Perayaan Natal (Sikap Teologis GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 8 Maret 2024 02.14 oleh Leo (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari

Berkenaan dengan adanya beberapa gereja yang tidak mau mengadakan ibadah/perayaan Natal dengan alasan perayaan Natal berasal dari perayaan kafir, maka berikut ini penjelasan pandangan GBI terhadap perayaan Natal.

A. Asal-Usul Perayaan Natal

Kapan persisnya Yesus dilahirkan, yaitu tanggal dan bulannya, tidak kita ketahui pasti, namun umumnya dipahami perayaan Natal adalah upaya mengkristenkan atau mengambil alih budaya non-Kristen (kafir), yaitu festival Romawi yang disebut Dies Natalis Solis Invicti, yang berarti 'Hari Kelahiran Matahari yang Tak Terkalahkan' yang dimulai oleh kaisar Romawi Aurelius pada tahun 274 M. Perayaan ini dilakukan pada titik balik matahari di musim dingin (winter solstice)[1], yang jatuh pada tanggal 25 Desember.

Di masa pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung yang menjadi Kristen sejak tahun 325 M, gereja menjadikan perayaan ini sebagai hari kelahiran Yesus, sang 'surya kebenaran' (Mal. 4:2), 'surya pagi dari tempat tinggi (Luk. 1:78). Dengan demikian fokus penyembahan kepada matahari diganti menjadi penyembahan kepada Tuhan yang menciptakan matahari. Jika pun seandainya tanggal 25 Desember diambil alih dari hari raya Kelahiran Matahari, pengalihan Kristus sebagai Sang Matahari Kebenaran memiliki dasar Alkitabiah.

Matahari sendiri adalah ciptaan Tuhan yang diciptakan untuk menerangi bumi (Kej. 1:14-18), matahari bukanlah dewa ataupun pencipta. Sekalipun manusia menyembah matahari, hal itu tidak mengubah apapun dari matahari baik secara esensial maupun substansial! Penyembahannya-lah yang keliru (Ul. 4:19). Menurut Paulus “tidak ada berhala di dunia” (I Kor. 8:4), karena patung ataupun matahari walaupun disembah oleh manusia, sebetulnya hanyalah benda mati yang tidak memiliki kekuatan adikodrati apapun. Bahkan mengambil alih hari raya Matahari menjadi hari raya Kelahiran Yesus Kristus tidaklah membuat orang-orang Kristen yang merayakannya menjadi penyembah matahari.

Namun berdasarkan tradisi yang lebih tua, Natal jatuh pada tanggal 25 Desember bukan karena mengkristenkan budaya kafir, tapi karena dihitung 9 bulan penuh dari tanggal 25 Maret, ekuinoks muda (vernal equinox), di mana Hari Annunciation (pemberitaan malaikat bahwa Maria akan mengandung Mesias, yang diyakini menjadi momen penyemaian atau konsepsi) dirayakan oleh Gereja di Eropa. Orang orang Yahudi meyakini bahwa tanggal 14 Nisan dalam almanak Yahudi adalah hari penciptaan, sekaligus hari Keluaran dari Mesir dan sekaligus Paskah. Dan paralel dengan itu, orang-orang Kristen meyakini bahwa awal konsepsi dan kematian Yesus, juga terjadi pada tanggal 14 Nisan yang dalam almanak Julian (yang ditetapkan oleh kaisar Julius Caesar pada tahun 45 SM), jatuh pada tanggal 25 Maret. Tanggal-tanggal itu berkaitan dengan musim-musim yang dipengaruhi oleh matahari.

Ini berarti penetapan perayaan Natal pada tanggal 25 Desember oleh Gereja kuno lebih tua atau lebih dahulu daripada perayaan penyembahan Dewa Matahari. Beberapa bukti historis yang dapat diajukan, misalnya: a) Irenaeus (130-202) dalam bukunya Adversus Haereses (Melawan Para Sekte) menuliskan bahwa pembuahan bayi Yesus terjadi pada tanggal 25 Maret dan Ia disalibkan pada tanggal 25 Maret, dengan mengaitkan kematian-Nya pada saat ekuinoks dan kelahiran-Nya 9 bulan kemudian pada saat solstis musim dingin. b) Hippolytus dari Roma pada tahun 204 menyatakan hal yang serupa. c) Sextus Julius Africanus dan juga Cyprianus menuliskan bahwa tanggal 25 Maret adalah hari Penciptaan sekaligus hari Konsepsi Bayi Yesus. Bila secara historis perayaan Natal (kelahiran Yesus Kristus) ada lebih dahulu, bahkan jauh lebih awal, maka hari raya Natal pada tanggal 25 Desember bukanlah sebuah upaya kristenisasi dari hari raya Matahari orang-orang Romawi non-Kristen. Bahkan sebaliknya, adalah mungkin bahwa hari raya Matahari adalah sebuah upaya romanisasi dari Hari raya Natal.

B. Makna Teologis Perayaan Natal

GBI memandang bahwa merayakan Natal - walaupun tidak disebutkan dalam Perjanjian Baru seperti Paskah - secara esensial tidaklah keliru. Jangan kita memaksakan penafsiran ayatiah, sehingga bila tidak ada ayat pendukungnya (proof text) itu dianggap keliru dan tidak boleh dilakukan, padahal secara esensial itu justru Alkitabiah. Sekalipun tanggal persisnya tidak disebutkan di dalam Alkitab, tapi yang jelas secara historis Yesus benar-benar pernah dilahirkan. Jadi merayakan kelahiran-Nya tidak masalah justru bagus, dan merayakan kelahiran-Nya tidak tepat di tanggal 25 Desember tapi misalnya di awal Desember atau Januari pun tidak masalah.

Merayakan Natal berarti:

  1. Memuliakan Allah (Latin: gloria Dei) yang telah melawat umat manusia untuk memberikan keselamatan melalui Yesus, Allah yang mengambil rupa manusia (Fil. 2:6-7), dan lahir sebagai bayi dari rahim seorang wanita.
  2. Memberitakan firman Allah (verbum Dei). Gereja menyampaikan kabar baik yang memberikan pengharapan kepada dunia yang penuh kegelapan. Jadi dalam perayaan Natal berita Injil harus dikumandangkan dengan jelas.
  3. Melaksanakan misi Allah (missio Dei), yakni membawa pengampunan, keselamatan dan damai kepada dunia. Gereja dipanggil berpartisipasi atas pergumulan umat manusia.
  4. Meneladani kesederhanaan ilahi, karena Allah pencipta semesta rela menjadi manusia dengan lahir dalam kandang hina. Oleh karenanya perayaan Natal selayaknya bukanlah pesta-pora, karena Alkitab menentang hal tersebut (Luk. 21:34; Rom. 13:13).
  5. Mengajak kita untuk hidup berbagi dengan orang-orang lain, tidak berperilaku konsumtif dalam kemewahan dan memuaskan diri sendiri, karena Kristus, Anak Allah, rela berbagi kehidupan Nya kepada semua umat manusia (Yoh. 3:16).

Inti Sikap GBI tentang Perayaan Natal

  1. GBI menerima perayaan Natal karena Yesus sang pencipta matahari benar-benar pernah dilahirkan. Tanggal kelahiran bukan hal yang utama.
  2. GBI menegaskan bahwa penekanan perayaan Natal bukanlah pada pestanya, tapi pada sikap bersyukur karena sang Juruselamat telah dilahirkan. Perayaan Natal menjadi kesempatan mengundang banyak orang mendengar berita Injil. Di samping itu, Natal juga menjadi kesempatan kita untuk berbagi kasih dan keperdulian kepada orang-orang yang membutuhkan.

Catatan kaki

Sumber

  • Departemen Teologi (2018). Pdt Henky So, MTh, et. al.. ed. Sikap Teologis Gereja Bethel Indonesia: Pasal 9 Perayaan Natal. Departemen Teologi Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia.