Hidup dan cara kematian orang Kristen (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal28 Juni 2020
PenulisPdt Chris Silitonga, MEd
Video Voice of Pentecost 8 (Nelly Suryadjaya )
Unduh Unduh OSP

Kematian adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dari kehidupan semua makhluk hidup di dunia, termasuk manusia.

I. Kematian adalah pengaruh kuat pada kehidupan manusia

Semua orang akan mengalami berhentinya secara total fungsi-fungsi tubuhnya secara fisik, dan ini adalah salah satu konsekuensi atas dunia yang jatuh dalam dosa.[1] Kematian mendorong manusia untuk berpikir tentang makna keberadaan hidupnya di bumi. Hal ini mendorong manusia untuk memiliki sisi spiritualitas selama hidupnya, atau setidaknya mendorongnya untuk meninggalkan dampak positif melalui keberadaan dirinya. Kematian juga mendorong orang untuk berpikir bahwa ada suatu kehidupan lain sesudah kehidupan fisik di bumi berakhir. Kematian juga mendorong orang untuk mencari kepastian akan keselamatannya.

Kematian juga memiliki efek psikologis bagi orang-orang yang ditinggalkan. Seorang dokter dan psikolog di University Hospitals, Francoise Adan, MD, mengatakan ada 5 (lima) peristiwa dalam hidup yang membuat stres tinggi pada manusia, yaitu Kematian orang yang dikasihi, Perceraian, Pindah, Luka Berat atau Kesakitan Besar, dan Kehilangan Pekerjaan.[2] Di semua penelitian yang dilakukan di seluruh dunia, kematian selalu menempati posisi nomor satu.

Sedemikian kuatnya mengenai kematian, hal itu juga membuat banyak orang memiliki sikap dan pandangan mengenai cara mati (meninggal) seseorang. Ketika seseorang meninggal, maka cara kematiannya pun menjadi hal yang diperhatikan orang, selain kehidupan yang telah dijalani. Di rumah duka-rumah duka,

para pelayat akan selalu menanyakan bagaimana almarhum/almarhumah meninggal. Bagi sebagian besar manusia, bagaimana seseorang meninggal hampir sama pentingnya dengan bagaimana orang tersebut menjalani hidupnya di dunia.

Di era pandemi COVID-19 ini, tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya aman dari wabah ini.

Wabah ini telah menyerang banyak orang hingga mengakibatkan kematian, bahkan kepada orang-orang Kristen dan juga para Pelayan TUHAN. Ketika hal kematian ini terjadi, entah karena COVID-19 atau lainnya, kepada seorang jemaat yang saleh atau seorang Hamba TUHAN, pertanyaan yang sering muncul adalah: mengapa hal yang mengenaskan hal ini bisa terjadi kepadanya? Apakah atau di manakah yang salah?

Pertanyaan ini akan menguat apabila kejadian keberpulangan tersebut dipandang “mengenaskan”.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita akan melihat beberapa hal terlebih dahulu. Kita akan melihat pemikiran yang salah tentang cara kematian seseorang yang dihubungkan dengan kehidupannya. Kita akan melihat contoh keberpulangan tokoh-tokoh iman ternama di Alkitab maupun berdasarkan catatan sejarah Gereja perihal cara kematian mereka. Pada akhirnya kita akan melihat sikap dan ajaran Tuhan Yesus mengenai kematian seseorang, berdasarkan Lukas 13:1-5 dan pada ayat 6-9 tercapai penekanan yang Yesus minta kita perhatikan jauh lebih penting dari pada cara kematian seseorang.

Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Yesus menjawab mereka: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” (Lukas 13:1-5)

II. Pandangan yang salah tentang hubungan kematian seseorang dan kehidupan yang telah dijalaninya

Kisah yang tercatat pada Lukas 13:1 adalah suatu peristiwa yang mengenaskan yang terjadi pada saat Yesus masih melakukan pelayanan di atas muka bumi. Beberapa orang Yahudi yang ditinggal di Galilea sedang melakukan ziarah ke Yerusalem, namun untuk alasan yang tidak jelas, Pontius Pilatus, Gubernur Romawi di tanah Yehuda, membunuh orang-orang tersebut dan mencampurkan darah mereka dengan darah korban binatang yang hendak mereka korbankan. Tindakan ini adalah salah satu bentuk kesadisan Pilatus dan sangat tragis bagi orang-orang Yahudi.[3] Ketika sesuatu yang mengenaskan seperti ini terjadi, adalah tipikal/umum bagi masyarakat timur tengah pada waktu itu untuk menganggap pasti ada suatu kesalahan atau “dosa besar” yang dilakukan para peziarah tersebut sehingga mereka mengalami kematian yang begitu mengerikan. Pandangan semacam ini masih dipercayai oleh banyak orang, khususnya mereka yang tinggal dalam iklim budaya timur tengah dan Asia timur.[4]

Dua pandangan tentang kematian yang kerap dipegang dan percaya oleh banyak orang, termasuk mereka yang menamakan diri mereka Kristen:

  1. Orang yang “saleh” akan meninggalkan dunia dengan cara yang “terhormat”, seperti: mati tenang, dikerubungi keluarga dan sahabat, tidak menderita kesakitan pada saat-saat terakhir, berkorban nyawa demi orang lain, gugur dalam menjalankan tugas/pelayanan, dan semacamnya. Suatu kematian yang “noble-death”.
  2. Orang yang “berdosa besar” akan meninggalkan dunia dengan cara yang “hina”, seperti: mati tersiksa/menderita/perlahan, sendirian di saat-saat terakhir, meninggal karena kecelakaan, korban tindakan kriminalitas, kuburannya ditempat “seadanya”, alasan dan penyebab kematian tidak jelas, dan semacamnya. Suatu kematian yang “tragic-death.”

Pandangan semacam ini masih mewarnai sudut pandang banyak orang hingga saat ini, terutama pandangan yang kedua. Ini juga yang menjadi salah satu faktor penolakan banyak orang akan status Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, oleh karena penderitaan dan kematian tragis yang Yesus alami di kayu salib, menempatkan diri-Nya sebagai orang “berdosa besar” sebagaimana pandangan kedua di atas. Namun sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa apa yang Yesus jalani dan alami itu adalah sesuatu yang mulia; yang mencerminkan kasih karunia-Nya bagi dunia (Yohanes 3:16; Roma 5:8).

Sejarah jemaat mula-mula, generasi para Rasul dan juga catatan-catatan gereja sesudah era para Rasul pun membuktikan bahwa banyak dari mereka yang mengalami kematian yang “tragis” di mata manusia, namun tidak ada seorangpun akan berkata bahwa itu karena pasti ada “dosa besar” atau ada “kelalaian besar” yang mereka lakukan. Sebutkan saja misalnya Stefanus yang mati dirajam dan mulainya orang-orang Kristen dianiaya (Kisah 7:59-8:1), Yakobus dibunuh dengan pedang atas perintah Herodes (Kisah 12:1-2), dan belum lagi ribuan martir Kristen yang mati dengan cara “mengenaskan” sampai hari ini, tentu kita akan mengatakan mereka mati dengan cara demikian karena pasti ada “dosa besar” atau “kelalaian” yang mereka buat. Faktanya mereka mati justru karena dunialah yang sudah jatuh dalam dosa dan penolakan akan pemberitaan Injil Kristus-lah maka hal-hal ini terjadi. Namun itu tidak dapat menghentikan pengabaran Injil dan pelayanan tetap dilakukan oleh jemaat dan para Pelayan TUHAN.

Dari beberapa contoh di atas saja sudah jelas menunjukkan bahwa 2 (dua) pandangan yang dipercayai banyak orang di atas adalah benar-benar keliru/salah!

