Gereja Bethel Indonesia/Sejarah GBI: Perbedaan antara revisi

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
kTidak ada ringkasan suntingan
k (upd)
 
Baris 111: Baris 111:


: Pdt T Jonathan dari GBI Paturiani Bandung ditunjuk dengan kesepakatan menjadi Ketua Umum pertama BP GBI.
: Pdt T Jonathan dari GBI Paturiani Bandung ditunjuk dengan kesepakatan menjadi Ketua Umum pertama BP GBI.
'''16 Oktober 1970''', setelah Pdt T Jonathan sebagai Ketua Sinode GBI pertama menghadap Dirjen Bimas Kristen Protestan di Jakarta untuk melaporkan berdirinya GBI, maka terbitlah Surat Pendaftaran Pemerintah  No. Dd/P/VII/57/748/70, tertanggal 16 Oktober 1970. Surat ini menjadi semacam akta lahirnya GBI.<ref name="bbtentangkami">{{cite web
| nama      = Berita Bethel
| tanggal    =
| urlartikel = https://www.beritabethel.com/tentang_kami
| artikel    = Tentang Kami
| bagian    =
| penerbit  = Berita Bethel
| tglakses  = 2024-10-09
}}
</ref>


'''9 Desember 1972''', Gereja Bethel Indonesia diakui oleh Pemerintah secara resmi melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 41 tanggal 9 Desember 1972 sebagai sebuah ''Kerkgenootschap'' (badan hukum gereja) yang berhak hidup dan berkembang di bumi Indonesia. Gereja ini memulai organisasinya dengan 129 pendeta<ref name="sejarah-gbikapernaum">
'''9 Desember 1972''', Gereja Bethel Indonesia diakui oleh Pemerintah secara resmi melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 41 tanggal 9 Desember 1972 sebagai sebuah ''Kerkgenootschap'' (badan hukum gereja) yang berhak hidup dan berkembang di bumi Indonesia. Gereja ini memulai organisasinya dengan 129 pendeta<ref name="sejarah-gbikapernaum">

Revisi terkini sejak 9 Oktober 2024 08.06

Logo Gereja Bethel Indonesia

Sejarah perjalanan umum gereja pentakosta di Indonesia dan perjalanan Pdt HL Senduk dan rekan-rekan sebagai pendeta di Gereja Pentakosta, kemudian memisahkan diri untuk membentuk Gereja Bethel Injil Sepenuh pada tahun 1952, dan pemisahan kembali hingga berdirinya Gereja Bethel Indonesia pada tahun 1970.

Gereja Pantekosta

1921, Pendeta WH Offiler dari Bethel Pentecostal Temple Inc., Seattle, Washington, Amerika Serikat, mengutus dua orang misionarisnya ke Indonesia, dengan payung Bethel Temple Mission, yaitu Rev Cornelius Groesbeek dan Rev Richard Van Klaveren, keturunan Belanda yang berimigrasi ke Amerika. Mereka memulai pemberitaan injilnya di Bali.

1922, Pelayanan Groesbeek dan Van Klaveren beralih ke Surabaya.

1923, Pelayanan berpindah kota minyak Cepu, Jawa Tengah. Di Cepu, mereka bertemu dengan FG Van Gessel, seorang Kristen Injili yang bekerja di Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), sebuah perusahaan minyak Belanda. Van Gessel pada tahun sebelumnya telah bertobat dan menerima hidup baru dalam kebaktian Vrije Evangelisatie Bond yang dipimpin oleh Ds CH Hoekendijk (ayah dari Karel Hoekendijk). Groosbeek kemudian menetap di Cepu dan melayani kebaktian bersama-sama dengan Van Gessel. Sementara itu, Van Klaveren pindah ke Lawang, Jawa Timur. Di Cepu ini, banyak terjadi pertobatan dan kepenuhan Roh Kudus, di antaranya HN Runkat, J Repi, A Tambuwun, J Lumenta, E Lesnusa, GA Yokom, R Mangindaan, W Mamahit, SIP Lumoindong, dan AE Siwi, yang kemudian menjadi pionir-pionir pergerakan Pantekosta di Indonesia.

Januari 1923, Nyonya Van Gessel sebagai wanita yang pertama di Indonesia menerima Baptisan Roh Kudus, disusul suaminya beberapa bulan setelahnya.

19 Maret 1923, berdiri "Vereninging de Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost Indie" (Jemaat Pentakosta di Hindia Timur Belanda).

