Iman dan risiko (faith and risk) (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal09 Agustus 2020
PenulisPdt Dr Abraham B Lalamentik, MTh
Video Voice of Pentecost 13 (Patrick Tobing )
Unduh Unduh OSP

Dalam hidup di dunia, risiko adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihilangkan; kita harus rela menerima kenyataan hidup ini. Jika tidak, kita akan berpotensi menjadi pribadi yang bersungut-sungut dan menggerutu sepanjang perjalanan hidup kita.

“Tetapi tanpa Iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia”
(Ibrani 11:6)

I. Memahami iman

Kata ‘Iman’ adalah salah satu kata yang memiliki multi tafsir dan paling salah dimengertikan oleh manusia modern. Di dalam Bahasa Ibrani, kata ‘Emun’ memiliki akar kata yang sama dengan kata Amin, di dalamnya terdapat unsur kata mempercayai, menyetujui, dan setia kepada sesuatu. Di dalam Bahasa Latin, kata Iman dan Percaya adalah kata ‘Credere’ yang menjadi akar kata ‘Credit’. Para ahli ekonomi berkata bahwa tanpa ada sistem ‘Credit’ tidak ada ekonomi modern.

Ekonomi modern dimulai dari sistem uang kertas yang melambangkan kepercayaan kita kepada sistem ekonomi suatu negara. Pada tahun 2010, nilai US$ 1 kurang lebih sekitar 10.000.000.000.000 (sepuluh trilyun) Dollar Zimbabwe. Dilihat secara intrinsik, kelihatannya lembar kertas 10 trilyun Dollar Zimbabwe lebih mahal pembuatannya dari satu dollar Amerika (plastic vs hemp), tetapi di situlah esensi dari uang kertas; bukan menunjuk kepada nilai intrinsic yang ada pada dirinya sendiri, tetapi kepada nilai nominal yang diusung di atasnya dan nilai geo politis yang diwakili olehnya.

Sistem Perbankan modern juga merupakan contoh konsep ‘Credere’. Kita berani dan bersedia untuk “mempercayakan” uang kita kepada Bank karena kita ‘Credere’ kepada reputasi bank tersebut dan kita tertarik kepada ‘reward’ yang diberikan oleh Bank berupa bunga.

Di sini terlihat suatu pola terbentuk. Setiap tindakan “mempercayai” akan diberi “insentif” yang setimbang. Hal inilah yang membedakan antara “bekerja” dan “berinvestasi”. Seorang pekerja “layak” mendapatkan upahnya secara tetap di akhir periode kerjanya. Pekerja boleh menganggap itu sebagai suatu kepastian, dengan kata lain, seorang pekerja tidak menanggung ‘risiko’ usaha, sebaliknya seorang pengusahalah yang menanggungnya. Kerelaan seorang pengusaha menanggung ‘risiko’ usaha dibalas dengan haknya untuk menerima ‘profit’. Berbeda dengan upah, Profit tidaklah fix, tetapi bergantung kepada keadaan pasar.

Tuhan Yesus memberikan contoh kepada kedua hal ini dalam perumpamaan-perumpamaan-Nya.

Di dalam Matius 20:1-16, Tuhan Yesus menceritakan tentang perumpamaan seorang tuan rumah yang pergi mencari pekerja-pekerja bagi kebun anggurnya. Moral dari cerita tersebut adalah ‘sureness’ (kepastian) dari upah yang diterima oleh sang ‘pekerja’ di kebun anggur, tidak peduli seberapa berat atau seberapa santainya pekerjaan mereka. Banyak sarjana Alkitab berspekulasi bahwa para pekerja yang bekerja jam 5 sore menghasilkan jauh lebih efektif dari yang bekerja semenjak pagi hari. Tentu saja ada kemungkinan hal itu terjadi, tapi hal itu masih bersifat spekulasi.

