Pandangan GBI tentang COVID-19 (Sikap Teologis GBI)

Dari GBI Danau Bogor Raya
Revisi sejak 30 April 2021 13.12 oleh Leo (bicara | kontrib) (fmt)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Lompat ke: navigasi, cari
Logo GBI.svg
Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia
Pandangan GBI tentang COVID-19
15 Mei 2020

A. Pendahuluan

Virus Corona baru yang dikenal dengan singkatan Covid-19 atau kadangkala disebut 2019nCoV, menjadi isu yang paling populer beberapa bulan belakangan ini, yang dikaji baik oleh praktisi kesehatan, pemimpin berbagai organisasi, kaum intelektual, orang dewasa dan anak-anak.

Covid-19 telah mengubah dunia kita dalam sekejap. Lahirnya berbagai istilah seperti social distancing, physical distancing, lockdown, stay at home, work from home adalah sebagian dari diksi respons di masyarakat. Seiring keadaan itu, habitus masyarakat kita berubah secara total. Penerapan social distancing membatasi relasi horizontal kita; berjabat tangan seolah menjadi tabu; berkumpul dengan komunitas menjadi ancaman bagi kesehatan; kita harus menjaga jarak. Perilaku baru di rumah terbentuk dengan stay at home, study from home, dan work from home. Banyak kalangan karena virus ini, memperkirakan, masyarakat sedang memasuki sebuah kenormalan baru (a new normal) di semua bidang kehidupan, yang diperkirakan, pun kalau pandemic ini berakhir, masyarakat tidak akan kembali kepada kehidupan yang lama.

Ada hal-hal positif sekaligus negatif yang ditimbulkan karena keadaan ini, yang menggambarkan kenormalan yang baru (a new normal) ini. Di antaranya memberi kesempatan baik dan luas bagi keluarga untuk berinteraksi, namun tidak sedikit yang menjadi galau, stres dan mungkin saja bisa mengakibatkan timbulnya kekerasan domestik. Hal ini memaksa kita meredefinisi hakikat keluarga itu sendiri.

Pola kerja berubah menjadi work from home. Dalam kurun waktu singkat, kantor menjadi sepi karena segala pekerjaan dilakukan di rumah. Ruang rapat menjadi sepi digantikan oleh berbagai aplikasi rapat online.

Rumah menjadi sekolah baru. Keriuhan anak-anak di rumah dengan pembelajaran daring, study from home. Sementara gedung sekolah kosong melompong. Sekalipun fasilitas kendaraan banyak namun kini menjadi onggokan barang mewah yang jarang digunakan.

Gereja juga terkena imbas Covid-19. Kesibukan pelayanan secara langsung, sekarang terhenti. Agenda dan jadual tahunan yang tersusun tiba-tiba berubah. Gedung gereja menjadi kosong, berbagai perangkat elektronik yang serba canggih tidak terpakai. Pola ibadah berubah menjadi ibadah online, live streaming, doa juga dilakukan daring, pelayan serba internet. Semua keadaan di atas dampak langsung dari Covid-19. Para ahli teologi meyakini, akan adanya redefinisi dan makna eklesiologis kita karena Covid-19 ini.

Virus ini dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan mematikan. Akibat virus ini telah terdapat banyak korban meninggal. Virus ini sama sekali tidak memandang ras, status sosial, usia, pendidikan, dan bangsa. Setiap orang menjadi sangat rentan termasuk orang percaya dan bahkan hamba Tuhan sekalipun.

Sekarang, apa yang perlu direspons GBI secara pastoral dan teologis terhadap Covid-19 ini? Apakah Covid-19 merupakan hukuman Tuhan atas manusia? Apakah Covid 19 merupakan buatan Iblis? Apakah Covid-19 adalah buatan manusia? Apakah Covid ini terkait dengan tanda akhir zaman? Dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan lainnya. Untuk itu, Forum Teolog GBI telah melakukan telaah dan merumuskan sikap teologis GBI terhadap pandemi Covid 19, yang dijelaskan sebagai berikut:

B. Pandangan Alkitab tentang Penyakit

Alkitab memberi berbagai informasi tentang penyakit. Jika kita memeriksa berbagai nas Alkitab akan terlihat bahwa umat Allah memiliki berbagai pengalaman terhadap sakit penyakit. Berikut ini beberapa fakta tentang penyakit:

1. Relasi Penyakit dan Akibat Dosa

Penderitaan dan penyakit yang dialami manusia tidak dapat dipisahkan dari realitas kejatuhan umat manusia ke dalam dosa melalui Adam dan Hawa. Dosa menyebabkan Adam dan Hawa harus terpisah dari Allah dan diusir dari taman Eden serta kehilangan kemuliaan Allah (Kej. 3:23-24). Dosa telah merusak hubungan manusia dengan Allah, dengan sesamanya, dan dengan alam semesta. Sebagai akibat langsung yang dihadapi manusia berdosa itu adalah bahwa tanah harus diolah dengan susah payah, berkeringat, beban berat dan menyakitkan, “dengan berpeluh engkau akan mengusahakan tanah dari mana engkau diambil” (Kej. 3:17-19). Tanah bukan lagi sahabat melainkan sesuatu yang harus ditaklukkan dan dikuasai dengan kesusahan dan penderitaan.

Walaupun kesusahan, beban berat bahkan penderitaan merupakan akibat kejatuhan umat manusia ke dalam dosa, namun kerja pada dirinya sendiri bukanlah akibat dosa. Kerja adalah salah satu hakekat Allah yang diberikan kepada manusia ketika Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Inilah yang dipahami orang-orang Kristen sejak Gereja mula-mula[1]. Karenanya Alkitab justru melihat kerja secara sangat positif sebagai hakekat manusia. Manusia adalah makhluk yang bekerja.[2]

Relasi sosial manusia juga menjadi rusak karena kejatuhan ke dalam dosa, dan ini telah terlihat dalam upaya saling menguasai, mengontrol dan mengendalikan serta menyakiti sesama. Ini terlihat sejak awal dalam kisah pembunuhan Kain atas Habil, maupun kisah Lamekh. Bahkan sejak Lamekh sudah hadir poligami di tengah umat manusia. Namun Perjanjian Lama mengajarkan kasih setia kepada sesama. Kasih setia terutama hadir dalam kasih setia Allah kepada umat-Nya, dan kemudian menjadi teladan bagi kasih setia di antara umat Allah mengikat bangsa Israel dengan perjanjian kasih (covenant of love) (1 Raj. 8:23).[3] Bangsa Israel wajib melindungi orang-orang miskin, janda-janda, anak-anak piatu. Mereka bahkan mesti melindungi orang-orang asing yang berlindung kepada mereka (Im. 19:33, 34).[4]

Kemudian, karya salib Kristus memulihkan relasi sosial manusia ketika Ia memerintahkan kita untuk bahkan mengasihi musuh kita (Mat. 5:43-48; Luk. 6:35) dan membalas kejahatan dengan kebaikan (Mat. 5:38-42). Berjalan dalam kasih yang mempersatukan karenanya adalah ciri khas Gereja sebagai Tubuh Kristus.[5]

Dalam hal prokreasi atau melahirkan, ia menjadi sangat menyakitkan, “susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak, dengan kesakitan engkau akan melahirkan anak-anakmu…” (Kej. 3:16). Namun demikian, mengandung dan memiliki anak merupakan pemberian Allah kepada umat manusia dan Adam dan Hawa sudah memilikinya sebelum mereka jatuh ke dalam dosa. Prokreasi umat manusia adalah mandat Allah kepada Adam dan Hawa (Kej. 1:28).

Penyakit merupakan bagian integral dari kehidupan manusia yang berada dalam kejatuhan dalam dosa. Keterbatasan umur manusia, fisik sangat rentan dengan penderitaan, kesengsaraan bahkan dapat mengakibatkan kematian fisik adalah realitas kehidupan umat manusia. Hal itu terlihat dalam penggunaan kata khala suatu “keadaan yang tidak baik atau sakit”. Juga pemakaian kata makha yang berarti “penyakit” atau “wabah” (Ul. 7:15; 28:61). Keadaan buruk atau suatu masalah juga dihubungkan dengan davar penyakit jahanam (Mzm 41:8).

Kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat semua manusia memiliki periode waktu yang terbatas untuk hidup di bumi ini. Setiap manusia suatu saat akan meninggal, bagaimanapun caranya, baik oleh sakit-penyakit atau lainnya. Kematian menjadi hal yang niscaya akan dihadapi setiap manusia. Karenanya kematian menjadi menakutkan. Namun Rasul Paulus menyatakan bahwa karya salib Kristus mengalahkan maut dan maut kehilangan sengatnya (1 Kor. 15:54-57). Kita tahu ke mana kita setelah mati, yaitu berkumpul bersama Kristus (1 Tes. 4:14).

2. Relasi Penyakit dan Hukuman Allah

Berulangkali diungkapkan pengakuan umat Israel bahwa TUHAN menjatuhkan hukuman atas ketidaktaatan mereka dengan menggunakan penyakit. Penyakit kusta selain dipandang sebagai penyakit kulit, ia juga menjadi salah satu bentuk penyataan hukuman Allah (Im. 13-14).

