Memahami Pentakosta Ketiga dalam Paradigma Pentakosta (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal12 Juli 2020
PenulisPdt Hendrik Timadius, MBA, MTh
Video Voice of Pentecost 10 (Dio A Pradipta )
Video 2 Voice of Pentecost 64 (Dio A Pradipta)
Unduh Unduh OSP

Ciri khas kehidupan insan Pentakosta adalah mengikuti tuntunan Tuhan. Sama seperti Musa, insan Pentakosta senantiasa berseru kepada Tuhan, “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini.” (Keluaran 33:15).

I. Pendahuluan

Ciri khas kehidupan insan Pentakosta adalah mengikuti tuntunan Tuhan. Sama seperti Musa, insan Pentakosta senantiasa berseru kepada Tuhan, “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini.” (Keluaran 33:15). Respon yang dinantikan dari seruan ini adalah Tuhan berfirman menyatakan kehendak dan rencana-Nya (Keluaran 33:14).

Bagian pertama dari tulisan ini akan mengulas keberadaan tiga pilar bagi insan Pentakosta dalam mengikuti tuntunan, yaitu: Roh Kudus (Holy Spirit), Komunitas Kudus (Holy Community), dan Firman Kudus (Holy Scripture). Insan Pentakosta sering sekali menerima tuntunan Roh Kudus akan suatu perkara sebelum ia mendapatkan peneguhannya lewat firman Tuhan. Perjalanan mengikuti tuntunan ini tidaklah dilakukan sendirian, melainkan bersama-sama di dalam sebuah komunitas yang dipenuhi Roh Kudus.

Pemahaman terhadap cara insan Pentakosta mengikuti tuntunan Tuhan lewat ketiga pilar ini akan diterapkan untuk memahami bahwa tuntunan Pentakosta Ketiga adalah tuntunan yang diilhami oleh Roh Kudus, dihidupi oleh komunitas kudus, dan ditopang oleh Firman Tuhan. Inilah yang akan dibahas di bagian kedua dari tulisan ini.

II. Insan Pentakosta Mengikuti Tuntunan Tuhan

Sidang di Yerusalem, yang dikisahkan dalam Kisah 15:1-21, memberikan gambaran tentang bagaimana gereja mula-mula mengikuti tuntunan Tuhan. Pada waktu itu, gereja mula-mula sudah berdiri di Antiokhia, daerah yang dihuni banyak orang non-Yahudi (gentiles). Beberapa orang Yahudi dari Yudea mengajarkan kepada orang-orang non-Yahudi (Kisah 15:1): “Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan.” Ini adalah persoalan hidup-mati karena menyangkut tentang keselamatan. Perlu diketahui bahwa pada saat itu, Kitab Perjanjian Baru, terutama Surat-Surat Paulus, belum ditulis. Konsep keselamatan berdasarkan anugerah belum dinyatakan secara eksplisit. Gereja mula-mula hanya memiliki Perjanjian Lama sebagai acuan. Tidaklah mengherankan bila persoalan sunat menjadi masalah yang cukup pelik pada waktu itu. Untuk itulah Sidang di Yerusalem diadakan.

Di dalam sidang ini, untuk memutuskan apakah sunat wajib untuk keselamatan, gereja mula-mula mengikuti tiga pilar tuntunan yang disuarakan oleh Petrus, Barnabas, Paulus, dan Yakobus.[1]

1. Pilar Holy Spirit (Roh Kudus)

Petrus mengatakan bahwa dalam pelayanannya, bangsa-bangsa lain mendengar berita Injil dan menjadi percaya, dan “Allah, yang mengenal hati manusia, telah menyatakan kehendak-Nya untuk menerima mereka, sebab Ia mengaruniakan Roh Kudus juga kepada mereka sama seperti kepada kita” (Kisah 15:8). Petrus melihat kepenuhan Roh Kudus dengan tanda awal bahasa Roh terjadi atas bangsa lain, yang berarti Allah telah menerima. Dengan kata lain, lewat karya Roh Kudus, satu pilar kebenaran telah ditegakkan, yaitu bahwa sunat tidak menentukan keselamatan.

