Hubungan Gereja dan Israel (Sikap Teologis GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Lompat ke: navigasi, cari
Logo GBI.svg
Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia
Hubungan Gereja dan Israel
2018

A. LATAR BELAKANG

Relasi antara Gereja dengan Israel merupakan relasi yang unik, Israel adalah umat perjanjian yang Allah pilih dalam PL (Kel. 19:5-6). sedangkan Gereja didirikan oleh Tuhan Yesus dalam PB setelah Israel menolak Yesus sebagai Mesias (Mat. 16:18). Walaupun Israel dan Gereja berbeda, namun misi yang Tuhan berikan kepadanya sebetulnya sama. yakni menjadi alat-Nya agar setiap suku bangsa di bumi mengenal Tuhan.

Dalam konteks modern sekarang ini, yang kita miliki adalah dua agama yang berbeda, yaitu Yudaisme dan Kekristenan. Masing-masing memiliki sistem kepercayaannya sendiri yang sudah baku dan berbeda satu dengan yang lain. Dalam konteks Indonesia di mana ada sentimen anti-Zionisme berkembang di masyarakat yang adalah mayoritas Islam, GBI memandang perlu mengkaji dan menetapkan serta menjelaskan sikap teologis terkait hubungan Gereja dan Israel.

B. PANDANGAN TEOLOGIS

Bagaimana hubungan antara Israel dan Gereja di masa kini? Ada tiga pandangan teologis yang berbeda tentang hubungan antara umat Israel dalam PL dengan Gereja dalam PB:

  1. Separation Theology (Teologi Pemisah). Israel berbeda dengan Gereja. Perjanjian kepada bangsa Israel tidak dialihkan kepada gereja. Gereja adalah suatu entitas rohani yang baru, yang tidak berkaitan dengan Israel.
  2. Replacement Theology (Teologi Pengganti). Israel digantikan oleh Gereja. Israel bukan umat pilihan Allah lagi karena telah menolak Kristus. Perjanjian yang diberikan kepada Abraham dan Israel kini dialihkan kepada Gereja, yang terdiri dari orang-orang non Yahudi. Jadi orang Yahudi harus bertobat menjadi Kristen untuk mendapat janji Allah yang dulu diberikan kepada orang Israel, karena penggenapan janji kepada Israel itu dialami oleh gereja. Bangsa Israel sendiri ditinggalkan tanpa penebusan dan tanpa masa depan.
  3. Remnant Theology (Teologi Sisa). Sisa Israel akan tetap mengalami penggenapan janji yang pernah diucapkan Allah, khususnya tentang tanah perjanjian dan raja kekal. Gereja akan mengambil bagian dalam janji yang akan diterima oleh sisa Israel itu, yaitu milik Allah (Gal. 6:16). Sisa Israel dan Gereja akan sama-sama menerima janji Allah di dalam Kristus (Ef. 2:11-15). Pandangan ketiga ini tampaknya yang lebih Alkitabiah.

Alkitab tetap mengakui eksistensi Israel sebagai umat Allah tanpa sedikit pun mengindikasikan bahwa status Israel sebagai umat Allah sudah berhenti (Kis. 15:14). Ketidaksetiaan Israel tidak membatalkan kesetiaan dan pilihan Allah atas mereka (Hos. 14:5-8), sebab Allah tidak pernah mengingkari diri-Nya (Im. 26:40-45). Ini digambarkan dengan roti sulung yang menguduskan seluruh adonan, dan akar pohon zaitun yang menguduskan cabang-cabangnya (Rom. 11:16-24). Istilah 'akar merujuk pada ‘leluhur orang Israel yang setia' (Abraham, Ishak, Yakub), yang imannya tidak lekang oleh zaman. Jadi pada akhirnya Israel akan diselamatkan karena mereka bangsa pilihan, dan Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya (Rm. 11:28-30).

Gereja atau orang Kristen sebenarnya cuma tunas liar yang mendapat anugerah. Gereja tidak akan ada tanpa bangsa Israel. Ketidakpercayaan Israel membuka kesempatan bagi bangsa-bangsa lain untuk diselamatkan. Bangsa-bangsa lain tidak memiliki jasa kebaikan apa-apa dalam diri mereka sendiri. Hanya oleh iman saja mereka tercangkok pada pohon zaitun yang sejati (Rom. 11:17, 20). Sekalipun umat Kristen berbeda dari umat Israel, keduanya bersama-sama memainkan peranan penting dalam menggenapi rencana keselamatan Allah untuk dunia. Fakta bahwa Allah tidak sayang mematahkan cabang asli seharusnya membuat gereja atau orang Kristen mawas diri terhadap hal-hal yang mengancam imannya. Bila cabang asli saja sampai dipatahkan, apalagi cangkokan tunas liar (Rom. 11:21). Maksudnya, supaya umat Kristen tidak mengandalkan diri sendiri dan harus lebih teguh berpegang pada kebaikan Allah. Umat Allah; Israel maupun bangsa-bangsa lain, hidup hanya oleh anugerah Karena itu.

Di masa depan Israel akan bersatu dengan bangsa-bangsa lain yang beriman kepada Kristus. Sebagaimana Tuhan adalah Esa, umat-Nya juga satu. Status orang Kristen digambarkan seperti tanaman cangkok pada pohon zaitun Israel. Satu pohon, bukan dua. Tidak berarti seolah-olah umat Kristen menggantikan posisi umat Israel dan juga tidak berarti keduanya identik. Bangsa Israel dan gereja yang terdiri dari bangsa-bangsa non-Israel sama-sama harus percaya kepada Injil. Keduanya berbeda, namun di dalam iman kepada Kristus mereka akan menjadi satu umat (Ef. 2:11-15).

Mengenai hubungan antara Yudaisme dan Kekristenan dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada awalnya Kekristenan merupakan salah satu bagian dari Yudaisme. Dalam Kisah Para Rasul 24:5, Imam Besar Ananias menyebut Kekristenan sebagai 'sekte' Nasrani (Yun.: αιρεσις, baca: hairesis; arti harf.: sekolah, aliran, atau partai). Namun kata 'sekte pada saat itu bersifat netral, karena kata tersebut juga ditujukan kepada orang-orang Farisi dan Saduki. Paulus menyebut Kekristenan sebagai Jalan? (Kis. 24:14). “Jalan' atau “Jalan Tuhan' adalah nama awal yang digunakan oleh para pengikut Kristus untuk menyebut diri mereka sendiri. Istilah 'Kristen' kemudian pertama kali digunakan di Antiokhia oleh para pengikut Kristus sendiri (Kis. 11:26; Kis. 26:28; Rm. 16:7; 1 Kor. 9:5; 2 Kor. 12:2; 1 Pet. 4:16). Dalam tahap awalnya, Kekristenan adalah salah satu kelompok dalam Yudaisme, seperti halnya Farisi dan Saduki.

Secara teologis, Perjanjian Baru memahami umat Allah tidak lagi sebatas pada bangsa Israel, tetapi kepada siapapun yang percaya kepada Kristus. Amanat Agung (Mt. 28:18-20) menegaskannya. Dalam Injil dicatat bahwa Yesus menunjukkan kepatuhan-kepatuhan kepada Taurat (Mk. 1:44; 6:56; 10:19; Mt. 9:20; 14:36; Lk. 8:44; 17:14). Namun di sisi lain, Yesus terlihat meninggalkan Taurat (bdk. Mt. 5:38 dst; Mk. 10:2 9; 7:14-23). Selain itu, relasi yang Yesus bangun dengan 'orang-orang berdosa' menunjukkan hal tersebut. Dengan membuka relasi dengan ‘orang-orang berdosa ini maka batasan-batasan teritorial dan etnis umat Allah menjadi hilang. Dalam kaitan ini, ketaatan terhadap Taurat pun memudar. Inilah yang membuat keterpisahan antara Kekristenan Perjanjian Baru dan Yudaisme. Paulus sendiri menentang penerapan Taurat yang membatasi anugerah Allah hanya pada bangsa Israel dan tertutup bagi bangsa-bangsa non-Yahudi. Paulus menginginkan Taurat dipenuhi oleh orang-orang percaya, yaitu Taurat yang dipahami dalam kaitan dengan iman, sebuah kepatuhan iman (Rm. 1:5; 3:31); iman yang dilakukan dalam kasih (Gal. 5:6), di mana bagi Paulus, iman adalah dasar dan sarana yang melaluinya manusia membangun relasi dengan Sang Ilahi, dan bukan dengan melakukan Taurat (Mt. 8:4);