Penyakit sering disejajarkan dengan pedang untuk menghukum umat Allah (Im. 26:25). Dalam Perjanjian Lama, Allah cukup sering memberikan hukuman melalui wabah dan penyakit (Ul. 28:21, Yeh. 14:19, Hab. 3:4). Penyakit dianggap sebagai salah satu bentuk hukuman yang berat (Yeh. 14:21). Seringkali mengakibatkan kematian bagi manusia dan termasuk juga hewan (Mzm. 78:50; Yer.21:6).

Kata dever yang diterjemahkan sebagai “wabah atau sampar” dianggap sebagai “perusakan” yang bersifat menyeluruh atau bencana yang sering dikaitkan dengan pedang dan kelaparan (Yes. 14:12; Yeh. 6:11). Kata yang memiliki makna yang sama dengan leimos dalam PB (Mat. 24:7; Luk. 21:11). Wabah yang mendatangkan kematian atas umat Israel. Pada peristiwa pencacahan jiwa yang dilakukan Daud, yang dipandang sebagai tindakan yang tidak berkenan di hati Tuhan, akibatnya penyakit sampar menulari umat Israel sehingga mengakibatkan kematian 70.000 orang (2 Sam. 24:15; 1 Taw. 21:14). Dalam kasus yang lain, wabah juga membunuh 185.000 tentara Sanherib (2 Raj. 19:35; Yes 37:36).

Dalam hal-hal tertentu penyakit timbul akibat sikap hati yang memberontak. Pemberontakan Miryam dan Harun terhadap Musa menyebabkan keduanya terkena kusta (Bil. 12:10-15). Tuhan mengganjar Gehazi dengan penyakit kusta akibat keserakahan dan kebohongannya (2 Raj. 5:27). Yerobeam menderita kusta akibat tidak menghargai tugas imam (2 Taw. 13:20). Hukuman Allah itu bersifat universal, sebab juga dialami bangsa-bangsa lain. Seperti penyakit sampar yang menghukum Firaun dan orang Mesir (Kel. 9:3, 15), Filistin (1 Sam. 5:6), Asyur (2 Raj. 19:35). Tuhan menghukum raja Yoram atas ketidaktaatannya dengan tulah dan penyakit (2 Taw.21:12-15).

Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam keyakinan umat Israel penyakit juga merupakan sarana Allah untuk mendidik dan mengajar mereka agar mematuhi Taurat Tuhan (Ul. 28:59; 29:22; Ul 32:24). Selain itu, ada harapan kesembuhan bagi mereka yang datang kepada Allah bahkan bagi mereka yang sakit karena dosa dan kesalahan mereka (Mzm. 107:17-22).

Yesus mengingatkan pentingnya hidup dalam pertobatan setelah Tuhan mengampuni dan menyembuhkan. Orang yang sakit 38 tahun diingatkan agar tidak kembali ke jalan dosa sehingga tidak dihukum lagi: “Kemudian Yesus bertemu dengan dia dalam Bait Allah lalu berkata kepadanya: "Engkau telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk" (Yoh 5:14). Paulus juga mengingatkan bahwa penyakit sebagai hukuman bahkan dapat mengakibatkan kematian, “Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal” (1. Kor. 11:30).

Namun, pada sisi lain, ketika seorang buta datang kepada Yesus, dan murid-murid bertanya siapa yang berdosa, ayahnya atau dirinya, maka Tuhan menyatakan tidak keduanya. Dengan kata lain, Tuhan menegaskan bahwa penyakit yang diderita orang buta tersebut bukan karena dosa. Tuhan bahkan menegaskan bahwa ia menjadi buta untuk menyatakan pekerjaan Tuhan dinyatakan di dalam dirinya (Yoh. 9:1-3).

Kemudian dalam Luk. 13:1-5, Yesus menegaskan bahwa orang-orang Galilea yang dibunuh Pilatus maupun 18 orang yang mati tertimpa menara dekat Siloam tidak memiliki dosa yang lebih besar dari orang-orang lain. Artinya, Yesus menolak mengaitkan hal-hal buruk yang menimpa seseorang, termasuk sakit penyakit bahkan kematian karena kecelakaan atau pembunuhan, sebagai akibat dosa. Lewat malapetaka tersebut, Yesus memperingatkan akan perlunya respons pertobatan.

Perbuatan dosa mungkin saja berdampak pada hal-hal buruk, termasuk sakit-penyakit. Namun itu tidak berlaku sebaliknya, bahwa setiap hal yang buruk termasuk sakit-penyakit otomatis disebabkan oleh dosa. Sebagai contoh, seorang yang berzinah, entah sekali atau sering kali, bisa saja kemudian terkena HIV dan kemudian menderita AIDS. Penyakit yang ia derita secara langsung adalah akibat perbuatan dosanya. Tetapi seorang bisa saja menderita AIDS bukan karena perbuatan dosanya. Sebagai contoh, seorang Imam Anglikan di Uganda, Afrika, Gideon Byamugisha,[6] terinfeksi HIV ketika ia dirawat di rumah sakit karena kecelakaan dan mendapatkan transfusi darah. Ia tertular melalui transfusi darah yang tidak steril itu.

