Kekristenan adalah suatu Kebodohan?

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 6 April 2024 13.48 oleh Jaen (bicara | kontrib) (Baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo Inspirational.jpgLogo Inspirational.jpg
Inspirasi
Tanggal12 Mei 2024
PenulisDoddy Agungpamudji
Sebelumnya
Selanjutnya

“Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan." (1 Petrus 1:8)

“Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan."

1 Petrus 1:8

Satu hal yang tidak bisa dipahami dalam pemikiran dunia pada umumnya adalah bagaimana orang bisa memiliki kepercayaan atas sesuatu yang belum pernah dilihat, ditemui bahkan menyaksikan secara pribadi. Secara khusus dalam ruang persidangan, kasus yang tidak memiliki bukti yang kuat dan kasat mata, bisa dipastikan akan memiliki masa depan suram bagi sang terdakwa dan bahkan tidak ada pembela yang sanggup menanggungnya.

Kekristenan adalah suatu kebodohan, pemberitaan salib adalah suatu kebodohan di mata orang-orang yang melihatnya. Tetapi Allah memang memakai sesuatu yang bodoh bagi dunia untuk memalukan orang-orang yang berhikmat (1 Korintus 1:27). Ahli Kitab dan Ahli Taurat dipermalukan oleh sekelompok orang awam penjala ikan melalui kuasa Roh Kudus.

Dalam konteks iman, kita menemukan paradoks yang mengagumkan. Kepercayaan kepada Yang Tak Terlihat bukanlah kebodohan, melainkan kebijaksanaan yang melampaui akal manusia. Mari kita sama-sama untuk merenungkan bahwa keyakinan bukanlah sekadar tentang melihat dengan mata jasmani, tetapi melalui mata hati yang tercerahkan oleh iman.

Sebagaimana dinyatakan dalam 1 Petrus 1:8, meskipun kita belum pernah melihat-Nya secara fisik, kita tetap dapat mengasihi dan percaya kepada-Nya. Bahkan, kepercayaan ini membawa sukacita yang luar biasa, yang tak tergambarkan dengan kata-kata. Iman bukanlah sekadar berpangku tangan dan menunggu kesaksian fisik yang nyata, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang memungkinkan kita merasakan hadirat-Nya dalam kehidupan kita.

Dalam perbandingan dengan hukum dunia, keimanan bisa jadi tampak seperti kebodohan. Namun, Allah memilih yang lemah untuk memalukan yang kuat. Peristiwa-peristiwa ajaib dalam sejarah Kitab Suci adalah bukti betapa kekuatan Allah bekerja melalui iman, bukan melalui akal manusia semata.

Jadi, marilah kita bukan sekadar terpaku pada bukti-bukti fisik yang terbatas, tetapi membuka diri untuk menerima kebenaran yang lebih dalam melalui iman. Karena dalam iman, kita menemukan kekuatan, harapan, dan sukacita yang tak terhingga dalam persekutuan dengan Yang Tak Terlihat, sang Pencipta dan Penebus kita.