30 Maret 1923, pada hari raya Jumat Agung, jemaat Cepu yang masih kecil ini mengadakan Baptisan Air yang pertama kali. Groesbeek mengundang Rev J Thiessen dan Weenink Van Loon dari Bandung untuk turut hadir dalam pelayanan baptisan air yang pertama ini. Sebanyak 15 jiwa baru dibaptiskan pada hari itu. Dalam kebaktian-kebaktian bersama itu, 10 anggota lagi menerima Baptisan Roh Kudus, banyak orang sakit mengalami kesembuhan secara mujizat. Karunia-karunia Roh Kudus dinyatakan secara ajaib di tengah-tengah jemaat. Inilah permulaan dari kegerakan Pantekosta di Indonesia.

4 Juni 1924, karena kemajuannya yang pesat, Pemerintah Hindia Belanda mengakui eksistensi jemaat Pantekosta ini sebagai sebuah Vereeniging (perkumpulan) yang sah. Oleh kuasa Roh Kudus serta semangat pelayanan yang tinggi, maka jemaat-jemaat baru mulai bertumbuh dimana-mana.

Kemudian Groesbeek pindah ke Surabaya, dan Van Gessel yang telah menjadi Evangelis meneruskan kepemimpinan Jemaat Cepu.

April 1926, Groesbeek dan Van Klaveren berpindah lagi ke Batavia (Jakarta). Van Gessel merasakan panggilan Tuhan dan meletakkan jabatannya sebagai Pegawai Tinggi di BPM untuk pindah dan memimpin Jemaat Surabaya.

1932, Jemaat Surabaya membangun gedung Gereja berkapasitas 1000 tempat duduk dan menjadi gereja terbesar di Surabaya pada waktu itu.

1935, Van Gessel mulai mulai meluaskan pelajaran Alkitab yang disebutnya "Studi Tabernakel". Dalam tahun yang sama, Bethel Pentecostal Temple, Seattle, mengutus beberapa misionaris lagi. Satu di antaranya adalah W.W. Patterson yang membuka Sekolah Akitab di Surabaya, Netherlands Indies Bible Institute (NIBI). Para misionaris ini kemudian membuka Sekolah Alkitab di berbagai tempat sesudah pecah Perang Dunia kedua.

1937, Jemaat yang dipimpin Van Gessel bertumbuh dan berkembang pesat dengan membuka cabang-cabang di mana-mana.

4 Juni 1937, dengan pesatnya perkembangan jemaat ini, Pemerintah meningkatkan pengakuannya kepada pergerakan Pantekosta menjadi "Kerkgenootschap" (badan hukum gereja) berdasarkan Staatblad 1927 nomor 156 dan 523 dengan Beslit Pemerintah No 33 tanggal 4 Juni 1937 Staadblad nomor 768, nama "Pinkstergemeente" berubah menjadi "De Pinksterkerk in Nederlansch Oost Indie" ("Gereja Pantekosta di Hindia Timur Belanda").

Maret 1938, keluarga Ralph Mitchell Devin dan istrinya, Edna Lucy Devin, tiba di Makassar, Hindia Belanda, sebagai misionaris swadana dan kemudian melayani di Ambon, Maluku, bersama-sama dengan cabang Pinksterkerk di sana.

September 1938, Ralph Devin memisahkan diri dari Pinksterkerk karena ketidakcocokan cara ibadah dan keyakinan doktrinal, dan kemudian mendirikan "Bethel Indies Mission" yang kemudian pada tahun 1951 secara resmi menjadi "Assemblies of God in Indonesia" atau "Gereja Sidang-sidang Jemaat Allah" (GSJA).

1942, setelah Perang Dunia kedua dimulai, pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, nama Belanda "Pinksterkerk in Nederlansch Indie" diubah menjadi "Gereja Pantekosta di Indonesia" (GPdI). Jemaat gereja yang seharusnya menjaga jarak dari sikap politik yang terpecah belah, mulai terjebak dalam nasionalisme yang tengah berkobar-kobar saat itu. Roh nasionalisme juga berkobar-kobar meliputi suasana kebaktian dalam gereja-gereja Pantekosta. Van Gessel menyadari bahwa ia tidak bisa lagi bertindak sebagai pemimpin, dan kepemimpinan gereja harus diserahkan kepada orang Indonesia. HN Runkat pun terpilih sebagai Ketua Badan Pengoeroes Oemoem (Majelis Pusat) Gereja Pantekosta di Indonesia untuk menggantikan Van Gessel.

Gereja Bethel Injil Sepenuh

HL Senduk.jpg

Pdt Prof Dr Ho Lukas Senduk

1952, kondisi rohani Gereja Pantekosta pada saat itu menyebabkan ketidakpuasan di sebagian kalangan pendeta-pendeta Gereja tersebut. Ketidakpuasan ini juga ditambah lagi dengan kekuasaan otoriter dari Majelis Pusat Gereja. Akibatnya, sekelompok pendeta yang terdiri dari 22 orang, memisahkan diri dari organisasi Gereja Pentakosta, di antaranya adalah Van Gessel dan Pdt Ho Liong Seng (Ho Lukas Senduk).

21 Januari 1952, kelompok pendeta yang memisahkan diri dari GPdI ini kemudian membentuk sebuah organisasi gereja baru yang bernama "Badan Persekutuan Gereja Bethel Injil Sepenuh" (BP GBIS). Van Gessel dipilih menjadi "Pemimpin Rohani" dan HL Senduk ditunjuk menjadi "Pemimpin Organisasi" (Ketua Badan Penghubung, BP). Senduk berperan sebagai Pendeta dari jemaat di Jakarta, sedangkan Van Gessel memimpin jemaatnya di Jakarta dan Surabaya.

31 Januari 1953, pemerintah melalui Kementerian Agama mengesahkan Badan Persekutuan GBIS dengan keputusan No A/VII/16 tanggal 31 Januari 1953.

1954, Van Gessel meninggalkan Indonesia dan pindah ke Irian Jaya (waktu itu masih di bawah Pemerintahan Belanda). Jemaat Surabaya diserahkannya kepada menantunya, Pdt C Totays. Di Hollandia (sekarang Jayapura), Van Gessel membentuk suatu organisasi baru yang bernama Bethel Pinkesterkerk (sekarang Bethel Pentakosta).

1955, Misionaris Dalraith N Walker dari Church of God (Cleveland, Tennessee, Amerika Serikat) mengadakan kontak dengan Pdt Ho Lukas Senduk.[1]

1957, Van Gessel meninggal dunia dan kepemimpinan Jemaat Bethel Pinkesterkerk diteruskan oleh Pdt C Totays.

1958, Pdt HL Senduk bertemu dengan Rev Paul H Walker, Executive Secretary Church of God World Missions (COGWM), dalam acara World Pentecostal Conference di Toronto, Kanada. Pada tahun yang sama, Pdt HL Senduk bergabung dan ditahbiskan sebagai anggota Church of God. Sejak itu, Pdt HL Senduk memiliki visi agar gereja di Indonesia dan Amerika dapat bekerja sama sebagai sebuah persekutuan. Tapi visi ini belum dapat teralisasi karena Indonesia saat itu masih dalam belenggu komunisme.[1]

1962, sesudah Irian Jaya diserahkan kembali kepada Pemerintah Indonesia, maka semua warga negara Kerajaan Belanda harus kembali ke negerinya. Jemaat berbahasa Belanda di Hollandia ditutup, tetapi jemaat-jemaat berbahasa Indonesia berjalan terus di bawah pimpinan Pendeta-pendeta Indonesia.

Perjanjian kerja sama dengan Church of God

Church of God.png

Church of God, Cleveland, Tennessee

1966, James L Slay, Field Representative dari COGWM mendapatkan dari Pdt Senduk bahwa waktunya telah tepat untuk membangun kerja sama dan persekutuan antara gereja pentakosta Church of God (COG), Amerika Serika, dengan gereja yang dipimpin oleh Pdt Senduk.[1]

1967, Dr Charles W Conn (General Overseer COG) bersama dua Pendeta dari COG lainnya, C Raymond Spain dan WE Johnson, datang ke Jakarta untuk bertemu dengan Pdt Senduk dan Komite Eksekutif GBIS saat itu. Selama tiga hari, kedua belah pihak berdiskusi/bernegosiasi mengenai perjanjian-perjanjian persekutuan yang akan dilakukan, meskipun ada perbedaan bahasa dan budaya.