Dalam perkembangan berikutnya, pemisahan Kekristenan dari Yudaisme makin terasa. Paulus memisahkan murid-muridnya dari orang-orang Yahudi dan mengajar mereka di ruang kuliah Tiranus (Kis. 19:9). Tidak ada kejadian utama yang tiba-tiba memisahkan Kekristenan dari Yudaisme, melainkan pergeseran kontinu yang makin menjauhkan Kekristenan dari Yudaisme. Perang Yahudi antara tahun 66-74 yang menghancurkan segala sesuatu yang berbau otoritas keagamaan Yudaisme, termasuk Bait Suci dan kompleksnya, membuat posisi Yudaisme melemah. Kristen Yahudi memainkan peranan penting di dalam memisahkan Kekristenan dari Yudaisme. Kebijakan rabinik terhadap Kekristenan ditujukan khususnya kepada orang-orang Kristen Yahudi. Mereka berusaha dan berhasil memarginalisasikan orang-orang Kristen Yahudi dan mengeluarkan mereka dari Kelal Yisrael, כְּלָל יִשְׂרָאֵל (komunitas Yahudi secara keseluruhan). Mereka menyingkirkan orang Kristen dari sinagoge-sinagoge dan mendorong orang-orang Yahudi lainnya untuk mengasingkan orang-orang Kristen Yahudi dari masyarakat

Beberapa abad kemudian terjadi relasi buruk antara bangsa Yahudi dan umat Kristen, khususnya dipicu karena tindakan Nazi Jerman yang dipimpin oleh Hitler yang membantai sekitar 6 juta orang Yahudi di Eropa. Holocaust adalah lembar hitam dalam sejarah. Sayangnya ada gereja di Jerman pada waktu itu yang menyetujui tindakan Hitler karena menganggap pembunuhan itu sebagai hukuman Allah bagi bangsa Yahudi yang telah menyalibkan Yesus. Padahal, bukankah Yesus di kayu salib telah mendoakan agar Bapa mengampuni dosa mereka? Dan jika penghukuman Allah tetap berlaku, setidaknya itu telah terjadi ketika bait Allah dan kota Yerusalem dihancurkan oleh Roma pada tahun 70 M, dan tidak perlu terjadi lagi di abad ke-20. Holocaust itu adalah kejahatan kemanusiaan yang amat hebat yang muncul karena sikap anti-semitisme. Sekalipun tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang Kristen yang memiliki sikap anti-semitisme, namun sebetulnya sikap anti-semitisme tidak diajarkan dalam Alkitab. Perjanjian Baru lebih mengarah kepada kritik logis-religius kepada Yudaisme yang dipraktekkan saat itu, dan bukan untuk membangkitkan sentimen anti Yudaisme.

Gereja dan Israel sebenarnya memiliki hubungan yang sifatnya kontinuitas, yaitu ada kesinambungan antara Israel dengan Gereja, antara Yudaisme dengan Kekristenan. Perjanjian Abraham dengan Yahweh dipahami mencakup juga di dalamnya Gereja. Dengan demikian, Gereja tidaklah menggantikan Israel dan Kekristenan tidak menggantikan Yudaisme, tetapi keduanya adalah umat Allah. Yudaisme dan Kekristenan bertumbuh secara bersamaan, walaupun berbeda dengan sistem kepercayaan yang berbeda, sebagai umat yang menyembah Allah yang sama, yang disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakub. Pada akhirnya keduanya akan bersatu menjadi satu umat dalam iman kepada Yesus Kristus (Ef. 2:11-15).

Hubungan kontinuitas itu berlaku juga antara bangsa Yahudi yang dicatat dalam Alkitab dan bangsa Yahudi yang ada pada masa kini. Walaupun telah terserak ribuan tahun, bahkan ada yang menikah dengan orang non Yahudi, namun secara umum ada kesinambungan antara bangsa Yahudi yang kembali ke tanah asalnya dan tinggal di Israel pada masa kini, dengan bangsa Yahudi yang dicatat dalam Alkitab. Ini dibuktikan dengan adanya: kesamaan bahasa, kesamaan budaya dan kesamaan agama.

Mengenai pandangan: Apakah orang non Yahudi harus mengikuti tradisi Yahudi (misalnya sunat), ataupun berbahasa Ibrani, jika mereka percaya kepada Yesus? Jawabannya telah diputuskan dalam sidang para rasul di Yerusalem, yaitu tidak perlu! Kecuali empat hal yang dipesankan agar orang non Yahudi menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah. Alasan utamanya karena hukum itu dibacakan tiap Sabat di sinagoge, sehingga orang Kristen tidak menjadi batu sandungan bagi orang Yahudi (Kis. 15:19-21).