3. Relasi Penyakit dan Perijinan dalam Kedaulatan Tuhan[7]

Kisah tulah-tulah di Mesir merupakan karya dan perbuatan Allah (Kel.7:10-12). Tuhan melakukan pembiaran untuk menyebarnya penyakit sampar yang dahsyat dan barah (Kel. 9:3, 6, 9, 11). Kematian akibat berbagai penyakit itu ditimpakan ke penduduk Mesir. Penyakit itu terjadi dalam perijinan dan kedaulatan Allah. Namun hal berbeda terjadi bagi umat Israel yakni kesehatan.

Penyakit juga dibiarkan Allah untuk terjadi atas Raja Hizkia. Hal itu bertujuan agar dibukakan baginya pengenalan akan Allah (2 Raj. 20:1-11). Dalam konteks sakit-penyakit dan wabah, maka dalam kedaulatan-Nya, Allah terkesan memberikan perijinan atau melakukan 'pembiaran'. Yang dimaksud dengan 'pembiaran' adalah pembiaran Allah yang berada dalam pemantauan serta kendali kedaulatan Allah yang mahakuasa.

Dalam sastra hikmat PL, kisah pilu Ayub dengan penyakitnya menampilkan tokoh yang sangat menderita. Penderitaan Ayub sangat kompleks dan rumit karena bersifat ragawi, sosial, emosional, dan rohani. Secara fisik, Ayub menderita barah atau borok. Ia juga menderita susah tidur atau insomia (Ayb. 7:4), berat badannya turun (Ayb. 16:8), matanya memerah (Ayb. 16:16), kurus (Ayb. 17:7), gemetar (Ayb. 21:6), tulang nyeri (Ayb. 30:17), kulitnya hitam mengelupas (Ayb. 30:28, 30), demam (Ayb. 30:30), bisul dan gatal (Ay. 2:7).

Masalah sosial yang dideritanya terjadi dalam penolakan, ditinggalkan istri, kerabat dan sahabat (Ayb. 18:13; 19:8). Secara emosi, Ayub kehilangan harta benda, anak-anak, sahabat bahkan perhatian dan kasih sayang isterinya. Kemalangannya tiada tara, sehingga mendesak dan mempertanyakan hari kelahirannya (Ayb. 25:5). Secara rohani pun ia tidak memiliki harapan di hadapan Allah (Ayb. 14:13; 19:10).

Teman-teman Ayub menuduh Ayub berdosa dan karenanya dihukum oleh Allah. Semua masalah besar yang ia alami, termasuk sakit-penyakitnya, menurut teman-teman Ayub karena Ayub berdosa (Ay. 8:1-4; 18:1-21; 20:1-29; 22:1-30). Mereka memahami bahwa orang jahat akan dihukum Tuhan, karenanya penderitaan merupakan hukuman dari Tuhan. Karenanya mereka mendesak Ayub untuk bertobat kepada Allah.[8]

Namun Ayub menyatakan bahwa ia tidak bersalah (Ayb. 9:20, 21). Namun ketika ia mempertanyakan mengapa Allah menghukum orang tak bersalah (Ayb. 10:1-22), Allah menyatakan kedaulatan-Nya atas semua ciptaan-Nya dengan panjang-lebar (Ayb. 38:1-41:25).

Pada akhir kisahnya, Allah menegur ketiga teman yang menuduh yang buruk kepada Ayub. Ayub memperoleh kesembuhan setelah ada perjumpaan pribadinya dengan Tuhan. Pengakuan atas Tuhan sebagai penyembuh juga membawa pemulihan atas keluarga, sahabat dan harta bendanya. Kitab Ayub dengan kata lain menegaskan bahwa penderitaan bukanlah hukuman Allah namun dalam perijinan dan kedaulatan Tuhan.[9]

Yesus sendiri mengalami penderitaan yang berat, yang dimulai dari Taman Getsemani. Narasi Taman Getsemani dengan gamblang menunjukkan bahwa Yesus menjadi begitu gentar dan takut (Mat. 26:37, 38; Mark. 14:33, 34; Luk. 22:43, 44). Sejak di taman itu, Ia bergumul dalam penderitaan berat. Penderitaan Yesus yang kemudian Ia lalui dalam kerangka rencana keselamatan kekal (Heilsgeschichte, salvation history) Allah atas umat manusia. Penderitaan yang Yesus alami adalah bagian dari rencana Allah dan mendatangkan keselamatan bagi semua umat manusia.[10]

Kemudian para murid Kristus, sejak menjadi percaya seringkali mengalami berbagai macam penderitaan termasuk penganiayaan bahkan pembunuhan yang membuat sebagian mereka menjadi martir. Kisah para Rasul memberikan gambaran bagaimana sebagian orang percaya mula-mula menderita aniaya. Apa yang mereka alami, penganiayaan bahkan kesahidan yang mereka dapatkan, justru adalah pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus membawa mereka masuk ke dalam penderitaan, penganiayaan dan kesahidan.[11]

4. Relasi Penyakit dan Kejahatan Iblis

Kepemimpinan Saul diawali dengan pengurapan oleh Roh Tuhan. Namun ketidaktaatannya kepada Tuhan merupakan celah yang dipakai Iblis untuk merusak kehidupannya.

