Iman yang rasional (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal01 November 2020
Penulis‑1Pdt Dr Abraham B Lalamentik
Penulis‑2Pdp Rudi Limuria, MA, CFP
Video Voice of Pentecost 22 (Dio A Pradipta )
Unduh Unduh OSP

Insan Pentakosta dalam menjalankan kehidupan rohaninya dari abad ke abad selalu diwarnai dan dimotivasi oleh Iman (faith) yang kuat kepada Tuhan. Banyak tokoh-tokoh Alkitab dan sejarah gereja rela mati martir demi iman percaya mereka tetapi ada juga yang mulai meninggalkan iman Kekristenannya.

I. Pendahuluan

Insan Pentakosta dalam menjalankan kehidupan rohaninya dari abad ke abad selalu diwarnai dan dimotivasi oleh Iman (faith) yang kuat kepada Tuhan. Banyak tokoh-tokoh Alkitab dan sejarah gereja rela mati martir demi iman percaya mereka tetapi ada juga yang mulai meninggalkan iman Kekristenannya. Tingkat kedewasaan iman seorang insan pentakosta kepada Tuhan sering terekspresikan melalui karya Roh Kudus dalam hidup dan dalam pelayanan insan pentakosta seperti nubuatan, tanda heran dan mujizat, mengusir setan, dan lain-lain. Di era modern, dengan tersedianya informasi secara mudah dan murah, ilmu pengetahuan dan medis yang berkembang dengan pesatnya, perihal iman percaya khususnya akan mujizat, doa dan nubuatan sepertinya sudah menjadi hal yang tidak relevan dan tidak masuk akal (irasional). Sehingga tidak sedikit yang sudah tidak percaya lagi akan adanya mujizat atau hal-hal supernatural dari Allah. Sebagai insan pentakosta kita percaya adanya fenomena yang bersifat supernatural. Kita juga percaya Tuhan masih berbicara kepada kita dalam suatu nubuatan yang akan digenapi sesuai dengan waktunya Tuhan sendiri.[1] Hal semacam ini merupakan hal yang rasional bagi insan Pentakosta, karena kita tidak mendasari iman percaya kita hanya dengan pengalaman rohani saja tetapi juga berdasarkan bukti-bukti (evidences) nyata baik secara sejarah maupun zaman Now.

II. Definisi iman secara Alkitabiah

Alkitab melalui Ibrani 11:1 menjelaskan mengenai definisi dari iman: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Di dalam ayat ini kita melihat adanya hubungan antara harapan (apa yang kita inginkan terjadi dalam hidup kita) dan penglihatan (sekalipun belum kita lihat terjadi dalam hidup kita tetapi sudah terbukti dalam kehidupan orang lain termasuk tokoh di dalam Alkitab). Ibrani 11 kemudian dilanjutkan dengan mendaftarkan nama-nama pahlawan Iman sebagai ‘bukti’ dari fenomena perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam jangka waktu yang berabad-abad, artinya secara statistik, ada cukup bukti empiris untuk mendukung iman/kepercayaan kita kepada Tuhan.

Perjanjian Baru meneguhkan prinsip yang fundamental ini yang disebut Evidence Based Faith (iman yang didasarkan pembuktian). Seorang ahli cuaca belum pernah melihat angin, suhu, Kelembaban, tetapi ia sangat percaya bahwa fenomena-fenomena ini ada dan sangat nyata. Inilah langkah pertama di dalam kita mengembangkan iman kita. Kita harus memperhatikan fenomena “Karya Allah” di dalam sejarah kehidupan umat manusia. Tuhan Yesus sendiri berkata “berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yoh 20:29). Dalam tata bahasa Yunani bunyinya lebih ke arah “Berbahagialah mereka yang ‘belum’ melihat, namun ‘telah’ percaya”.[2] Salah satu implementasi dari ayat ini adalah berbahagialah mereka yang belum mengalami sesuatu dari Tuhan (berkat, kesembuhan, dan lainnya) tetapi tetap percaya karena melihat bukti-bukti empiris yang terjadi di dalam dunia ini. Tindakan iman percaya kepada Tuhan diekspresikan dalam tindakan: kesaksian, doa, bernubuat, mengasihi sesama, mengusir setan dan lain-lain.

Yakobus 2:19 berkata, ‘engkau percaya hanya ada satu Allah? That’s good and fine, setan-setan pun percaya akan hal itu, dan mereka gemetar’. Disini Yakobus mengangkat konsep mengenai iman ke satu level yang lebih tinggi lagi. Bahwa iman bukan hanya suatu intellectual ascent/commitment kepada satu set propositional truth, tetapi juga kesediaan untuk mengatur kehidupan kita kepada konsekuensi dari pernyataan tersebut. Bayangkan jika seorang ahli meteorologi yang berkata bahwa ia percaya kepada fenomena banjir bandang yang setiap 1 tahun sekali pasti melanda suatu daerah selama 100 tahun terakhir, tetapi ia akhirnya tetap memutuskan untuk berinvestasi di bidang properti di daerah itu. Apakah kita dapat mengatakan bahwa ia bertindak sesuai dengan informasi yang ia percayai? Jawabannya tidak. Iman kita dibuktikan terutama dengan cara hidup yang sesuai dengan kebenaran yang telah diwahyukan di dalam Firman-Nya.

III. Iman yang rasional

Dasar alasan seseorang percaya mengenai keberadaan Tuhan, berbeda satu dengan yang lain. Buat satu orang dasar percayanya adalah karena Tuhan berbicara kepadanya di dalam hatinya dan menghasilkan iman percaya akan keberadaan Tuhan. Hal ini sangatlah valid. Tetapi buat orang lain yang berpendidikan tinggi intelektual, dia perlu menyelidiki bukti-buktinya terlebih dahulu. Pada akhirnya bukti-bukti tersebut menuntunnya kepada kesimpulan yang sama yaitu Tuhan benar ada. Dari sini terlihat bahwa kedua orang tersebut telah memiliki suatu keyakinan dan komitmen terlebih dahulu mengenai apa yang mereka yakini sebagai kebenaran.

Iman yang rasional adalah iman yang melibatkan kemampuan kognitif dan logika kita. Tuhan mengaruniakan kedua kemampuan ini untuk memainkan peran utama dalam menyatakan apakah yang kita percayai ini hanya sebuah halusinasi, fantasi atau masuk akal (rasional). Prinsip dasar dari suatu rasionalitas mengatakan bahwa gambaran dari sesuatu yang muncul di dalam suatu pengalaman, merupakan dasar yang baik untuk seseorang percaya tentang gambaran tersebut, kecuali ada alasan lain lagi yang menyatakan bahwa itu merupakan suatu kesalahan.[3] Singkatnya, apa yang kita alami bisa menjadi dasar rasionalitas yang valid. Sebagai contoh jika ada seseorang mengatakan saya percaya dengan yakin bahwa saya melihat di dalam penglihatan saya: surga sedang terbuka dan saya merasakan kehadiran Tuhan di situ. Walaupun penglihatan surga dan kehadiran Tuhan tersebut tidak dapat dilihat oleh mata dan dirasakan oleh tubuh kita, kecuali hanya lewat persepsi kita, itu sudah merupakan dasar yang valid untuk mengatakan kepercayaannya rasional.[4] Tetapi akan berbeda dan tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang rasional jika ternyata:

  1. Tuhan tidak ada (exist). Bagaimana mungkin kita bisa merasakan kehadiran-Nya jika Dia tidak ada.
  2. Orang yang mengalami penglihatan tersebut punya reputasi suka berbohong atau sedang dalam pengobatan yang membawa efek halusinasi.[5]

Hal ini diperkuat oleh Alvin Platinga, seorang profesor filsafat Kristen yang terkenal dari Calvin University dan University of Notre Damme, yang mengatakan bahwa setiap orang diberi kemampuan atau kapasitas secara alamiah untuk memahami akan keberadaan Tuhan, bahkan kemampuan alamiah untuk menerima kebenaran tersebut melalui persepsinya asalkan didasari oleh situasi keadaan yang tepat.[6]

Namun demikian sebagian orang Kristen memahami iman yang rasional dengan cara yang berbeda. Mereka memahami bahwa iman yang rasional itu adalah iman percaya yang tidak bertentangan dengan hukum alam. Artinya jika ada hal-hal supranatural terjadi, seperti yang ada di Alkitab atau yang terjadi di zaman now, mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan hanya belum bisa mengungkapkannya saja. Jadi secara worldview mereka sebenarnya sudah menutup bahwa sosok Tuhan itu mahakuasa, atau yang lebih parah lagi Tuhan tidak ikut campur dalam pergumulan umat-Nya.