Dalam kenyataan hidup di dunia kerja modern, hal ini bukanlah sesuatu yang aneh. Dalam siklus kehidupan suatu perusahaan, dalam satu bulan dapat terjadi permintaan yang melonjak sehingga semua karyawan di semua departemen bekerja dengan keras, termasuk lembur, dan di bulan yang lain, di mana permintaan menurun, maka banyak karyawan yang boleh dibilang hampir-hampir menganggur. Apapun keadaannya, pada akhir siklus pekerjaan, seorang pekerja menerima upahnya. Hal inilah yang sedang ditekankan oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan Matius 20:1-16; semua jerih payah kita yang kita lakukan untuk Tuhan suatu hari pasti akan menerima upahnya yang sama.

Tetapi di dalam Matius 24:14-30, yaitu perumpamaan mengenai talenta, kita melihat ada sebuah konsep lain, yaitu konsep tentang investasi. Perhatikan kata-kata kunci yang ada dalam perumpamaan ini. Tidak ada kata bekerja, tetapi yang muncul adalah kata ‘setia’ dan kata ‘tanggung jawab’. Artinya menjadi seorang ‘Steward’ (pengelola) lebih ditekankan kepada kejelian menginvestasikan. Ia harus dapat menentukan manakah dari antara ‘Investment Manager’ (dalam Injil Matius digunakan istilah ‘orang yang menjalankan uang’) yang memiliki ‘Credere’ dalam karakternya, manakah diantara prospektus investasi yang ditawarkan yang ‘Credible’, dan faktor-faktor lainnya yang pada akhirnya akan menghasilkan ‘profit[1]

II. Timbulnya risiko

Kita hidup dalam dunia yang telah dirusakkan akibat dosa. Bumi tidak lagi menghasilkan produktivitas yang maksimum, bahkan menghasilkan hal-hal yang tidak berguna dan berbahaya. Namun dibalik semuanya itu, masih terdapat kemampuan berproduksi dan bermultiplikasi. Kejadian 8:22, “Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.”

Petani adalah contoh prinsip ini beroperasi: seorang Petani yang mengusahakan tanahnya bukanlah hanya menjadi seorang ‘pekerja’ saja, tetapi juga menjadi seorang ‘pengusaha’ dan seorang ‘manager’.[2] 2 Timotius 2:6, “Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati HASIL USAHANYA…”

Rumusannya adalah: Labour + Planning + Risk Management = Profit

Perhatikan unsur-unsurnya:

  1. Labour
  2. Dibenak kebanyakan orang, mungkin inilah faktor produksi utama yang dimiliki oleh sang petani, tapi pengertian ini adalah salah. Petani miskin mungkin saja bekerja dengan keringatnya sendiri, tetapi seorang petani pengusaha bisa saja menyewa orang-orang lain untuk mengerjakan tanahnya dan ia membayarkan gaji mereka. Ia mungkin harus meminjam uang dari bank (peminjam uang di dalam istilah zaman dahulu) sebagai modal di dalam usahanya. Labour memanglah penting, tapi bukan menjadi faktor penentu utama di dalam keberhasilan usaha pertanian.

  3. Planning
  4. Si Petani Pengusaha tersebut mungkin telah melakukan survei pasar tentang buah/sayur yang sedang laku di pasar, di mana ia dapat memperoleh benih, ini pun yang ia harus masukkan dalam menentukan strategi pemasaran dan harga jual akhir dari produk yang akan ditawarkannya ke pasar. Di sini ia mungkin harus berhadapan dengan petani lain yang menjadi pesaingnya, namun pada akhirnya, semua ilmu pengetahuan dan ide dapat diakses oleh semua orang, terutama pada zaman informasi ini.

    “Anybody can steal your ideas; nobody can steal your execution”

  5. Risk Management
  6. Setelah petani mengorganisir semua faktor produksi yang diperlukan, maka bertolaklah ia di dalam usaha pertaniannya. Ia mengatur jadwal kerja dari semua buruh taninya (ia sendiri mungkin harus turun ke lapangan dan ikut bekerja), ia sudah memastikan kualitas benih yang akan ditanam, ia sudah menghitung lamanya musim tanam, ia sudah memperkirakan kebutuhan akan pupuk, pengairan, dan serangan dari hama yang mungkin muncul, dan faktor-faktor lainnya. Seorang Petani Pengusaha agak berbeda dengan seorang manufaktur. Di dalam manufaktur, manusia berusaha semaksimum mungkin untuk mengendalikan semua faktor yang menentukan dalam keberhasilan produksi, untuk itu terciptalah sistem jalur produksi yang dapat kita lihat di pabrik. Agribisnis agak lain. Selain tanah (yang notabene masih bisa ‘dikendalikan’ oleh manusia), terdapat pula faktor cuaca (yang meskipun dengan kemajuan teknologi pada saat ini, belum dapat sepenuhnya ‘dikendalikan’). Belum lagi ditambah dengan faktor-faktor lain yang akan mempengaruhi harga jual di pasar.

