Hubungan Gereja dengan Negara (Sikap Teologis GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 12 September 2020 13.37 oleh Leo (bicara | kontrib) (upd -> 2018)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo GBI.svg
Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia
Hubungan Gereja dengan Negara
2018

A. Latar belakang

Gereja selalu memainkan peran yang signifikan di setiap bentuk negara di dunia karena Gereja hidup di dalam dunia ini. Dunia artinya konteks di mana faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, budaya saling berinteraksi bersama kehidupan orang Kristen. Dengan bentuk negara yang beragam, gereja ditantang perannya di masyarakat ketika ia melayani dunia dan harus mampu untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan. Meskipun pesan gereja tidak berubah namun pendekatannya harus dinamis, dialektis dan kreatif. Fungsinya sebagai garam dan terang berhadapan dengan realitas negara dan masyarakat mulai dari bersikap yang responsif hingga yang opresif. Untuk meresponi situasi khusus dan latar belakang ini, studi hubungan gereja dan negara menjadi beragam dalam spektrum, dinamika dan kompleks. Dari kelahiran gereja hingga sekarang, tidak ada persetujuan tunggal bagaimana gereja harus berperilaku dan berperan di hadapan negara. Kekristenan tidak mempunyai model politik ideal.

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia di mana negara berasaskan Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 45, yang menjadikannya bukan negara yang berdasarkan agama tertentu, melainkan berdasarkan asas demokrasi yang berketuhanan yang maha esa. Karenanya, negara mengakui kehadiran enam agama beserta kepercayaan-kepercayaan. Gereja Bethel Indonesia berada dalam konteks Indonesia yang sedemikian sehingga pemahaman GBI akan hubungan antara Gereja dengan Negara perlu dijabarkan dan dipahami oleh segenap jemaat GBI.

B. Pandangan Teologis

Dalam Perjanjian Lama disebutkan Israel adalah negara yang teokratis di mana Allah menjadi raja bagi bangsa Israel. Itu sebabnya saat bangsa Israel meminta raja kepada YHWH, bukan hanya Samuel yang kesal dengan permintaan bangsa tersebut, melainkan YHWH sendiri. YHWH melihat bahwa bangsa tersebut menolak-Nya (1 Sam. 8:7). Namun demikian, YHWH melalui Musa sudah mengantisipasi permintaan ini sehingga aturan tentang ini dibuat (Ul. 17:14-20). Dalam perkembangan sejarah, bangsa Israel kadangkala dipimpin oleh raja yang taat kepada YHWH, namun lebih sering dipimpin oleh raja yang tidak taat, sehingga bangsa itu terbelah menjadi dua, dan bahkan akhirnya mengalami pembuangan. Teokrasi yang diidamkan seringkali justru hanya menjadi monarki dan otokrasi.

Dalam Perjanjian Baru tidak banyak dibahas mengenai pemerintah atau penguasa. Secara asali, Allah diyakini sebagai penguasa yang sejati (Kol. 2:10; Why. 6:10; Yud. 1:4; 2 Pet. 2:1). Pada sisi lain, Iblis juga disebut penguasa dunia ini (Yoh. 14:30; 16:11; 1 Kor. 2:6; Ef. 2:2; 6:12). Yesus menegaskan bahwa pemerintah menggunakan tangan besi untuk memerintah atas rakyatnya dan Yesus tidak menentang itu. Ia hanya menentang bila sikap tangan besi itu diberlakukan oleh dan di antara umat-Nya (Mt. 20:25). Paulus menegaskan relasi Gereja dengan Negara (Rm. 13:1-7) di mana Gereja harus menundukkan diri kepada pemerintah. Pemerintah dalam hal ini dilihat sebagai “hamba Allah” (ay. 4). Dapat disimpulkan bila pemerintah tidak menjadi “hamba Allah”, sikap ketertundukan terhadap pemerintah perlu dipertanyakan. Bagaimana, misalnya, bila pemerintahannya buruk bahkan busuk dan korup? Maka diperlukan sikap yang lain.

