap kategori hukum Taurat.
- Korban Kesalahan melambangkan kematian Kristus yang menebus semua kategori kelemahan daging manusia.
Menarik juga untuk diperhatikan bahwa semua jenis korban melambangkan sikap yang ada di dalam diri Tuhan Yesus sendiri dalam menghadapi kayu salib. Pada satu aspek memang derita salib ‘diwajibkan’ untuk ditimpakan kepada Kristus karena Dialah Anak Domba Allah yang harus menghapus dosa, namun di lain pihak Yesus menyerahkan nyawanya dengan sukarela (Yohanes 10:18, “Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku.”)
Pada masa kini kita tidak lagi melakukan korban-korban tersebut secara fisik karena Tuhan Yesus telah menggenapi semuanya itu bagi kita. Di dalam hal kita memberi kepada Tuhan berlaku pula prinsip yang sama: ada yang kita lakukan sebagai covenantal offering, yaitu persembahan yang wajib kita berikan karena kita ada di dalam hubungan covenantal relationship dengan Tuhan[3]. Covenantal offering inilah yang biasa kita lakukan di dalam:
- Persembahan persepuluhan
- Persembahan sulung
- Komitmen-komitmen kita untuk mendukung suatu proyek pekerjaan Tuhan sebagaimana tuntunan Roh Kudus.
Pelaksanaan covenantal offering akan mencerminkan bagaimana kita sesungguhnya mengasihi dan menyembah Allah. Sinode GBI mengungkap suatu frasa yang sangat baik mengenai pemberian persembahan persepuluhan yang juga berlaku untuk persembahan-persembahan yang bersifat covenantal yaitu bahwa pemberian persembahan semacam itu adalah implementasi kasih kepada Kristus Yesus yang telah memberikan yang terbaik bagi kita. Pemberian persembahan covenantal menjadi salah satu bentuk ungkapan kasih kepada Allah dan memandang hal itu sebagai salah satu bentuk penyerahan total kehidupan kepada Allah.[4] Memberikan covenantal offering juga menunjukkan bakti dan pelayanan kita kepada Allah.[5] Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa pemberian covenantal offering jangan terjebak pada motivasi ritual-legalistik seperti yang dilakukan banyak orang tetapi mengabaikan prinsip dan esensi keadilan, belas kasihan dan kesetiaan[6] (Matius 23:23, bdk. Yesaya 1:13-17).
Di lain sisi, kita memiliki kebebasan untuk memberi secara horizontal; yaitu pemberian-pemberian kita karena melihat kebutuhan sesama kita. Ini yang disebut sebagai horizontal giving. Pemberian-pemberian ini juga penting dalam pandangan Allah dan menjadi tugas jemaat/gereja untuk memperhatikan mereka yang berkekurangan, terutama dimulai dari dalam jemaat terlebih dahulu baru kepada komunitas di sekitarnya. Tetapi pemberian ini berada di dalam konteks setelah pemberian persembahan covenantal telah dilaksanakan terlebih dahulu.
Dengan pemahaman ini, maka jawaban pertanyaan yang diajukan seperti: “dalam situasi ‘susah’ apakah kita tetap perlu memberikan persembahan; perlukah tetap memberi persembahan di era Perjanjian Baru ini”, menjadi sangat jelas: YA! Persembahan adalah satu ekspresi penting penyembahan kita kepada Tuhan yang telah membuat covenant dengan kita dan memberi kita yang terbaik. Persembahan covenantal yang kita berikan adalah kepada Tuhan, melalui institusi yang Tuhan telah tentukan untuk menerima dan mengelolanya yaitu Gereja di mana kita tertanam dan bertumbuh (Maleakhi 3:10). Tidak mungkin kita memiliki hubungan covenantal dengan Tuhan tanpa memiliki hubungan covenantal dengan Gereja-Nya. Yang patut diingat, berikanlah covenantal offering dengan prinsip 2 Korintus 9:7,
- “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita”.
Tuhan sudah lebih dahulu mengasihi dan memberkati kita, sehingga kita dengan rela-hati dan sukacita memberikan bagian kita kepada-Nya dalam covenant relationship ini.
Sedangkan untuk pertanyaan seperti: “perlukah kita memberi persembahan ke Gereja atau langsung saja kepada mereka yang membutuhkan?” maka jawabannya adalah juga YA! untuk kedua-duanya. Gereja adalah wadah yang Tuhan percayakan untuk mengelola pemberian persembahan agar selain dapat memastikan pelayanan berlangsung baik (Bilangan 18:26; Nehemia 10:36), juga dapat memperhatikan jemaat (Kisah 4:32-37)[7] dan orang-orang sekitarnya yang berkekurangan diperhatikan (Matius 23:23; 2 Korintus 8:1-9, bdk. Ulangan 26:12). Untuk pelayanan pemerhatian ini dapat berlangsung, tentu Gereja membutuhkan dukungan-dukungan finansial (bdk. Filipi 4:14-18). Gereja adalah wadah nomor satu yang Tuhan gunakan untuk mengimplementasikan kepedulian bagi sesama dan untuk menyatakan kasih Tuhan kepada dunia (bdk. Kisah 11:27-29). Jawaban “Ya!” juga artinya kita boleh memberikan pemberian-pemberian horizontal melalui badan-badan kemanusiaan yang bergerak untuk membantu dan memulihkan mereka yang dalam keadaan berkekurangan atau sedang mengalami kesusahan, seperti misalnya panti asuhan, badan penanganan bencana, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan, edukasi dan lain-lainnya.
Pemberian sukarela bukanlah berarti kita bebas untuk tidak melakukannya. Tuhan Yesus mengajarkan di dalam Perintah Agung (The Great Commandment) bahwa kita harus mengasihi sesama manusia seperti halnya kita mengasihi Tuhan Allah kita (Matius 22:37-39; Lukas 10:27). Pemberian sukarela tidak ditentukan nilai nominal maupun persentase nya. Di dalam hal ini berlaku hukum kerelaan hati. Rasul Paulus mengajarkan bahwa ia yang menabur banyak akan menuai banyak (2 Korintus 9:6). Tuhan Yesus juga mengajarkan bahwa janda yang memberi persembahan dua peser (Markus 12:42; Lukas 21:2) secara persentase memberi jauh lebih banyak dari pada orang-orang kaya yang bersama dia pada hari itu.
III. Dampak pemberian covenantal offering
Di dalam masyarakat modern yang cenderung mengedepankan kebebasan, hak asasi manusia, perasaan dan eksistensialisme, pengertian pemberian secara covenantal seringkali dianggap kuno dan menekan. Tapi dengan melihat contoh di atas maka ada berkat-berkat khusus bagi mereka yang mendisiplinkan diri untuk melakukan hal tersebut:
- Pemberian covenantal offering melatih iman kita untuk mengandalkan Tuhan senantiasa.
- Pemberian covenantal offering melatih sikap kita sebagai seorang pengelola dan bukan pemilik.
Kepastian kita terhadap kontrak apapun yang kita miliki menandakan tingkat ‘iman’/kepercayaan kita kepada pribadi/institusi tersebut. Jika kita memiliki polis asuransi, surat hutang negara, mata uang asing, saham, atau surat berharga apapun maka itu menunjukkan bahwa kita dapat mengandalkan institusi/sistem ekonomi meskipun kita belum melihat kertas-kertas itu berubah menjadi uang. Jika kita bisa ‘beriman’ kepada institusi semacam itu dengan cara membayarkan ‘kewajiban’ (premi asuransi, dll) masakan kita tidak dapat mempercayai Tuhan – pribadi yang jauh lebih dapat dipercaya daripada apapun atau siapapun di dunia – untuk melakukan bagian-Nya di dalam hubungan ikat janji dengan kita?
Dengan melakukan kewajiban kita, kita sedang menunjukkan bahwa ada sosok yang lebih berkuasa di atas kita. Jika kita terlalu mengandalkan atau berpikiran bahwa persembahan hanyalah horizontal yang bersifat sukarela, meskipun memang ada janji Tuhan untuk memberkati kalau kita memberikan hal itu, kita sebenarnya sedang menunjukkan bahwa kitalah sang pemilik kekayaan dan bahkan hidup kita (bdk. Roma 12:1) dan bukannya Tuhan. Pandangan seperti ini juga artinya beranggapan bahwa covenantal offering dan horizontal giving adalah yang sama, padahal tidak demikian.
IV. Kesimpulan
Sebagai orang Kristen kita hidup di dalam kedua tensi ini: pada satu pihak kita memiliki kebebasan di dalam Kristus namun di lain pihak kita terikat karena kita ada di dalam hubungan covenantal relationship dengan-Nya. Hubungan yang luar biasa ini tercermin nyata salah satunya dalam pemberian persembahan kepada-Nya melalui wadah yang telah Ia tetapkan. Sebagaimana hubungan kita dengan Tuhan harus tetap dijaga apapun yang terjadi, demikian juga pemberian covenantal offering kepada Tuhan adalah hal yang harus dilakukan apa pun situasinya oleh kita yang perkaya dan berserah kepada-Nya. Hanya dengan mengerti prinsip inilah kita akan mengalami kelegaan yang sepenuhnya di dalam kehidupan kita, terutama di dalam bidang keuangan kita. (AB/CS)
Catatan kaki
- ^ OSP Persembahan Sulung
- ^ Peter Gentry & Stephen Wellum memberikan definisi yang sederhana namun kuat mengenai Covenant dalam God’s Kingdom through God’s Covenant: A Concise Biblical Theology (Crossway, 2015): Covenant is all about relationship between the Creator and his creation (terjemahan bebas: Covenant adalah mengenai hubungan antara Allah sang pencipta dan manusia ciptaan-Nya; Keluaran 6:6-8; Imamat 26:12), h.167 Kindle edition.
- ^ Kata “offering” dalam bahasa Yunani adalah prosphora (Strong’s G4376) yang juga mengandung pengertian bahwa pemberian kepada Tuhan bukanlah untuk maksud keselamatan tetapi sebagai tindakan devosi kepada Allah. Jack W. Hayford dalam New Spirit-Filled Life Bible (Nashville, TN: Thomas Nelson, 2002, h.1532) menjelaskan bahwa pemberian persembahan jemaat di Kisah Para Rasul, sebagaimana juga dilakukan rasul Paulus, adalah pemberian yang merupakan bentuk devosi kepada Allah.
- ^ Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia, Departemen Teologia Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia: Jakarta, 2019, h.124-125
- ^ Robert E. Webber, Worship Old & New, Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1982, h.24
- ^ Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia, h.124
- ^ Lukas memberikan suatu penjelasan yang lugas bahwa orang-orang telah dipenuhi Roh Kudus tidak akan tinggal diam saat mengetahui bahwa ada sesama anggota keluarga rohani yang mengalami kesulitan hidup secara finansial. Tingkat kepedulian yang tinggi ini dikaitkan dengan keberadaan Roh Kudus di dalam diri mereka (ayat 31). John Stott dalam The Message of Act (Norton Street: Nottingham, Inter-Varsity Press, 2013, h.106) menjelaskan bahwa peran Roh Kudus dalam Komunitas jemaat yang dipenuhi Roh Kudus di ayat 32 selain meningkatkan taraf kehidupan rohani mereka secara komunal juga membuat mereka peduli secara nyata akan keadaan ekonomi sesama anggota komunitas tersebut.