III. Ajaran Yesus tentang hubungan antara hidup dan cara mati seseorang di dunia

Tuhan Yesus dalam Lukas 13:1-5 dengan tegas menjelaskan bahwa pandangan bahwa jika seseorang mati dengan cara “mengenaskan” tidak berhubungan dengan apakah ada suatu “dosa besar” atau “kelalaian” yang diperbuatnya sehingga ia mengalami hal tersebut.

#1 Cara mati seseorang tidak menunjukkan kualitas hidupnya

Yesus menegur orang-orang yang bertanya mengenai perihal peristiwa matinya peziarah di Yerusalem yang menyangka pasti karena ada dosa besar yang mereka lakukan. Yesus bahkan menambahkan peristiwa yang menimpa delapan belas orang yang mati tertimpa menara Siloam yang rubuh ke atas mereka untuk lebih “mendramatisasi” pertanyaan. Yesus berkata:

“Yesus menjawab mereka: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” (Lukas 13:2-3)

Memang, orang bisa saja mati mengenaskan karena sesuatu yang ia buat; dia bisa saja mengalami kematian mengenaskan tersebut sebagai konsekuensi tindakannya (misal: pemberontakan Korah, Datan dan Abiram mengakibatkan kematian mereka (Bilangan 16:1-33) atau penjahat tewas ditembak polisi karena melakukan perlawanan dengan senjata) tetapi tidak artinya jika ada kejadian seperti itu pasti karena ada dosa besar atau kelalaian yang dilakukan orang tersebut. Hal tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan bekerja di dalam prinsip retribusi, terutama di dalam Perjanjian Lama, di mana dosa seseorang mengakibatkan kematian yang mengerikan. Namun apabila kita melihat keseluruhan Alkitab, Tuhan bisa saja di dalam kedaulatan-Nya bekerja melampaui prinsip retribusi. Dengan demikian kematian yang mengerikan belum tentu disebabkan karena dosa yang di lakukan orang tersebut. Karena itulah kita dapat memahami penjelasan Yesus yang berkata: Tidak! Cara seseorang meninggalkan dunia tidak dapat dijadikan alasan untuk menghakimi kehidupan dan kedalaman rohani orang tersebut.[5]

Yesus menolak pandangan yang menghubungkan kematian mengenaskan selalu sebagai bentuk penghukuman Tuhan; suatu pandangan teologis yang populer diantara orang Yahudi pada waktu itu. Yesus menolak untuk menjelaskan mengapa kematian seperti itu diizinkan Tuhan terjadi dan Ia menolak untuk bahkan berspekulasi atas hal tersebut. Namun Yesus menggunakan kedua peristiwa mengenaskan untuk mengangkat hal yang jauh lebih penting dalam hidup: pertobatan dan cara hidup orang percaya.

#2 Kualitas hidup seseorang akan berkonsekuensi pada kekekalan

Tuhan Yesus mengalihkan pertanyaan dari seputar cara mati seseorang, kepada betapa pentingnya pertobatan dan cara hidup orang percaya.[6]

Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. (Lukas 13:5)

Yesus mengingatkan bahwa jika seseorang tidak bertobat, maka hal lebih mengerikan daripada kematian mengenaskan akan terjadi, yaitu binasa mengenaskan selamanya. Kematian dengan cara yang melalui penderitaan adalah suatu hal yang tidak enak, namun binasa dalam penderitaan kekal adalah hal yang jauh lebih mengerikan. Bagaimana seseorang meninggalkan dunia, itu adalah kedaulatan Tuhan. Namun bagaimana seseorang bertobat atau tidak, itu adalah pilihan dan keputusan orang itu sendiri. Bertobat atau tidak mau bertobat adalah langkah pertama yang akan menentukan apa yang akan dialami seseorang setelah meninggalkan dunia.

Setara dengan pertobatan, Yesus juga menekankan pentingnya seseorang untuk menghasilkan buah dalam hidupnya. Ini jelas terlihat dari pengajaran Yesus selanjutnya di ayat 6-9:

Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini: Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!” (Lukas 13:6-9)

Prinsip penilaian kehidupan seorang percaya berdasarkan buah yang dihasilkan dalam hidupnya adalah sesuatu yang juga Yesus sendiri ajarkan dalam Matius 12:33; Lukas 6:43-45. Apa yang menjadi prinsip penilaian melalui buah ini, termasuk dalam Lukas 13:6-9 di atas, juga ditegaskan kembali oleh Rasul Paulus bahwa seorang peladang berhak untuk menikmati buah dari tanaman yang ia tanam, dan seorang gembala berhak untuk menikmati susu dari kawanan dombanya (1 Korintus 9:7). Ini berarti Yesus berhak untuk menilai kehidupan kita atas buah-buah yang kita hasilkan, oleh karena Dia telah memberikan kasih karunia kepada kita, yaitu kehidupan baru yang diberikan karena kita bertobat dan percaya.

Waktu hidup yang Tuhan berikan kepada manusia haruslah diresponi dengan pertobatan. Waktu yang Tuhan berikan kepada orang percaya selama di dunia ini haruslah diresponi dengan menjalani hidup yang menghasilkan buah-buah. Waktu yang Tuhan berikan bagi orang percaya untuk berubah adalah anugerah Tuhan semata, yang harus segera diresponi dengan benar. Orang percaya yang tidak menghasilkan buah-buah dipandang Allah sebagai menyia-nyiakan anugerah (“tanah”) yang Ia berikan.[7] Inilah yang Yesus tekankan kepada orang-orang yang bertanya kepada-Nya waktu itu, dan juga kepada semua orang percaya sampai hari ini. Penilaian kualitas hidup orang percaya bukanlah dilihat dari bagaimana cara ia mati (meninggal), tetapi dari buah-buah yang dihasilkannya.

IV. Kesimpulan

Banyak jemaat dan Pelayan Tuhan yang mengalami kematian yang tak terduga dan mungkin “mengenaskan”. Di era pandemi COVID-19 inipun adalah fakta bahwa tidak sedikit jemaat dan Pelayan Tuhan yang setia yang berpulang karena serangan wabah ini. Sangat disesalkan berbagai macam pendapat dan tuduhan negatif dilontarkan atas hal ini, yang serupa dengan pandangan keliru yang sudah kita bahas di atas. Berdasarkan paparan yang sudah dibahas di atas, maka:

  • Bagaimana seorang percaya mati (meninggal) adalah kedaulatan Tuhan; suatu kebijakan yang tidak dapat diselami dan dipahami oleh manusia, yang kita responi dengan percaya dan penyerahan diri kepada Tuhan yang terbukti begitu mengasihi kita dan tidak ada keputusan-Nya yang salah.
  • Tidak ada hubungan langsung antara bagaimana seseorang mati (meninggal) dengan tingkat kedalaman rohani yang dia jalani dalam hidupnya.
  • Tuhan Yesus mengajar dan meminta kita agar tidak terfokus kepada bagaimana cara/kejadian seorang

percaya mati (meninggal) tetapi agar kita berfokus pada pertobatan dan menjalani hidup yang menghasilkan buah agar tidak mengalami hukuman dan penderitaan kekal.

Memberikan penilaian terhadap kehidupan orang percaya dengan menggunakan parameter pemikiran yang keliru bahwa kematian mengenaskan atau tragis pasti karena ada dosa besar atau kelalaian, atau bahkan menghubungkannya dengan praktek Ibadah tertentu seperti perkatakan: “sudah rajin berbahasa roh kok bisa bisa meninggal kena COVID-19 juga?” adalah suatu tindakan yang tidak pantas, tidak menghormati almarhum/almarhumah, tidak sensitif terhadap perasaan keluarga yang ditinggalkan dan merupakan suatu sikap yang tidak pantas sebagai ahlak yang beradab. (CS)

Catatan kaki

Lihat pula