Sakramentologi GBI di tengah pandemi COVID-19 (Sikap Teologis GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Logo GBI.svg
Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia
Sakramentologi GBI di tengah pandemi COVID-19
25 November 2020
Pdt Asigor P Sitanggang, DTh

Gereja Bethel Indonesia (selanjutnya GBI) mewarisi sikap para Reformator Protestan terkait sakramentologi, yaitu membatasi perayaan sakramen sesuai dengan yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus untuk dilaksanakan, seperti yang tercatat dalam Alkitab, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus.

Pendahuluan

Protestantisme menghapus lima sakramen lain yang dipraktikkan Gereja Katolik Roma, yaitu Penguatan, Rekonsiliasi, Pengurapan Orang Sakit, Imamat dan Pernikahan. Kelima hal tersebut dilihat bukan sebagai sakramen melainkan pelayanan gerejawi biasa.

Dalam kaitan dengan baptisan, GBI mewarisi baptisan selam dewasa yang dipraktikkan kembali oleh kelompok Anabaptisme dalam Kekristenan atau Gereja Barat, walaupun Gereja-gereja Ortodoks maupun Gereja Nestorian yang merupakan bagian dari Kekristenan atau Gereja Timur, tetap mempraktikkan baptisan selam. Dalam kaitan dengan Perjamuan Kudus, maka GBI meyakini bahwa praktik Perjamuan Kudus yang Alkitabiah adalah model yang menyatakan kehadiran Kristus dalam

Perjamuan Kudus bukan secara fisik dalam roti dan anggur, melainkan secara rohani. Dalam hal Perjamuan Kudus, maka GBI bercorak Kalvinis.[1]

Kedua sakramen tersebut akan dibahas mengenai pelaksanaannya sebagai respons sikap teologis GBI dalam konteks pandemik global Covid-19 maupun pandemik-pandemik lain yang mungkin muncul di masa yang akan datang.

A. Baptisan

1. Latar belakang

DGD (Dewan Gereja-gereja Dunia, World Council of Churches) memahami bahwa baptisan adalah tanda kehidupan baru melalui Yesus Kristus. Itu menyatukan orang yang dibaptis dengan Kristus dan dengan umat-Nya.[2] Menurut DGD, Kitab Suci Perjanjian Baru dan liturgi Gereja menyingkapkan makna baptisan dalam berbagai gambaran yang mengungkapkan kekayaan Kristus dan karunia keselamatan-Nya. Gambaran-gambaran ini kadangkala dikaitkan dengan penggunaan air secara simbolis dalam Perjanjian Lama. Baptisan adalah partisipasi dalam kematian dan kebangkitan Kristus (Rm. 6: 3-5; Kol. 2:12); penyucian dosa (1 Kor 6:11); kelahiran baru (Yohanes 3: 5); pencerahan oleh Kristus (Ef. 5:14); mengenakan Kristus (Gal 3:27); pembaruan oleh Roh (Titus 3: 5); pengalaman keselamatan dari air bah (1 Pet. 3: 20–21); keluaran dari perbudakan (1 Kor. 10: 1–2) dan pembebasan menjadi manusia baru di mana hambatan pembagian baik jenis kelamin atau ras atau status sosial ditransformasikan (Gal 3: 27-28; 1 Kor 12:13) . Ada banyak gambarannya, namun kenyataannya adalah satu.[3]

Sejak sangat lama, sangat mungkin sejak Reformasi abad keenam belas dan kebangkitan gerakan Anabaptis, dan tentu saja sejak abad ketujuh belas dan permulaan gerakan Baptis, diskusi telah muncul di sekitar pertanyaan kembar mengenai metode dan subyek baptisan yang benar.[4]

Seperti dikatakan oleh DGD, praktik baptisan dikaitkan dengan ritus menggunakan air dalam Perjanjian Lama.[5] Praktik pembasuhan diri diterapkan oleh masyarakat di sekitar Israel kuno, khususnya dalam ritus-ritus keagamaan mereka. Pembasuhan ini bertujuan untuk membersihkan diri dari ‘kotoran’ dalam pengertian religius tertentu. Dalam Perjanjian Lama, ‘kotoran’ atau ‘kotor’ tidak selalu sesuatu yang dilarang atau mengancam. Seorang perempuan yang telah melahirkan harus dibersihkan (Im. 12), dan ketika seorang imam hendak melakukan tindakan peribadahan, ia harus membersihkan dirinya sendiri, meninggalkan dunia yang biasa, yang profan di belakangnya (mis. Im. 16.4); tetapi dia juga harus membersihkan dirinya sendiri agar, supaya, meninggalkan di tempat kudus 'kontaminasi' kekudusan yang dengannya dia telah 'terinfeksi' selama pelayanan tersebut (Im. 16.24). Berbagai macam peraturan mengenai pembasuhan juga diatur dalam Taurat dan dipertegas dalam Misnah seperti Kelim (Indonesia: Bejana-bejana), Negaim (Tanda-tanda Kusta), Taharoth (Kemurnian), Niddah (Pendarahan), dll.[6]

Praktik dalam Imamat 14:8 bagi orang kusta mencakup bukan hanya mencuci pakaian, mencukur rambut, namun juga membasuh diri dengan air. Dalam Perjanjian Lama berbahasa Ibrani, istilah yang digunakan untuk ‘membasuh’ adalah רַָחַץ )rakhats( yang berarti ‘mandi’. Sebaliknya, istilah yang digunakan untuk ‘mencuci pakaian’ bukanlah רַָחַץ (rakhats) melainkan כַָבַס (kabas) yang memang berarti mencuci. Dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani (LXX - Septuaginta), istilah yang digunakan untuk רַָחַץ (rakhats) adalah λούσεται (lousetai) dengan arti yang sama, yaitu mandi (Ing: bath) namun ditambahi artikel ἐν (ein, ke dalam) sebelum kata ὕδατι (hudati, air), sehingga dengan kata lain Perjanjian Lama berbahasa Yunani mengartikan teks itu sebagai ‘membasuh atau mandi ke dalam air”.

Ini secara tidak langsung mengindikasikan model pembasuhan selam yang kemudian menjadi lebih jelas ketika diterapkan Elisa atas Naaman untuk mentahirkan dirinya dari penyakit kusta. Istilah yang digunakan Alkitab TB LAI yaitu Naaman “membenamkan dirinya” טַָבַל (tabal, Ind.: membenamkan, memasukkan ke dalam) (2 Raj. 5:14) memberikan gambaran yang lebih gamblang mengenai pembasuhan selam.

Pada abad kedua SM muncul pembaptis-pembaptis Yahudi yang melakukan ritual pembasuhan diri yang serupa dengan praktik baptisan dan menjadikannya sebagai tanda kerohanian seseorang. Para pembaptis Yahudi ini muncul karena semangat memelihara Taurat yang begitu kuat sekaligus gairah yang besar akan kemurnian tubuh dan jiwa.[7] Lama-kelamaan ritual ini makin popular dan bertahan berabad-abad di kalangan Yahudi dan dilaksanakan terutama di Lembah Yordan. Di daerah inilah kemudian Yohanes Pembaptis melakukan ritual baptisannya.[8]

Ritus ini juga kemudian dilakukan terhadap orang-orang non-Yahudi yang ingin menjadi pengikut agama Yahudi (proselit).[9] Baptisan proselit adalah upacara yang dilakukan bagi orang-orang yang beralih dari paganisme atau non-Yahudi kepada Yudaisme. Menurut para ahli, baptisan ini dipraktikkan sejak sekitar akhir abad kedua SM.[10] Istilah ‘baptisan’ yang digunakan dalam Perjanjian Baru bahkan diyakini diambil alih dari praktik baptisan proselit ini.[11] Pandangan bahwa pertobatan dari non-Yahudi kepada Yudaisme menyiratkan kehidupan baru, mati dan bangkit kembali, atau kelahiran baru, dengan kuat dinyatakan dalam Talmud.[12]

Sebagian ahli berpendapat bahwa baptisan proselit ini diambil-alih oleh Yohanes Pembaptis serta oleh orang-orang Kristen mula-mula. Karena itu adalah pintu masuk ke dalam komunitas agama baru, maka baptisan proselit dilakukan hanya sekali dalam hidup seseorang. Dalam hal ini, itu berbeda dari banyak ritual air lainnya di mana seseorang akan dan dapat menjalaninya berulang kali.[13] Praktik inilah yang kemudian dilakukan oleh Yohanes Pembaptis.

2. Baptisan Yohanes

Terlepas dari singkatnya catatan pelayanan Yohanes yang direkam dalam Injil Markus, Markus telah menunjukkan dengan cukup jelas dua faktor utama dalam baptisan Yohanes, yaitu orientasi eskatologis dan integrasi dengan pertobatan. Yang pertama diisyaratkan dalam kutipan pembuka dari 'nabi Yesaya': Yohanes adalah pendahulu dan penyiap jalan Tuhan, diutus untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan penyingkapan kemuliaan Tuhan, sehingga 'semua manusia' dapat melihatnya bersama (Is. 40.34). Dia sendiri adalah figur eskatologis, yang aktivitasnya menggerakkan proses yang akan memuncak dalam penghakiman dan penebusan Mesias.[14]

Bila dibandingkan dengan pembasuhan air dalam Perjanjian Lama yang telah dijelaskan di atas, yaitu untuk membersihkan ‘kotoran’, maka dalam konteks Yohanes Pembaptis, maka ‘kotoran’ tersebut adalah dosa, di mana baptisannya dipahami sebagai baptisan pertobatan untuk pengampunan dosa.[15] Praktik baptisan dalam Perjanjian Baru pertama kali dilakukan oleh Yohanes Pembaptis.

Baptisan yang dilaksanakan oleh Yohanes Pembaptis seringkali disebut baptisan pertobatan (Mt. 3:1, 2; Mk. 1:2-4; Lk. 3:1-3). Secara biblis maka baptisan Yohanes Pembaptis menjadi rujukan baptisan di dalam seluruh Perjanjian Baru.

Injil Matius memberikan cukup banyak rujukan mengenai baptisan yang terbagi ke dalam tiga pokok.

  • Pertama terdapat rujukan kepada kegiatan pembaptisan Yohanes Pembaptis: 3:1; 11:11-12; 14:2, 8; 16:14; 17:13 (tersirat dalam nama 'Yohanes Pembaptis'); 3:5-6 (pembaptisan besar-besaran di Sungai Yordan), ay. 7 (banyak orang Farisi dan Saduki yang datang untuk dibaptis), ay. 11 (baptisan Yohanes dilakukan hanya dengan air), ay. 13 (Yesus datang untuk dibaptis), ay. 16 (Yesus dibaptis); 21:25 (pertanyaan apakah baptisan Yohanes berasal dari Allah atau manusia).
  • Kedua, kemudian ada dalam 3:11 referensi tunggal untuk 'orang yang datang setelah' Yohanes juga seorang pembaptis ('dengan Roh Kudus dan dengan api').
  • Ketiga, Akhirnya, ada dalam 28:19 dalam bentuk perintah kepada sebelas murid di atas gunung di Galilea untuk 'membaptis dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus'.

