Sikap Teologis GBI mengenai Vaksin COVID-19 (Sikap Teologis GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Logo GBI.svg
Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia
Sikap Teologis GBI mengenai Vaksin COVID-19
21 Desember 2020

Akhir tahun 2019, kasus pneumonia menyeruak di kota Wuhan, provinsi Hubei di Cina. Penyakit ini dipicu oleh virus corona atau sering disebut COVID 19.

Pendahuluan

Penyebaran virus ini sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat telah menjadi sebuah ancaman global. Untuk mengatasi pandemi COVID 19 negara-negara di dunia berjibaku melibatkan para peneliti di berbagai lembaga kajian, para akademisi dan perusahaan farmasi bekerja keras agar vaksin segera ditemukan.

Beriringan dengan upaya pemerintah mengatasi pandemi ini, muncul juga berbagai informasi yang kurang bertanggung jawab di tengah masyarakat. Adanya informasi yang berkembang di kalangan warga gereja bahwa vaksinasi dihubungkan dengan mikrocip dan angka 666 dalam Wahyu 13:18. Berdasarkan informasi tersebut, sebagian warga gereja menjadi bingung dan bahkan kuatir.

Vaksin COVID-19: Kesehatan dan Distribusi

Untuk jangka panjang, langkah medis penanganan COVID-19 merujuk pada standar dan rekomendasi yang ditetapkan WHO yakni pemberian vaksin kepada setidaknya 70% populasi dunia. Vaksin COVID-19 dibuat dan diproduksi oleh ratusan perusahaan farmasi di seluruh dunia. Hal itu disebabkan adanya kebutuhan vaksin yang sangat besar bagi seluruh populasi dunia. Pada dasarnya pemberian vaksin dilakukan melalui (1) Injeksi (suntik) dan (2) Minimal 2 (dua) kali, dengan jangka waktu yang berbeda-beda, tergantung jenis vaksin yang dikeluarkan oleh masing-masing farmasi.

Terkait dengan hal tersebut Presiden RI, Bapak Joko Widodo, telah membuat keputusan penting yakni pemberian vaksin kepada seluruh warga negara Indonesia tanpa mengeluarkan biaya apa pun, alias gratis. Langkah penting ini sejalan dengan pandangan para pakar kesehatan bahwa pemberian vaksin mutlak diberikan untuk mewujudkan ritme kehidupan di muka bumi ini dapat pulih kembali.

Dalam dunia medis, berbagai vaksin telah terbukti ampuh dalam menghadapi pandemi penyakit yang pernah dihadapi umat manusia, seperti polio, cacar, tuberkulosis (TBC), dll. Vaksin bekerja untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit tertentu. Dengan demikian pemberian vaksin COVID-19 bertujuan agar tubuh menghasilkan daya imun terhadap COVID-19 itu sendiri. Sekalipun demikian, yang harus diketahui adalah bahwa vaksin tidak menghapuskan penyakit, melainkan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk menghasilkan antibodi (kekebalan tubuh) sehingga imun terhadap penyakit.

Tentu saja, pemberian vaksin ini memiliki tantangan besar. Karena itu, dibutuhkan upaya pengelolaan distribusi yang terkontrol dan terarah. Warga harus didata dan dipastikan jangan sampai salah menerima vaksin, khususnya kedua kalinya. Ini membutuhkan pendataan yang cermat dan tepat. Keadaan seperti ini, kadang kala disusupi teori konspirasi, misalnya dengan mengatakan bahwa vaksin dilengkapi mikrocip dengan maksud untuk mendata setiap penerimanya. Mengenai hal ini tidak ada satu perusahaan pun yang mengklaim menggunakan mikrocip pada liquid injection mereka. Juga tidak ada informasi atau penjelasan resmi otoritas kesehatan/pemerintah yang mengatakan demikian. Yang ada adalah di beberapa tempat menggunakan gelang barcode/QR code seperti yang umum digunakan oleh pasien inap di rumah sakit atau gelang penanda bayi yang baru lahir di rumah sakit. Ini untuk memastikan agar penerima sudah menerima injeksi pertama dan nanti yang kedua adalah yang sesuai dengan injeksi pertamanya. Jadi dari sisi pendataan penerima vaksin maka hal itu adalah wajar.

