Ibadah Offline dan Ibadah Online (Sikap teologis)
Sikap teologis GBI Jalan Gatot Subroto | |
---|---|
Tanggal | 05 Juli 2020 |
Video | Voice of Pentecost 9 ( Pdm Petrus Suryadjaya ) |
Unduh | Unduh OSP |
Pandemi COVID-19 telah mengubah pola kehidupan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Anjuran pemerintah untuk menjaga jarak (social/physical distancing) untuk memutus rantai penyebaran virus
I. Pendahuluan
Pembatasan jarak membuat kegiatan-kegiatan yang melibatkan sejumlah orang berkumpul tidak dapat dilakukan lagi. Hal ini berimbas pula kepada kegiatan ibadah keagamaan sehingga ibadah hanya bisa dilakukan di rumah-rumah dalam lingkup keluarga.
Ketika ibadah masih bisa dilakukan dalam gedung gereja secara korporat, gereja melengkapi ibadah dengan tempat yang nyaman, dekorasi yang membawa suasana “rohani”, musik yang baik, khotbah yang memberikan suasana sorgawi yang membuat jemaatnya merasa mengalami dan menikmati “Hadirat Tuhan”. Hal ini terungkap dengan beberapa pernyataan seperti: ibadahnya keren, pujian penyembahannya ngangkat, urapannya kenceng, hati saya bergetar, dan lain sebagainya.
Dengan diberhentikannya ibadah secara massal di gereja dan dipindahkan menjadi ibadah keluarga di rumah-rumah yang dilakukan secara online melalui internet beberapa tanggapan muncul seperti: seperti hanya menonton film, tidak bisa berkonsentrasi karena jaringan internet yang tidak stabil, tidak ada perasaan apa-apa, dan ujungnya banyak yang berkata tidak dapat merasakan Hadirat Tuhan.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mengalami Hadirat Tuhan dalam ibadah online dan apakah ibadah online akan menggantikan ibadah yang dilakukan secara bersama-sama (yang selanjutnya akan disebut sebagai ibadah offline) untuk seterusnya? Ini saatnya Roh Kudus mengajar kita mengenai pengertian gereja dan ibadah yang sebenarnya.
II. Pengertian gereja
Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Kata Yesus kepadanya: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. (Matius 16:15-18)
Dalam ayat 18, pertama kali ditemukan kata ἐκκλησία (ekklesia), dalam terjemahan bahasa Inggris menggunakan kata Church (Gereja), dalam bahasa Indonesia menggunakan kata Jemaat. Apakah Church atau Gereja atau Jemaat itu? Jawabannya terdapat dalam ayat 16, Gereja atau Jemaat adalah orang-orang yang memiliki pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Lebih lanjut, ekklesia terdiri dari kata depan "ek" yang berarti "ke luar" dan kata kerja “kalein” yang berarti “memanggil.” Maka ekklesia berarti “orang-orang yang dipanggil ke luar dari dunia untuk menjadi milik Tuhan”.[1]
Kata ekklesia diambil dari kebudayaan Yunani waktu itu yang berarti suatu sidang warga kota untuk membicarakan dan mengambil keputusan selaku “Sidang Rakyat yang Sah” (Kisah Para Rasul 19:39). Ekklesia sebagaimana dipakai di dalam Matius 16:18; 18:17, dipakai untuk menerjemahkan pengertian Jemaat. Dalam kebiasaan Yunani Klasik (non-Kristen) kata ini dipakai menunjuk sidang parlemen atau sidang rakyat, yang biasa diadakan di Athena pada hari-hari besar dengan dihadiri oleh para wakil rakyat dan penduduk segenap negeri. Anggota ekklesia adalah orang-orang yang dipanggil, yang dipilih. Dengan menggunakan istilah ekklesia untuk gereja, menunjukkan bahwa gereja adalah orang-orang yang dipanggil yang dipilih. Selain ekklesia ada juga kata lain dalam bahasa Yunani yang berarti gereja yaitu “kuriakon” atau “kuriake” yang artinya adalah milik atau kepunyaan Allah.
Dalam Perjanjian Lama ada dua istilah, yang menggambarkan tentang jemaat atau umat Tuhan, yaitu Qahal dan Edhah. Istilah-istilah ini dipakai dalam berbagai bentuk, namun pada intinya menggambarkan jemaat yang beribadah atau perkumpulan sidang. Arti Perjanjian Lama dalam Septuaginta (bahasa Yunani), kata Ibrani “Qahal” diterjemahkan sebagai “ekklesia”. Qahal menunjukkan sidang bangsa Israel di hadapan Allah misalnya: jemaah (Ulangan 31:30; 1 Tawarikh 29:1)[2] , maka konsep bangsa Israel tentang jemaah adalah perhimpunan umat Allah di bawah kedaulatan Allah. Sedangkan istilah Edhah, mempunyai pengertian perkumpulan yang sudah ditetapkan. Apabila hal ini dikenakan kepada umat Israel, maka hal ini menunjuk kepada para pemimpin agama, baik yang sedang berkumpul maupun tidak. Karena itu pada umumnya dua kata dipakai bersama-sama dengan qahal, sehingga menjadi qahal-edhah yaitu jemaat sedang berkumpul.
Pada zaman Musa, melalui Hukum Taurat dan Perjanjian dengan Allah di gunung Sinai, ibadah orang Israel dilaksanakan dalam Kemah Musa (Tabernakel Musa). Suku Lewi ditetapkan menjadi suku yang melakukan tugas keimaman dan bertanggung jawab untuk memelihara kemah. Harun dan keturunannya ditetapkan menjadi imam besar. Dalam sejarah Israel, ibadah dilakukan dalam sinagoge yang berkembang di seluruh Palestina dan tempat lain. Bentuk ini tidak berubah sampai kedatangan Yesus Kristus.[3]
Dalam Perjanjian baru, arti “jemaat” atau “gereja” yang terambil dari Matius 16:18 adalah:[4]
- Umat Allah (1 Korintus 1:2; 1 Petrus 2:4-10) yaitu persekutuan orang percaya yang ditebus oleh kematian Kristus dan memiliki hubungan pribadi yang hidup dengan Allah (1 Petrus 1:18-19).
- Umat yang terpanggil (Yun. Ekkaleo) ke luar dari dunia dan memasuki kerajaan Allah (2 Korintus 6:16-18).
- Umat yang menjadi tempat kediaman Roh Allah/Bait Roh Kudus (1 Korintus 3:16).
- Umat yang menjadi tubuh Kristus dengan Kristus menjadi kepalanya (1 Korintus 6:15; 10:16-17; 12:12-27; Efesus 4:11-12).
- Umat yang menjadi “mempelai perempuan” Kristus (2 Korintus 11:2; Efesus 5:22-27; Wahyu 19:7-9).
- Umat yang berada dalam sebuah persekutuan rohani dengan Roh Kudus dan sesama (Yun. Koinonia) (2 Korintus 13:14; Filipi 2:1) dan di dalamnya ada pelayanan rohani (Yun. Diakonia) (1 Korintus 1:7; 12:4-11, 28-31)
Dari sekian banyak pengertian tentang gereja, tidak ada satupun yang menunjuk pada gedung. Gereja bukanlah gedung, gereja tidak menunjuk kepada suatu tempat, gereja juga bukan sebuah organisasi atau lembaga; tapi persekutuan orang-orang yang percaya kepada-Nya. Secara khusus gereja atau jemaat adalah orang-orang yang mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat. Roma 10:9,
- “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.”
Jadi Gereja yang Tuhan maksudkan adalah pribadi-pribadi yang menerima keselamatan melalui pengakuan akan ke-Tuhan-an Yesus Kristus dan karya-Nya di kayu salib, mengalami perjumpaan pribadi dengan Kristus dan kelahiran baru.
III. Pengertian ibadah
Ibadah yang dilakukan oleh Gereja Tuhan (pribadi-pribadi yang menerima keselamatan, seperti yang dijabarkan sebelumnya) adalah bentuk penyembahan kepada Tuhan. Ibadah yang dimaksud adalah sebuah gaya hidup menyembah yang terus menerus dilakukan oleh Gereja Tuhan. Ibadah adalah tindakan dan sikap yang menghormati Allah sebagai pencipta dan penguasa segalanya. Ibadah berpusat kepada Allah bukan kepada manusia.[5] Ritual ibadah yang dilakukan dalam gedung gereja yang seringkali disebut “Kebaktian” adalah salah satu bentuk dari ibadah/gaya hidup menyembah itu sendiri.
Orang percaya dipanggil menjadi komunitas yang beribadah, itu sebabnya kehidupan ibadah menjadi saling terkait karena ibadah bukan hanya pujian kepada Allah dengan bibir melainkan juga melayani Dia dengan seluruh kehidupan orang percaya untuk sesamanya (Roma 12:1-2). Ibadah insan Pentakosta seharusnya ditandai dengan kehadiran dan berkat Allah yang dalam, dengan penekanan pada Kristus dan karunia Roh. Perhatian utama dalam ibadah adalah kepatuhan terhadap Roh Kudus lebih dari kepada struktur atau liturgi ibadah.[6]
Dalam Perjanjian Baru, ibadah ditulis dalam bahasa Yunani sebagai Proskuneo yang berarti “tunduk menyembah” atau “tak berdaya”. Sikap tunduk ini mencerminkan sikap dari dalam hati yang tunduk kepada Allah. Orang percaya membawa tubuh yang hidup, bukan binatang yang mati, dalam ibadah untuk dipersembahkan kepada Allah (Roma 12:1). Ibadah yang sejati (penyembahan) harus sesuai dengan kebenaran dan keluar dari dalam hati (dalam roh), bukan hanya sekedar melakukan ritual dan hukum agama (Yohanes 4:24)[7] .
Pengertian ibadah menurut Alkitab, dijelaskan dalam beberapa hal:
- Yohanes 4:21, 23, 24,
- Dalam ibadah, kita menyembah Allah yang adalah Roh yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Allah sanggup hadir di manapun, kapanpun dan dengan cara apapun. Kehadiran Allah tidak dibatasi oleh fasilitas ibadah, bahkan dalam keadaan “darurat” pun Allah tetap hadir. Seperti yang dialami orang-orang Kristen yang tertindas dan hidup dalam ancaman karena iman, tetap Allah hadir ketika mereka beribadah dalam tempat yang tersembunyi. Matius 18:20,
- “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka"
- Hadirat Tuhan yang sesungguhnya adalah perjumpaan pribadi dengan-Nya, Roh Kudus menjamah hati dan roh kita.
- Hadirat Tuhan tidak berfokus hanya pada “perasaan” tetapi berfokus pada IMAN.
Dalam Kejadian 22, Tuhan meminta Abraham menyerahkan Ishak anaknya sebagai korban persembahan. Ayat ke-5 mencatat bahwa Abraham berkata kepada bujang-bujangnya, “kami akan sembahyang” (Inggris, Worship = penyembahan, ibadah) dan Ibrani 11:17 mengatakan “Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak ...” Jika Abraham melakukan perintah Tuhan dengan perasaan, pastilah ia akan gagal. Abraham mempersembahkan Ishak harus dengan iman sebagai bentuk ibadahnya. Alkitab mencatat Abraham menunjukkan imannya dalam 2 (dua) hal yaitu:
- Kejadian 22:7-8,
- “Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: "Bapa." Sahut Abraham: "Ya, anakku." Bertanyalah ia: "Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?" Sahut Abraham: "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku." Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama.”
- Dalam Ibrani 11:19 ditulis:
- “Karena ia (Abraham) berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali.”
- Belajar dari Elia, Tuhan datang kepadanya bukan dalam angin besar dan kuat yang membelah gunung dan memecahkan bukit batu, bukan dalam gempa, bukan dalam api tetapi dalam angin sepoi-sepoi basa. Banyak orang Kristen mengharapkan pernyataan Hadirat Tuhan dalam perkara yang spektakuler, padahal Tuhan datang dalam kesederhanaan dan keheningan yang juga bisa dialami dalam ibadah kecil di rumah.
- Roma 12:1,
- “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”
Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran."
Dalam perjumpaan-Nya dengan seorang wanita Samaria di sumur Yakub, Tuhan Yesus mengajar tentang ibadah (worship = penyembahan) yang Bapa inginkan. Beberapa hal yang harus kita mengerti dari ayat-ayat di atas:
Hadirat Tuhan bukanlah suasana ibadah dalam arti ritual/seremoni. Ketika roh kita bersatu dengan Roh Allah maka di situlah Hadirat Tuhan yang sesungguhnya terjadi.
Abraham sebenarnya belum tahu apa yang akan terjadi di atas bukit Moria. Dia hanya memiliki pengertian sebatas perintah yang Tuhan berikan kepadanya yaitu "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu." (Kejadian 22:2). Dalam perintah ini jelas yang menjadi korban bakaran adalah anaknya sendiri yaitu Ishak. Artinya, Abraham harus mengorbankan anaknya sebagai persembahan kepada Tuhan.
Tetapi dalam imannya dia yakin bahwa Allah yang akan menyediakan anak domba sebagai pengganti Ishak. Sekalipun dia tidak mengerti bagaimana caranya Allah menyediakan seekor domba di gunung di tengah gurun Moria (Ingat bahwa domba adalah jenis binatang yang hidupnya berkelompok, tidak hidup sendiri-sendiri) Dia percaya bahwa Allah akan memberikan Divine Providence (Penyelenggaraan/penyediaan yang ilahi) yang di luar akal manusia.
Dan iman Abraham akhirnya terbukti ketika Allah menyediakan seekor domba jantan yang tanduknya tersangkut di semak belukar. Bahkan dalam Kejadian 22:14 ditulis, “Dan Abraham menamai tempat itu: "TUHAN menyediakan"; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: "Di atas gunung TUHAN, akan disediakan."” Muncul istilah Jehovah Jireh (TUHAN menyediakan) pertama kalinya dari Abraham. Demikian juga, dalam setiap ibadah kita seharusnya yakin bahwa Allah hadir sekalipun kita tidak melihat secara kasat mata tetapi meyakininya dengan iman.
Abraham pun percaya bahwa jika Allah tidak memberikan domba sebagai pengganti anaknya dan tetap harus mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran maka Abraham tetap percaya anaknya yang mati karena dipersembahkan akan dibangkitkan dan dia akan menerima anaknya kembali. Abraham tetap mempercayai kuasa dan kesetiaan Allah yang dia sembah.
Demikian juga dalam ibadah, kita harus percaya akan kuasa dan kesetiaan Allah yang dinyatakan dalam kehadiran Hadirat-Nya yang membawa perubahan dan pemulihan dalam hidup orang yang beribadah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh. Hadirat Tuhan bukanlah soal perasaan “terjamah” dengan keinginan kuat untuk menangis dan merasakan “ekspresi jamahan” seperti bergetar atau merinding tetapi dialami dengan iman. Jadi datanglah kepada Tuhan dalam ibadah bukan dengan perasaan tetapi dengan iman (Ibrani 11:6, “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.”).
Dalam ayat ini Rasul Paulus menjelaskan bahwa ibadah adalah mempersembahkan tubuh kita (hidup kita). Memberikan hidup kita senantiasa dalam kehendak dan rencana Tuhan serta mentaati segala Firman-Nya itulah ibadah yang sejati.
IV. Pengertian ibadah offline dan online
Sejak awal sejarah, dimulai dari manusia pertama, manusia telah menyembah Allah. Kejadian 3:8 menjelaskan bahwa TUHAN Allah memiliki kebiasaan berjalan-jalan dalam taman di Eden untuk bersekutu dengan Adam dan Hawa. Kain dan Habel membawa persembahan (Kejadian 4:3-4), Set dan keturunannya “memanggil nama TUHAN” (Kejadian 4:6), Nuh mendirikan mezbah bagi Tuhan (Kejadian 8:20), sampai kepada Abraham (Kejadian 12:7-8).
Dalam zaman Musa, ketika orang Israel keluar dari Mesir dan mengembara di padang gurun, dibangunlah sebuah tempat untuk ibadah mereka yang dikenal dengan nama “Kemah Suci”. Dimulailah sebuah ibadah yang memiliki bentuk yang tetap dan teratur (sekarang dikenal dengan liturgi) di mana korban-korban bakaran berupa binatang yang telah mati disembelih dipersembahkan setiap hari dan secara khusus pada hari Sabat. Beberapa ketetapan yang Musa terima dari Allah mengenai hari-hari raya tahunan dilakukan dengan teratur. Ibadah dengan pola ini berkembang dan menjadi lebih teratur dalam zaman raja-raja di Bait Suci. Ketika Bait Suci hancur tahun 586 SM, orang Israel membangun sinagoge sebagai tempat ibadah sementara dalam masa pembuangan.[8]
Dalam Perjanjian Baru, ibadah orang Kristen mula-mula dilaksanakan dalam Bait Suci Yerusalem dan di rumah-rumah pribadi. Beberapa yang lain melakukan ibadahnya dalam sinagoge.
Ada beberapa hal menarik yang dapat kita temukan dalam Alkitab, yaitu bagaimana Daud melakukan ibadahnya. Dalam 1 Tawarikh 15, 16, 17, ditulis bahwa Daud mendirikan tempat khusus sebagai tempat ibadahnya yang disebut dengan kemah di mana di dalamnya Tabut Allah disimpan (1 Tawarikh 15:1). Kemudian, Daud menetapkan suku Lewi yang bertanggung jawab atas tabut Allah dan menyelenggarakan ibadah di kemah itu (1 Tawarikh 15:2). Daud juga mengatur para imam dan bentuk ibadah dengan keadaan yang agung, gegap gempita dan meriah, dengan nyanyian dan iringan musik. Dalam pasal berikutnya, Daud merencanakan untuk membangun tempat yang permanen dan lebih baik untuk menyimpan tabut Allah dan menyelenggarakan ibadah, yang akhirnya terlaksana dalam zaman Salomo. Ibadah yang diselenggarakan dalam Bait Suci Salomo meliputi orang dan korban persembahan yang jauh lebih banyak, kemegahan dan kemeriahan yang lebih besar lagi.
Tetapi di waktu yang lain, Daud juga mengadakan ibadahnya seorang diri ketika dalam pelariannya seperti yang tercatat salah satunya dalam Mazmur 63. Catatan dalam Matthew Henry Commentary menyatakan Mazmur 63 mencatat ibadah yang hidup yang dilakukan oleh Daud dalam lingkup yang sangat terbatas. Mazmur 63 ini dan beberapa mazmur lain adalah mazmur yang menggambarkan hubungan Daud yang manis dengan Allah yang ditulis di padang gurun yang gersang. Tercatat juga kesedihan dan kerinduan hati Daud atas hilangnya kesempatan untuk melakukan ibadah secara bersama-sama dengan orang Israel, sekalipun kerinduan Daud yang sebenarnya adalah Allah yang menjadi sumber ibadah itu. Daud mengalami perjumpaan dengan Tuhan di tengah-tengah kesendiriannya di Padang Gurun Yehuda (di hutan Keret - 1 Samuel 22:5 atau di padang gurun Zif – 1 Samuel 23:15).[9]
Dalam keadaan “normal”, Daud menyelenggarakan ibadah di kemah secara bersama-sama dalam keagungan dan kemeriahan, sedangkan dalam keadaan “darurat” yaitu dalam pelariannya Daud tetap melakukan ibadahnya dalam kesendirian dan kesederhanaan. Mazmur 63 mencatat kerinduan Daud untuk bisa tetap mengalami hadirat Allah di dalam kesendirian dan kesederhanaan ibadahnya melalui sebuah ungkapan “Jiwaku haus kepada-Mu, tubuh-ku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair” (Mazmur 63:2). Bahkan dalam ayat 3, Daud menyatakan dia memandang kekuatan dan kemuliaan Tuhan ditempat kudus.
Daud mengalami perjumpaan dengan Tuhan bukan hanya di Bait Allah/Kemah Suci, tetapi juga di tengah-tengah kesendiriannya, dalam pelariannya dari musuh-musuhnya di padang gurun Yehuda (Mazmur 63:1-11). Hal ini menyatakan Allah hadir dalam ibadah secara bersama-sama di kemah Suci dan juga hadir dalam ibadah sendiri di padang gurun.
Perjanjian Baru mencatat, sebagaimana orang percaya dalam Perjanjian Lama berkumpul pada hari Sabat untuk beribadah, maka kitab Kisah Para Rasul menelusuri transisi di mana orang Kristen di abad pertama mulai beribadah pada hari Minggu, yaitu hari pertama dari seminggu, dalam rangka memperingati kebangkitan Kristus (Yohanes 20:1, 19, 26). Mereka melakukan Perjamuan Kudus (Kisah. 20:7) dan mengumpulkan persembahan di hari Minggu (1 Korintus 16:1-2).[10]
Setelah Kota Yerusalem diruntuhkan, mereka mengalami diaspora ke kota-kota lain, bahkan ke tempat-tempat terpencil. Sekalipun berada dalam tempat-tempat terpisah, mereka bertumbuh dalam Pengajaran Firman Tuhan lewat pembacaan Surat-surat yang dikirimkan oleh Rasul-rasul. Surat-surat tersebut dibacakan oleh pembawa pesan dari para Rasul yang tidak dapat mengunjungi mereka secara fisik dan bukan dalam Pertemuan Raya di Bait Allah, tapi dalam pertemuan-pertemuan kecil.
Bahkan dalam Kisah 16 ditulis Paulus dan Silas beribadah di ruang penjara yang paling tengah dengan kaki yang dipasung. Mereka menyanyikan puji-pujian kepada Allah dengan suara yang terdengar oleh orang-orang hukuman yang lain. Ibadah yang sangat sederhana ini ternyata menyebabkan gempa bumi yang hebat dan penjara itu menjadi hancur. Pada akhirnya, terjadi pertobatan dari kepala penjara dan seluruh keluarganya.
Dengan dasar kejadian-kejadian di atas, maka ibadah seharusnya bisa dilakukan bersama-sama dengan umat Tuhan yang lainnya di sebuah tempat yang telah dipersiapkan (contoh: dalam gedung gereja) yang sekarang disebut ibadah offline dan juga dapat dilakukan dalam kesendirian atau kelompok kecil di tempat lain (contoh: di rumah) yang disebut ibadah online, tanpa mengubah esensi dari ibadah itu sendiri. Yang menjadi pembeda hanyalah kondisi kehidupan yang dialami oleh umat Tuhan pada saat itu. Ibadah offline dilakukan dalam keadaan “normal” di mana segala situasi dan kondisi mendukung, ibadah online dilakukan dalam keadaan “darurat” di mana situasi dan kondisi tidak mendukung, seperti dalam masa pandemi wabah COVID-19 yang terjadi hari-hari ini.
Mengenai “mengalami Hadirat Tuhan dalam ibadah pribadi”, contoh dalam Alkitab berikut ini mengajar kita untuk mengerti tentang makna kehadiran Tuhan dalam perjumpaan pribadi dengan-Nya:
- Pengalaman Wanita Samaria bertemu Yesus sendirian di sumur Yakub (Yohanes 4:1-42). Wanita Samaria tidak berani datang ke sumur Yakub pada waktu pagi hari di mana biasanya para wanita mengambil air di sumur itu sehingga dia datang pada siang hari di mana tidak ada orang lain yang akan dijumpainya. Tetapi hal itu justru membuat dia bertemu dengan Yesus dan menerima kebenaran tentang penyembahan yang benar.
- Pengalaman wanita pendarahan yang menerima kesembuhan (Markus 5:24-34). Wanita yang mengalami pendarahan selama 12 tahun, memberanikan dirinya untuk datang dan menjamah jubah Yesus di dalam kerumunan orang banyak yang berdesak-desakan di sekitar Yesus. Sekalipun banyak orang yang berdesak-desakan di sekitar Yesus dan memungkinkan mereka bisa bersentuhan dengan Yesus ternyata hanya wanita ini yang mengalami kuasa Tuhan.
Kedua contoh tersebut mengajar kita, bahwa perjumpaan yang mendatangkan Hadirat Tuhan (kuasa Tuhan) adalah masalah pribadi bukan kelompok. Hadirat dan kuasa Tuhan tetap ada tanpa bisa dibatasi dengan apapun. Janganlah kita membatasi ketakterbatasan Tuhan dengan keterbatasan kita.
V. Sikap dan pandangan terhadap ibadah offline dan ibadah online
Dalam masa pandemi wabah COVID-19 yang menyebabkan perubahan dalam pola kehidupan dan kegiatan manusia, termasuk di dalamnya adalah pola dan kegiatan ibadah maka tidak ada salahnya mengadakan ibadah online, karena memang ibadah tidak terbatas dengan sebuah tempat atau event. Dalam masa-masa seperti ini, ibadah online dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer dan internet untuk dapat memfasilitasi pertemuan secara virtual akibat dari keterbatasan yang terjadi. Dengan adanya larangan tidak boleh berkumpul dan bersekutu dalam jumlah besar di suatu tempat, ibadah online adalah sebuah terobosan.
Sekalipun demikian, harus tetap diperhatikan bahwa secara esensi (dalam hal hubungan dengan Tuhan sebagai pusat ibadah) baik ibadah offline maupun ibadah online tidak berbeda, tetapi ada beberapa hal yang ada dalam ibadah offline tetapi tidak dapat difasilitasi dalam ibadah online.
- Atmosfir Ibadah dalam persekutuan tidak dapat digantikan dengan ibadah online yang dilakukan sendiri-sendiri atau bahkan dengan keluarga terdekat.
- Salah satu fungsi gereja atau jemaat adalah Persekutuan. Gereja adalah sebuah persekutuan (koinonia -- 2 Korintus 13:14; Filipi 2:1). Dalam Persekutuan ini tampaklah kasih dan perhatian yang nyata antara sesama anggotanya (Yohanes 13:34-35), sedangkan dalam ibadah online yang dilakukan di rumah masing-masing, Persekutuan dengan sesama Tubuh Kristus tidak dapat terbangun.
- Gereja adalah suatu pelayanan rohani (diakonia), pelayanan rohani yang tercipta dengan menggunakan berbagai karunia (charismata) yang berbeda-beda yang Tuhan sudah percayakan kepada orang-orang percaya. Lewat persekutuan dengan orang-orang percaya yang memiliki karunia yang berbeda-beda, terjadilah pelayanan rohani yang lengkap yang tidak dapat terjadi bila hanya mengikuti ibadah online di rumah masing-masing. Kebersamaan fisik dalam memanifestasikan karunia Roh Kudus secara bersama-sama adalah penting dalam ibadah Pentakosta.[11]
- Gereja adalah pasukan atau prajurit Kristus (2 Timotius 2:3-4) yang terlibat dalam pertempuran rohani. Sebagai prajurit ada kalanya memang bertempur secara bersama-sama, tapi ada kalanya pun bertempur dalam kelompok-kelompok kecil bahkan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan sebuah misi. Tapi tetap harus diingat, walaupun bertempur secara bersama-sama, maupun dalam kelompok kecil, bahkan sendiri-sendiri, seorang prajurit harus tetap terhubung dengan komandan atau orang yang memberi arahan dan perintah. Juga, seorang prajurit tidak dapat bertempur sendiri ataupun dalam kelompok kecil dalam jangka waktu yang lama, karena ia akan kehilangan orientasi dan motivasi, seorang prajurit dari waktu ke waktu harus selalu ingat dan kembali untuk menjadi bagian dalam kelompok yang besar dan lengkap untuk mengingatkan visi, orientasi dan motivasinya.
- Impartasi dan pengurapan terjadi dalam ibadah offline dan sulit terjadi dalam ibadah online. Penumpangan tangan hanya bisa terjadi dalam ibadah offline.
Jadi selagi keadaan memang tidak memungkinkan untuk pertemuan dalam jumlah besar, bahkan bagi beberapa kelompok orang yang tidak memungkinkan untuk pergi berangkat ke tempat ibadah, Ibadah Online adalah sebuah terobosan teknologi yang dapat dipakai untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan ini. Tapi bila keadaan sudah memungkinkan bagi jemaat untuk berkumpul dan beribadah secara bersama-sama dalam tempat ibadah, maka berusahalah untuk berkumpul bersama dalam Ibadah Raya di tempat Ibadah. Ibadah online tidak boleh menjadi alasan bagi orang Kristen untuk meninggalkan ibadah offline (ibadah yang disertai dengan persekutuan dengan sesama Tubuh Kristus) bila kesempatan itu sudah ada.
VI. Tips melakukan dan mengikuti ibadah online
Beberapa tips untuk melakukan dan mengikuti ibadah online untuk mendapatkan berkat rohani yang maksimal:
A. Bagi Gereja penyelenggara ibadah online
- Persiapan yang dilakukan untuk menyelenggarakan ibadah online harus sebaik ibadah offline. Sekalipun terbatas, seharusnya persiapan ibadah online dilakukan sebaik mungkin. Baik hamba-hamba Tuhan yang melayani pujian dan penyembahan, doa, maupun pemberitaan Firman Tuhan harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Persiapan sarana dan prasarana pun harus dilakukan maksimal, mengingat keterbatasan jaringan internet yang ada di wilayah gereja tersebut dan tempat tinggal jemaat.
- Ibadah online secara “live” yaitu tayangan langsung memiliki pengaruh secara psikologis kepada jemaat. Ibadah online yang dilakukan dari hasil rekaman sebenarnya kurang “memadai” dibandingkan jika ditayangkan langsung secara live. Jika tidak dimungkinkan secara live, maka penayangan ibadah online hasil rekaman ditayangkan dalam jam-jam tertentu, jangan ditayangkan secara bebas. Hal ini menjadi “simulasi” dari ibadah offline yang diselenggarakan pada jam tertentu.
- Materi ibadah online disamakan dengan materi ibadah offline. Pujian dan Penyembahan, doa syafaat, pemberitaan Firman Tuhan, pengumuman tetap diadakan sekalipun dalam waktu yang lebih singkat. Sakramen Perjamuan Kudus pun bisa dilakukan secara online dengan kondisi jemaat yang telah dipersiapkan.
- Lakukan survei kepada jemaat yang tercatat dalam data gereja untuk mengetahui berapa banyak jemaat yang setia mengikuti dan mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh jemaat untuk mendapatkan solusi agar kualitas ibadah online bisa lebih baik
B. Bagi jemaat
- Persiapkan diri dengan sebaik mungkin sebelum mengikuti ibadah online. Sebelum ibadah online dimulai, persiapan haruslah dilakukan. Mandi, merapikan diri dan usahakan untuk mengenakan pakaian yang rapi, hal ini akan membantu kita untuk dapat lebih berkonsentrasi dalam mengikuti ibadah online. Sudah pasti persiapan hati dan pikiran juga dilakukan melalui.
- Bersikap aktif dalam mengikuti ibadah online. Jangan hanya menonton ibadah online yang sedang ditayangkan. Tetapi aktiflah mengikuti ibadah itu seperti ketika ibadah di gereja. Di waktu pujian, berdiri dan ikutlah bernyanyi. Di waktu penyembahan, sungguh-sungguhlah menyembah Tuhan melalui lagu penyembahan, berbahasa Roh dan kata-kata pengagungan. Ketika Firman Tuhan disampaikan, ikutilah pemberitaan Firman Tuhan dengan baik, dengan fokus dan berkonsentrasi.
Turut membaca ayat-ayat Alkitab dengan suara yang terdengar (jangan membaca dalam hati). Mencatat hal-hal yang didapatkan dari Firman Tuhan. - Usahakan tidak ada gangguan di waktu ibadah online, misalnya dengan mematikan gadget dan memberitahukan orang serumah bahwa kita sedang beribadah.
- Mengikuti ibadah online dengan keluarga lebih baik dibandingkan sendiri.
VII. Penutup
Ibadah di rumah saja atau ibadah online sebenarnya mengajar kita untuk menyadari apakah selama ini kita beribadah di gereja dan mengalami Hadirat Tuhan atau kita hanya mengikuti acara ibadah di gereja. Hadirat Tuhan tidak ditentukan oleh tempat, sarana ataupun acara, tetapi ditentukan oleh iman, kekudusan dan hati yang tulus dan rindu untuk berjumpa dengan pribadi Yesus. Di manapun kita beribadah, baik dalam kelompok besar maupun kecil, atau bahkan dalam kesendirian, Hadirat Tuhan selalu ada dan sangat mungkin kita mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang membawa damai sejahtera, sukacita dan berkat rohani dalam hidup kita.
Ibadah online harus dilaksanakan dalam situasi darurat seperti pada masa pandemi ini, tetapi jika situasi kembali normal maka umat Allah harus kembali beribadah bersama-sama dalam persekutuan dengan orang percaya lainnya dalam Roh Kudus. Berdoalah agar segera Tuhan melakukan situasi darurat ini dan kita akan kembali beribadah kepada-Nya secara bersama-sama dengan orang percaya lainnya. (NS+BM)
Catatan kaki
- ^ Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, Revised and Expanded (1), penj. Rahmiati Tanudjaja (Malang: Literatur SAAT, 2016), h.393
- ^ Louis Berkhof, Teologi Sistematika 5: Doktrin Gereja, penj. Yudha Thianto (Surabaya: Momentum, 2014), h.38
- ^ French L. Arrington, Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta, penj. Thomas Bimo Asmorosanto (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2015), h.491
- ^ Alkitab Penuntun dalam hidup berkelimpahan (Malang: Gandum Mas, 2002), h.1537
- ^ Ibid, h.728
- ^ French L. Arrington, Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta, h.517-518
- ^ Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, h.400
- ^ Alkitab Penuntun dalam hidup berkelimpahan, h.728
- ^ Matthew Henry Commentary, diambil dari aplikasi Alkitab, ver. 4.6.4
- ^ Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, h.400
- ^ Ini diperkuat oleh Daniela C. Augustine, bahwa komunitas Ecclesia Pentakosta adalah komunitas yang diberdayakan oleh Roh Kudus sehingga dalam kebersamaan memanifestasikan karunia Roh Kudus, seperti Kisah 2:17-18. Daniela C. Augustine, The Empowered Church: Ecclesiological Dimensions of The Event of Pentecost, in Toward a Pentecostal Ecclesiology: The Church and the Fivefold Gospel, ed. John Christopher Thomas (Cleveland, TN: CPT Press, 2010), p.178-180.