“Tetapi Roh TUHAN telah mundur dari pada Saul, dan sekarang ia diganggu oleh roh jahat yang dari pada TUHAN” (1Sam. 16:14).

Tampilnya “roh jahat” memperlihatkan beberapa karakteristik yang negatif dalam diri Saul. Ketika Roh Tuhan undur dari Saul maka “roh jahat” selalu mengintimidasi. Roh itu memengaruhinya sehingga menumbuhkan sikap negatif antara lain tendensi menjadi murung, penuh dengan iri hati dan pelanggaran. Ini semua adalah bentuk penyimpangan psikologis karena mengalami serangan dari roh-roh jahat.

Kisah Ayub dicoba Iblis telah memberikan gambaran yang sama dengan “roh jahat” yang menganggunya, “Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya." Kemudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN” (Ayb. 1:12; 2:6). Secara sengaja Iblis datang menghadap Allah mempersoalkan keberadaan Ayub yang diberkati dengan kelimpahan materi. Namun apa yang dikerjakan Iblis atas Ayub hanyalah sebatas apa yang diijinkan Allah untuk Iblis lakukan. Atas seijin Tuhan, Iblis pun mengulurkan tangannya sehingga Ayub mengalami berbagai kesulitan dan kesukaran, kehilangan anak-anak dan harta benda, ditinggalkan sahabat-sahabat.

Dari kisah Ayub, nampak jelas terlihat bahwa dalam penderitaan berat yang Ayub alami, bukan Iblis, tetapi Allah yang berdaulat. Allah berdaulat atas umat manusia, atas Iblis, atas dunia, atas alam semesta, dan karenanya atas penderitaan.[12]

Dalam pelayanan yang Yesus lakukan, Ia menghadapi banyak orang yang diganggu oleh roh-roh jahat dan karenanya menderita sakit (Mark. 9:25). Namun tidak semua yang sakit menderita karena gangguan roh-roh jahat. Baik atas orang yang sakit karena gangguan roh-roh jahat maupun yang bukan karena gangguan roh-roh jahat, Yesus memulihkan mereka semua (Mat. 11:4, 5; Mark. 7:37; Luk. 7:22).

5. Penyakit Karena Ulah Manusia yang Tamak, Serakah, Korup, dan Destruktif

Alkitab mengatakan bahwa ada penderitaan dan kesukaran, bukan karena hukuman Allah dan serangan kuasa iblis/setan, tetapi semata-mata karena ulah manusia. Manusia dicobai oleh keinginannya yang jahat (Yak. 1). Walaupun manusia dan dunia ini sudah jatuh dalam dosa, tidak semua orang memiliki kecenderungan untuk merusak lingkungan. Memang, ada orang-orang yang serakah, tamak, korup, dan merusak. Usaha-usaha manusia di bidang bio-teknologi, ketidakperdulian kepada keseimbangan ekosistem, rekayasa kimiawi dan biologi yang ditujukan untuk merancang senjata kimia, adalah beberapa hal yang telah menimbulkan malapetaka di dunia ini. Kecurigaan sebagian kalangan bahwa Covid-19 ini adalah sebuah kesengajaan karena pekerjaan kejahatan di laboratorium, dan rekayasa bahan makanan pada binatang yang mengakibatkan dapat bermutasinya flu binatang kepada manusia, adalah beberapa hal contoh faktor manusia dapat berkontribusi bagi sebuah wabah.

Di samping itu, teologi yang tidak holistik kepada alam, telah turut berkontribusi untuk menciptakan sebuah malapetaka. Misalnya teologi penaklukan (dominion theology), yang melihat teks, “taklukkanlah dan kuasailah bumi,” dalam Kejadian, tidak secara terikat kepada konteks penatalayanan yang berkeadilan dan pro kepada kelestarian lingkungan. Itu sebabnya, setiap kali ada wabah, pemerintah juga turut mendorong kaum agamawan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang apa artinya turut mendorong etika lingkungan dan sosial untuk mengurangi wabah.

C. Kesembuhan melalui Penebusan dan Pengampunan Dosa

Alkitab memberikan keterangan bahwa kesembuhan diperoleh melalui penebusan dan pengampunan dosa yang dikerjakan oleh Kristus. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa salah satu konsekuensi dari kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah timbulnya penyakit. Karena itu, secara rohani, manusia memerlukan pengampunan dosa sehingga ia menjadi sembuh, tanpa mengabaikan bahwa secara jasmani dan medis, ia memerlukan perawatan medis untuk sembuh.

Pemazmur menegaskan bahwa ia memperoleh kesembuhan melalui pengampunan yang Allah berikan kepadanya: “Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu” (Mzm. 103:3). Selanjutnya Hizkia menggambarkan kesembuhan yang diterimanya itu dengan menyatakan: “Ya TUHAN, karena inilah hatiku mengharapkan Engkau; tenangkanlah rohku, buatlah aku sehat, buatlah aku sembuh!” (Yes. 38:16).

Dalam Perjanjian Lama, penebusan dan pengampunan diberikan dengan cara yang mahal, yakni penumpahan darah. Itulah sebabnya Yesaya memberi gambaran tentang hadirnya tokoh “Hamba Allah yang Menderita” (Ebed Yahweh, Yes. 53:4). Dalam konteks Perjanjian Lama, Ebed Yahweh dapat dipahami sebagai seorang sosok yang menderita bagi orang-orang lain. Para penafsir Yahudi memberikan kemungkinan antara lain: nabi itu sendiri (Yesaya), para nabi, sisa-sisa Israel (remnants of Israel), atau bahkan Israel secara keseluruhan.[13]

Namun dalam perspektif Perjanjian Baru, injil-injil kanonik merujuk Yesus sebagai Hamba Tuhan yang menderita itu, antara lain:[14]

Yesus sendiri menyebut diri-Nya sebagai Hamba Tuhan yang menderita itu (Mat. 20:28; Mark. 9:12).[15]

Nubuat sengsara Yesus yang Ia sendiri sampaikan sebanyak tiga kali dalam Injil Markus (Mark. 8:31, 9:31-32; 10:33-34) merujuk kepada Hamba Tuhan yang Menderita.[16]

Narasi Ebed Yahweh merupakan nubuat tentang Yesus Kristus yang menderita bukan karena kesalahan-Nya sendiri, melainkan demi menebus kesalahan dan dosa semua umat manusia. Dalam menanggung penderitaan itu, Ia juga menanggung segala sakit-penyakit umat manusia (Mat. 8:17), sehingga setiap orang yang datang kepada-Nya beroleh penebusan, pengampunan dan pemulihan (Mark. 2:5).

Yesus datang untuk mengampuni, menyelamatkan dan menyembuhkan orang yang datang kepada-Nya. Inilah yang Ia lakukan Ketika orang yang lumpuh digotong empat orang datang kepada-Nya memohon kesembuhan. Ia berkata: “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” (Mark. 12:5). Yesus mengetahui bahwa orang lumpuh itu terutama memerlukan pengampunan dan bukan hanya kesembuhan. Yesus memberikan kedua-duanya.[17]

Ketika perempuan pendarahan 12 tahun datang kepada Yesus dan menjamah jubah Yesus dari belakang sambil berkata: “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh” (Mark. 5:25-34), maka respons Yesus: “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu!” mencakup roh (keselamatan – imanmu telah menyelamatkan engkau), jiwa (pergilah dengan selamat, terjemahan dari kata eirene, atau shalom, damai sejahtera) dan tubuh (sembuhlah dari penyakitmu). Dengan kata lain, karya yang Yesus kerjakan adalah pemulihan manusia seutuhnya, roh, jiwa dan tubuh.

Dalam pengertian yang lebih luas, kesembuhan tidak difokuskan hanya pada kesehatan fisik semata melainkan terciptanya sebuah keadaan yang harmonis yang ditandai dengan rekonsiliasi antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan makhluk lain dan restorasi seluruh ciptaan dalam cakupan kesehatan universal di alam semesta.

D. Respons Gereja terhadap Pandemi Covid-19

Tak dapat disangkal bahwa pandemi Covid-19 telah menebar kekuatiran dan ketakutan di seluruh dunia. Selain kuatir akan kepastian masa depan, keadaan sosial dan ekonomi manusia banyak orang dilanda kecemasan.

Itulah sebabnya ada yang menganggap bahwa penyakit ini adalah pekerjaan Iblis. Benar memang bahwa sejak semula pekerjaan Iblis selalu berusaha untuk menggagalkan rencana Allah atas manusia. Iblis berusaha membunuh manusia (Yoh. 8:44; 10:10a). Kita tahu bahwa tujuan Iblis adalah menggagalkan rencana keselamatan Allah bagi manusia. Inilah yang disaksikan Alkitab dalam sejarah manusia.

Namun kita kurang bijak jika serta merta menuduh Iblis penyebab Covid-19, karena dalam sejarah dunia telah dicatat bahwa banyak penyakit atau wabah yang merenggut banyak nyawa manusia. Pada akhirnya, manusia dengan sendirinya ditantang untuk mencari solusinya untuk menemukan obat, antivirus dan lain-lain. Di kemudian hari, termasuk era kita sekarang ini, berbagai penyakit yang dulu dianggap mematikan sekarang dianggap sebagai penyakit biasa yang tidak lagi ditakuti secara berlebihan.

Apakah Covid-19 hukuman dari Allah? Ada yang beranggapan bahwa kematian akibat Covid-19 sebagai aib yang harus dihindari dan bahkan hukuman dari Allah. Berbagai penolakan pun terjadi baik bagi keluarga korban atau orang-orang yang dekat atau bersentuhan dengannya. Kita perlu menyadari bahwa realitas kematian adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Namun yang harus kita ketahui adalah cara mati manusia tidaklah menentukan keselamatannya atau masuk tidaknya seseorang ke sorga.

Manusia pada akhirnya akan mati. Kematian tidak memandang usia muda atau tua, sakit atau sehat, status sosial rendah atau terhormat, kaya atau miskin. Bila waktu Tuhan telah tiba maka setiap orang akan dipanggil sesuai agenda Tuhan. Dengan demikian adalah kurang bijak bila kita menaruh curiga bagi mereka yang meninggal karena Covid-19. Apalagi memandang mereka sebagai orang yang dihukum Tuhan dengan penyakit itu. Kita tidak berhak untuk menentukan mereka yang mati karena Covid-19 sebagai orang yang dihukum Allah. Apakah Covid-19 sebagai rekayasa manusia? Berbagai spekulasi atau teori konspirasi merebak setelah virus ini melanda dunia. Ada yang menganggap bahwa Covid-19 adalah senjata biologi China, buatan Amerika, buatan Bill Gates, dibawa tentara AS ke China, dan berbagai teori lainnya. Oleh karena berbagai teori ini hanya bersifat spekulatif maka hal itu membutuhkan penelitian yang mendalam terhadap akurasi data, analisis yang digunakan untuk mengolah data dan berbagai pengujian lainnya. Gereja dalam hal ini GBI tidak perlu terlibat apalagi terjebak dalam teori-teori konspirasi. Sebab kajian yang dangkal akan menghasilkan pemahaman yang dangkal pula. Dengan demikian hasilnya pasti akan mengecewakan. Jadi, terlalu gegabah bagi kita jika mengatakan bahwa itu adalah rekayasa manusia.

Apakah Covid-19 tanda akhir zaman dan penggenapan kitab Wahyu? Seperti telah dijelaskan di atas bahwa berbagai wabah dan penyakit mematikan telah terjadi dalam sejarah dunia. Sejak 5000 tahun yang lalu, dunia telah dihantam oleh 20 wabah terburuk sepanjang sejarah manusia.[18] Secara keseluruhan, semua wabah tersebut telah membunuh ratusan juta manusia di seluruh dunia.

Terkait hubungan penyakit dengan kitab Wahyu, memang dari dulu telah banyak yang meyakini berbagai penyakit terhubung langsung dengan nas-nas itu. Namun faktanya sebagian ada yang terbukti namun belum seluruhnya digenapi. Ada baiknya kita hati-hati dengan berbagai tafsiran yang ada, apalagi dengan pendekatan literal yang menganggap nas itu terkait langsung dengan kehidupan kita sekarang ini. Kitab Wahyu sarat dengan sastra apokaliptik yang menuntut kita memahami kejadian-kejadian pada masa penulisan kitab itu.

Berbagai penganiayaan dialami umat baik yang dilakukan secara sengaja oleh penguasa, juga oleh orang-orang yang membenci orang Kristen telah mendorong penulis menyampaikan pesannya dalam bahasa simbolik, di mana komunitas orang percaya sendirilah yang mengerti bahasa itu.[19] Harapannya agar orang percaya tetap pada keyakinan imannya. Jika demikian keadaannya maka kita perlu mengadakan analisis yang lebih komprehensif terhadap nas itu dan tidak menggunakan teks-teks Kitab Wahyu keluar dari konteksnya.[20]

Salah seorang Bapa Gereja, bernama Cyprianus yang adalah uskup Gereja di Khartago, mengalami dan melalui pandemi pada 250-271M, di Roma, Kekaisaran Romawi. Pada saat itu, 5.000 orang meninggal dalam sehari di kota Roma saja. Cyprianus menyebut pandemi tersebut akhir zaman. Namun ia terbukti keliru.