Vaksinasi merupakan salah satu langkah penting dalam pencegahan COVID-19. Dalam kenyataan yang dihadapi mayoritas populasi tidak mengetahui apakah dirinya adalah OTG (Orang Tanpa Gejala) atau carrier penyakit ini. Selama warga belum divaksinasi, maka akan selalu ada resiko sangat besar terjadinya penyebaran COVID-19. Namun apabila seluruh populasi telah divaksinasi, maka kekhawatiran semacam itu tidak akan ada lagi.

Dengan demikian penolakan masyarakat terhadap vaksinasi bukanlah tindakan yang rasional dan merupakan sikap kurang bertanggung jawab. Apabila penolakan itu dilakukan warga gereja maka kita gagal menjadi teladan bagi masyarakat lainnya. Selain itu penolakan terhadap vaksinasi akan terbuka lebar jalan terjadinya penyebaran penyakit sehingga kita bukan menjadi berkat melainkan beban. Artinya, penerimaan vaksinasi yang direkomendasi oleh otoritas kesehatan dan kemudian ditunjuk pemerintah merupakan tanggung-jawab sosial gereja yang sangat membanggakan.

Beberapa hal penting yang perlu dipahami antara lain:

A. Sikap Teologis GBI terhadap Mikrocip

Sudah sejak lama teknologi mikrocip dihubungkan dengan angka 666 dalam kitab Wahyu. Namun berbagai penafsiran yang menghubungkan angka 666 dengan mikrocip tetap menjadi perdebatan yang seolah tidak ada hentinya. Dengan kata lain keterkaitan antara angka 666 dengan mikrocip belum ditemukan bukti kebenarannya. Terkait dengan pemahaman tentang mikrocip maka ada beberapa hal yang perlu dipahami antara lain:

  1. Teknologi mikrocip adalah semikonduktor kecil yang fungsinya menyampaikan informasi lewat karakteristik listrik tertentu. Mikrocip ini sejenis sirkuit terpadu yang berfungsi untuk menerima, mengolah dan menyampaikan informasi. Seiring dengan kemajuan teknologi, pemutakhiran terhadap mikrocip pun terjadi, misalnya dengan tampilan ukuran semakin kecil namun bekerja semakin cepat.
  2. Penggunaan akal budi sebagai anugerah Tuhan merupakan tanggung jawab manusia ciptaan Allah. Namun perlu sikap kehati-hatian dalam menggunakan seluruh teknologi dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan manusia agar dapat berkarya secara maksimal untuk memuliakan Tuhan.
  3. Mempersembahkan seluruh hidup termasuk tubuh kita demi kemuliaan Tuhan. Untuk itu, pertimbangan etis teologis, kita sangat perlukan agar berhati-hati dalam mengimplankan benda asing ke dalam tubuh yang harus didasari untuk tujuan dan kemanfaatan yang bertanggung jawab. Dengan demikian kita tidak merusak Gambar Allah dalam diri kita.
  4. Penggalian terhadap teks Alkitab perlu menggunakan perangkat hermeneutik yang memadai sehingga kita dapat memperoleh informasi yang berimbang antara konteks zaman penulisan Alkitab dengan konteks masa kini.

B. Sikap Teologis GBI Terhadap COVID-19

Sebagaimana surat Pastoral Sinode GBI, maka GBI sudah menyatakan sikap terhadap COVID-19, antara lain:

  1. Penyakit merupakan bagian yang integral dari kehidupan manusia. Sakit-penyakit merupakan akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat semua manusia tak terkecuali memiliki keterbatasan dalam segala hal, termasuk keterbatasan dan kelemahan secara fisik maupun keterbatasan usia hidup.
  2. Penyakit mungkin terjadi sebagai akibat teguran atau hukuman Allah, namun tidak setiap penyakit adalah teguran atau hukuman Allah. Namun jika itu terjadi karena teguran atau hukuman Allah bagi manusia, maka itu memiliki tujuan pendisiplinan sehingga manusia bertobat, beribadah kepada dan memuliakan Allah.
  3. Penyakit mungkin akibat perbuatan jahat Iblis, namun tidak setiap penyakit adalah akibat perbuatan jahat Iblis. Namun jika itu terjadi karena perbuatan jahat Iblis, maka yang harus diketahui bahwa itu adalah atas seizin Allah dalam kedaulatan-Nya, sehingga Tuhan sudah menyediakan jalan keluar dan kesembuhan atas penyakit itu.
  4. COVID-19 adalah virus yang menjangkiti banyak manusia bahkan telah merenggut banyak nyawa. Penyakit ini tidak lepas dari kemahatahuan dan kedaulatan Allah. Dengan demikian bila ada yang meninggal maka hal itu pun berada dalam kendali dan kedaulatan Tuhan yang Mahakuasa.
  5. Orang yang sakit adalah orang yang menderita. Karenanya kita tidak boleh menghakimi mereka yang menderita penyakit COVID-19 sebagai orang yang dihukum Tuhan karena tugas penghakiman bukan hak manusia melainkan hak Allah. Sebaliknya, kita justru harus menolong mereka yang menderita semaksimal yang kita bisa berikan dan lakukan.
  6. Wabah dan pandemi datang silih berganti di sepanjang sejarah kehidupan umat manusia secara global. Karenanya, wabah dan pandemi tidak bisa dipahami sebagai tanda akhir zaman atau kedatangan Kristus kembali akan atau sudah tiba. Akhir zaman dan kedatangan Tuhan kembali yang kita nantikan tidak dapat diperkirakan, diduga ataupun ditebak karena Tuhan sendiri mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu saatnya. Wabah COVID-19 bukan tanda akhir zaman atau kedatangan Tuhan kembali, namun menjadi bagian dari kondisi yang mendekati akhir zaman.
  7. Perbedaan terhadap tafsir kitab Wahyu sudah sejak lama ada dalam pemahaman gereja dan teolog. Dengan demikian kita tidak perlu mencurigai mereka yang memiliki perbedaan tafsir, apalagi menjelekkan dan menganggapnya sesat. Kita menghargai keragaman pendekatan menunjukkan sikap dan kedewasaan kita baik dalam berteologi maupun keyakinan akan Kristus sebagai kepala gereja.
  8. Kita perlu memberi respons positif terhadap tugas dan panggilan kita sebagai individu maupun warga gereja. Menjaga hidup sehat, memelihara kebersihan, mengikuti protokol pemerintah, seperti menjaga jarang, pakai masker, kebersihan diri dengan desinfektan dan lain-lain. Gereja perlu tampil dalam melaksanakan tugas dan panggilannya melakukan pelayanan holistik. Melalui kepedulian dan belas kasihan kepada sesama, menolong mereka yang terkena dampak secara material, moral dan spiritual.

C. Sikap Teologis GBI Tentang Vaksinasi

Dalam menyikapi isu vaksinasi sebagai upaya menghadapi dan mengatasi pandemi COVID-19 maka GBI menyampaikan beberapa hal penting antara lain:

  1. GBI menghargai dan menghormati upaya pemerintah dalam menghadapi pandemi COVID19. Pemerintah secara terus menerus meminta kepada seluruh warga bangsa agar tekun menjaga jarak, mencuci tangan, memakai masker demi terciptanya kesehatan individu dan kesehatan sosial maka menjaga kesehatan itu merupakan tugas bersama.
  2. Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit. Adapun tujuan pemberian vaksin adalah guna mencegah atau mengurangi infeksi penyebab penyakit. Dengan demikian penyediaan vaksin COVID-19 sebagai upaya pemerintah untuk mencegah penyebaran virus, menciptakan kesehatan individu dan masyarakat.
  3. Usaha pemerintah untuk melakukan vaksinasi sudah pasti melalui berbagai pertimbangan seperti proses uji klinis, pertimbangan moral dan etis yang melibatkan berbagai pihak dan lapisan dalam masyarakat. Artinya, pemberian vaksin sudah melalui pertimbangan yang sangat matang agar tercipta bangsa yang sehat.
  4. Gereja sebagai bagian integral bangsa Indonesia perlu memberi respon positif dengan mendukung upaya pemerintah dalam pelaksanaan vaksinasi sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku.
  5. Gereja perlu bersikap bijaksana menjaga kesehatan diri dan komunitas dengan harapan pandemi ini segera berakhir. Untuk itu, kita senantiasa memohon hikmat Tuhan agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh informasi yang belum teruji kebenarannya termasuk menghubungkan vaksin dengan mikrocip dan angka 666.
  6. Setiap warga gereja senantiasa menyadari bahwa tubuh adalah Bait Roh Kudus yang harus dirawat dan dipelihara sebagai bentuk dan/atau bagian dari pengabdian diri secara utuh kepada Allah.

Sumber