5 Februari 1967, setelah menyetujui poin-poin perjanjian, hubungan kerja sama dengan Church of God ini diresmikan dalam bentuk sebuah Perjanjian Peleburan (Amalgamation Agreement), yang ditandatangani di Jakarta dari pihak GBIS: Pdt HL Senduk, Dr The Sian King, Pdt Ong Ling Kok, Pdt Koe Soe Liem, dan Pdt AI Palealu; dan ketiga pejabat dari COG tersebut.[1]
Dalam perjanjian ini, kedua denominasi, COG dan GBIS, menjadi mitra penuh dan setara. Nama GBIS dalam bahasa Inggris menurut perjanjian ini menjadi "Bethel Full Gospel Church of God".
Selanjutnya, setiap Pendeta atau Misionaris Church of God yang sah yang akan melayani di Indonesia akan menjadi anggota Majelis Besar GBIS, dan sebaliknya setiap Pendeta GBIS yang sah akan menjadi anggota Majelis Besar COG dengan suara penuh.
Penandatanganan perjanjian ini dengan segera menimbulkan pro dan kontra di dalam tubuh GBIS.
Pihak yang pro-amalgamation berpendapat bahwa:
  • Hubungan ini adalah sepenuhnya tidak lebih dari sekedar hubungan kemitraan. GBIS tetap duduk sama tinggi dan duduk sama rendah dengan COG.
  • Hubungan kemitraan ini adalah hal yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan GBIS karena COG akan membantu GBIS secara finansial. Di antaranya dengan menyediakan dana untuk membangun Seminari Bethel di Jakarta, sebuah lembaga Alkitab yang setara dengan Perguruan Tinggi.
Pihak yang menentang amalgamation menuduh bahwa BP GBIS saat itu telah menjual GBIS kepada COG, dengan menjadikan GBIS sebagai bagian atau dilebur dalam COG. Pro-kontra perjanjian amalgamation ini semakin berkembang dengan munculnya isu-isu bahwa ada aliran uang di balik perjanjian ini yang hanya dinikmati oleh orang-orang yang dekat dengan elit BP. Akibatnya timbul kecurigaan yang semakin kuat bahwa tujuan amalgamation tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan material belaka, yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja. Apalagi, menurut pihak yang kontra terhadap perjanjian amalgamation ini, Yayasan Bethel yang dibentuk dalam rangka amalgamation tersebut, pengurus-pengurusnya adalah "orang-orang dekat" Ketua BP Pdt HL Senduk, dan menyebabkan kecurigaan mengenai ke mana larinya dana dari COG.

Skisma GBIS

21 Juni 1968, diadakan Sidang Majelis Besar (SMB) X. Dalam SMB X ini, diupayakan untuk menjernihkan persoalan-persoalan yang masih menggantung. Namun rupanya upaya tersebut pun belum mampu menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Bahkan bayang-bayang perpecahan dalam tubuh GBIS telah mulai nampak.

1968, Pdt HL Senduk dianugerahi gelar Doctor of Divinity dari American Divinity School, Chicago, Amerika Serikat.

17-19 Juli 1969, Badan Penasehat GBIS mengadakan pertemuan di Parat, Danau Toba, karena memandang Badan Penghubung GBIS telah melakukan penyelewengan dan melanggar Tata Gereja. Pertemuan Badan Penasehat ini dihadiri oleh Pdt JL Pardede (alm), Pdt BH Pardede (alm), Pdt JSAO Papilaya (alm), Pdt S Chandrabuana Chr (alm), Pdt J Setiawan (alm), Pdt Bagenda (alm), dan Pdt A Simangunsong (alm). Dalam pertemuan yang kontroversial ini, Badan Penasehat mengeluarkan keputusan untuk memecat Pdt Dr HL Senduk dan kawan-kawan, serta menetapkan Pdt J Setiawan selaku Ketua Badan Penghubung GBIS yang berkantor di Solo.

Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan dalam tubuh GBIS. Kelompok pertama adalah kelompok Jakarta yang tetap mengakui Pdt Dr HL Senduk selaku ketua BP GBIS, dan kelompok kedua adalah kelompok Solo yang mengakui Pdt J Setiawan selaku ketua BP GBIS. Selama beberapa waktu, hampir setiap hari surat-surat dikirim ke seluruh petugas yang isinya pernyataan-pernyataan dari kedua BP GBIS, baik yang bersifat penjelasan maupun yang bersifat "serangan" balik atas masing-masing pernyataan. Suasana keprihatinan menguasai para petugas GBIS melihat terjadinya kemelut dalam Badan Persekutuan yang sedang berkembang pesat ini. Di luar kelompok pro dan kontra ini, akhirnya ada kelompok yang memutuskan pindah ke organisasi lain, misal GBIS Mojokerto, yang bergabung dengan GIA.
Oleh karena segala upaya untuk menyelesaikan tidak berhasil, maka dengan kelompok Solo GBIS mulai melibatkan pemerintah dalam masalah ini.

16 Mei 1970, pemerintah c.q. Menteri Agama RI turut campur tangan dalam penyelesaian konflik intern GBIS tersebut, dengan mengeluarkan keputusan Menteri Agama No 68 tahun 1970 tanggal 16 Mei 1970 yang antara lain memutuskan bahwa pemerintah mengakui jemaat GBIS yang menolak perjanjian Amalgamation dengan Church of God.

Kelompok Solo juga diakui oleh pemerintah sebagai Badan Persekutuan yang sah, dan dengan demikian Pdt J Setiawan diakui pemerintah sebagai Ketua Badan Penghubung GBIS yang sah. Dengan terbitnya keputusan ini, Pdt Dr HL Senduk harus meninggalkan organisasi GBIS.

Gereja Bethel Indonesia

Akhir September 1970, dibentuklah Yayasan Gereja Bethel Indonesia di Bandung, yang kemudian mengadakan fellowship para pendeta pada tanggal 06-07 Oktober 1970 di Wisma Oikumene DGI Sukabumi, dengan tema "Setia sampai Mati".

6 Oktober 1970, Pdt Dr HL Senduk dan rekan-rekannya membentuk sebuah organisasi Gereja baru bernama Gereja Bethel Indonesia (GBI) di kota Sukabumi, Jawa Barat.

Pdt T Jonathan dari GBI Paturiani Bandung ditunjuk dengan kesepakatan menjadi Ketua Umum pertama BP GBI.

16 Oktober 1970, setelah Pdt T Jonathan sebagai Ketua Sinode GBI pertama menghadap Dirjen Bimas Kristen Protestan di Jakarta untuk melaporkan berdirinya GBI, maka terbitlah Surat Pendaftaran Pemerintah No. Dd/P/VII/57/748/70, tertanggal 16 Oktober 1970. Surat ini menjadi semacam akta lahirnya GBI.[2]

9 Desember 1972, Gereja Bethel Indonesia diakui oleh Pemerintah secara resmi melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 41 tanggal 9 Desember 1972 sebagai sebuah Kerkgenootschap (badan hukum gereja) yang berhak hidup dan berkembang di bumi Indonesia. Gereja ini memulai organisasinya dengan 129 pendeta[3] dan kurang dari 20 gereja jemaat.[4]

6 Oktober 2009, jumlah gereja jemaat GBI telah mencapai lebih dari 4600, yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dan luar negeri, dengan jumlah pejabat telah mencapai lebih kurang 15000 orang (terdiri dari Pdt, Pdm, dan Pdp).[3]

6 Oktober 2010, dalam ulang tahun GBI ke-40, GBI telah memiliki 5048 gereja, 2456 misi, 10.092 pejabat, dan sekitar 2,5 juta jemaat.[1]

6 Oktober 2016, dalam ulang tahun GBI ke-46, GBI telah memiliki sekitar 5608 gereja (jemaat lokal) dengan 17.371 orang pejabat, tersebar di seluruh dunia.[5]

6 Oktober 2020, dalam ulang tahun GBI ke-50, GBI telah memiliki sekitar 6303 gereja lokal yang dilayani 16.867 pejabat, dengan lebih dari 3.000.000 anggota jemaat di seluruh Indonesia dan 27 negara di dunia.[6]

25-29 Juli 2022, dalam 78th International General Assembly Church of God di San Antonio, Texas, Ketua Umum BPP GBI dimasukkan ke dalam Tata Gereja COG sebagai anggota tetap dalam International Executive Council COG.[7][8]

06 Oktober 2024, dalam ulang tahun ke-54, GBI telah memiliki hampir 20.000 pendeta (Pdt, Pdm, dan Pdp) dengan lebih dari 3.000.000 anggota jemaat di seluruh provinsi di Indonesia dan 27 negara di dunia.[9]

Sinode baru

Seperti GBI yang merupakan sinode yang lahir dari tubuh Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), maka dari tubuh Sinode GBI juga lahir beberapa sinode-sinode baru, di antaranya:

  1. Gereja Tiberias Indonesia (2001)
  2. Gereja Mawar Sharon (2002)
  3. Gereja Berita Injil (2002)
  4. Gereja Bethany Indonesia (2002)
  5. Gereja Suara Kebenaran Injil/Rehobot Ministry (2018)
  6. Gereja Bethel Injili Nusantara (2023)

Lihat pula

Referensi