Di samping itu untuk dapat mempercayai sesuatu yang bersifat rohani mereka menuntut pembuktian terlebih dahulu secara kasat mata. Padahal banyak hal-hal di dunia ini yang tidak bisa dibuktikan secara kasat mata selain hanya melalui kemampuan percaya kita. Contoh/ misalnya seseorang merasakan sakit di dalam hatinya atau sukacita yang meluap di dalam hatinya, perasaan seperti ini tidak bisa dibuktikan secara kasat mata. Bukankah seringkali kita juga membuat keputusan-keputusan dalam hidup berdasarkan apa yang kita percayai terlebih dahulu sebelum melihat hasil-hasilnya atau bukti-buktinya? Misalnya kita bisa meyakini bahwa makanan atau obat yang kita makan mengandung nutrisi yang kuat untuk melawan virus COVID19, atau kita percaya jika kita mengirim anak ke universitas tertentu pasti hidupnya akan berhasil. Semua itu belum bisa memberikan bukti-bukti, namun kita percaya. Tidak pernah ada orang mengatakan bahwa orang tersebut irasional.

Bahkan para ilmuwan dan investor di pasar modal jika ingin menyelidiki sesuatu, dia pasti akan memulainya dengan suatu presuposisi (hipotesis). Sebagai contoh seorang investor sebelum menginvestasikan dananya ke dalam suatu saham, dia pasti sudah mempunyai ‘kepercayaan’ bahwa harga saham tersebut akan mengalami kenaikan dan berkomitmen untuk pegang saham tersebut dalam jangka panjang. Hal ini disimpulkannya lewat analisa laporan keuangan tahun-tahun yang lalu, pola pergerakan harganya, rencana bisnisnya ke depan. Meskipun kenaikan harganya belum terjadi.

Jika semua kebenaran atau iman menuntut pembuktian terlebih dahulu secara kasat mata sebelum kita bisa mempercayainya dan mengatakan bahwa kita mempunyai iman yang rasional, maka kita semua bisa dikatakan irasional.

IV. Mujizat bukan menentang hukum alam tetapi mengintervensi

Mereka, kaum Deist, mengakui mujizat-mujizat Alkitabiah, tetapi dengan suatu ‘pelintiran rohani’, menciptakan suatu ‘garis batas’ di mana bagi masa kini hal-hal itu sudah tidak berlaku lagi, karena era mujizat sudah selesai. Apakah Alkitab sendiri memprediksikan hal itu? Di dalam 1 Korintus 13:8-13 berkata bahwa nubuatan dan Bahasa roh akan berakhir, pada waktu yang sempurna sudah datang. Pertanyaannya adalah: apakah ‘yang sempurna’ itu? Kapankah waktunya ‘yang sempurna’ itu datang? Penelitian tekstual sama sekali tidak memberi pengertian bahwa yang dimaksudkan ‘yang sempurna’ itu adalah kanon Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sebagian penafsir Alkitab melihat nuansa eskatologis di ayat ini dan mengaitkan ‘yang sempurna’ dengan kedatangan Kristus yang kedua kali.[7]

St. Agustinus juga sudah mengeluhkan akan hal itu dalam bukunya ‘The City of God’ (Cita Dei).[8] Rasionalisme sendiri akhirnya dianggap menjadi salah satu cabang dari filosofi itu sendiri pada abad 16 dan 17 dengan nama Empirisisme. Dipelopori oleh David Hume dan Baruch Spinoza, mereka sudah mengambil keputusan bahwa hanya yang bersifat fenomena yang terjadi berulang-ulang dan bisa terukurlah yang layak dipelajari. Paham Deisme dipelopori oleh kedua tokoh yaitu David Hume dari Skotlandia dan Baruch Spinoza dari Belanda. Beberapa pemikiran mereka dapat diwakili oleh pernyataan dalam kutipan sebagai berikut:

David Hume:
Bahkan jika menerima bukti-bukti dari sebuah mujizat sebagai pernyataan yang sah dan valid, namun secara prinsip masih sangat tidak mungkin untuk menyatakan bahwa itu mujizat. Mengapa? Sebab mujizat tersebut disangkal dengan bukti-bukti yang sama sah dan validnya mengenai keberadaan hukum alam yang tidak berubah-ubah bahwa kejadian tersebut bukan mujizat.[9]
Baruch Spinoza:
Jika mengatakan bahwa Tuhan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam sama saja mengatakan Tuhan melakukan yang bertentangan dengan keadaannya Dia sendiri. Oleh sebab itu mujizat itu tidak mungkin terjadi.[10]

Mereka berdua berpikir bahwa hukum-hukum alam dan keteraturan alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan, dan tidak bisa diubah. Jadi jika mujizat terjadi maka hukum alam tersebut berubah dan ini sama saja dengan melawan karakter Tuhan sendiri yang tidak pernah berubah-ubah. Hal inilah yang akhirnya melahirkan paham Deisme, yang secara lip service mengakui posisi Tuhan sebagai pencipta dan yang menetapkan hukum-hukum yang mengatur alam semesta, tetapi setelah itu memutuskan untuk tidak campur tangan di dalam urusan manusia. Hukum-hukum alam cukup untuk membuat manusia hidup berbahagia dan mampu mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya di dalam alam semesta ini. Sampai di titik ini, Deisme kelihatannya baik-baik saja dan tidak bermasalah.

Dalam bukunya yang berjudul Reasonable Faith, William Lane Craig mengatakan bahwa Deisme adalah suatu pandangan atau kepercayaan yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia ini seperti mesin jam yang diputar pegasnya dan dibiarkan berdetak di bawah hukum gerakan dan masa (motion and mass), tanpa harus ikut campur di dalamnya lagi.[11]

Para penganut Deisme ini telah mengabaikan hal yang esensial dari Tuhan yaitu bahwa Tuhan adalah sosok yang berdaulat, penuh kuasa dan eksis di luar dimensi ruang dan waktu. Jika Dia berdaulat dan penuh kuasa maka Dia bisa dan berhak untuk mengintervensi hukum alam tersebut. Sebagai ilustrasi: jika Anda melepaskan buah apel maka apel tersebut akan jatuh ke tanah. Tetapi bagaimana jika tiba-tiba ada seseorang menangkap apel tersebut sebelum menyentuh tanah? Maka bisa dikatakan orang tersebut telah mengintervensi hukum gravitasi, bukan mengubah atau bahkan meniadakannya. Sama halnya dengan mujizat. Allah tidak mengubah atau menentang hukum-hukum alam yang Dia sendiri sudah ciptakan. Dia hanya mengintervensi agar maksud dan tujuan Ilahinya tercapai.[12]

Sangat disayangkan, paham Deisme jika tidak diberikan batas-batas yang jelas, cenderung akan menjadi paham yang sangat berpusat pada manusia dan tidak mau mengindahkan dan mengakui campur tangan Tuhan dalam sejarah interaksi manusia. Ketika Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya melalui peristiwa-peristiwa mujizat, itu adalah sebuah penyataan bahwa Allah tetap berdaulat sebagai seorang Raja di dalam sebuah kerajaan yang memiliki dimensi jauh lebih indah, lebih kekal, lebih mulia, dan lebih berkuasa dari pada dimensi alam yang kita kenal dengan kelima indera kita ini. Mujizat disebut mujizat karena ia bersifat mengintervensi hukum alam yang kita kenal pada saat ini, tetapi bagi Kerajaan Allah, itu bukanlah sebuah mujizat, tetapi merupakan sebuah kenyataan biasa, yang juga diatur oleh hukum-hukum yang mengatur Kerajaan yang Mulia itu.

Di sinilah kelemahan Deisme. Para penganut pemahaman ini, jika tidak berhati-hati, akan membawa pola pikir ini ke dalam cara mereka menafsirkan fenomena ilahi. Mereka akan selalu beralasan bahwa kelangkaan mujizat pada saat ini atau bahkan ketidaksiapan untuk mengakui validitas bukti mujizat yang terjadi di mana-mana sebagai alasan untuk mempersempit isi iman mereka hanya kepada hal-hal yang bersifat natural, moral dan etika saja.

Lewat Alkitab kita mengetahui bahwa Allah sendiri kelihatannya mengundang manusia untuk menyelidiki perkara-perkara yang terselubung dan masih menjadi misteri bagi manusia di alam semesta (Amsal 25:2). Allah mengundang Ayub untuk menyelidiki rahasia perilaku binatang-binatang untuk belajar beberapa hal mengenai karakter Allah (Ayub 40-41). Sifat Allah sebagai pemberi hukum di dalam hubungan antar manusialah (Yesaya 33:22, Yakobus 4:12) yang mendorong para ahli ilmu pengetahuan Kristen untuk menyelidiki ‘hukum’ yang mengatur tindakan benda-benda di alam semesta, baik di Jagad Ageng (macrocosms) Abad 17-18 dan di abad ke 19 -21, Jagad Alit (microcosmos).

Tanpa presuposisi semacam ini, alam semesta akan dianggap bertindak secara random dan tidak ada kemungkinan sama sekali untuk menemukan ‘rumus’ yang mengungkapkan dan menjelaskan perilaku materi di alam semesta, dan juga fenomena-fenomena (seperti cuaca, energi gerakan tektonik bumi, dan lainnya). Jadi, Deisme Kristen cukup berjasa di dalam mematahkan pandangan keliru bahwa Ilmu Pengetahuan dan Iman adalah saling bertolak belakang.

Dalam hal ini kita tidak menolak rasio/akal sehat tetapi kita menemukan bahwa iman yang berdasarkan rasio saja tidak cukup dalam interaksi kita dengan Tuhan.

Pada abad ke 18 dan 19, sejalan dengan bangkitnya gerakan Enlightenment Movement di Eropa, timbul suatu pengertian bahwa semua hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan adalah negatif. Semakin tinggi tingkat ilmu pengetahuan, semakin iman tidak dibutuhkan. Logika adalah bagian dari filosofi, bukan suatu subjek ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan adalah klasifikasi dan kompilasi dari pengamatan fenomena-fenomena alam. Hal inilah yang memisahkan peradaban Eropa dengan Timur Tengah dan Asia di abad pertengahan, di mana Leonardo Da Vinci menyatakan adanya supremasi pengamatan di atas ‘nalar’.[13] ‘Nalar’ berkata bahwa benda yang dua kali lipat beratnya, jika dijatuhkan dari tempat tinggi, akan membutuhkan waktu hanya setengah dari benda lain yang memiliki bobot setengah berat benda tersebut. Apakah ‘nalar’ tersebut benar? Pertanyaannya adalah: apakah pengamatan membuktikan hal tersebut? Isaac Newton membuktikan bahwa logika ini terlalu naif.[14]

Leonardo Da Vinci berhasil mematahkan keterbelengguan peradaban Eropa kepada pengajaran Aristoteles yang sebenarnya melemahkan pengajaran ilmu pengetahuan. Nalar diumpamakan seperti mata untuk melihat, sedangkan ilmu pengetahuan/pewahyuan adalah cahaya. Tidak perduli apakah seseorang memiliki 1.000 mata, tanpa cahaya, ia tetap tidak akan bisa melihat.

Di sinilah kita melihat persamaan teologi sebagai suatu disiplin ilmu dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Kedua-duanya harus memiliki kumpulan data observasi empiris yang dapat dibuktikan (verifiable) untuk bisa menarik kesimpulan. Iman kita didasari oleh bukti empiris historis, bukan hanya sekedar cerita/dongeng, tapi didukung dengan data-data sejarah.

V. Menengking pandemi COVID-19 adalah tindakan iman yang rasional

Sebagai umat Tuhan dan warga negara Indonesia yang mengasihi negara ini sebagai anugerah dari Tuhan, sangatlah tidak salah bagi kita untuk berdoa agar Tuhan dapat meredakan COVID-19 ini dan menghindarkan kita dari krisis ekonomi. Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita senantiasa jangan kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur (Fil 4:6; 1 Tim 2:1). Tetapi mengenai waktu dan cara-Nya kita tidak bisa menentukan. Namun Tuhan mau kita tetap beriman dan berkomitmen hanya kepada Tuhan Yesus sumber pertolongan kita. Kita percaya sesuai dengan waktu Tuhan dan cara-Nya yang ajaib semua ini akan berlalu. Jadi ketika Gembala Sidang kita menghardik badai COVID-19, beliau bukan hanya mengambil suatu tindakan iman yang percaya penuh akan kuasa Roh Kudus, tetapi juga iman yang rasional. Hal ini didasari oleh bukti-bukti sebagai berikut:

  1. Tuhan adalah pribadi supranatural yang mampu melakukan hal-hal supranatural.
  2. Banyak bukti-bukti supranatural yang telah dilakukan oleh Tuhan kepada umat-Nya. Beberapa hal yang telah terjadi yaitu lebih dari 300 nubuatan mengenai Mesias di Perjanjian Lama telah tergenapi di Perjanjian Baru. Jika dihitung dengan teori probabilitas untuk satu orang yang hidup di jaman Perjanjian Baru dan bisa kebetulan menggenapi hanya 8 nubuatan saja kemungkinan terjadinya 1 banding 10 pangkat 17.[15] Sangat kecil sekali. Selain itu ada lagi bukti-bukti mengenai kebangkitan Yesus dari kematian, kelahiran Yesus dari seorang perawan Maria.

    Dalam hal mengalami jawaban Tuhan secara supernatural, George Muller merupakan sosok yang tidak asing buat banyak orang yang mengandalkan doa. Dia adalah seorang man of prayer tinggal di Bristol, England. Tahun 1870 Muller mengelola rumah yatim piatu dan memelihara lebih dari dua ribu anak. Dalam iman Muller, dia sangat mempercayai bahwa Tuhan sanggup melakukan hal-hal yang ajaib. Dalam dokumentasi doa-doa permohonannya kepada Tuhan, tercatat ada sebanyak lima puluh ribu permohonan doa di mana tiga puluh ribu nya dijawab Tuhan dalam tempo dua puluh empat jam.[16]

    Selain itu bukti-bukti mujizat kesembuhan fisik dan hal supranatural lainnya lewat acara kebangunan rohani juga banyak sekali terjadi bukan hanya di negara barat tetapi juga melanda Asia dan sekelilingnya antara lain Cina, Korea Selatan, India, Thailand, Filipina dan bahkan Indonesia.[17]

    Di zaman now kita juga menyaksikan banyak mujizat kesembuhan juga terjadi lewat pelayanan Gembala sidang kita melalui “Healing Movement Crusade” nya. Ada sebanyak 318 crusade yang diadakan di seluruh Indonesia sejak tahun 2006 s/d 2019 dan telah mengkonfirmasi kuasa Tuhan lewat mujizat kesembuhan. Tercatat jutaan orang yang mengikuti Healing Movement Crusade tersebut dan ribuan orang mengalami mujizat kesembuhan.[18]

    Kita mempercayai dan mengakui keberadaan akan Tuhan sebagai sosok yang Maha Kuasa; sanggup menciptakan manusia dan dunia serta segala isinya dengan cara yang ajaib. Kita percaya bahwa Tuhan sanggup untuk melakukan mujizat-mujizat, kesembuhan, mengusir setan, mengubah air menjadi anggur dan lain sebagainya. Sangatlah masuk akal jika kita juga mempercayai dan mengalami mujizat-mujizat itu masih ada. Seperti dikatakan C.S. Lewis: “But if we admit God, must we admit miracles? Indeed, you have no security against it. That is the bargain.”[19]

  3. Otoritas Firman Tuhan
  4. Kita percaya dengan penuh bahwa Alkitab diinspirasikan bukan oleh manusia tetapi oleh Roh Kudus untuk mengungkapkan isi hati Tuhan kepada manusia. Yohanes 14:6 Tuhan Yesus mengatakan “... Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Dia tidak mengatakan bahwa Dia akan menunjukkan kita kepada kebenaran, tetapi Dia sendiri mengatakan bahwa Dialah kebenaran itu sendiri. Jika Dia adalah kebenaran, maka apa saja yang dikatakan oleh Dia adalah benar adanya (Yoh 17:17). Dengan demikian kita dapat percaya kepada Dia yang berjanji: “... Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu. Sebab aku pergi kepada Bapa.” (Yoh 14:12).

    Alkitab sendiri bisa menjadi otoritatif karena ada tanda-tanda yang mendukung yaitu mujizat dan nubuat. Walaupun tidak masuk akal tapi mujizat dan nubuat yang dicatat di dalam Alkitab terbukti benar terjadi.[20] Sehingga pada zaman ini apa saja yang kita lakukan yang sesuai dengan pola firman Tuhan akan disertai dengan kuasa Tuhan yang sama.

    Kalau pertanyaannya adalah apakah orang percaya boleh menghardik sakit-penyakit dan setan, maka kita perlu melihat dalam teks Alkitab bagaimana Tuhan Yesus dan para rasul melakukan hal tersebut. Salah satu contoh tegas dapat kita dilihat di Lukas 4:38-39, pada suatu peristiwa di mana mertua Simon Petrus, yaitu salah satu dari para rasul, Petrus meminta Yesus untuk datang dan menyembuhkan mertuanya ini. Pada ayat 39 jelas tercatat bahwa Yesus menyembuhkan dengan menghardik deman (penyakit) dan sakit itu meninggalkannya.

  5. Pengalaman Rohani (spiritual experiences)
  6. Pengalaman rohani dalam perjalanan kita bersama Tuhan Yesus juga menjadi dasar yang kuat untuk kita mempunyai iman yang rasional. Lewat suatu pengalaman seseorang akan belajar memahami sesuatu dan pengalamannya itu menjadi kesaksian sebagai bukti-bukti empiris untuk seseorang mempercayai apa yang dia alami. Mazmur 34:9 mengatakan, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!” Sangatlah tidak rasional jika seseorang pernah mengalami manisnya bersama Tuhan berupa pertolongan Tuhan waktu dia sakit, menerima jawaban doa, sukacita akan jamahan Tuhan, lalu dia berpaling dari Tuhan untuk menghadapi pergumulan berikutnya. Mereka sudah pasti secara rasional akan mengandalkan Tuhan yang pernah menolong dia dalam kesesakan sebelumnya.

    Kita didorong untuk terus menerus mengejar kepenuhan pengalaman rohani di dalam pertumbuhan kehidupan rohani kita. C.S. Lewis dengan jelas menggambarkan hubungan antara pengalaman rohani dan kebenaran doktrinal. Pengalaman rohani adalah seperti kita pergi ke pantai di Dover, sedangkan kebenaran doktrinal adalah seperti peta pantai pesisir Inggris Raya. Jika yang dicari adalah kesenangan dan kebahagiaan pribadi, maka pergi ke pantai dan menikmati sudah cukup, tetapi jikalau kita ingin menjelajahi seluruh pesisir pulau Britannia, maka kita perlu sebuah peta yang menggambarkan keadaan yang lengkap dan menyeluruh.

  7. Kairos (Waktu Tuhan)
  8. Sebagai insan pentakosta kita harus mengetahui bahwa rancangan Tuhan bukan rancangan kita. Waktu Tuhan bukan waktu kita. Iman mereka membuat mereka berkomitmen, enak tidak enak Tuhan pasti memberikan jalan keluar yang terbaik tepat pada waktunya. Mereka tetap berdoa dan memohon agar pertolongan atau mujizat terjadi. Mereka tidak memaksakan kehendaknya. Mereka sabar menunggu waktu Tuhan sendiri untuk menggenapinya. Sebagai contoh: dalam hal berdoa untuk orang sakit, kita juga diminta terus berdoa dengan tak jemu-jemu bahkan mengoleskan minyak kepada orang yang sakit, kecuali pemimpin rohani atau Roh Kudus memberikan indikasi bahwa Tuhan tidak akan memberikan pemulihan, maka hanya dengan tanda tersebut barulah kita berdoa untuk pelepasan.[21]

    Suatu hal lagi yang membedakan Hukum Allah di dalam alam (Natural Law) dan Hukum Allah di dalam masyarakat (Moral Law) adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuktikan pelanggaran. Jika Anda melakukan sesuatu hal yang melawan hukum gravitasi, maka akibatnya langsung diterima pada saat itu juga, tidak ada jeda waktu. Pelanggaran terhadap hukum moral seringkali membutuhkan jeda waktu untuk konsekuensi menimpa sang pelanggar. Alkitab dengan jelas berkata bahwa jeda waktu ini sengaja diberikan Tuhan sebagai tanda belas kasihan-Nya, dengan cara menunggu pertobatan di pihak manusia (2 Petrus 3:9). Di sinilah letak iman percaya orang Kristen kepada janji Tuhan yang diberikan baik di dalam konten Firman Tuhan, maupun yang disampaikan lewat nubuatan oleh hamba Tuhan yang diurapi oleh Roh Kudus.

Iman yang rasional yang dilandasi oleh bukti-bukti di atas tidaklah menjadi alasan untuk bertindak sembrono. Kita tidak boleh mencobai Tuhan dan harus menghormati pemerintah sebagai lembaga yang ditunjuk oleh Tuhan. Dalam konteks pandemi COVID-19 hal ini kita ekspresikan dengan mentaati protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah juga dengan kebijakan melakukan ibadah secara on-line.

Jika iman percaya yang hanya didasari oleh persepsi pribadi saja sudah bisa dikatakan rasional dengan kondisi dan keadaan yang tepat, terlebih lagi iman percaya yang didasari oleh bukti-bukti tersebut di atas. Jadi konsekuensi dari keempat bukti di atas, melakukan tindakan ekspresi iman melalui doa dan nubuatan sebagai pernyataan bahwa Tuhan sanggup melakukan hal-hal yang supranatural, seperti menghardik pandemi ini dari Indonesia, adalah tindakan yang rasional. (AL & RL)

Referensi

  1. ^ Hendrik Timadius, Kenabian Yang Sejati (Jakarta: GBI Jl. Jend. Gatot Subroto, 2020)
  2. ^ Aorist active participle, menurut Cleon Rogers Jr. & Cleon Rogers III, The New Linguistic and Exegetical Key to The Greek New Testament (Grand Rapids, MI: Zondervan Pub. House, 1998), 227. Contoh terjemahan yang sejalan, lihat misalnya: ESV, NIV.
  3. ^ R. Douglas Greivet, Can Religious Experience show that there is God? HCSB the Apologetic Study Bible, hal 73.
  4. ^ Lewat argumen ontologis, Alvin Plantinga menunjukkan bahwa apabila seseorang menerima kemungkinan bahwa Tuhan (disebut sebagai pribadi dengan “kebesaran yang maksimal”) mungkin ada maka seseorang tidak dapat menolak keberadaan pribadi yang maha hadir, mahakuasa dan sempurna moral. Kemudian ia menyimpulkan: ”Apa yang saya klaim tentang argumen ini, karenanya, menegakkan, bukan kebenaran teisme, melainkan akseptabilitasnya yang rasional.” (penekanan oleh penulis). Lihat: Alvin Plantinga, God, Freedom and Evil (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Pub. Co., 1977), 108-112
  5. ^ C.S. Lewis, Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe (New York, NY: HarperCollins Pub., 1950), 35-36
  6. ^ William Lane Craig, Reasonable Faith, Third edition, hal 40
  7. ^ Sebagian penafsir Alkitab melihat nuansa eskatologis di ayat ini dan mengaitkan ‘yang sempurna’ dengan kedatangan Kristus yang kedua kali. (HT – Daftar pustaka)
  8. ^ John A. Mourant, Introduction to The Philosophy of St. Augustine; Selected Readings and Commentaries (University Park, PA, Pennsylvania State University press 1964), hal 64-65, 445
  9. ^ William Lane Craig, Reasonable Faith, Third edition, hal 250.
  10. ^ Ibid halaman 249.
  11. ^ Ibid halaman 249.
  12. ^ Lee Strobel, The Case for Faith, hal 67.
  13. ^ Vishal Mangalwadi, “The Book that Made Your World.” (Thomas Nelson, 2011-04-09. Apple Books.), hal 406.
  14. ^ Ibid halaman 413.
  15. ^ God or Gamble, bahan ajaran Christian Apologetics Biola University oleh Dr. John Rittenhouse.
  16. ^ Craig Hazen, Fearless Prayer, Why we don’t ask and why we should, hal 148-150.
  17. ^ Craig S. Keener, Miracles The Credibility of New Testament Accounts, hal 264-599.
  18. ^ Sebagaimana penjelasan dari pihak Healing Movement Ministry dan telah dikutip oleh Pdt Dr Ir Niko Njotorahardjo dalam beberapa kali khotbahnya.
  19. ^ C.S. Lewis, Miracles (New York: Macmillan, 1943), hal 109
  20. ^ William L. Craig, Reasonable Faith, hal 30.
  21. ^ William and Robert P Menzies, Spirit and Power Foundation of Pentecostal Experience, hal 170

Lihat pula