Hidup sebagai Insan Pentakosta Mendengar suara Tuhan dan berkata-kata atas nama Tuhan (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal10 Mei 2020
PenulisPdm Dr Dony Lubianto, MTh
Video Voice of Pentecost 2 (Dony Lubianto )
Unduh Unduh OSP

Dalam Injil Yohanes kita banyak melihat bagaimana Tuhan Yesus secara pribadi menyampaikan kepada murid-murid-Nya bagaimana kelak kehidupan dan pelayanan sebagai orang percaya pasca kematian-kebangkitan-kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga (Yohanes 14:16-17; 14:26; 16:13). Jika kita menyimak dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus dalam ketiga ayat di atas, yaitu betapa Roh Kudus menempati peran yang sentral dan sangat penting dalam kehidupan semua orang percaya dan betapa Roh Kudus harus diberikan tempat dan prioritas dalam kehidupan.

Dalam Injil Yohanes kita banyak melihat bagaimana Tuhan Yesus secara pribadi menyampaikan kepada murid-murid-Nya bagaimana kelak kehidupan dan pelayanan sebagai orang percaya pasca kematian-kebangkitan-kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga (Yohanes 14:16-17; 14:26; 16:13). Jika kita menyimak dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus dalam ketiga ayat di atas, yaitu betapa Roh Kudus menempati peran yang sentral dan sangat penting dalam kehidupan semua orang percaya dan betapa Roh Kudus harus diberikan tempat dan prioritas dalam kehidupan. Tuhan Yesus sangat menekankan kehidupan orang percaya yang dipimpin dan dituntun oleh Roh Kudus. Inilah yang menjadi kunci kemenangan dalam kehidupan orang percaya, sebagaimana dalam banyak kesempatan disampaikan oleh Rasul Paulus (Roma 8:11, 13; Galatia 5:16, 25).

Kehidupan orang percaya sudah seharusnya adalah kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus, bukan sekedar hikmat, kepintaran, kehebatan dan kebijaksanaan kita sendiri (Amsal 3:5-7).

Tulisan ini hendak mengangkat pembahasan mengenai kehidupan sebagai insan Pentakosta yang meyakini bahwa suara Tuhan masih diperdengarkan dan oleh karena itu kita masih mendengar-Nya, serta salah satu dinamika kehidupan insan Pentakosta adalah berkata-kata atas nama Tuhan.

I. Hidup sebagai Insan Pentakosta

I.A. Berawal dari Roh Kudus

Apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya sehubungan dengan Roh Kebenaran, Penolong yang lain, Penghibur, yaitu Roh Kudus adalah untuk mempersiapkan murid-murid dalam sebuah dimensi baru hidup Kekristenan, yaitu hidup yang dipimpin oleh Roh Kudus. Sebagaimana dijanjikan oleh Tuhan Yesus, pada hari raya penuaian (Pentakosta) dan persis 50 hari setelah kebangkitan Tuhan Yesus, Roh Kudus dicurahkan dengan luar biasa (Kisah 2:1-4). Perhatikan dengan seksama ayat yang keempat: “Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata...seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” Pada hari di mana 120 murid penuh dengan Roh Kudus, di situlah kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus dimulai. Roh Kudus memberikan kepada mereka perkataan untuk diucapkan dan mereka melakukannya.

Roh Kudus menuntun dan memimpin bukan hanya dalam kehidupan pribadi orang percaya tetapi juga gereja-Nya. Kita dapat melihat dalam sepanjang Kitab Kisah Para Rasul bagaimana Roh Kudus turut dalam pengambilan keputusan, menuntun, mengarahkan dan memimpin para pemimpin jemaat dalam pekerjaan pelayanan dan penuntasan Amanat Agung Tuhan Yesus (Kisah 13:2, 4; 15:28; 16:6; 21:10-11). Roh Kudus memegang peranan yang sangat penting dalam menuntun gereja-Nya dalam melaksanakan missio christi yaitu menuntaskan Amanat Agung.

I.B. Kisah Para Rasul masih tetap berlanjut

Pasal terakhir dalam Kitab Kisah Para Rasul (pasal 28) bukanlah merupakan pasal penutup dari Kisah Para Rasul. Kisah Para Rasul belum berhenti dan terus berlanjut sampai dengan era kita sekarang ini. Saat kita memperhatikan sejarah gereja mulai tahun 100-2020 Masehi, kita mendapati bahwa Roh Kudus tetap memenuhi, memberikan kuasa dan otoritas kepada orang percaya. Nama-nama seperti Ignatius dari Antiokhia (107M), Polycarpus (160M), Athanasius (296-373M), Ambrosius (339-397M), Fransiscus dari Asisi (1181-1226M), Martin Luther, John Calvin, Anabaptist, Ignatius dari Loyola, Fransiscus Xaverius yang hidup di era tahun

1480-1560 M, Edward Irving (1792-1834 M), Charles G. Finney (1792-1875 M), D.L. Moody (18371899 M), Charles F. Parham (1873-1929 M), William J. Seymour (1870-1922 M), Evan Roberts (1878-1951 M); mereka adalah sebagian kecil dari hamba-hamba TUHAN yang melanjutkan gerakan Pentakosta gereja mula-mula. Mereka melayani dengan urapan dan karunia Roh Kudus, ada mujizat dan tanda heran, kesembuhan ilahi yang menyertai pelayanan mereka. Roh Kudus belum berhenti bekerja sampai saat ini sehingga berarti kehidupan yang dipimpin Roh Kudus adalah kehidupan yang seharusnya dialami dan dijalani oleh setiap orang percaya.

I.C. Hidup sebagai Insan Pentakosta di masa kini

Kekudusan hidup, yaitu upaya hidup sesuai dengan Firman melalui pertolongan Roh Kudus, membangun hubungan yang intim dengan Tuhan, hidup dan melayani dalam mujizat dan kuasa Tuhan, menjadi saksi Yesus, memberitakan kabar baik adalah antara lain ciri khas hidup insan pentakosta yang dipenuhi dengan Roh Kudus. Demikian juga dalam kehidupan bergereja: karena kita dipimpin dan dituntun oleh Roh Kudus sebagaimana gereja mula-mula, maka insan pentakosta juga percaya bahwa Tuhan masih berbicara menyampaikan pesan, arahan dan tuntunan bagi jemaat melalui para pemimpin rohani (gembala jemaat). Dengan demikian maka pernyataan seperti "saya dengar suara Tuhan, Tuhan berbicara kepada saya, Tuhan memberikan tuntunan, Tuhan memerintahkan untuk saya menyampaikan, Tuhan berkata kepada kita", dan yang sejenis dengan itu bukanlah pernyataan asing, bukan pernyataan aneh atau pernyataan yang sesat, melainkan sebagai sebuah pernyataan wajar karena kita percaya Roh Kudus berbicara menyampaikan arahan, tuntunan dan menyatakan Pesan Tuhan yang khusus kepada para pemimpin gereja.

I.D. Mendengar suara Tuhan: Pengalaman hidup sehari-hari Insan Pentakosta

Mendengar suara Tuhan bukanlah tentang kemampuan manusia untuk mendengar suara-Nya, tetapi tentang kehendak Tuhan yang ingin memperdengarkan suara-Nya kepada orang-orang percaya, sekalipun kita sedang dalam keadaan berdosa. Namun demikian, adalah merupakan tanggung jawab kita untuk melatih kepekaan dalam mendengar suara-Nya.

Apa yang dinyatakan Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:2-5 sangat jelas, bahwa sebagai domba-domba-Nya Tuhan Yesus, kita mendengar suara-Nya, kita mengikuti Dia karena kita mengenal suara-Nya. Kita tidak mungkin mengenali suara Tuhan Yesus jika kita tidak melatih kepekaan dalam mendengar suara-Nya dan tidak memiliki pengalaman hidup sehari-hari dalam mendengar suara-Nya.

Dengan membangun hubungan yang intim dengan Tuhan, dipenuhi dengan Roh Kudus, melatih kepekaan dalam mendengar Suara Tuhan, memiliki pengalaman hidup sehari-hari dalam mendengar Suara-Nya, Jemaat sebagai insan pentakosta memiliki kepekaan dan kemampuan dalam membedakan mana nubuat atau tuntunan yang benar dari Tuhan dan mana yang bukan, tentu dengan mengujinya berdasarkan Firman Tuhan (Alkitab).

II. Berkata-kata atas nama Tuhan

II.A. Menyampaikan Pesan Tuhan yang khusus sebagai Tuntunan bagi Umat-Nya

Dalam praktek hidup sehari-hari insan Pentakosta, memperkatakan Firman Tuhan merupakan sesuatu yang lumrah, sebagaimana diajarkan dalam Firman Tuhan (Yosua 1:8).

Itulah sebabnya banyak ditemui dalam kalangan insan Pentakosta, dalam doa mereka ada deklarasi (decree), memperkatakan Firman Tuhan dengan penuh iman, ayat-ayat Alkitab menjadi doa mereka dan mereka imani terjadi. Misalnya:

  • Dalam keadaan sakit, mereka memperkatakan dengan penuh iman 1 Petrus 2:24,
    "Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh."
  • Dalam keadaan yang menekan karena kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, mereka memperkatakan dengan penuh iman,
    • Filipi 4:13: "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku" dan
    • Filipi 4:19: "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus".

Bagaimana dengan para pemimpin jemaat? Dalam kalangan Pentakosta, pemimpin jemaat yang tertinggi adalah gembala jemaat lokal. Merekalah yang menjalankan tugas penggembalaan kepada jemaat yang dipercayakan TUHAN kepada mereka masing-masing. Memberi makan domba (umat Tuhan) dengan makanan rohani, yakni pengajaran Firman Tuhan yang sehat agar mereka bertumbuh, dan tidak jarang juga makanan jasmani bagi jemaat yang membutuhkan. Sebagaimana dikatakan dalam Mazmur 23 bahwa seorang gembala harus menuntun domba ke air yang tenang dan ke padang yang berumput hijau, demikian juga gembala jemaat lokal harus dapat menuntun umat yang TUHAN percayakan padanya. Di sinilah diperlukan bukan hanya pengetahuan teologis yang mumpuni, bukan hanya pengalaman pribadi sang gembala yang hebat, melainkan juga kepekaan mendengar suara Tuhan. Sebab gembala jemaat bukanlah pemilik melainkan penilik yang Tuhan percayakan untuk menggembalakan umat-Nya. Gembala jemaat lokal harus memiliki keintiman dengan Tuhan, sebab melalui hubungan yang intim/dekat dengan Tuhan itulah mereka akan mendapatkan tuntunan, arahan Tuhan bagi umat yang dia gembalakan.

Pesan khusus yang diterima dari Tuhan sebagai tuntunan dan arahan bagi jemaat yang digembalakan tentu harus diperkatakan dan disampaikan berulang-ulang sampai jemaat dengan urapan Roh Kudus dapat menangkap, memahami serta melakukan apa yang menjadi arahan dan tuntunan Tuhan tersebut. Itulah sebabnya, sebagaimana telah dinyatakan dalam bagian lain dari tulisan ini, apabila seorang pemimpin jemaat (gembala jemaat lokal) dalam menyampaikan tuntunan dan arahan dari Tuhan mengatakan: "TUHAN berbicara kepada saya, TUHAN menyatakan pesan kepada saya, TUHAN mengatakan", dan yang sejenis itu, hal tersebut bukanlah sesuatu yang tabu, aneh atau tidak legitimate, melainkan sesuatu yang biasa dan menjadi keseharian sebagai insan Pentakosta.

II.B. Bernubuat adalah salah satu Karunia Roh sebagai dampak dari Baptisan Roh Kudus

Robert Menzies dalam bukunya menyatakan bahwa dalam khotbahnya pasca baptisan Roh Kudus, Petrus merujuk kepada salah satu nubuatan Perjanjian Lama terkait dengan kedatangan Roh Kudus, yakni Yoel 2:28-32 serta mendeklarasikan bahwa nubuatan ini juga sedang dipenuhi (Kisah 2:17-21).

Pesannya sangat jelas, sama seperti Tuhan Yesus diurapi untuk memenuhi tugas kenabian-Nya, demikian juga murid-murid Yesus kini telah diurapi sebagai nabi-nabi akhir zaman untuk menyatakan Firman Allah.

Dalam Kisah Para Rasul 2:18, Lukas memasukkan kalimat, “dan mereka akan bernubuat” ke dalam kutipan dari kitab Yoel. Memasukkan kalimat ini sesungguhnya menekankan apa yang sudah ada dalam teks dari kitab Yoel. Ayat sebelumnya telah mengingatkan kita bahwa pencurahan Roh Kudus di zaman akhir ini sebagaimana dinubuatkan nabi Yoel adalah pemenuhan dari harapan Musa:

“Ah, kalau seluruh umat TUHAN menjadi nabi, oleh karena TUHAN memberi Roh-Nya hinggap kepada mereka!" (Bilangan 11:29).

Kisah Para Rasul 2:17 mengutip Yoel 2:28: “Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat;”.

Sekarang dalam ayat ke 18 dari Kisah Para Rasul 2, Lukas menekankan fakta bahwa Roh Kudus datang sebagai sumber inspirasi nubuatan. Ada sebuah pesan yang Lukas tidak ingin pembacanya terlewat, bahwa gereja di zaman akhir ini adalah komunitas para nabi. Para nabi yang terpanggil untuk membawa pesan “keselamatan sampai ke ujung bumi” (Yesaya 49:6; Kisah 1:8). Lukas juga mengingatkan para pembacanya bahwa mereka telah dijanjikan kuasa untuk memenuhi panggilan tersebut. Roh Kudus akan datang dan memampukan gereja-Nya untuk berani bersaksi bagi Yesus bahkan ketika berhadapan dengan oposisi dan penganiayaan.[1]

Sehubungan dengan nubuatan, Wayne Grudem menyebutkan bahwa bernubuat adalah salah satu karunia Roh sebagaimana dicatat dalam 1 Korintus 12 dan 1 Korintus 14. Dalam Perjanjian Baru kita mengenal ada beberapa Nabi seperti Agabus (Kisah 11:28), Barnabas, Simeon yang disebut Niger, Lukius orang Kirene dan Menahem (Kisah 13:1). Grudem menambahkan dalam catatannya, hal yang sangat penting dari nubuatan adalah fakta bahwa nubuatan tersebut berdasarkan dari sesuatu yang telah diungkapkan oleh Roh Kudus, dan hal ini seringkali membuat nubuatan diizinkan untuk disampaikan dengan penuh kuasa untuk memenuhi kebutuhan jemaat pada saat itu. Nubuatan-nubuatan bisa saja termasuk prakiraan akan masa depan, namun demikian ini bukanlah komponen yang esensial dari nubuatan. Nubuatan juga bisa menunjukkan karunia rohani seseorang atau area di mana orang tersebut melayani secara efektif. Ketika nubuatan dipandang secara umum sebagai sebuah komunikasi dari Tuhan kepada manusia, tidak ada alasan untuk menyangkal bahwa nubuatan juga termasuk elemen yang muncul sesekali (pada saat tertentu) dari pujian profetik dan doa profetik-pujian penyembahan di mana isinya berdasarkan sesuatu yang dinyatakan secara spontan oleh Roh Kudus.[2]

Orang percaya yang non insan pentakosta berpandangan bahwa semua nubuatan sudah berakhir ketika kita sudah mendapatkan Alkitab yang utuh (66 kitab) hasil kanonisasi sebagaimana tertulis dalam 1 Korintus 13:9-10, “Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.” Sehubungan dengan ayat ini, insan pentakosta memahami bahwa yang dimaksud dengan “yang sempurna” dalam ayat tersebut di atas bukanlah kanonisasi Alkitab, melainkan kedatangan Kristus yang kedua kali.[3]

Pemahaman ini membuat insan pentakosta mempercayai bahwa nubuat masih ada, di mana bernubuat merupakan salah satu karunia roh sebagaimana tercatat dalam 1 Korintus 12 dan 1 Korintus 14 sebagai salah satu dampak dari Baptisan Roh Kudus.

II.C. Melakukan seperti yang Tuhan Yesus lakukan bukanlah penghujatan

Bahwa Kristus mencurahkan Roh-Nya pada hari Pentakosta menunjukkan bahwa Roh Kudus melayani tujuan-tujuan lainnya selain tujuan keselamatan, karena para murid yang pertama kali menerima Roh Kudus sudah mengalami keselamatan dan menjadi murid. Bagi mereka, Roh Kudus tidak memainkan peran pertobatan (maksudnya bertobat dari orang yang belum percaya kepada Yesus menjadi percaya kepada Yesus), melainkan pemberdayaan seperti yang dibuktikan oleh Kitab Kisah Para Rasul. Misalnya, Petrus dan Paulus digambarkan mengulangi banyak mukjizat Yesus yang artinya menunjukkan bahwa karunia mukjizat semacam itu tidak terbatas hanya dikerjakan oleh Yesus.[4] Seperti yang disarankan Keener, Petrus dan Paulus sedang melakukan pekerjaan Yesus dengan cara yang membuka jalan dan memberi contoh bagi gereja di masa yang akan datang.[5]

III. Perbedaan doktrinal akan selalu membuat jurang perbedaan yang rentan dengan kritik

Tidak dapat dipungkiri bahwa insan Pentakosta memiliki doktrin yang berbeda aliran yang lain dalam Kekristenan, khususnya terkait dengan Baptisan Roh Kudus dan bahasan lain yang terkait dengan Baptisan Roh Kudus. Insan Pentakosta percaya bahwa Baptisan Roh Kudus adalah berkat yang kedua (second blessing) yang diterima oleh orang percaya setelah kelahiran baru. Dari sinilah gaya hidup insan Pentakosta berawal. Jika pemahaman awalnya saja berbeda, maka dalam menjalankan praktek hidup Kekristenan dan pelayanan serta pola, model dan prinsip kepemimpinan dalam bergereja tentu berbeda. Dalam banyak aspek akan nampak jelas gap/jurang yang besar yang rentan terhadap kritik dan ketersinggungan satu dengan yang lain, apalagi dengan anggapan bahwa doktrin atau ajaran yang dimiliki adalah yang paling benar. Marilah kita mengedepankan diskusi untuk dapat saling mengenal ajaran satu dengan yang lain, melihat doktrin, ajaran dan praktek hidup Kristiani dari ‘kacamata’ yang sama. Lebih dari itu:

“…hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,” (Filipi 2:1-6)

(DL)

Catatan kaki

  1. ^ Robert P Menzies, Pentecost – This Story is Our Story, hal 28-29
  2. ^ Wayne Grudem, The Gift of Prophecy in The Testament and Today, Crossway Books, 2000 h.148
  3. ^ The gifts were temporary blessings in an imperfect age. One day they would give way to perfection, toward which all the gifts pointed. What Paul meant when he referred to the coming of perfection is the subject of considerable debate. One suggestion is that perfection described the completion of the New Testament. But verse 12 makes that interpretation unlikely. A few have suggested that this state of perfection will not be reached until the new heavens and new earth are established. Another point of view understands perfection to describe the state of the church when God’s program for it is consummated at the coming of Christ. (John. F. Walvoord & Roy B. Zuck, The Bible Knowledge Commentary, Dallas Seminary Faculty, Colorado Springs, 1983)
  4. ^ Simon P. LeSieur, Still Burning - Exploring the Intersection of Pentecostal and Reformed Understandings of Baptism in The Holy Spirit, University of Stellenbosch, 2006, h.58
  5. ^ Craig S. Keener, 3 Crucial Questions about The Holy Spirit, Grand Rapids, MI: Baker Books, 1996, h.40

Lihat pula