Ketika Kekristenan baru berkembang, mereka memiliki apa yang disebut alien citizenship yang berkaitan dengan gaya hidup mereka, yaitu di mana pun mereka tinggal, baik di kota-kota Yunani maupun kota-kota barbar, mereka menyesuaikan diri dengan keadaan setempat dengan tetap memiliki gaya hidup berintegritas moral yang khas Kristiani. Saat Kekristenan menjadi agama Negara, yang diawali dengan Edik Milano pada tahun 313 oleh Kaisar Konstantinus Agung yang mengakhiri penganiayaan terhadap orang-orang Kristen dan memberikan toleransi beragama kepada semua agama khususnya kepada Kekristenan dan dipuncaki oleh Edik Tesalonika pada tahun 381 oleh Kaisar Theodosius I, maka gereja mulai bercampur-baur dengan kekuasaan. Kekaisaran Romawi bersama Gereja saat itu menyebarkan Kekristenan ke seluruh wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi.

Dalam konteks ini, ketika Gereja mulai dan makin berkuasa di Kekaisaran Romawi, seorang Bapa Gereja, St. Agustinus menuliskan buku De Civitate Dei (Kota Allah) pada awal abad ke-5. Dalam buku tersebut, St. Agustinus membedakan adanya Earthly City dengan City of God di mana ia menjelaskan hubungan yang ideal di antara keduanya karena umat manusia tetap masih hidup di bumi dan perlu bekerja sama untuk tinggal di bumi, yaitu antara mereka yang percaya dengan mereka yang tidak. City of God ini adalah gambaran ideal sebuah kerajaan Kristen. Makin lama, kepausan menjadi begitu kuat di wilayah Kekaisaran Romawi. Otoritas Gereja menjadi lebih kuat dibandingkan kaisar atau raja-raja kemudian. Pada sepanjang Abad-abad Pertengahan, Paus menyatakan memiliki otoritas untuk menyingkirkan raja-raja Katolik di Eropa Barat. Selama berabad-abad tersebut, monarki-monarki yang ada di Eropa dikuasai dengan gagasan divine right di mana para raja memahami bahwa mereka menjadi penguasa atas kerajaannya sendiri maupun Gereja di dalam batas-batas teritorial kerajaan mereka, yang seringkali dipahami sebagai caesaropapism. Pada sisi lain Paus sebagai wakil (vicar) Kristus di bumi harus memiliki kekuasaan utama atas Gereja dan secara tidak langsung atas negara. Istilah wakil Kristus pertama kali digunakan dalam Surat kepada Orang-orang Magnesia dari St. Ignatius (antara 88-107M), uskup Antiokhia, kemudian oleh Tertulianus (Abad ketiga), dan selanjutnya dalam sinode para uskup yang dipimpin oleh Paus Gelasius I. Kondisi berabad-abad ini bukan tanpa masalah. Cukup sering terjadi perselisihan bahkan pertikaian antara Gereja dengan Negara (kaisar atau raja-raja).

Dalam Reformasi Protestan, Martin Luther menggagas doktrin dua kerajaan (two-kingdom doctrine). Gagasan Luther ini menjadi awal dari konsepsi modern akan pemisahan gereja dan negara. Menurut Luther, Allah berkuasa atas alam semesta dan Ia memerintah dengan dua cara yaitu pertama, Allah memerintah kerajaan duniawi atau yang disebut dunia tangan kiri melalui pemerintahan sekuler dengan menggunakan pedang (hukum). Kedua, Allah memerintah dunia surgawi atau yang disebut dunia tangan kanan melalui Injil atau anugerah yaitu melalui Gereja.

Seorang filsuf Inggris, John Lock yang adalah bagian dari Enlightenment, juga memberikan kontribusi terhadap gerakan pemisahan Gereja dan Negara ini. Ia menulis buku tentang toleransi beragama di mana ia menggagas pemisahan antara Gereja dengan Negara. Menurutnya, betapapun Allah berkuasa, manusia memiliki kebebasan dalam menentukan kehidupannya.

Di Amerika Serikat, Thomas Jefferson menggagas bahwa Gereja terpisah dengan Negara dan pelaksanaan pemerintahan negara terpisah dari lembaga-lembaga gerejawi. Dasarnya adalah bahwa agama hanyalah sesuatu yang terletak antara manusia dengan Allahnya. Ini menjadi aturan hukum di Amerika Serikat bahwa ada pemisahan yang tegas antara Gereja dengan Negara. Bill of Rights dari Konstitusi Amerika Serikat, yang disetujui pada 1791, secara khusus melarang pemerintah Amerika Serikat menciptakan agama negara. Gereja tidak boleh terlibat dalam pengelolaan negara, baik dari segi SDM maupun ajaran ajarannya. Nilai-nilai gerejawi tidak boleh memasuki pengelolaan pemerintahan.

Bahwa pengalaman Dietrich Bonhoeffer yang melawan Deutsche Kirche (Gereja Jerman) yang mendukung NAZI dan Hitler, dan bersama Karl Barth dkk. mendirikan Bekennende Kirche (Confessing Church, Gereja yang Mengaku), demi melawan NAZI dan Gereja Jerman, menunjukkan bahwa pemerintahan yang busuk dan jahat tidak bisa didiamkan. Karena perjuangannya melawan NAZI, maka Bonhoeffer dkk. dikirim ke kamp konsentrasi dan Bonhoeffer kemudian dibunuh. Ia menjadi martir modern Jerman. Ia menyatakan bahwa siapa yang saleh, haruslah juga politis.

Bahwa sebagai negara yang dibangun di atas prinsip-prinsip kesamaan dan kesetaraan, para bapak pendiri bangsa Indonesia menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak suku, bahasa, keyakinan dan agama. Di dalam semangat itu, Pancasila merupakan jawaban final yang mampu mengakomodasi perbedaan dan keberagamaan itu. UUD 45 dibuat untuk mengakui peranan negara yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul yang termaktub di dalamnya kewajiban negara untuk melindungi dan memastikan setiap warga negara Indonesia menjalankan kewajibannya. Indonesia bukanlah negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Negara ada untuk membantu agama untuk turut berpartisipasi di dalam kemajuan hukum, pembangunan dan HAM. Negara tidak diperbolehkan mengintervensi urusan-urusan agama, namun Negara perlu mengalokasikan dana untuk membantu secara finansial usaha-usaha kemajuan agama di mana penganutnya adalah warga negara sendiri.

Bahwa di dalam sejarah dan konteks Indonesia, hubungan gereja dan negara mengalami fluktuatif dan kompleksitas sebagaimana faktor-faktor politik, sosial dan agama begitu kuat terlibat. Gereja di Indonesia ditantang oleh fakta akan eksistensinya di negara yang mayoritas berpenduduk Muslim meskipun nafas Pancasila dan UUD 1945 tak mengenal penindasan mayoritas dan tirani minoritas. Oleh karena itu mendiskusikan tentang hubungan gereja dan negara di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari diskusi konstitusi, hukum, demokrasi, kebebasan beragama, HAM dan isu-isu sosial.

Bahwa gagasan pemisahan Gereja dan Negara, yang merupakan warisan zaman Renaissance sebagai perlawanan rakyat terhadap dominasi koruptif Gereja atas Negara, sudah tidak cocok lagi. Pemisahan gereja dan negara seringkali pada akhirnya membuat gereja terpisah dan akhirnya terkucil bahkan teralienasi dari kehidupan rakyat. Demokrasi yang menjadi azas pemerintahan modern, termasuk di Indonesia, membuat dominasi koruptif gereja (agama) menjadi tidak mungkin. Tidak mungkin gereja (agama) menjadi penguasa.

Bahwa gagasan pemisahan Gereja dan Negara sudah tidak kontekstual di zaman modern yang demokratis. Baik pemisahan Gereja-Negara maupun dominasi Gereja atas Negara sudah tidak mungkin dilakukan di zaman modern termasuk di Indonesia. Dalam konteks modern, termasuk di Indonesia, yang berlaku adalah model partisipatoris (atau seringkali disebut public participatory), yaitu Gereja yang berpartisipasi secara pro-aktif dalam segala aspek kerakyatan, kenegaraan dan politik.

Inti Sikap GBI tentang Hubungan Gereja dengan Negara

  1. GBI mendukung sepenuhnya NKRI dalam bingkai Pancasila dan UUD 45 dengan semangat kebhinekaan.
  2. Dalam rangka itu GBI harus berpartisipasi aktif dalam dialog kebangsaan lintas agama.
  3. GBI menolak segala bentuk radikalisme dan organisasi masyarakat yang tidak berlandaskan Pancasila dan UUD 45.
  4. GBI berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Implikasi pelayanan pastoral

Pernyataan teologis GBI dalam implementasi tindakan dan pelayanan pastoral terkait hubungan Gereja dan Negara adalah sebagai berikut:

  1. GBI tidak berpolitik praktis.
    Sebaliknya dalam konteks masyarakat modern yang demokratis seperti Indonesia, maka GBI selayaknya berkontestasi mengajukan pemikiran-pemikiran dan keterlibatan-keterlibatan terbaik karena demokrasi memaksudkan bukan sekadar suara terbanyak melainkan kontestasi ide-ide dan keterlibatan-keterlibatan terbaik. Dalam Alkitab terdapat banyak sekali prinsip yang dapat diterapkan dalam masyarakat umum. Contohnya Roma 15:1, tentang orang yang kuat menanggung kelemahan orang yang tidak kuat, yang walaupun konteks aslinya adalah tentang iman, namun dapat diterapkan dalam sistem asuransi kesehatan dan perpajakan. GBI berjuang dalam segala aspek politik suatu negara demi kesejahteraan rakyatnya. Dasarnya adalah karena kita harus (1) mengasihi sesama seperti diri sendiri; (2) melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan; (3) menghadirkan surga di bumi.
  2. GBI perlu untuk membangun dan memiliki program lokakarya-lokakarya bersama para ahli, seperti pengacara, kepolisian, militer, politikus, dll. yang menjadi anggota jemaat GBI, untuk menyamakan persepsi GBI dan menyebarluaskan sikap GBI dalam bidang masing masing. Dalam dunia politik, misalnya, di partai manapun mereka berkarya, mereka membawa misi GBI.
  3. GBI mendukung jemaatnya untuk berpartisipasi aktif dalam kemasyarakatan dalam bentuk apapun termasuk pemilu legislatif maupun eksekutif. Di manapun jemaat berpartisipasi, maka yang didukung bukanlah organisasi masyarakat (ormas) atau partai politiknya (parpol) melainkan misi GBI dalam bingkai sikap teologis GBI mengenai hubungan Gereja dan Negara.
  4. Sikap GBI terhadap masalah-masalah sosial-politik tertentu di negeri ini disuarakan oleh ketua umum GBI atau jurubicara yang ditentukan oleh ketua umum GBI.

Keterkaitan dengan kepejabatan GBI

  1. Sesuai Tata Gereja GBI, setiap Gembala jemaat dan pejabat yang duduk dalam struktur kepemimpinan organisasi GBI tidak boleh mencalonkan diri dalam pemilu baik legislatif maupun eksekutif. Bila ia mencalonkan diri, maka ia harus berhenti dulu dari jabatan yang dia pegang di GBI. Pejabat GBI lainnya (Pdp., Pdm., Pdt.) yang tidak menggembalakan atau duduk dalam struktur kepemimpinan organisasi GBI, dapat mencalonkan diri dalam pemilu baik legislatif maupun eksekutif.
  2. Dukungan sosial-politis pejabat GBI kepada pihak-pihak tertentu (perorangan, ormas atau parpol) hanya boleh dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pribadi dan tidak boleh mengatasnamakan GBI. Dengan demikian, dalam ruang publik terkait dukungan sosial-politik, ia hanya boleh menyebut dirinya sebagai rohaniwan Kristen tanpa membawa kepejabatannya di GBI.
  3. Terkait dengan konteks sosial-politik di daerah yang membutuhkan sikap resmi dari GBI, maka BPD GBI harus mengacu kepada BPH GBI.
  4. Pejabat (Pdp., Pdm. Pdt.) GBI yang mendukung atau terlibat dalam radikalisme maupun ormas-ormas radikal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, akan dikenai sanksi hingga pemecatan oleh BPH GBI.

Referensi

  • Departemen Teologi (2018). Pdt Henky So, MTh, et. al.. ed. Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia: Pasal 11 Hubungan Gereja dengan Negara. Departemen Teologi Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia. 

Lihat pula