2. Pilar Holy Community (Komunitas Kudus)

Setelah mendengar suara Petrus, kemudian dikatakan “Maka diamlah seluruh umat itu, lalu mereka mendengarkan Paulus dan Barnabas” (Kisah 15:12). Ayat ini menggambarkan proses mencerna dan menerima kebenaran yang dilakukan bersama-sama oleh seluruh komunitas yang hadir pada waktu itu. Melalui komunitas kudus, pilar kebenaran telah ditegakkan, yaitu bahwa tanpa sunat segala tanda dan mujizat telah dilakukan Allah di tengah-tengah bangsa-bangsa lain. Hasil sidang di Yerusalem disebut sebagai “keputusan Roh Kudus dan keputusan kami” (Kisah 15:28) yang menunjukkan adanya interaksi antara Roh Kudus dan komunitas kudus.

3. Pilar Holy Scripture (Firman Tuhan)

Setelah pilar Roh Kudus dan Komunitas Kudus dinyatakan, Yakobus sebagai pemimpin Gereja di Yerusalem, menyimpulkan bahwa karya Roh Kudus atas bangsa-bangsa lain seperti yang telah diceritakan Petrus adalah “sesuai dengan ucapan-ucapan para nabi” (Kisah 15:15). Istilah "ucapan para nabi" merunut kepada salah satu bagian Perjanjian Lama menurut pembagian kanonik Ibrani. Jadi "ucapan para Nabi" tidak lain adalah Firman Tuhan. Apa yang telah terjadi dengan bangsa-bangsa lain, oleh Yakobus dinyatakan sesuai dengan nubuatan Nabi Amos tentang Restorasi Pondok Daud. Melalui Firman Tuhan, pilar kebenaran telah ditegakkan, yaitu bahwa Allah telah merancangkan bahwa bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah akan disebut sebagai milik Tuhan.

Melalui tiga pilar kebenaran: Holy Spirit, Holy Community, dan Holy Scripture, gereja mula-mula dapat mengikuti tuntunan Tuhan yang telah menerima bangsa-bangsa lain menjadi milik-Nya.

Dengan demikian, sunat tidak menentukan keselamatan.

III. Insan Pentakosta Mengikuti Pentakosta Ketiga

Dengan memakai tiga pilar di atas, dapat dipahami dengan lebih jelas bagaimana insan Pentakosta mengikuti tuntunan Pentakosta Ketiga.

1. Pilar Roh Kudus

Cerita dalam Kitab Kisah Para Rasul setelah pasal 2 menunjukkan sebuah pola di mana karya Roh Kudus terjadi di dalam sebuah pergerakan dari Timur ke Barat (Markus 16:8d), dalam ekspansi geografis yang dimulai dari Yerusalem sampai ke ujung bumi (Kisah 1:8).[2] Pencurahan Roh Kudus bagi gereja mula-mula Yerusalem diikuti dengan rangkaian pencurahan Roh Kudus di luar Yerusalem, yaitu yang terjadi bagi orang Samaria (Kisah 8), orang Romawi (Kisah 10), dan orang Yunani (Kisah 19). Pola narasi ini menunjukkan berlangsungnya realisasi dari Amanat Agung (Lukas 24:44; Matius 28:18-20).

Dengan membaca pola di atas, insan Pentakosta percaya bahwa karya Roh Kudus pada masa kini terus berlanjut dalam skala yang lebih besar, menembus batasan etnis, sosial, dan geografis. Inilah yang diyakini oleh kegerakan Pentakosta Ketiga. Insan Pentakosta melihat bagaimana kuasa Roh Kudus di Pentakosta yang pertama di Yerusalem menghasilkan penuaian jiwa yang besar, di mana dalam waktu 100 tahun, 70% dari dunia yang dikenal pada saat itu, menjadi Kristen. Namun amanat agung dipandang belum tergenapi sepenuhnya. Kemudian karya Roh Kudus berlanjut di Pentakosta Kedua di Azusa Street, yang menghasilkan kira-kira 700 juta jiwa. Namun amanat agung tetap dipandang belum tergenapi sepenuhnya. Karena itulah karya Roh Kudus berlanjut dengan Pentakosta Ketiga di Indonesia, yang diyakini akan menggenapi amanat agung secara penuh.