Demikian pula halnya dengan hari raya yang dilakukan umat Yahudi di masa PL sebetulnya itu hanya merupakan gambaran yang sudah digenapi secara sempurna dalam diri Yesus Kristus (Kol. 2:16 17). Misalnya: Pesah, Roti Tidak Beragi dan Buah Sulung digenapi dalam kematian, penguburan dan kebangkitan Kristus. Hari Penuaian/ Pentakosta menjadi hari Pencurahan Roh Kudus. Hari Peniupan Sangkakala, Pendamaian (Yom kippur), Pondok Daun akan digenapi menjadi hari pengangkatan gereja, kedatangan Kristus kembali, dan berdirinya kerajaan seribu tahun damai. Dengan demikian umat Kristen tidak perlu lagi mengikuti hari raya Israel, cukup percaya kepada Kristus yang adalah penggenapannya. Jadi merayakan perayaan Alkitabiah bukanlah sarana bagi orang non-Yahudi untuk menjadi Yahudi. Perayaan itu tidak boleh dilakukan sebagai sebuah yang mengikat dan legalistik (Gal. 4:9-11). Tentu saja mengadakan hari raya seperti Paskah, Pentakosta yang telah mendapat makna baru secara Kristen dengan pemahaman yang benar yaitu untuk menyanjung Kristus dan menghargai karya-Nya tidak masalah bahkan perlu dilakukan.


INTI SIKAP GBI TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN ISRAEL:

  1. GBI percaya adanya kontinuitas atau kesinambungan antara Israel dengan Gereja, Yudaisme dan Kekristenan, dalam hal bahwa keduanya adalah umat Allah tetapi dengan dua sistem kepercayaan yang berbeda dan terpisah, yang akhirnya akan menjadi satu umat yang percaya kepada Kristus.
  2. GBI menolak pemahaman diskontinuitas atau keterputusan antara Israel dengan Gereja, Yudaisme dan Kekristenan. Pemahaman akan diskontinuitas ini dapat membangkitkan anti-Semitisme seperti telah terjadi di masa lalu yang berujung pada genosida Yahudi. GBI menolak sikap anti-Semitisme maupun segala bentuk rasisme dan pembantaian massal atau pembantaian ras oleh siapapun dan atas siapapun, bahkan seandainya itu dilakukan oleh negara-negara Barat maupun oleh negara Israel modern.
  3. Terkait dengan penafsiran Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, maka penafsiran yang dilakukan oleh GBI adalah penafsiran dalam terang perspektif Kristiani, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Perjanjian Baru. GBI menafsir Perjanjian Lama sebagaimana Yesus, dan kemudian para rasul, menafsirkan Perjanjian Lama. Dengan demikian GBI berpandangan bahwa perayaan-perayaan keagamaan dan tahun-tahun Yudaisme, tidak memiliki keterikatan dengan Teologi GBI. GBI mengikuti Perjanjian Baru dalam memaknai ulang tradisi Yudaisme seperti Paskah dan Pentakosta.
  4. Secara politis, tidak ada hubungan secara khusus antara Gereja dengan Negara Israel modern. Bilamana ada hubungan politik, itu harus terbangun antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Negara Israel, namun hingga saat ini tidak ada hubungan diplomatik antar kedua negara. Dengan demikian, GBI melihat permasalahan Israel dengan Palestina dalam bingkai hubungan politik internasional dan bukan agama (atau Gereja).
  5. Israel adalah tanah perjanjian bagi orang-orang Yahudi tetapi bukan tanah perjanjian bagi orang-orang Kristen. Oleh karena itu GBI memandang Israel modern sekarang adalah sebagai tempat wisata/ziarah rohani karena memiliki tempat-tempat yang tercatat dalam Alkitab, namun tidak memiliki unsur religi-magis.

KETERKAITAN DENGAN KEPEJABATAN GBI

GBI melarang seluruh pejabatnya untuk mengajarkan secara sistematis keterikatan dengan tradisi-tradisi Yudaisme seperti yang disebutkan di atas, di seluruh gereja GBI. Bila hal ini terjadi maka BPH melakukan pembinaan dan disiplin sesuai dengan tata dasar GBI.

Sumber

  • Departemen Teologi (2018). Pdt Henky So, MTh, et. al.. ed. Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia: Pasal 10 Hubungan Gereja dan Israel. Departemen Teologi Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia.