Yesus, teladan terbesar dari kerendahan hati
Ayo Saat Teduh | |
---|---|
Tanggal | Sabtu, 5 Okt 2024 |
Kemarin | Jumat, 04 Okt 2024 |
Besok | Minggu, 06 Okt 2024 |
Supaya kita dapat hidup setiap hari dalam kasih karunia Allah, kita harus mau untuk berjalan dalam kerendahan hati. “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (1 Petrus 5:5). Alkitab memberikan pengajaran yang mendalam mengenai hidup dalam kerendahan hati. Lebih dari itu, dari semua pengajaran dalam Alkitab mengenai hal ini, kita tidak akan menemukan contoh yang lebih baik dari pada yang Tuhan Yesus, teladan kerendahan hati yang paling mulia.
Sebelum Ia datang ke dunia sebagai manusia, Yesus sudah ada sejak kekekalan sebagai Allah, Anak Allah yang Kekal. “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala” (Mikha 5:2). Karena Ia adalah Allah, mengaku sebagai Allah adalah suatu kewajaran. Dan keberadaan-Nya sebagai Allah tidak akan pernah berhenti, bahkan ketika Ia melayani di dunia ini sebagai manusia. Tetapi Ia tidak mengumbar keilahian-Nya: “Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri” Bukannya memanifestasikan kemuliaan-Nya, sebaliknya Ia mengambil rupa sebagai seorang hamba: “Dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Selama Ia melayani di dunia ini, Ia mengedepankan peran-Nya sebagai hamba. “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:28).
Dalam misi penyelamatan-Nya yang agung, Yesus, Anak Allah, mengambil jalan kerendahan hati. “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Kerendahan hati Yesus mencakup ketaatan kepada Allah Bapa sepenuhnya, sehingga Ia rela untuk mengalami kematian yang paling mengerikan, penyaliban yang menebus dosa. Dalam penderitaan-Nya, Ia berdoa, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39). Penyerahan kepada kehendak Bapa ini adalah jalan kerendahan hati yang Allah ingin kita lewati. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.”