2. Pilar Komunitas Kudus

Komunitas kudus yang percaya dengan Pentakosta Ketiga adalah mereka yang melihat dirinya sebagai penerima janji Tuhan di Kisah 1:8. Komunitas ini percaya bahwa yang dipanggil sebagai “kamu” dalam Kisah 1:8 bukanlah hanya komunitas gereja mula-mula pada waktu itu, melainkan juga seluruh komunitas pada masa kini yang menanggapi tulisan Lukas (Injil Lukas dan Kisah Para Rasul) dengan respon seperti: “Saya harus memberitakan Firman seperti Yesus dan murid-murid-Nya”; “Mujizat tentu menyertai pelayanan saya seperti halnya dalam pelayanan Yesus dan murid-murid-Nya”; “Saya memerlukan kuasa pemberdayaan Roh Kudus untuk melakukan itu”. Komunitas kudus yang menghidupi Pentakosta Ketiga adalah “sebuah komunitas profetik yang diberdayakan untuk pekerjaan misi, lewat penerimaan karunia Pentakosta”[3].

Komunitas kudus yang menghidupi Pentakosta Ketiga juga mengikuti pola iman dari komunitas gerakan awal Pentakosta di Azusa yang menghidupi narasi Hujan Akhir (Latter Rain).[4] Cerita Hujan Akhir ini dipakai sebagai lensa untuk menafsirkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menurut pola janji penggenapan. Hujan Akhir yang dijanjikan di Perjanjian Lama, digenapi di Perjanjian Baru. Pola ini memberikan dasar bagi komunitas Pentakosta di Azusa untuk mengalami penggenapan janji Hujan Akhir. Mereka yang menantikan penggenapan ini hidup dengan sebuah pengharapan akan pencurahan Roh Kudus yang lebih besar daripada pencurahan dalam Kisah Para Rasul pasal 2.[5]

Lewat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa komunitas kudus Pentakosta Ketiga adalah mereka yang menantikan pencurahan Roh Kudus yang lebih besar terjadi, yang akan memberikan kuasa kepada mereka untuk menyelesaikan Amanat Agung.[6] Tuntunan Pentakosta Ketiga tidak diklaim secara personal saja, melainkan secara korporat telah didoakan, dikonfirmasi, dan disaksikan oleh kaum Pentakosta secara global yang diwakili oleh Empowered 21.

3. Pilar Firman Tuhan

Dalam khotbahnya setelah menerima baptisan Roh Kudus, Petrus menyatakan bahwa peristiwa Pentakosta di Yerusalem adalah sebuah penggenapan dari nubuatan Nabi Yoel (Kisah 2:14-21). Akan tetapi bila diteliti lebih lanjut, nubuatan nabi Yoel tersebut belumlah digenapi secara final, melainkan hanya secara sebagian.[7] Disebut ‘sebagian’ karena di dalam Yoel 2:28 disebutkan “Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia”. Cakupan yang dimaksud dengan “semua manusia” tentunya jauh lebih luas daripada yang disebutkan di dalam Kisah Para Rasul yang hanya mencakup sekelompok murid Yesus. Lukas yang adalah penulis dari Injil Lukas dan Kisah Para Rasul menubuatkan cakupan karya Roh Kudus yang sama luasnya dengan Yoel 2:28, ketika menulis “semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan" (Lukas 3:6). Dengan tegas Talbert menyatakan: “Adalah sebuah kesalahan apabila menganggap bahwa Pentakosta adalah sebuah peristiwa satu kali saja bagi Lukas.

Dalam Kisah Para Rasul pencurahan Roh Kudus dinyatakan sebagai sebuah peristiwa berulang dalam kehidupan gereja (contoh, Kisah 4:31; 8:17; 10:1-11:18; 19:1-6)”[8].

Firman Tuhan memberikan dasar untuk menaruh pengharapan akan berulangnya pencurahan Roh Kudus di masa kini, seperti yang diyakini dalam kegerakan Pentakosta Ketiga. Tuntunan Pentakosta Ketiga diawali ketika Pdt. Niko Njotorahardjo mendapatkan firman Tuhan pada tahun 2009, “Aku datang segera!” (Wahyu 3:11a), dan “Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia.” (Yoel 2:28). Melalui Yoel 2:28-32 ini kemudian pada tahun 2013, Pdt. Niko mendapatkan pewahyuan dari Tuhan yang menyatakan, “Yang aku maksudkan dengan pencurahan Roh Kudus itu adalah Pentakosta Ketiga”. Melalui Firman Tuhan, GBI Jalan Jendral Gatot Subroto, bersama-sama dengan seluruh insan Pentakosta, menangkap pesan bahwa akan ada pencurahan Roh Kudus besar-besaran ke atas seluruh umat manusia sebelum kedatangan Yesus kali yang kedua.

IV. Kesimpulan

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Pentakosta Ketiga adalah tuntunan Tuhan yang:

  1. Diilhami oleh Roh Kudus
  2. Dipahami dan dihidupi oleh komunitas kudu
  3. Dilandasi dan diteguhkan oleh Firman Tuhan (HT)

Catatan kaki

  1. ^ Konsep paradigma Pentakosta yang bertumpu pada tiga pilar berdasarkan Kis 15 pertama kali digagas oleh John Christopher Thomas, “Women, Pentecostals and The Bible: An Experiment in Pentecostal Hermeneutics”, Journal of Pentecostal Theology 5 (1994), 41-56. Gagasan ini terus menguat di kalangan akademisi Pentakosta, lihat misalnya: Kenneth J. Archer, Pentecostal Hermeneutic for the Twenty-First Century: Spirit, Scripture and Community (London: T & T Clark, 2004).
  2. ^ Lihat misalnya NIV Zondervan Study Bible yang memberikan struktur KPR sebagai berikut: I. Roh Kudus Memberdayakan Gereja untuk Menjadi Saksi (Kis 1:1-2:47); II. Saksi Para Rasul di Yerusalem (Kis 3:1-5:42); III. Kesaksian di Luar Yerusalem (Kis 6:1-Kis 12:24); IV. Kesaksian Sampai ke Ujung Bumi (Kis 12:25-28:31).
  3. ^ Robert P. Menzies. Empowered for Witness: The Spirit in Luke-Acts. New York, NY: T&T Clark International, 2004, 257
  4. ^ D. William Faupel, The Everlasting Gospel: The Significance of Eschatology in the Development of Pentecostal Thought (Dorset, UK: Sheffield Academic Press, 1996), 19-43.
  5. ^ Kenneth J. Archer, A Pentecostal Hermeneutic: Spirit, Scripture and Community (Cleveland, TN: CPT Press, 2009), 137138.
  6. ^ Dalam konteks ini, pilar komunitas kudus untuk Pentakosta Ketiga dapat direpresentasikan oleh gerakan Empowered21, https://empowered21.com/
  7. ^ Robert C. Tannehill. The Narrative Unity of Luke-Acts: A Literary Interpretation. Vol. 2: The Acts of the Apostles. Minneapolis, MN: Augsburg Fortress, 1990, 30.
  8. ^ Charles H. Talbert. Reading Acts: A Literary and Theological Commentary. Revised Edition. Reading the New Testament 5. Macon, GA: Smyth & Helwys Publishing, Inc., 2005, 33.

Lihat pula