Dinamika kesembuhan Ilahi (Sikap teologis)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 22 November 2022 05.38 oleh Leo (bicara | kontrib) (Penggantian teks - " " menjadi " ")
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo OSP.png
Sikap teologis
GBI Jalan Gatot Subroto
Tanggal30 Agustus 2020
Penulis‑1Pdt Jaliaman Sinaga, MDiv
Penulis‑2Pdm Dr Dony Lubianto, MTh
Video Voice of Pentecost 15 (Leonel Steffano )
Unduh Unduh OSP

Situasi pandemi COVID-19 telah menyebabkan banyak perubahan termasuk di dalamnya pemahaman, cara pandang dan cara berpikir seseorang dalam berteologi, secara khusus dalam upaya menyikapi dan menyelaraskan diri dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Salah satunya adalah terkait dengan Kesembuhan Ilahi. Dalam situasi di mana banyak korban yang jatuh sakit baik karena pandemi maupun sakit penyakit lainnya, memicu orang untuk berpikir secara kritis mengenai pelayanan kesembuhan ilahi. Beberapa pertanyaan yang kemudian berkembang adalah apakah pelayanan kesembuhan ilahi itu sungguh Alkitabiah? Apakah setiap orang sakit bila didoakan semuanya sembuh? Bagaimana dengan orang yang tidak sembuh bahkan setelah didoakan? Mengapa ada hamba-hamba Tuhan yang seringkali terlibat atau aktif dalam pelayanan kesembuhan ilahi namun ikut menjadi korban COVID-19? Apakah pelayanan kesembuhan Ilahi masih relevan pada zaman now? Apa yang harus dilakukan Gereja di tengah situasi dan kondisi yang sedang terjadi?

I. Kesembuhan ilahi

Kesembuhan ilahi adalah perbuatan Allah kepada setiap orang yang sedang sakit, sehingga mengalami kesembuhan. Kesembuhan ini terjadi secara supranatural. Johanes Lilik Susanto dalam disertasinya menyatakan bahwa dalam memahami kesembuhan ilahi perlu memperjelas definisi istilah tersebut. Kesembuhan melibatkan kesatuan dan harmoni antara elemen fisik, mental dan spiritual[1], sedangkan “sakit” adalah sebuah kondisi disebabkan oleh kerusakan seperti penyakit, kecelakaan atau musibah/bencana. Dalam penggunaan kata secara umum, “penyakit” harus dihancurkan dan “sakit” harus disembuhkan. Lebih lanjut Johanes menguraikan bahwa “kesembuhan natural” merupakan metode penyembuhan yang dilakukan sesuai dengan kasusnya, terlepas (dengan atau tanpa) cara. Cara yang dimaksud mungkin berarti dengan cara menggunakan obat-obatan, transfusi darah, terapi, tindakan operasi, dan lain sebagainya. Kesembuhan natural tanpa menggunakan cara pengobatan adalah dengan cara tidur atau beristirahat, membiarkan tubuh kita menyembuhkan/memulihkan dirinya sendiri secara natural.[2] Sedangkan kesembuhan ilahi adalah istilah yang umum digunakan dalam komunitas Kristen sekarang ini yang menunjuk kepada pekerjaan Allah Tritunggal yang supranatural dan ajaib yang menyatakan kesembuhan dari semua jenis kesakitan dan atau kelemahan dari tubuh, jiwa atau keduanya tanpa menggunakan cara yang natural (alamiah). Alkitab memberikan kesaksian bahwa baik secara natural maupun supranatural, keduanya adalah ilahi karena secara langsung dikerjakan oleh Allah sendiri (Mazmur 103:3; Kisah 3:12-16). Dalam penyediaan-Nya, Allah secara konstan dan ontologis bersentuhan langsung dengan segala sesuatu baik dalam dunia natural maupun supranatural (Ayub 1:10-12; 2:5-7; Mazmur 104:3-4, 27-30; Yunus 1:4, 17; 2:10; Matius 10:28-30; Kisah 17:28). Perbedaan sifat “Ilahi” dalam kesembuhan natural dan supranatural adalah bahwa dalam kesembuhan natural adalah penyediaan secara umum (general providence), sedangkan dalam kesembuhan supranatural adalah penyediaan secara khusus (special providence). Kata sifat “Ilahi” dalam kesembuhan ilahi secara eksplisit menyoroti Allah sebagai yang membuat kesembuhan terjadi.[3]

II. Pelayanan kesembuhan ilahi apakah alkitabiah?

Dalam Alkitab ada ratusan ayat Alkitab yang merupakan janji Tuhan bagi kesembuhan umat-Nya.[4] Dalam Perjanjian Lama misalnya kita melihat beberapa contoh peristiwa kesembuhan Ilahi, antara lain: Pengalaman Naaman yang disembuhkan dari penyakit Kusta (2 Raja-Raja 5:1-27), kisah Raja Hizkia yang disembuhkan (2 Raja-Raja 20:1-11; Yesaya 38:1-7), seorang janda di Sarfat memiliki anak yang sakit keras (1 Raja-raja 17:17-23), perempuan Sunem yang tidak memiliki anak, dan suaminya sudah tua (2 Raja-raja 4:18-37). Dalam Perjanjian Baru tentu lebih banyak lagi. Dalam Injil Matius dijelaskan, bahwa Yesus mengajar dan menyembuhkan dan melenyapkan segala penyakit.

“Yesuspun berkeliling di seluruh Yudea; Ia mengajar dalam rumah ibadat memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu.” (Matius 4:23).

Pelayanan Yesus dalam ayat di atas memberikan beberapa pelajaran yakni, Yesus dalam pengajaran-Nya berpusat pada Injil Kerajaan Allah dan untuk menguatkan pengajaran-Nya, Yesus melakukan mukjizat dengan melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.

Injil Markus melaporkan pelayanan Yesus dalam kesembuhan ilahi, salah satunya seperti yang terdapat dalam Markus 1:40-45. Bagaimana Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta, yaitu penyakit yang dianggap kutukan oleh orang Yahudi. Setiap orang yang kena kusta, akan dikucilkan dari tengah masyarakat Yahudi. Karena belas kasihan Yesus, Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu, maka seketika itu juga lenyaplah penyakit orang itu dan ia menjadi tahir.

Pada Injil Lukas dan Yohanes juga dicatat bagaimana Yesus menyembuhkan hamba perwira di Kapernaum dan penyembuhan anak pegawai istana (Lukas 7:1-10; Yohanes 4:46-54). Keempat Injil mencatat pelayanan kesembuhan ilahi yang dilakukan oleh Yesus. Bukan hanya itu, Yesus juga melatih murid-murid-Nya untuk melakukan pelayanan kesembuhan ilahi, tidak hanya kepada dua belas murid, juga kepada ketujuh puluh murid lainnya (Lukas 10:1, 19). Tentunya ada begitu banyak peristiwa mujizat kesembuhan ilahi lainnya yang dinyatakan dalam Injil, baik melalui pelayanan Yesus, maupun dalam Kisah Para Rasul melalui pelayanan para Rasul.

Insan Pentakosta percaya bahwa kesembuhan ilahi dimungkinkan terjadi karena korban Yesus di atas kayu salib (Yesaya 53:1-5) dan bahwa mujizat tetap terjadi sampai sekarang karena Allah masih terus bekerja menyatakan perbuatan-Nya yang ajaib melampaui kemampuan manusia dan hukum alam. Pengajaran Injil sepenuhnya yang dipahami oleh insan pentakosta, berpusat kepada Pribadi Yesus yang adalah Juru Selamat (Savior), penyembuh (healer), Pembaptis dengan Roh Kudus (Holy Spirit Baptizer), yang menguduskan kita (Sanctifier), dan Raja yang akan datang kembali (Soon Coming King).[5] Jadi jelaslah bahwa kesembuhan ilahi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pemberitaan Injil Yesus Kristus.

III. Pelayanan kesembuhan ilahi melalui doa

Pelayanan kesembuhan ilahi ini dapat dilakukan melalui doa baik oleh hamba Tuhan, maupun pribadi si penderita tersebut. Kesembuhan Ilahi juga sering terjadi dalam Kebaktian Kebangunan Rohani, di mana saat doa kesembuhan dilakukan, banyak orang yang sakit mengalami jamahan kuasa Roh Kudus dan mengalami kesembuhan.[6]

Apakah semua yang sakit dan didoakan pasti mengalami kesembuhan? Janji Tuhan “ya” dan “amin”, Tuhan menyediakan kesembuhan ilahi melalui korban Kristus di atas kayu salib. Dengan demikian, jika ada yang belum mengalami kesembuhan setelah didoakan, letak persoalannya bukan pada janji Tuhan-nya, melainkan pada faktor yang lain. Kalau begitu mengapa ada yang tidak mengalami kesembuhan dalam pelayanan kesembuhan ilahi? Forum Teolog GBI dalam pemaparan mengenai Pandangan Alkitab tentang penyakit, menjelaskan beberapa fakta tentang penyakit[7], yakni:

  1. Relasi penyakit dan akibat dosa. Penderitaan dan penyakit yang dialami manusia tidak dapat dipisahkan dari realitas kejatuhan umat manusia ke dalam dosa melalui Adam dan Hawa.
  2. Relasi penyakit dan hukuman Allah. Berulangkali diungkapkan pengakuan umat Israel bahwa Tuhan menjatuhkan hukuman atas ketidaktaatan mereka dengan menggunakan penyakit.
  3. Relasi penyakit dan perijinan dalam kedaulatan Tuhan. Kisah tulah-tulah di Mesir merupakan karya dan perbuatan Allah (Keluaran 7:10-12). Tuhan melakukan pembiaran untuk menyebarnya penyakit sampar yang dahsyat dan barah (Keluaran 9:3, 6, 9, 11). Kematian akibat berbagai penyakit itu ditimpakan ke penduduk Mesir.
  4. Relasi penyakit dan kejahatan iblis. Dalam pelayanan yang Yesus lakukan, Ia menghadapi banyak orang yang diganggu oleh roh-roh jahat dan karenanya menderita sakit (Markus 9:25). Namun tidak semua yang sakit menderita karena gangguan roh-roh jahat. Baik atas orang yang sakit karena gangguan roh-roh jahat maupun yang bukan karena gangguan roh-roh jahat, Yesus memulihkan mereka semua (Matius 11:4, 5; Markus 7:37; Lukas 7:22).
  5. Penyakit karena ulah manusia yang tamak, serakah, korup, dan destruktif. Alkitab mengatakan bahwa ada penderitaan dan kesukaran, bukan karena hukuman Allah dan serangan kuasa iblis atau setan, tetapi semata-mata karena ulah manusia. Manusia dicobai oleh keinginannya yang jahat (Yakobus 1).

Sesuai dengan uraian singkat di atas, maka salah satu pra-syarat untuk mengalami kesembuhan adalah bahwa perlu adanya penyelesaian terhadap faktor ‘X’ yang berelasi dengan sakit penyakit terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan adanya keterbukaan, pengakuan dosa, permohonan dan saling mendoakan dengan iman, sebagaimana dinyatakan dalam Yakobus 5:14-16:

“Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.”

Pelayanan kesembuhan ilahi adalah merupakan bagian dari pelayanan gereja, namun gereja bukanlah penyembuh. Gereja dalam hal ini para hamba Tuhan yang melayani hanyalah sebagai alat di tangan Tuhan. Bila penderita sakit yang didoakan sembuh, maka yang menyembuhkan adalah Tuhan Yesus sendiri. Sikap menghakimi dengan memberikan stigma “tidak beriman” bagi orang yang didoakan dan tidak sembuh, harus dijauhi. Karena orang yang sakit namun tetap berpegang pada firman-Nya juga dapat menjadi kesaksian akan ketekunan iman, bagaimana seseorang tetap memuliakan Tuhan sekalipun dalam kesakitannya. Lagipula, ada orang yang mengalami kesembuhan

Ilahi secara langsung pada saat didoakan yang pertama kali, namun ada juga yang mengalami kesembuhan setelah dikunjungi dan didoakan beberapa kali, bahkan ada yang baru sembuh setelah melalui proses pastoral konseling dan pemulihan jiwa terlebih dahulu, kemudian kesembuhan secara fisik terjadi.

IV. Pelayanan kesembuhan ilahi dan realitas pandemi COVID-19

A. Pelayanan kesembuhan ilahi di tengah protokol kesehatan yang ketat

Tidak dapat disangkal pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia telah merenggut banyak korban, baik yang meninggal maupun yang terjangkit. Apakah pelayanan kesembuhan ilahi masih relevan? Perintah Tuhan yang tertulis di Alkitab untuk mendoakan orang sakit tidak pernah dicabut, bahkan merupakan bagian yang integral dengan penginjilan (Matius 10:8; Markus 6:13; Lukas 9:2, 10:9; Kisah 3:6-8; Kisah 4:29-31). Namun dalam realitas pandemi COVID-19, tentu kita tidak bisa dengan serampangan melakukan pelayanan Kebaktian Kesembuhan Ilahi dengan mengumpulkan ratusan bahkan ribuan penderita COVID-19, baik dalam lapangan terbuka maupun ruangan tertutup. Kita tidak juga dengan leluasa masuk ke ruang perawatan isolasi khusus penderita COVID-19 dan mendoakan agar mereka mengalami kesembuhan, sebab semua sudah ada protokol kesehatan secara ketat yang diatur oleh pemerintah pusat dan daerah. Pelanggaran terhadap protokol ini berarti melawan pe merintah (Roma 13:1-2). Mengapa kita harus mengikuti aturan pemerintah? Bukankah ini adalah perintah Tuhan?

Dari sejak awal, Tuhan Yesus mengajarkan kepada orang banyak:

Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Matius 22:21; Markus 12:17; Lukas 20:25).

Pernyataan ini merupakan jawaban Yesus saat orang-orang Farisi menyuruh murid-murid mereka bersama dengan orang-orang Herodian bertanya kepada Yesus sehubungan dengan membayar pajak kepada kaisar dengan maksud mencobai dan menjerat Yesus. Mereka berupaya mempertentangkan ajaran Yesus dengan kewajiban kepada kaisar. Jawaban Yesus menunjukkan kepada kita bahwa Yesus tidak pernah mengajarkan murid-murid-Nya untuk melawan pemerintah. Unik sekali bagaimana rasul Paulus menegaskan kepada jemaat di kota Roma agar mereka takluk (Yun. Hupotasso) kepada pemerintah yang ada di atasnya (Roma 13:1-2). Ini menunjukkan bahwa Kekristenan tidak pernah mengajarkan kepada umat-Nya untuk memberontak atau melawan aturan pemerintah. Hal ini tentu mematahkan stigma bahwa orang Kristen atau pengikut Yesus adalah pengikut dari seorang yang berupaya memberontak terhadap kekaisaran Romawi karena pengajaran-Nya yang menitikberatkan pada Kerajaan Allah/Kerajaan Sorga di mana Yesus yang akan menjadi Rajanya.

Daniel D. Isgrigg dalam hasil penelitiannya terkait bagaimana orang-orang percaya yang penuh Roh Kudus merespon terhadap pandemi Influenza Spanyol (1918-1919)[8] yang mengakibatkan 500 juta orang diseluruh dunia terdampak dengan 50 juta orang meninggal sebagai akibatnya. The Christian Evangel, kertas catatan Assemblies of God yang kemudian dikenal sebagai Pentecostal Evangel mencatat bahwa semua gereja ditutup. Gereja dan para hamba Tuhan memenuhi mandat Departemen Kesehatan untuk menutup pertemuan mereka dan mengkarantina yang sakit. Mereka menyadari bahwa mereka perlu melindungi orang-orang di kota tempat mereka tinggal. Dalam beberapa kesempatan, para hamba Tuhan membatalkan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) karena influenza menyebar ke seluruh kota. Beberapa orang memandang pandemi itu sebagai perlawanan (kontra) terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan Allah. Meski begitu, mereka memandang kenyataan menyakitkan dari kematian manusia sebagai dorongan yang lebih besar untuk menjangkau yang terhilang. Dua pelajaran penting yang dapat dipetik dari sejarah ini menurut hasil penelitian Daniel D. Isgrigg adalah:

  1. Insan Pentakosta mengalami pandemi flu terburuk sampai saat itu dalam sejarah. Meskipun mereka percaya akan kesembuhan, mereka tidak mengklaim bahwa iman mereka kepada Tuhan akan melindungi mereka dari penyakit. Banyak yang terserang flu; beberapa meninggal. Namun mereka terus menyatakan bahwa Allah adalah Tabib dan banyak yang diselamatkan (lahir baru) melalui flu dan disembuhkan dari flu. Dalam kedua kasus itu, mereka bersaksi bahwa iman mereka kepada Allah dan doa membuat mereka melewati krisis.
  2. Ibadah dan pelayanan terganggu oleh krisis. Misi ditutup. Kebaktian dibatalkan. Namun Insan Pentakosta mengikuti pedoman kota atau Departemen Kesehatan dan menutup gereja dan misi mereka ketika diperintahkan. Mereka tidak gegabah dengan kehidupan orang selama pandemi. Mereka bersedia tinggal di rumah dan berdoa, tahu bahwa itu sama berharganya dalam krisis.

Di tengah segala keterbatasan pelayanan karena penetapan social distancing tidak membuat kita menjadi tidak bisa melakukan pelayanan doa kesembuhan ilahi. Tentunya Tuhan memberikan kepada kita ide-ide kreatif dalam melaksanakan pelayanan yang merupakan perintah-Nya. Dalam Alkitab kita melihat bagaimana Allah bekerja melalui hamba-Nya dengan perantaraan media. Misalnya, bayangan Petrus yang mengenai orang sakit (Kisah Para Rasul 5:15), sapu tangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus melenyapkan segala penyakit dan mengusir roh-roh jahat saat diletakkan di atas orang-orang yang sakit (Kisah Para Rasul 19:11-12), minyak yang dioleskan sambil disertai dengan doa yang penuh iman (Yakobus 5:14-15). Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini kita tidak boleh membatasi cara Allah bekerja mendatangkan kesembuhan ilahi. Mungkin kita terbatas karena protokol kesehatan, terbatas karena social distancing, namun pelayanan kesembuhan ilahi masih dapat dilakukan secara online, baik melalui panggilan suara, panggilan video, live streaming maupun media sosial.

B. Pelayanan kesembuhan ilahi di tengah tragedi hamba-hamba Tuhan menjadi korban COVID-19

Di masa pandemi ini kita melihat begitu banyaknya penderita COVID-19, ada yang mengalami kesembuhan (baik melalui perawatan medis ataupun karena mukjizat kesembuhan), namun tidak sedikit juga yang meninggal. Diantara korban yang meninggal tersebut tidak sedikit hamba-hamba Tuhan yang seringkali melakukan pelayanan mendoakan orang sakit agar menerima kesembuhan. Apakah pelayanan kesembuhan ilahi tetap relevan? Dengan adanya hamba-hamba Tuhan yang terjangkit maupun menjadi korban COVID-19 tidak membuat pelayanan kesembuhan ilahi menjadi tidak relevan. Dilwyn Price menyatakan bahwa orang percaya berdoa dan berdoa untuk orang-orang yang mereka kasihi yang sedang sakit. Jika tidak sembuh juga, mereka memohon supaya Allah menghiburkan orang-orang yang mereka kasihi itu dan menerima mereka di sorga. Sebab kematian orang Kristen membawa penyembuhan yang total dan sempurna.[9]

V. Apa yang harus gereja lakukan di masa pandemi?

Pelayanan kesembuhan ilahi telah dilakukan oleh Nabi-Nabi dalam Perjanjian Lama, Tuhan Yesus dan para rasul dalam Perjanjian Baru. Pelayanan kesembuhan Ilahi terus berlanjut sejak abad-abad permulaan sampai sekarang. Pelayanan kesembuhan ilahi adalah merupakan karunia Roh Kudus yang diberikan kepada gereja-Nya (1 Korintus 12:9), karena itu pelayanan ini perlu terus dikembangkan, teristimewa dalam masa pandemi COVID-19 ini. Gereja harus terus melakukan pelayanan kesembuhan Ilahi serta perlu mendorong warganya untuk saling mendoakan. Namun perlu diingat bahwa karunia kesembuhan yang Tuhan berikan adalah untuk kemuliaan-Nya. (JS/DL).

Catatan kaki

Lihat pula