Pemulihku (Pdt Chris Silitonga, MEd)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 30 November 2025 08.38 oleh Leo (bicara | kontrib) (baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari

Salah satu alasan banyak orang Kristen tidak mengalami perubahan adalah karena kita sering takut mengkritik diri sendiri. Tetapi hari ini saya berdoa biarlah Firman Tuhan dan Roh Kudus menggugah setiap kita. Sehingga ketika beberapa minggu dari sekarang kita memasuki tahun 2026, kita dapat menjalani tahun yang baru itu mulai hari ini dengan keadaan yang lebih baik.

Shalom, senang sekali bisa bertemu dengan Saudara-Saudara sekalian, jemaat Tuhan yang luar biasa di tempat ini. Selalu menjadi sukacita bisa berada di tengah-tengah Bapak, Ibu, Saudara semua. Kita sekarang semakin mendekati akhir tahun 2025. Bulan November memang masih satu minggu lagi, tetapi kita sudah melihat di mana-mana—di mall, di gereja—hiasan Natal sudah mulai dipasang. Itu berarti tahun ini juga segera berganti.

Hari ini saya mau mengajak kita semua untuk fokus kepada Tuhan. Katakan: fokus pada Tuhan. Izinkan Firman Tuhan untuk berbicara dan menolong kita berani mengevaluasi diri sendiri.

Salah satu alasan banyak orang Kristen tidak mengalami perubahan adalah karena kita sering takut mengkritik diri sendiri. Tetapi hari ini saya berdoa biarlah Firman Tuhan dan Roh Kudus menggugah setiap kita. Sehingga ketika beberapa minggu dari sekarang kita memasuki tahun 2026, kita dapat menjalani tahun yang baru itu mulai hari ini dengan keadaan yang lebih baik. Yang setuju katakan amin. Haleluya!

Tema khotbah hari ini adalah “Pemulihku.”

Salah satu alasan kita tetap menyembah Allah dalam nama Yesus Kristus adalah karena Dia Allah yang setia—Allah yang tidak membiarkan kita jatuh tergeletak, Allah yang selalu rindu memulihkan keadaan kita. Yang mengerti katakan amin.

Firman Tuhan hari ini berpusat pada satu ayat emas, yaitu 1 Korintus 10:13, sebuah ayat yang saya yakin banyak di antara kita sudah hafal.

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatan manusia. Allah itu setia dan tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar sehingga kamu dapat menanggungnya.

1 Korintus 10:13 TB2

Amin!

Saudara, saya kasih sedikit tips. Kalau saya mengajar di COOL atau kelas-kelas KOM, saya selalu bilang: usahakan tetap punya Alkitab cetak—yang bisa diberi garis bawah, stabilo, lingkaran. Kadang kita membaca terlalu cepat sehingga melewatkan kata-kata kunci. Jika memakai Alkitab digital pun tidak apa-apa, tetapi pastikan aplikasinya memungkinkan highlight atau catatan.

Sekarang perhatikan ayat ini. Paulus berkata:

  • “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami…”
  • Tuhan tahu bahwa kita memang sering—atau kadang—atau bahkan saat ini sedang menghadapi berbagai pencobaan, pergumulan, dan masalah. Tuhan tidak tutup mata. Roh Kudus tidak tutup mata. Paulus—sebagai penyampai Firman ini—juga tidak tutup mata. Kita tahu kita menghadapi berbagai persoalan.
  • Tetapi Firman berkata: “…ialah pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatan manusia.”
  • Ya, kita punya persoalan. Tetapi Roh Kudus mengingatkan: itu tidak akan melebihi kekuatan manusia. Katakan amin.

    Karena kita manusia, Allah menjanjikan: sekalipun ada pencobaan, itu tidak akan melampaui kekuatan kita.
  • Perhatikan bagian berikutnya: “Allah itu setia.”
  • Wow. Allah itu setia—Tuhan sayang kepada kita.
  • Tetapi ayat ini juga mengatakan: “…tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu.”
  • Perhatikan tensinya: Tuhan itu setia tetapi tetap membiarkan kita mengalami pencobaan. Ya, Tuhan mengizinkan kita masuk dalam pencobaan. Tapi nanti kita akan melihat kenapa Tuhan mengizinkan itu.

Ini fakta penting:

  • Tuhan setia, tetapi Ia juga mengizinkan kita dicobai.
  • Namun ketika Ia mengizinkan pencobaan, Ia menjamin satu hal: Pencobaan itu tidak akan melampaui kekuatan kita.

Amin!

Sering kali orang Kristen tidak mengerti tensi ini. Kita berpikir bahwa setiap pencobaan pasti buruk; pasti negatif. Padahal sering kali Tuhan memang mengizinkannya—tetapi memberi batasan jelas: tidak melampaui kekuatanmu.

“Tapi, Pak Pendeta, saya merasa pencobaan yang saya hadapi sudah melampaui kekuatan saya! Saya melihat Saudara saya, teman saya—orang yang sungguh-sungguh dalam Tuhan pun mengalami pencobaan yang terlihat melampaui kekuatannya!”

Dengarkan: Jika Firman Tuhan menjamin bahwa pencobaan tidak akan melampaui kekuatan kita, tetapi di kenyataan terlihat “melampaui”, berarti ada sesuatu yang terjadi di luar rencana Tuhan—yaitu respons manusia yang salah.

Dan inilah yang saya temukan dari pengalaman pelayanan: Sering kali Tuhan mengizinkan pencobaan, tetapi karena respons kita tidak tepat, masalah yang seharusnya kecil menjadi eskalatif, semakin besar, berantakan, dan terasa melampaui kekuatan kita.

Tetapi lihat janji berikutnya: Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar sehingga kamu dapat menanggungnya. Bukan menghilangkannya. Bukan menyuruh kita menghindarinya. Bukan menghancurkannya. Tetapi menanggungnya!

Saudara, jika engkau punya pencobaan atau persoalan, Tuhan berkata: Tanggung itu — karena Aku akan memberi kekuatan untuk menanggungnya! Amin!

Ini mungkin bukan khotbah yang kita “ingin” dengar—karena kita maunya sukses, hasil, berkat. Tapi dengarkan baik-baik: dunia hari-hari ini sedang menantikan kesaksian, bukan hanya saat kita berhasil, tetapi saat kita menanggung pencobaan dan tetap kuat di dalam Tuhan.

Semua orang bisa bersaksi saat sukses. Tetapi dunia ingin tahu:

  1. Bagaimana kamu bisa tetap kuat?
  2. Apa yang membuat kamu tetap berdiri?
  3. Siapa yang menopangmu sehingga kamu tidak menyerah?

Itulah kesaksian yang mereka ingin dengar. Mereka ingin melihat bahwa bukan karena kita kuat, tetapi karena ada Allah yang luar biasa, yang kita sembah dalam nama Yesus Kristus—Allah yang memampukan kita menanggung apa pun yang terjadi di dunia ini.

Haleluya!

Konteks 1 Korintus 10

Tapi, Saudara-Saudara, muncul pertanyaan penting: kenapa Rasul Paulus menulis ayat ini? Apa sebenarnya yang terjadi dalam 1 Korintus 10 sehingga nasihat ini keluar?

Sebagai pengajar, saya selalu memberikan konteks terlebih dahulu supaya kita memahami 1 Korintus 10:13 secara utuh. Kalau kita membaca seluruh pasal 10, kita akan melihat alasan kuat mengapa Paulus sampai berkata seperti itu. Dalam 1 Korintus 10, Paulus mengajar jemaat Korintus — dan juga kita saat ini — begini:

“Masih ingatkah kamu tentang bangsa Israel pada zaman Perjanjian Lama? Ketika mereka diperbudak di Mesir, mereka bisa merdeka bukan karena kemampuan mereka sendiri, tetapi karena Allah yang membebaskan mereka. Allah-lah yang menurunkan tulah demi tulah sehingga Mesir menyerah.”

Ketika mereka terhalang oleh laut dan tidak tahu cara membangun jembatan atau kapal, Allah yang membelah laut bagi mereka. Ketika mereka berjalan di padang gurun tanpa tahu cara bercocok tanam atau mencari daging, Allah yang menyediakan roti dari sorga dan burung puyuh untuk dimakan.

Ketika mereka dihadapkan dengan Amalek dan bangsa-bangsa yang ingin memusnahkan mereka, bangsa kecil yang tidak terlatih berperang itu dimenangkan oleh Tuhan. Israel menerima kasih karunia demi kasih karunia — tetapi tetap saja mereka tidak hidup berkenan kepada Allah.

Mengapa? Karena Alkitab mencatat, selama di padang gurun:

  1. Mereka menyembah berhala
  2. Mereka hidup duniawi
  3. Mereka melakukan percabulan (istilah zaman now: free sex)
  4. Mereka bersungut-sungut

Apa itu bersungut-sungut? Sungut-sungut artinya komplain terus tanpa pernah memberi compliment. Kalau Anda mendapat pelayanan buruk di restoran atau hotel, wajar memberi masukan. Tetapi saat pelayanannya baik, kasih pujian juga dong! Banyak orang tanpa sadar hidup dalam pola bersungut-sungut:

  1. Dikasih sop, tanya “kok bukan soto?”
  2. Dikasih nasi, tanya “kok bukan kentang goreng?”

Ada saja negatifnya. Bangsa Israel seperti itu. Sudah dapat makanan gratis dari Tuhan— masih saja protes, “Kok telat turunnya? Sudah jam makan pagi, belum turun juga!” Padahal seluruh jagat raya ini Tuhan urus, bukan cuma Israel seorang.

Karena pola seperti itu, bangsa Israel dinyatakan melawan Kristus. Jangan pikir ketika Perjanjian Lama ditulis, Yesus belum ada. Allah kita adalah Allah Tritunggal — sehingga setiap manifestasi Allah dalam bentuk yang bisa dilihat mata manusia dalam Perjanjian Lama, itu adalah Kristus. Maka Paulus berkata, Israel berdosa kepada Kristus, bukan hanya kepada Allah Bapa.

Dan hari ini, pesan ini ditujukan kepada kita. Kalau kita melakukan apa yang dilakukan orang Israel setelah keluar dari Mesir, kita juga bisa mengalami konsekuensi yang sama.

Seharusnya perjalanan dari Mesir ke tanah perjanjian tidak butuh 40 tahun. Dengan lima juta orang berjalan kaki, maksimal empat tahun cukup. Kalau cuma bertiga seperti Yusuf-Maria-Yesus, empat hari pun selesai. Tapi mereka memerlukan 40 tahun — bahkan generasi yang keluar dari Mesir tidak ada yang masuk tanah perjanjian, kecuali Yosua dan Kaleb.

Kenapa? Karena respon mereka salah. Padang gurun seharusnya mudah ditanggung, tetapi karena respon yang keliru, penderitaan mereka menjadi lebih panjang, masalah semakin besar, dan hidup mereka berputar-putar.

Hari ini, seperti yang saya katakan sebelumnya, biarlah Firman Tuhan ini menjadi “otot kritik” dalam hidup kita — agar kita tidak membuat masalah yang seharusnya kecil menjadi besar hanya karena respon kita salah. Yang setuju katakan amin.

Respons: Pelajaran dari perjalanan bangsa Israel

Lalu apa yang harus menjadi respon kita? Belajar dari Israel:

#1 Jangan menginginkan hal yang jahat

Jangan merespons masalah dengan hal yang jahat.

1 Korintus 10:6 berkata:

Semua yang dialami Israel terjadi sebagai contoh untuk memperingatkan kita, supaya jangan kita menginginkan hal-hal yang jahat seperti mereka.

Jangan membalas tamparan dengan tamparan. Jangan balas umpatan dengan umpatan. Jangan tambahkan masalah ketika sedang menghadapi masalah. Dan kalau kita tidak mengerti rencana Tuhan, jangan protes, tetapi tanya Tuhan.

Ketika ada hal yang tidak enak terjadi, jangan membalas dengan hal-hal yang tidak enak. Carilah madu dari Tuhan — kecaplah betapa manisnya Dia. Banyak orang Kristen jatuh bukan karena persoalan itu sendiri, tetapi karena respon yang salah.

Saya pernah bertanya kepada seseorang yang dulu aktif sebagai guru sekolah minggu, tetapi kini meninggalkan pelayanan bahkan sudah menikah dengan orang yang tidak percaya Kristus. Saya tanya, “Kenapa kamu tinggalkan pelayanan dan menikah dengan yang tidak seiman?”

Ia menjawab, “Ya gimana, Pak. Saya perempuan, umur sudah bertambah. Hanya dia yang mau sama saya. Dia janji saya tetap boleh ibadah hari Minggu.”

Dulu memang diizinkan. Tapi sekarang? Tidak boleh lagi.

Saya mau bicara kepada anak muda: jangan termakan janji manis playboy kampungan.

Janji-janji seperti itu hampir selalu tidak terbukti. Pelayanan kami menemukan lebih dari 90% kasus demikian—akhirnya tidak gereja lagi, dan hidup rohaninya runtuh. Bahkan ada yang berdalih, “Saya harus taat pada suami.” Kalau suamimu bilang, “Jangan lagi sembah Yesus,” apakah engkau akan taat? Tentu tidak.

Contoh lain: Pinjaman online ilegal. Pinjam sana, pinjam sini, jatuh dalam jerat utang.

Padahal Tuhan berkata: tidak akan melampaui kekuatanmu. Masalahnya bukan pada pencobaannya; responnya yang salah.

Tuhan itu baik. Tuhan menjamin pencobaan tidak melampaui kekuatan kita. Tetapi jangan sampai kita sendiri yang membuat pencobaan itu menjadi eskalatif. Amin!

Kesaksian saya bersama istri di awal tahun ini: mobil kami ditabrak cukup hebat di jalan tol. Kejadiannya saat kami hendak menuju rumah sakit karena adik kandung saya — saya anak pertama, dia anak kedua — mengalami serangan stroke untuk ketiga kalinya. Fungsi otaknya sudah turun hingga 20%, dan kami tidak tahu bagian mana dari otaknya yang masih bekerja. Dokter berkata, “Kalau alat penopang kehidupan terus dipasang, pasti meninggal. Tetapi kalau dicabut, kemungkinan hidup atau mati — tergantung sisa otak 20% itu mengatur apa.”

Saudara, saya ini pendeta, tetapi adik perempuan satu-satunya tetaplah adik saya. Saya dan istri segera menuju rumah sakit di Serpong melewati tol yang baru, yang ujungnya ke arah bandara. Hari itu hujan deras. Istri saya menyetir dengan normal di jalur lambat. Saya berdoa dan bergumul sambil menenangkan hati, mengingat kondisi adik saya.

Tiba-tiba, tanpa kami duga, mobil kami ditabrak sangat keras dari sebelah kiri. Ternyata sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari bahu jalan. Beberapa detik sebelumnya istri saya sempat bingung, “Ini mobil mau ngebalap dari bahu jalan? Padahal jalur tengah dan kanan itu kosong.” Kami pun terserempet sangat kuat hingga mobil terdorong pindah jalur. Istri saya kehilangan kendali. Saya pegang setir, mencoba mengembalikan mobil ke jalur lambat agar tidak ditabrak kanan-kiri. Namun mobil tetap melaju ke arah tembok pembatas tol.

Puji Tuhan, semua fitur keselamatan mobil aktif — lane keeping assist, crash control, dan lainnya. Hanya airbag saja yang tidak keluar.

Setelah mobil berhenti, kami lihat mobil yang menabrak juga berhenti. Ternyata itu mobil TNI. Begitu kaca dibuka, kami tidak memaki atau mengumpat. Kami hanya berteriak, “Kalau nyetir yang benar dong, Pak! Ini kami mau ke rumah sakit!” Itu saja. Padahal “Chris yang lama” dan “istri saya yang lama” mungkin sudah mengeluarkan semua nama binatang Ragunan, Taman Safari, National Geographic, Discovery Channel, semuanya keluar! Tapi kami memilih tidak menginginkan hal yang jahat.

Akhirnya sopir TNI itu mengakui kesalahannya dan berkata, “Saya salah, Pak. Saya kawal Bapak dan Ibu sampai rumah sakit.” Dan benar, kami dikawal sampai ke rumah sakit. Ia bahkan menyerahkan mobilnya untuk kami pakai selama sebulan penuh, lengkap dengan surat-suratnya. Kami sempat bercanda, “Sayang juga ya, mobil ini enak banget. Ada wuk-wuk tot-tot-nya juga tidak ya?”

Tapi, Saudara, bayangkan kalau kami tadi memaki, marah-marah, atau memukul. Urusan pasti lebih runyam, karena siapa yang berani menghadapi aparat? Dan bagaimana dengan kondisi adik saya?

Alatnya dicabut — dan adik saya selamat. Sampai hari ini ia masih menjalani pemulihan. Haleluya!

Poin saya adalah: dalam tekanan sebesar itu pun, kami menahan diri agar masalah tidak menjadi eskalatif. Tegurlah bila perlu, tetapi jangan melampaui batas. Jangan membuat persoalan menjadi semakin rumit.

Bahkan setelah tahu kami pendeta, anggota TNI itu makin sungkan dan berkata, “Pak, boleh doakan saya? Saya mau dikirim pasukan PBB.” Kami doakan. “Sekalian naik pangkat ya, Pak.” Dia jawab, “Amin, Pak!” Akhirnya malah jadi bersahabat.

Inilah maksud Firman Tuhan: apa pun yang terjadi, jangan menginginkan hal yang jahat.

#2 Jangan overconfidence – menganggap diri kuat

1 Korintus 10:12 berkata:

Sebab itu siapa yang menyangka ia teguh berdiri, berhati-hatilah supaya ia jangan jatuh.

Ini terutama untuk yang “kepala empat ke atas”—para senior dalam ruangan ini. Jangan merasa kuat hanya karena pengalaman hidup Anda panjang. Anda mungkin berkata: “Ah, saya sudah lewat tahun 98, lewat 2009, lewat demo kemarin. Bahkan yang lebih tua bilang: Malari saya alami, G30S PKI saya jalani. Saya sudah pernah melewati semuanya.”

Hati-hati. Orang Israel pun jatuh karena berpikir dirinya kuat. Hati-hati kalau masih berkata: “Tenang aja, saya kenal orang dalam.” “Ah, gampang, saya atur.” “Gue tahu siapa yang bisa beresin.” Justru pola pikir inilah yang bisa membuat persoalan tambah rumit.

Semakin usia bertambah, seharusnya kita menengok ke belakang dan berkata: “Kalau saya sampai hari ini, itu semua karena tangan Tuhan yang menopang saya.”

Semakin tua, seharusnya kita semakin berdoa: “Bapa, pegang tanganku… Bapa, kurindu selalu berada dekat-Mu…” Itulah sikap yang benar.

Confidence boleh, tetapi overconfidence membawa kejatuhan.

Karena itu, apa pun masalah yang timbul, mintalah Tuhan memegang hidup kita lebih erat daripada sebelumnya.

Amin!

3. Percaya pada pemeliharaan, perlindungan, dan pemulihan Tuhan

Yang ketiga — berdasarkan ayat 13 — apa pun yang terjadi dalam hidup kita, tetaplah percaya pada pemeliharaan Tuhan. Percaya bahwa Ia memulihkan. Tuhan berjanji pencobaan tidak akan melampaui kekuatan kita.

Seperti disampaikan di awal:

  1. Tuhan bisa mengizinkan pencobaan, tetapi bukan untuk menjatuhkan kita — untuk mendewasakan kita. Untuk membentuk respon yang benar.
  2. Kalau seseorang terus menghadapi persoalan yang sama berulang-ulang, kemungkinan responsnya terus salah. Ia belum “naik kelas”.

Tuhan tidak akan memberikan ujian baru kalau ujian lama saja belum lulus. Tuhan akan “remedial” terus sampai kita menang.

Karena itu, pahami benar: Ketika Tuhan mengizinkan, bukan berarti Ia setuju atau Ia yang memberikan pencobaan itu. Izinkan tidak sama dengan menyetujui.

Contohnya perceraian: Yesus berkata perceraian “diizinkan” dengan alasan porneia (perzinahan) — tetapi bukan disukai Tuhan. Itu diizinkan demi melindungi janda/duda/anak-anak secara hukum, tetapi bukan kehendak Allah sejak awal.

Demikian juga pencobaan: Tuhan mengizinkan, tetapi bukan berarti Tuhan menyetujui atau memberikan pencobaan itu. Tuhan mengizinkan karena ada maksud — untuk membentuk, menguatkan, dan memulihkan. Amin!

Perhatikan apa yang dikatakan di Yakobus 1:13-14,

Apabila seseorang dicobai, janganlah ia berkata: "Aku sedang dicobai oleh Allah." Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun. Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.

Artinya, ketika Tuhan mengizinkan kita berada dalam pencobaan, Tuhan ingin melihat apakah kita akan terseret oleh keinginan kita sendiri, atau memilih mengikuti keinginan Tuhan. Kalau kita jatuh, itu karena pilihan dan keputusan kita, bukan karena Tuhan menjatuhkan kita. Yang setuju katakan amin.

Camkan ini: setiap kita selalu akan diuji dalam dua area utama:

  1. apa yang kita sukai, dan
  2. apa yang membuat kita marah.

Engkau suka apa? Di situ engkau akan dicobai.

  1. Suka makan? Akan diuji sampai seberapa jauh engkau mengorbankan hidupmu hanya demi makanan.
  2. Suka uang dan harta? Akan diuji sampai seberapa jauh engkau mengejar kekayaan, bahkan apakah engkau mengorbankan keluarga atau hidupmu.
  3. Anak muda, engkau suka idol-K-pop? Engkau akan diuji: sampai sejauh mana engkau menghabiskan waktu, belajar, uang jajan, dan fokusmu demi mengejar idol itu.
  4. Apa yang membuatmu marah?
  5. Apa yang membuatmu tersinggung?

Engkau yang biasanya air tenang, kalau disentuh hal tertentu bisa berubah jadi saluran udara tegangan tinggi. Di situ engkau diuji. Selama engkau belum menang di area itu, engkau akan berjumpa lagi dengan persoalan yang sama di mana pun engkau berada.

Hari ini, mari berani mengkritik diri sendiri dan mengevaluasi hidup kita. Tuhan sayang kepada kita. Kalau jatuh dalam dosa, bertobatlah, minta ampun, dan berjanji tidak mengulang lagi. Tuhan itu setia. Ia berjanji memulihkan kita.

1 Yohanes 1:9 berkata,

Jika kita mengaku dosa kita, Ia setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.

Amin!

Pemulihan untuk Petrus

Saya tutup dengan ini. Suatu kali saya membaca kembali kisah Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Kita semua tahu cerita ini. Yesus mengatakan bahwa Ia akan ditangkap, disiksa, diadili secara ilegal, lalu mati di kayu salib.

Yesus berkata, “Malam ini iman kalian akan goyah.”

Petrus dengan impulsif menjawab, “Yang lain boleh tinggalkan Engkau, tetapi saya tidak. Kalau perlu saya mati bersama Engkau, Tuhan.”

Tetapi Yesus berkata, “Petrus, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal Aku tiga kali.”

Empat Injil mencatat hal ini. Tidak semua peristiwa dicatat oleh keempat Injil sekaligus, tetapi kisah ini sepakat dicatat dalam keempat Injil (Matius 26; Markus 14; Lukas 22; Yohanes 18). Artinya penting sekali! Lalu apa maksud “ayam berkokok”?

Ayam berkokok berarti matahari terbit, hari baru dimulai. Petrus menyangkal Yesus sampai tiga kali, dan tepat setelah penyangkalan ketiga, ayam berkokok. Artinya, hari baru dimulai — dan menurut Ratapan 3:22-23:

Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya. Selalu baru setiap pagi; besar kesetiaan-Mu.

Bayangkan dua kebenaran ini:

  1. Petrus jatuh malam itu.
  2. Tetapi pagi hari, saat ayam berkokok, Tuhan sudah menyediakan kasih dan pengampunan yang baru bagi Petrus.

Petrus hanya perlu datang kepada Tuhan dan meminta dipulihkan.

Renungkan ini:

  1. Apa yang engkau lakukan semalam?
  2. Apa kesalahanmu?

Namun pagi tadi matahari terbit di atas Bogor, di atas pegunungan Jawa Barat — untukmu. Itu tanda bahwa kasih setia Tuhan baru setiap pagi. Bahkan kalau malam ini engkau jatuh lagi, besok pagi matahari akan terbit — dan Tuhan sudah menyiapkan kasih karunia yang baru untukmu. Kita perlu datang kepada Tuhan dan berkata, “Tuhan, ampuni aku.”

Inilah sebabnya ketika kabar itu sampai pada Minggu pagi, bahwa kubur Yesus kosong, Petrus yang pertama berlari mencari Dia. Ketika Yesus menampakkan diri di pinggir Danau Galilea, Petrus yang mencemplungkan diri berenang mendekati-Nya.

Ia butuh kasih karunia Yesus. Ia ingin minta ampun, tetapi ia bingung harus memulai dari mana — karena ia ingat perkataan gurunya:

“Yang menyangkal Aku di hadapan manusia, Aku pun akan menyangkal dia di hadapan Bapa dan para malaikat.”

Petrus menyangkal tiga kali… “Habis aku,” pikirnya. Namun lihat betapa lembutnya Tuhan Yesus. Yesus bertanya tiga kali:

  1. “Petrus, apakah engkau mengasihi Aku?”
  2. “Petrus, apakah engkau mengasihi Aku?”
  3. “Petrus, apakah engkau mengasihi Aku?”

Dan di pinggir Danau Galilea, Yesus memulihkan panggilan Petrus — panggilan yang dulu Ia berikan, untuk menjadi penjala manusia.

Hari ini, Bapak, Ibu, Saudara: bila engkau pernah buat salah kepada Tuhan, jangan keraskan hati. Akuilah kesalahanmu. Jangan overconfidence. Tetap percaya kepada Tuhan!

Pemulihan demi pemulihan akan Tuhan kerjakan dalam hidupmu. Segala perkara dapat engkau tanggung, karena Dia yang memberi kekuatan.

Amin!

Nyanyi:

Yang membelah laut
Yang teduhkan badai
Yang mustahil pun terjadi
Kar'na kuasa-Mu

Yang pegang hidupku
Yang buka jalan bagiku
Kau pembuat mukjizat sejati