Jelas bahwa Matius secara kuantitatif memberikan lebih banyak hal kepada Yohanes sebagai seorang pembaptis daripada yang ditawarkannya kepada Yesus atau murid-murid pasca kebangkitan dalam suatu peran pembaptisan, yang secara tidak langsung menunjukkan peranan penting Yohanes sebagai pembaptis sebagai titik awal untuk eksplorasi ketika berbicara mengenai pentingnya baptisan, khususnya baptisan Kristen dalam Injil Matius.[16]

Markus 1:9-11 secara singkat menceritakan baptisan Yesus. Dalam versi Matius kisah tersebut lebih panjang diceritakan, Matius 3:13-17 dan menyertakan dialog singkat antara Yohanes Pembaptis dengan Yesus. Injil Lukas menceritakan lebih singkat dari Markus, yaitu Lukas 3:21-22. Sebaliknya, Injil Yohanes tidak menceritakan baptisan Yesus.

Yang menarik dari baptisan Yesus adalah bahwa Yohanes Pembaptis menyerukan orang banyak untuk bertobat dan membaptis mereka (Mk. 1:4). Lalu orang banyak datang dan dibaptis sambil mengaku dosa (ay. 5). Seruan Yohanes Pembaptis: "Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis" dalam ay. 4 merupakan terjemahan dari βάπτισμα μετανοίας (baptisma metanoias) yang secara harfiah berarti “baptisan pertobatan” dan tanpa kata kerja. Dalam kalimat lengkap, maka seruan Yohanes Pembaptis adalah: βάπτισμα μετανοίας εἰς ἄφεσιν ἁμαρτιῶν (baptisma metanoias eis aphesin hamartian) yang berarti ‘baptisan pertobatan ke dalam pengampunan dosa’. Jadi baptisan yang Yohanes Pembaptis lakukan jelas adalah baptisan pertobatan. Menjadi pertanyaan menarik kemudian untuk mengetahui apakah baptisan yang Yohanes Pembaptis kerjakan atas Yesus adalah baptisan pertobatan atau bukan.

Ada bagian yang muncul dalam Lukas 3:21, yang tidak ada dalam versi Markus dan Matius, yang mengatakan “Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa” yang menunjukkan bahwa Yesus dibaptis di bagian akhir. Dengan kata lain Yesus sengaja menanti yang terakhir untuk menyatakan bahwa Ia bukan bagian dari “orang banyak itu” (λαός, laos = bangsa, istilah yang merujuk kepada orang-orang Israel), dan terpisah dari mereka. Orang-orang itu adalah orang-orang berdosa yang mengaku dosa mereka dan dibaptis, sementara Yesus memisahkan diri untuk membedakan. Ia bukan orang berdosa seperti orang banyak itu.

Reaksi Yohanes Pembaptis dalam versi Matius, menegaskan hal ini. Karena sebelumnya, Yohanes Pembaptis telah bersaksi bahwa yang datang kemudian akan membaptis dengan Roh dan api (Mt. 3:11), maka jelas Yohanes menaruh dirinya di bawah Yesus. Karenanya, respons Yohanes Pembaptis di ay. 14: “Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?" menunjukkan bahwa Yohanes Pembaptis menaruh dirinya di bawah Yesus. Ialah yang seharusnya dibaptis Yesus. Ini juga menegaskan bahwa Yesus tidak seperti orang banyak, orang-orang berdosa.

3. Signifikansi baptisan Yesus

Jika demikian untuk apakah Yesus dibaptis? Ada beberapa hal penting yang bisa ditarik dari teks untuk menjawab hal ini.

  • Pertama, dalam Matius 3:15 Yesus menyatakan: “"Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah." Dan Yohanes pun menuruti-Nya.”

    Baptisan Yesus adalah bagian dari penggenapan seluruh kehendak Allah atas-Nya. Dalam teks asli, yang digunakan adalah dikaiosune atau Kebenaran/keadilan, namun tidak ada kata Allah. Dalam perspektif Yesus, dengan demikian, memberi diri-Nya dibaptis adalah bagian dari semua Kebenaran, Kebenaran Allah tentunya. Kebenaran yang dimaksud adalah kerendahan hati-Nya menjadi manusia.

    Adalah kehendak Allah Tritunggal untuk Pribadi Kedua berinkarnasi menjadi manusia. Allah menjadi manusia menyertakan tentu saja kerendahan hati. Ia menjadi sama dengan manusia yang berdarah dan berdaging, sehingga Ia pun merendahkan diri-Nya dengan dibaptis seperti orang-orang lain dibaptis. Ia menyamakan diri-Nya dengan manusia-manusia berdosa, sekalipun Ia tidak berdosa. Yesus tidak berdosa karena Ia adalah inkarnasi Allah, Allah menjadi manusia, dan hanya Ia yang tak berdosa yang dapat menebus dan mengampuni dosa.

  • Kedua, dalam baptisan Yesus terjadi peragaan Allah Tritunggal.

    Markus 1:10 menjelaskan pada saat Yesus keluar dari baptisan, Ia melihat Roh Kudus seperti burung merpati turun ke atas-Nya. Selanjutnya, ay. 11 menunjukkan ada suara dari sorga. Di ay. 10, langit terkoyak merupakan terjemahan dari ouranos, dan suara dari sorga di ay. 11, sorga juga terjemahan dari Ouranos. Jadi ini adalah dua hal yang sama. Terjemahan Indonesianya yang berbeda, tetapi teks asli menggunakan kata yang sama. Ouranos merupakan paraphrase atau pembahasan tidak langsung yang merujuk kepada Allah. Kedua ayat ini menunjukkan kehadiran Allah Tritunggal yang paling tegas dalam teks Perjanjian Baru. Ada Yesus, Anak Allah, kemudian ada Roh Kudus, dan kemudian ada suara dari sorga, yaitu Allah. Baptisan Yesus digunakan oleh Allah bukan sekadar sebagai sebuah baptisan, tetapi momentum penting pernyataan Allah tentang jatidiri Allah, yaitu Tritunggal. Karena Yesus dibaptis setelah orang banyak, orang banyak menjadi saksi apa yang terjadi pada diri Yesus. Kesaksian Yohanes Pembaptis tentang Yesus kemudian, membuat sebagian murid Yohanes Pembaptis menjadi murid Yesus. Namun para murid ini juga menjadi saksi baptisan Yesus, dan saksi pernyataan ilahi Allah Tritunggal, karenanya kita memiliki catatannya dalam ketiga injil sinoptik.

Maka bagi kita, baptisan yang kita lakukan meneladani yang Yesus lakukan dalam hal taat kepada kehendak Allah tetapi dalam bentuk pertobatan, seperti yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis. Baptisan menjadi ikrar pertobatan kita sekaligus menjadi bagian dari tubuh Kristus, sehingga kita tidak perlu dibaptis berulang-ulang, melainkan cukup sekali. Pertobatannya yang perlu berulang-ulang agar makin hari makin memuliakan Allah.

4. Baptisan orang-orang percaya

Yesus sendiri tidak melakukan baptisan. Namun rasul-rasul-Nya melakukan baptisan air bagi para pengikut Yesus. Yohanes 3:22-23 menegaskan bahwa rasul-rasul-Nya membaptis para pengikut-Nya. Yohanes 4:1-3 menyatakan bahwa Yesus, melalui para rasul-Nya membaptis di Yudea. Karena orang-orang Farisi mengetahui bahwa Yesus juga membaptis bahkan memperoleh murid lebih banyak daripada Yohanes Pembaptis, maka Yesus menyingkir dari Yudea ke Galilea. Selama pelayanan-Nya di Galilea, Yesus dan murid-murid-Nya tidak pernah membaptis lagi. Dengan kata lain, baptisan yang murid-murid Yesus lakukan hanyalah terjadi pada tahap awal dan menjadi pembuka pelayanan Yesus. Perintah untuk membaptis orang-orang Yesus berikan setelah kebangkitan-Nya. Dalam Amanat Agung baik versi Matius (28:18-20) maupun Markus (16:15, 16), baptisan menjadi bagian dari misi Kristus yang diserahtugaskan kepada murid-murid-Nya. Yesus memerintahkan: “karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mt. 28:19-20a). Dalam Amanat Agung, baptisan adalah bagian dari menjadi murid Kristus yang diteguhkan. Dengan kata lain, baptisan menjadi ritus inisiasi ke dalam tubuh Kristus (corpus Christi).

Dalam Kisah para Rasul (Kis. 8:13; 8:37; 10:48; 19:4, 5; 22:11), baptisan air dilayankan bagi mereka bukan hanya sebagai baptisan pertobatan melainkan pengampunan dosa oleh Kristus dan pengaruniaan Roh Kudus yang Yesus berikan sesuai nubuat Yohanes Pembaptis (Mt. 3:11; Mk. 1:8; Lk. 3:16; Yoh. 1:33). Ketika Yohanes Pembaptis menyerukan baptisan pertobatan, maka pengampunan diberikan oleh Allah (Mk. 1:4; Lk. 3:3). Namun dalam Kisah para Rasul 2:38, pengampunan dosa diberikan dalam nama Yesus. Ini menegaskan keilahian Yesus. Keilahian ini makin terlihat ketika baptisan dilaksanakan bagi mereka yang percaya kepada Yesus (Kis. 8:13; 16:31-33; 18:8).

Dalam surat-surat Paulus, baptisan adalah ritus yang menjadikan orang-orang percaya anggota-anggota tubuh Kristus (Rm. 12:5; 1 Kor. 12:13). Paulus juga menegaskan bahwa dalam baptisan orang-orang percaya dikuburkan ke dalam kematian Kristus. Dengan kata lain baptisan adalah ikrar untuk mengambil bagian dalam sengsara dan penderitaan-Nya, dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Dalam baptisan orang-orang percaya menyatu dengan Kristus (Rm. 6:1-6; Kol. 2:12). Baptisan dengan demikian meningkat dari baptisan untuk pertobatan yang dilayankan Yohanes Pembaptis menjadi baptisan untuk menjadi bagian dari tubuh Kristus.

5. Peranan Roh Kudus

Ada bagian-bagian dalam Injil Matius yang menghubungkan antara baptisan Yohanes dengan baptisan orang-orang percaya. Baik kegiatan pembaptisan dari orang yang datang kepada Yohanes maupun murid-murid setelah kebangkitan dihubungkan dengan Roh Kudus, yang di tempat lain memainkan peranan penting, jika sekunder. Pekerjaan Roh Kuduslah yang memungkinkan terjadinya kehamilan perawan (1.18, 20). Roh Kudus kemudian mendatangi Yesus yang dewasa, mengurapi-Nya untuk perannya (3.16; 12.18). Kehadiran Roh yang tinggal bersama Yesus pada tahap awal terkait dengan pimpinan Roh (4.1) dan secara berkelanjutan melalui kehadiran nyata dan kuasa Roh dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya (12.18, 28).[17]

Dalam Kisah para Rasul, baptisan orang percaya di dalam nama Yesus berlanjut dengan baptisan dalam Roh Kudus (Kis. 1:5; 2:38; 8:16, 17; 9:17, 18; 11:16). Yesus yang membaptis mereka dalam Roh Kudus, dan kemudian Roh Kudus berkarya di dalam dan melalui mereka untuk melaksanakan misi Kristus di dunia.[18]

6. Praksis baptisan

Seperti telah dijelaskan di atas, hakikat baptisan air memiliki cakupan yang luas dan bukan hanya pertobatan, namun juga pengampunan dosa oleh dan percaya dalam nama Yesus, yang menyertakan pengaruniaan Roh Kudus, untuk menjadi bagian dari tubuh Kristus dan bahkan menjadi satu dengan Kristus dalam penderitaan dan kebangkitan-Nya. Karenanya, baptisan air tidak perlu dilakukan berulang-ulang.

Secara praktis, baik baptisan Yohanes Pembaptis maupun baptisan orang-orang percaya mensyaratkan keterlibatan kedua belah pihak secara bersamaan, yaitu pembaptis (Yohanes Pembaptis, rasul-rasul Yesus, kemudian murid-murid Yesus) dan yang dibaptis. Kemudian, sebagaimana gambaran yang diberikan dalam baptisan Yohanes Pembaptis maupun Filipus dan Sida-sida dari Etiopia, maka baptisan dilakukan di dalam air.

Setelah Yohanes membaptis Yesus, teks Alkitab bahasa Yunani menyatakan ὁ ᾿Ιησοῦς ἀνέβη εὐθὺς ἀπὸ τοῦ ὕδατος· (ho Iesous anebe euthus apo tou hudatos) yang berarti Yesus segera naik (keluar) dari air (Mt. 3:16). Struktur gramatika dalam Markus 1:3 juga serupa (εὐθέως ἀναβαίνων ἀπὸ τοῦ ὕδατος·, eutheos anabainon apo tou hudatos). Naik keluar dari air jelas menunjukkan mereka masuk ke dalam air. Lokasi di Sungai Yordan memperkuat praksis baptisan pembasuhan dalam air.

Dalam kisah Filipus dan Sida-sida dari Etiopia semakin mempertegas hal ini, “Lalu orang Etiopia itu menyuruh menghentikan kereta itu, dan keduanya turun ke dalam air, baik Filipus maupun sida-sida itu, dan Filipus membaptis dia” (Kis. 8:38). Frasa “keduanya turun ke dalam air”, terjemahan dari κατέβησαν ἀμφότεροι εἰς τὸ ὕδωρ (katebesan [turun] amphoteroi [keduanya, bersamaan] eis to hudor), menegaskan hal tersebut.

Pembaptis dan yang dibaptis bersama-sama masuk ke dalam air dan pembaptis memiliki peranan penting yang dimandatkan kepadanya oleh Allah melalui Kristus (Amanat Agung, Mt. 28:18-20; Mk. 16:16) sebagai penyeru pertobatan (Kis. 2:38; 8:35-36) dan peneguh pernyataan percaya yang dibaptis (Kis. 8:37) serta pelaku ritus baptisan bagi yang dibaptis yaitu yang membaptis atau ‘membasuh’ yang dibaptis (Kis. 8:38). Karena pembaptis memiliki peranan yang signifikan seperti di atas, maka baptisan haruslah dilakukan oleh pembaptis pada yang dibaptis. Pembaptisan atau pembasuhan tidak bisa dilakukan oleh yang dibaptis secara mandiri. Dengan kata lain, dalam konteks pandemik global Covid-19 saat ini, analisis di atas menunjukkan bahwa baptisan online justru tidak disarankan untuk dipraktikkan karena menghilangkan hakikat teologis mengenai baptisan.

Dalam keadaan pandemik sekarang ini di mana dianjurkan untuk tidak berkumpul dalam jumlah yang banyak, dan menghindari ruangan tertutup, WHO menyatakan bahwa berenang di kolam renang umum yang dirawat dengan baik dan memiliki kadar klorin/kaporit yang memenuhi standar adalah aman, karena belum terbukti sama sekali bahwa Covid-19 dapat menular melalui air di kolam renang, hot tubs atau spa, atau tempat bermain air lainnya.[19] Namun dianjurkan untuk menghindari keramaian, termasuk kolam renang umum yang ramai. Pengguna kolam renang umum mesti jaga jarak min. 1 meter meskipun ada di dalam kolam renang.[20] Selain itu, benda-benda yang berada di luar kolam renang dapat menjadi medium penularan. Karenanya, tempat-tempat seperti locker-room di kolam renang publik disarankan untuk dihindari. Demikian pula, di luar kolam renang harus sering menggunakan pembersih tangan beralkohol atau dengan sabun dan tetap menjaga jarak.[21]

Dengan demikian, ritual baptisan dapat dilakukan di kolam renang yang dirawat dengan baik dan memenuhi standar kadar klorin, dan tentunya dengan mengikuti protokol kesehatan yang disarankan oleh WHO maupun badan-badan kesehatan lainnya. Demi keselamatan baik pembaptis maupun yang dibaptis, adalah dianjurkan bila baptisan dilakukan di dalam kolam renang pribadi yang terawat dan memenuhi standar kadar klorin, karena otomatis terhindar dari kerumunan dan risiko penularan makin kecil. Selain itu, dianjurkan agar tidak banyak pelayan yang turun ke dalam kolam baptisan; cukup gembala dan/atau wakil gembala atau pelayan tertahbis yang ditunjuk gembala. Juga dianjurkan agar terbaptis dan pembaptis melakukan rapid test terlebih dahulu sebelum baptisan dilaksanakan.

Baptisan tidak boleh dilakukan secara online di mana terbaptis berada di kolam sendiri dan gembala atau pelayan tertahbis melakukannya di rumah atau tempat lain. Kedua pelaksanaan seperti ini menghilangkan unsur pembasuhan yang dilakukan oleh imam yang diutus Allah kepada tertahbis.

Bila baptisan diadakan dilakukan di dalam kolam air, maka baptisan tidak dilakukan secara terpisah di mana terbaptis di dalam kolam sementara pembaptis berada di tepi atau di luar kolam, melainkan tetap bersama masuk ke dalam kolam air.

Namun bila dalam keadaan terpaksa, yaitu jika tidak ada kolam renang yang tersedia, maka dalam digunakan kolam kecil atau bak atau sejenisnya untuk baptisan. Bila dalam keadaan demikian, pembaptis dapat berada di luar kolam kecil atau bak atau sejenisnya, namun tetap melakukan pembaptisan karena unsur pembasuhan yang dilakukan oleh imam yang diutus Allah kepada tertahbis tetap harus ada.

B. Perjamuan Kudus

1. Latar Belakang

WCC meyakini bahwa Gereja menerima Perjamuan Kudus sebagai pemberian dari Tuhan.[22] Paulus menulis: “Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: "Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan (ἀνάμνησις, anamnesis) akan Aku!" Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan (ἀνάμνησις, anamnesis, pengenangan) akan Aku!" '” (1 Kor. 11: 23–25).

Apa yang Paulus nyatakan, “sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan” menunjukkan sebuah tradisi yang sudah ada pada zamannya sebagai praktik Perjamuan Kudus. Istilah “telah kuteruskan” (παρεδίδετο, paredideto) dan “telah aku terima” (παρέδωκα, paredoka) berasal dari satu kata kerja dasar yang sama yaitu παραδίδωμι (paradidomi) yang secara harfiah berarti ‘mengalihkan’. Istilah yang digunakan dalam Alkitab Latin Vulgata untuk menerjemahkan παραδίδωμι adalah tradere. Dari istilah inilah muncul istilah ‘tradisi’. Artinya bahwa Gereja mula-mula sudah melaksanakan Perjamuan Kudus sejak zaman para rasul atau sejak Gereja berdiri sebagai sebuah ‘tradisi’. Rasul Paulus dan juga para rasul lainnya memperoleh dan melanjutkan tradisi sakramen Perjamuan Kudus tersebut.

Praktik memecah roti dalam persekutuan di rumah-rumah yang diceritakan oleh Kisah para Rasul (2:46) dapat dipahami sebagai sakramen Perjamuan Kudus yang dilakukan “dengan tulus hati”( ἀφελότης, aphelotes, kesatuan hati).[23]

2. Penetapan perjamuan malam

Dalam teks Matius 26:26-29; Markus 14: 22–25; Lukas 22: 14–20 Yesus memberikan perintah untuk melakukan Perjamuan seperti yang Ia adakan bagi para murid-Nya dan ini merupakan rujukan bagi praksis Perjamuan Kudus oleh semua Gereja. Yohanes 6:48-59 juga merujuk kepada Perjamuan Kudus, namun tidak ada perintah untuk merayakannya, namun Perjamuan Kudus justru diberikan bobot yang besar terkait keselamatan dalam Yesus dan tinggal dalam Yesus.

Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik Roma mengakui tujuh sakramen, yaitu baptisan, krisma/konfirmasi, Perjamuan Kudus/Ekaristi, penahbisan, pertobatan/rekonsiliasi, pengurapan orang sakit dan perkawinan. Protestantisme, dipimpin Martin Luther, Ulrich Zwingli dan John Calvin memangkas menjadi dua, yaitu baptisan dan Perjamuan Kudus, karena hanya dua itu yang diperintahkan oleh Yesus untuk dilakukan. Untuk baptisan ada dalam Markus 16:16 dan Matius 28:19, sementara untuk Perjamuan Kudus ada di Matius 26:26-29; Markus 14: 22–25; Lukas 22: 14–20. Ini sebabnya mengapa kita hanya melakukan dua jenis sakramen.

Perjamuan malam terakhir, yang kemudian menjadi pola bagi salah satu dari dua sakramen kita Protestan, yaitu Perjamuan Kudus, merupakan bagian dari jamuan makan malam yang terakhir antara Tuhan Yesus dengan para murid. Dalam perjamuan malam terakhir tersebut, yang merupakan perjamuan makan malam Paskah Yahudi, saat Yesus makan malam bersama para rasul (Mt. 26:21; Mk. 18a; Lk. 21:14) Yesus kemudian mengadakan ritus yang kemudian kita sebut sebagai Perjamuan Kudus (atau Komuni atau Ekaristi). Dalam ketiga teks injil sinoptik tersebut, Perjamuan Kudus tersebut dikaitkan secara erat dengan karya salib Yesus.

Selain itu, perintah Tuhan Yesus kepada para rasul untuk merayakan Perjamuan Kudus dalam Lukas 21:19 menjadi dasar mereka melakukan Perjamuan Kudus berulang-ulang, sebagaimana dicatat dalam Kis. 2:42-47.

3. Perjamuan Kudus sebagai remembrance atas karya salib Kristus

Dalam model Gereja mula-mula, Perjamuan Kudus diadakan dalam dan menjadi bagian dari perjamuan makan malam. Ini terlihat dalam 1 Korintus 11:17-34. Teks Korintus menunjukkan bahwa ada orang-orang yang datang lebih awal dan makan lebih dulu sampai kenyang, baru yang lain umumnya buruh atau bahkan budak yang mesti kerja terlebih dahulu, datang kemudian, dan kehabisan makanan. Ini yang dikritik Paulus. Mereka disuruh makan di rumah dulu dan baru ke Gereja. Sejak itu, secara bertahap Perjamuan Kudus menjadi hanya roti kecil dan anggur ala kadarnya. Jadi ini menunjukkan kritik dalam Gereja untuk perbaikan demi perbaikan justru sejak awal Gereja mula-mula sangat didukung.

Gereja mula-mula justru terbuka terhadap perbaikan-perbaikan kritis tersebut.

Perjamuan makan yang dicatat dalam Alkitab yang dilakukan oleh Yesus sebagai bagian dari pelayanan-Nya di bumi menyatakan dan menegaskan kedekatan Kerajaan Allah, di mana memberi makan orang banyak adalah tanda akan kedekatan tersebut. Dalam perjamuan terakhir-Nya, persekutuan Kerajaan Allah dihubungkan dengan penderitaan Yesus yang segera Ia alami. Setelah kebangkitan-Nya, Tuhan membuat kehadiran-Nya diketahui oleh para murid-Nya dalam memecahkan roti. Karenanya, Perjamuan Kudus melanjutkan perjamuan yang Yesus lakukan selama kehidupan pelayanan-Nya di bumi dan setelah kebangkitan-Nya, sebagai tanda Kerajaan Allah.

Dasar Tuhan memerintahkan kita untuk merayakan Perjamuan Kudus terletak pada perkataan Yesus dalam Lukas 22:19, di mana Yesus menyatakan: “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku". Ini tidak ada dalam versi Mt., Lk., dan Yoh. ‘Peringatan’ merupakan terjemahan dari kata Yunani anamnesis yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan remembrance, sesuatu yang dikenang, pengenangan. “Perbuatlah ini” merupakan perintah untuk terus-menerus melakukannya. Perbuatan yang dilakukan terus-menerus ini untuk atau agar kita terus-menerus mengingat, mengenang, mempertahankan ingatan atau kenangan.

Orang-orang Kristen melihat ekaristi yang sudah ada dalam peringatan Paskah tentang pembebasan Israel dari tanah perbudakan dan dalam perjamuan Perjanjian di Gunung Sinai (Kel 24). Itu adalah perjamuan Paskah Gereja yang baru, perjamuan Perjanjian Baru, yang Kristus berikan kepada murid-murid-Nya sebagai anamnesis dari kematian dan kebangkitan-Nya, sebagai antisipasi Perjamuan Anak Domba (Why. 19: 9).

Kristus memerintahkan murid-murid-Nya untuk mengingat dan menjumpai-Nya dalam Perjamuan Kudus ini, sebagai umat Allah yang berkelanjutan, sampai kedatangan-Nya kembali. Perjamuan terakhir yang dirayakan oleh Yesus adalah perjamuan liturgi menggunakan kata-kata dan tindakan simbolis. Akibatnya, Perjamuan Kudus adalah perjamuan sakramental yang dengan tanda-tanda yang terlihat mengomunikasikan kepada kita kasih Allah di dalam Yesus Kristus, kasih yang dengannya Yesus mencintai milik-Nya sendiri, umat tebusan-Nya “sampai akhir” (Yoh. 13: 1).[24]

Dalam Perjamuan Kudus, dengan demikian,

  • Pertama, memiliki nilai kristologis, yaitu bahwa orang-orang percaya diingatkan bahwa orang-orang percaya dibeli dengan harga yang sangat mahal, yaitu Anak Allah sendiri.

    Ini perlu ditegaskan secara berulang-ulang supaya orang-orang percaya memahami hakekat keselamatan yang adalah anugerah atau cuma-cuma, dan bukan karena jerih-lelah, hasil upaya, perbuatan atau kesalehan umat manusia (Ef. 2:8, 10). Orang-orang percaya diselamatkan karena korban salib Yesus Kristus. Karenanya Perjamuan Kudus mengingatkan orang-orang percaya untuk senantiasa rendah hati bahwa kita selamat karena anugerah-Nya.

  • Kedua, Perjamuan Kudus memiliki nilai soteriologis karena dalam Perjamuan Kudus orang-orang percaya diingatkan selalu akan karya keselamatan yang Yesus kerjakan, bahwa Yesus mengorbankan tubuh dan darah-Nya, mengorbankan diri-Nya, bahkan memberikan nyawa-Nya untuk menebus dan membeli orang-orang percaya dengan tuntas dan lunas.

    1 Korintus 6:20; 7:23 menegaskan bahwa orang-orang percaya telah dibeli dengan harga lunas oleh karya salib Yesus. Karenanya orang-orang percaya menjadi milik Yesus dan bukan milik siapapun lagi, termasuk bukan milik diri sendiri.

  • Ketiga, Perjamuan Kudus memiliki nilai eklesiologis, karena dalam Perjamuan Kudus orang-orang percaya bergabung dan dipersatukan satu dengan yang lain dan dengan Kristus sebagai suatu umat, sebagai corpus Christi, tubuh Kristus dengan Kristus sebagai Kepalanya.

    Perjamuan Kudus memanggil dan mengajak orang-orang percaya untuk bersatu dan bersekutu dalam penebusan di dalam Kristus. Dalam pemahaman ini, maka Perjamuan Kudus tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk menghukum anggota jemaat yang berdosa dengan tidak boleh mengikuti Perjamuan Kudus, melainkan justru panggilan kepada semua orang yang berdosa untuk datang kepada Kristus dan bersekutu bersama umat-Nya dalam penebusan yang Kristus telah berikan.

  • Keempat, Perjamuan Kudus memiliki nilai eskatologis yang kuat karena Perjamuan Kudus mengingatkan orang-orang percaya bahwa nanti orang-orang percaya akan menikmati perjamuan bersama Tuhan Yesus dalam Kerajaan kekal-Nya.

    Tuhan sendiri menyatakan hal ini dalam Matius 26:29. Ini menegaskan bahwa ujung kehidupannya adalah kekekalan. Namun ini bukan sekadar ujung yang seakan-akan tak terhindarkan, memang sudah harus demikian, melainkan ini menjadi tujuan kehidupan orang-orang percaya. Ini yang secara sadar menguasai seluruh keberadaan orang-orang percaya, bahwa semua yang orang-orang percaya lakukan adalah untuk kemuliaan Dia, bahwa orang-orang percaya kita akan berjumpa dengan Dia dan satu perjamuan dengan Dia. Ini yang memenuhi jiwa kita. Rasa rindu ingin jumpa dan dijamu Dia dalam satu perjamuan, namun rindu yang memenuhi jiwa kita itu yang menggerakkan semua yang kita kerjakan sekarang sementara kita hidup di bumi ini.

4. Praksis Perjamuan Kudus

Hakekat Perjamuan Kudus adalah remembrance atau pengenangan akan karya salib Kristus yang dilakukan secara teratur atau berkala oleh orang-orang percaya yang sudah menjadi anggota-anggota tubuh Kristus. Karenanya, persekutuan dengan Kristus melalui roti dan anggur Perjamuan Kudus mensyaratkan orang-orang yang mengambil bagian di dalamnya sudah menjadi bagian dari tubuh Kristus, sudah dibaptis dan menjadi anggota Gereja. Karena walaupun yang melayankan Perjamuan Kudus disarankan adalah para imam (pendeta) yang telah ditahbiskan, namun semua yang tergabung dalam persekutuan Perjamuan Kudus adalah anggota-anggota tubuh Kristus yaitu orang-orang percaya yang adalah imam-imam (1 Pet. 2:9-10), dan bukanlah orang-orang non-percaya yang hendak bertobat, mengaku dosa dan percaya kepada Yesus, menerima karunia Roh Kudus untuk kemudian menjadi bagian dari tubuh Kristus.

Atas dasar pemahaman yang telah dijabarkan di atas, maka dalam masa pandemik Covid-19 ini Perjamuan Kudus dapat dilakukan secara terpisah di tempat masing-masing dalam ibadah online atau daring karena baik yang dilayani maupun yang melayani adalah orang-orang percaya yang juga adalah imam-imam (imamat am orang-orang percaya). Namun perlu ditekankan bahwa Perjamuan Kudus tetap harus dilakukan secara bersama dalam persekutuan umat dan dilayankan oleh gembala (atau pelayan tertahbis yang ditunjuk gembala).[25]

Karenanya, dalam penatalayanan sakramen Perjamuan Kudus yang dilayankan secara live dan online, pelaksanaannya tetap harus dilayankan oleh gembala (atau pelayan tertahbis), sebagaimana yang diatur dalam Tata Gereja GBI dan Pedoman Pelayanan Pendeta.[26] Dalam keluarga masing-masing, pembagian roti dan anggur dapat dilakukan oleh kepala keluarga (ayah ataupun ibu, tergantung kondisi masing-masing keluarga). Jika ia hanya sendiri, maka ia dapat mempersiapkan sendiri. Dalam prosesi pelaksanaan sakramen Perjamuan Kudus secara live dan online tersebut, setiap anggota jemaat di rumah atau tempat masing-masing harus melakukannya dengan mengikuti panduan dari dan bersamaan dengan gembala (atau pelayan tertahbis) yang memimpin sakramen Perjamuan Kudus tersebut. Unsur kebersamaan atau fellowship dalam melaksanakan Perjamuan Kudus harus tetap ada.

Perjamuan Kudus tidak boleh dilakukan secara mandiri (tanpa dilayankan oleh gembala atau pelayan tertahbis) oleh seorang atau lebih anggota jemaat meskipun sambil menyaksikan rekaman ulang dari siaran pelayanan Perjamuan Kudus karena menghilangkan unsur bersama dan dilayankan oleh Gembala. Dengan kata lain, jika rekaman pelayanan Perjamuan Kudus tersebut disiarkan untuk hari Minggu pertama dari suatu bulan tertentu di salah satu jemaat lokal GBI, anggota jemaat tidak boleh melakukan sendiri di hari lain sekalipun menggunakan rekaman yang sama karena tidak lagi dilakukan secara bersama dan sebetulnya hanya mengikuti rekaman ulang belaka dan melakukannya secara sendiri.

Jika ibadah fisik telah diadakan kembali, maka Perjamuan Kudus dapat kembali diadakan dalam ibadah-ibadah gerejawi dengan wajib mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan oleh WHO maupun pemerintah c.q. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama RI. Dalam konteks ini, Perjamuan Kudus dapat dibagikan dalam bentuk yang masih tertutup atau terbungkus rapat, dan disterilisasi terlebih dahulu. Pelayan-pelayan yang membagikannya kepada jemaat disarankan untuk menggunakan sarung tangan agar secara fisik tidak bersentuhan dengan roti dan anggur yang dibagikan kepada setiap anggota jemaat dan setiap anggota jemaat membukanya sendiri.

Agar dapat memastikan higienitas dan sterilitas roti dan anggur, maupun untuk semua bentuk pelayanan gerejawi agar sesuai dengan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh WHO dan pemerintah, disarankan agar setiap jemaat lokal membentuk tim gugus tugas pandemik Covid-19. Tim ini tidak dipimpin oleh gembala namun bertanggung jawab kepada gembala agar gembala bisa berkonsentrasi melayani jemaat melalui pelayanan Firman dan Sakramen dan tugas-tugas penggembalaan lainnya.

Referensi

Sumber