    Di sinilah munculnya risiko usaha. Penyebab risiko usaha dapat dikategorikan ke dalam beberapa bagian:

    1. Separation Factor
    2. Setiap kali kita menaruh uang/asset kita kepada sebuah lembaga keuangan, kita sedang mengambil suatu risiko perpisahan. Kita berpisah/tidak lagi memegang harta/asset kita artinya kita tidak lagi bisa mengendalikannya. Dalam agribisnis, ia menyerahkan ‘asset’-nya yaitu ‘benih’-nya kepada ‘custodia’ dalam hal ini yaitu tanah.

    3. Time Factor
    4. Hal ini terutama di dalam usaha agribisnis. Kita dapat memperkirakan kira-kira waktu yang diperlukan untuk sesuatu benih menghasilkan buah, tetapi tidak dapat memastikan kapan exactly waktu panen akan tiba, karena ada juga faktor cuaca yang menentukan. Musim panas yang panjang akan menjadi bonus waktu penuaian yang semakin lama, tapi juga mungkin mempengaruhi kualitas panen.

    5. Character Factor
    6. Hal ini paling berpengaruh di dalam industri perbankan dan investasi. Semakin ‘reputable’ sebuah institusi, semakin kecil risiko yang harus ditanggung oleh investor. Industri perbankan sebenarnya hanya memperdagangkan satu hal ini; Kepercayaan. Kepercayaan dalam menjaga dan menyimpan asset kita, kepercayaan dalam ‘menjalankan’ uang/asset kita sehingga menghasilkan tingkat ‘yield’ yang dijanjikan. Kegagalan dalam menjaga ‘Credere’ dari nasabah adalah hal yang paling mematikan dalam industri ini.

    7. Unknown Factor
    8. Setelah semua faktor-faktor yang lain diusahakan untuk di ’manage’ sebaik-baiknya, tetap saja ada hal-hal yang tidak dapat diduga yang berpotensi mengacaukan rencana kita. Di dalam industri keuangan hal ini disebut ‘Force Majeure’, di dalam agribisnis hal ini bisa berupa hama yang menyerang, atau penyakit tumbuhan yang tiba-tiba muncul. Alkitab menyebutkan hal-hal semacam ini seperti sebuah badai atau seperti raksasa yang muncul dan mengancam.

    Setiap pengusaha yang berhasil harus dapat me-manage semua unsur-unsur risiko ini. Inilah kontribusi terbesar dari seorang pengusaha. Dialah yang pertama melihat potensi yang ada dalam suatu peluang usaha, dan dia juga yang pertama menghitung risiko yang harus dihadapi. Seorang pengusaha mungkin saja tidak perlu terlibat langsung dalam proses planning dan labour, tetapi pada akhirnya, ia yang bertanggung jawab atas keseluruhan usaha yang dijalankan dan semua risiko bisnis dialah yang harus menanggung. Seorang pengusahalah yang menciptakan lapangan kerja dan penghidupan bagi banyak orang.

III. Iman mengatasi risiko

Jika kita melihat kehidupan bangsa Israel sebagai sebuah model bisnis, maka risiko/bahaya selalu ada di dalam kehidupan mereka:

  • Pada zaman Abraham: Tuhan memberikan janji yang Indah – Harus meninggalkan kenyamanan yang ada – Jalannya belum jelas arahnya.
  • Pada zaman Musa – Yosua: Tanah yang dijanjikan Tuhan memang luar biasa – Tetapi kota-kota musuh berdinding tebal – Penghuninya orang-orang raksasa.
  • Pada zaman Kerajaan Israel: Menikmati kemakmuran – Selalu ada ancaman dari kerajaan-kerajaan tetangga.

Selama kita tinggal di bumi yang telah dirusakkan karena dosa, maka risiko/bahaya adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Justru di titik inilah iman berperan sebagai sebuah kekuatan untuk bisa me-’mitigasi’ (mengurangi) risiko sehingga kita tidak menjadi ‘sembarangan/sembrono’ dalam bertindak.

Iman lahir dari pengenalan akan Tuhan dan Karakter-Nya yang tidak pernah berubah. Dalam 2 Timotius 1: 12, Paulus berkata, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan…” Di sini dilihat bahwa Tuhan adalah seseorang yang dapat di ‘Credere’ dan Ia juga mengharapkan hal yang sama dari hidup kita. Dalam masalah ‘Credere’, baik yang sanggup memberi dan yang menerima harus dapat membuktikan dengan memberikan hasil yang dijanjikan. Jika kita melihat faktor-faktor risiko di atas, maka iman kita berdasarkan pengenalan kita kepada Tuhan adalah menjadi hal utama yang memitigasi risiko-risiko tersebut.

Sebelum meninggalkan dunia, Tuhan Yesus berpesan kepada murid-murid-Nya supaya mereka dipenuhkan oleh kuasa Roh Kudus. Peranan Roh Kudus sebagai ‘parakletos’ yang menyertai kita kemanapun kita pergi, membuat kita selalu merasakan perlindungan Tuhan di dalam situasi apapun yang kita hadapi. Hal ini yang memitigasi Separation Factor.

Abraham tetap percaya kepada janji Tuhan untuk memberikan keturunan kepadanya, meskipun usianya semakin lama semakin tua dan badannya semakin lemah. Ia yakin kepada ‘Timing’ Tuhan yang pasti tidak akan pernah terlambat (Habakuk 2:3; Ibrani 10:37). Hal ini memitigasi Time Factor.

Abraham juga percaya kepada karakter Tuhan yang tiada bercela dan tiada tipu daya (1 Yohanes 1:5). Ia rela ‘menyerahkan’ hartanya yang paling berharga yaitu Ishak untuk di’serahkan’ kepada Tuhan karena ia percaya “God knows what He’s doing” (Ibrani 10:23, 11:19). ‘Credere’ Abraham kepada Tuhan dalam hal ini sangatlah memiliki dampak yang besar dalam sejarah keselamatan umat manusia. Allah membalas ‘credere’ Abraham dengan cara Ia rela ‘menyerahkan/memberikan’ Anak-Nya yang tunggal untuk menebus dosa manusia (Yohanes 3:16). Karena iman Abraham kepada Tuhan, berdasarkan pengenalannya akan Tuhan selama ini, memitigasikan Character Factor.

Jika kita memiliki hubungan persahabatan yang baik dengan seorang direktur lembaga keuangan/perbankan, dan jika sudah terjalin hubungan ‘trust’ selama jangka waktu yang cukup panjang, maka akan menjadi sangat mudah bagi sang direktur tersebut untuk memberikan pinjaman kepada kita karena kita dianggap ‘berisiko rendah’, dan bunga yang diberikan akan juga semakin rendah. Dengan gambaran seperti itulah sebabnya kita dapat mengerti mengapa Abraham disebut ‘sahabat Allah’ karena antara Allah dan Abraham terdapat ‘hubungan trust’ yang terjalin begitu dekat (Yakobus 2:23).

Daud juga memiliki keakraban hubungan dengan Tuhan yang terjalin dari semenjak masa mudanya. Ia biasa menghadapi singa dan beruang pada saat ia menggembalakan kawanan kambing domba milik ayahnya. Pada saat Daud berhadapan dengan Goliat, hari itu adalah kulminasi dari pengalamannya bersama Tuhan selama bertahun-tahun menghadapi singa dan beruang di padang gurun (1 Samuel 17:36). Pada hari di mana Daud berhadapan dengan Goliat, pagi harinya ia mungkin tidak menduga bahwa ia akan berhadapan dengan raksasa orang Filistin. Bagi kebanyakan orang, hal itu merupakan the Unknown Factor yang sangat berpotensi membinasakan, tetapi Daud memiliki pengalaman pergaulan dengan Tuhan yang begitu dalam, sehingga ia tidak melihat Goliat sebagai ancaman, malah ia melihat Goliat sebagai kesempatan untuk promosi. Ia bertanya, “apakah yang akan dilakukan kepada orang yang berhasil mengalahkan dan membunuh raksasa orang Filistin ini?” Daud melihat sebuah kesempatan dibalik setiap tantangan. Behind every risk there is a reward.

IV. Adakah iman di bumi?

Tidak heran bahkan Tuhan Yesus pun bertanya, pada saat kedatangan-Nya Kembali, adakah Ia akan mendapatkan ‘Iman/Credere’ di bumi? (Lukas 18:8). Ada tiga hal yang kita akan alami akibat kita mengerahkan iman kita:

  1. Dengan iman, kita mendapatkan janji-janji Allah (Ibrani 11:6).
  2. Iman di dalam hal ini dapat diumpamakan seperti mata uang sorgawi. Ia diuji kemurniannya lewat api seperti layaknya emas dan perak (1 Petrus 1:7). Semua persediaan Allah dapat kita akses dengan iman, di dalam Nama Yesus.

  3. Dengan iman, kita mendapatkan ‘perkenanan’ Allah (Ibrani 11:6).
  4. Jika kita hanya mau melangkah dan berani taat ketika kita sudah mengerti semua jalan-Nya dan melihat semua persediaan-Nya, dapatlah dikatakan bahwa kita tidak memberikan ‘Credere’ kepada Tuhan, dan mustahil Tuhan berkenan kepada kita.

  5. Dengan iman, kita meluaskan Kerajaan Allah di muka bumi (Ibrani 11:9-10).
  6. Orang yang melangkah dalam suatu ‘pengalaman iman’ diibaratkan seperti seorang pengusaha/developer yang membangun suatu daerah dari sebidang tanah yang kosong, sampai menjadi sebuah kota yang dinamis dan penuh dengan kehidupan di dalamnya. Demikianlah pula para pelopor iman, mereka menjalankan visi yang mereka terima dari sorga, dan melalui usaha merekalah, Kerajaan Sorga diperluas di Bumi ini.

Dalam hidup di dunia, risiko adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihilangkan; kita harus rela menerima kenyataan hidup ini. Jika tidak, kita akan berpotensi menjadi pribadi yang bersungut-sungut dan menggerutu sepanjang perjalanan hidup kita. Bahayanya, sikap seperti itu akan berpotensi menjadi pemberontakan kepada Tuhan, seperti yang terjadi kepada nenek moyang bangsa Israel di padang gurun. Mereka keluar dari Mesir oleh pimpinan Musa, tetapi mati di padang gurun karena mereka menggerutu, tidak percaya, dan akhirnya memberontak kepada Tuhan.

Alasan mengapa Tuhan tidak menyatakan kepada kita gambaran seluruh perjalanan kehidupan kita dengan segala bahaya yang ada di dalamnya ialah karena Ia ingin kita belajar mengembangkan rasa aman kita dengan sadar akan penyertaan Tuhan, bukan dengan menilai keadaan kita secara eksternal saja. Alasan berikutnya adalah karena Tuhan sadar bahwa otak kita akan lumpuh jika Tuhan membukakan semua bahaya yang tersembunyi dalam perjalanan hidup kita dan akhirnya kita malah tidak berani melangkah apapun.

Dengan iman kita, kita me-’manage’ faktor risiko tersebut, dan memperoleh ‘reward’ yaitu janji Tuhan dan perkenanan Tuhan atas kehidupan kita. Dengan iman kita juga dibentuk menjadi pribadi yang dewasa, bertanggung jawab, memiliki karakter Kristus, dan kita keluar sebagai ‘pahlawan iman/pemenang’ yang siap memerintah bersama Kristus di dalam kerajaan-Nya. (AL)

Catatan kaki

Lihat pula