Karenanya, justru tidak tepat mengasosiasikan pandemi atau wabah apapun sebagai tanda kedatangan Yesus Kristus kembali. Yesus sendiri mengatakan bahwa “tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri" (Mat. 24:36). Yesus juga mengatakan: “sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang” (Mat. 24:42), dan “Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga" (Mat. 24:44). Kedatangan-Nya tidak diketahui seperti pencuri di malam hari ketika semua terlelap (Luk. 12:39-40). Dalam banyak hal lain, Tuhan dengan tegas menyatakan kedatangan-Nya yang tidak dapat diduga, ditebak dan diperkirakan oleh apapun dan siapapun (Mark. 13:33-37; Luk. 12:35-40). Kedatangan Yesus Kristus kembali sama sekali tidak dapat diduga dan diprediksi dengan kejadian apapun oleh siapapun. Ini adalah batasan yang tidak boleh dilalui.

Kita meyakini bahwa umat Allah dilindungi dan dipelihara Allah sehingga fokus utama kita lebih kepada pengenalan dan pengiringan akan Allah. Namun bila terjadi perbedaan pandangan kita harus menghargai dan tidak perlu saling mengejek dan menjatuhkan, atau menganggap kita lebih rohani dari yang lain, kita lebih mengetahui dan yang lain tidak.

Pandemi Covid-19 justru mengingatkan umat manusia untuk tidak melakukan eksploitasi yang merusak alam dan menciptakan ketidakseimbangan ekosistem yang dapat menciptakan malapetaka. Umat manusia juga diingatkan untuk tidak melakukan rekayasa genetika yang berbahaya bagi keberlangsungan hidup alam semesta termasuk semua ciptaan Allah di dalamnya.

Pandemi ini mengingatkan Gereja untuk membangun dan memiliki teologi ekosistem atau ekoteologi yang berpihak dan mendorong pemeliharaan alam semesta sebagai mandat ilahi.

Sejak Gereja berdiri dua milenium yang lalu, dunia dihantam berulang kali dengan wabah atau pandemi. Sepanjang dua milenium menghadapi puluhan pandemi, Gereja telah menghadapinya dan mampu melaluinya. Sekalipun Bapa Gereja Cyprianus keliru dengan menyatakan bahwa wabah pada zamannya adalah tanda akhir zaman akan tiba, namun pada sisi lain, Cyprianus tidak mendorong Gereja untuk menanti-nanti akhir zaman dengan berpangku tangan, apalagi dengan ketakutan.

Cyprianus justru menyatakan bahwa wabah ini justru adalah panggilan Allah bagi Gereja pada saat itu untuk menjalankan panggilan-Nya kepada Gereja untuk menyatakan kasih kepada dunia dan sesama. Gereja terlibat dalam pelayanan sosial-diakonia yang masif. Akibat dari itu, masyarakat berempati kepada apa yang Gereja kerjakan, dan Gereja justru karenanya berkembang pesat. Banyak orang menjadi percaya.

Di sepanjang dua milenium ini, setiap kali dunia dihantam oleh wabah, maka Gereja selalu melaluinya dengan karya pelayanan sosial-diakonia. Pelayanan sosial-diakonia ini menjadi wujud kehadiran Kristus yang nyata melalui Gereja-Nya yang adalah Tubuh Kristus (Corpus Christi) secara nyata dan konkrit di dunia yang menderita ini.

GBI melihat pandemi Covid-19 ini terutama sebagai panggilan Kristus untuk menyatakan kehadiran-Nya kepada dunia melalui Tubuh-Nya dengan memberitakan kabar baik-Nya melalui kasih yang nyata dalam pelayanan sosial-diakonia.[21]

Mereka yang menderita Covid-19 bukan hanya perlu untuk didoakan dan dilayani, melainkan juga perlu untuk didukung semaksimal mungkin agar dapat sembuh dan pulih. Lebih daripada itu, GBI perlu terlibat, sesuai kemampuan, dalam segala aspek menolong orang-orang yang dalam kesusahan dan penderitaan, mendukung pemerintah untuk mengatasi pandemi ini serta memberitakan kabar baik yang memberikan pengharapan, damai, sejahtera dan sukacita kepada siapapun. GBI bahkan perlu memimpin di depan dan menjadi teladan bagi gereja-gereja lain.

E. Kesimpulan

  1. Penyakit merupakan bagian yang integral dari kehidupan manusia. Sakit-penyakit merupakan akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat semua manusia tak terkecuali memiliki keterbatasan dalam segala hal, termasuk keterbatasan dan kelemahan secara fisik maupun keterbatasan usia hidup.
  2. Penyakit mungkin terjadi sebagai akibat teguran atau hukuman Allah, namun tidak setiap penyakit adalah teguran atau hukuman Allah. Namun jika itu terjadi karena teguran atau hukuman Allah bagi manusia, maka itu memiliki tujuan pendisiplinan sehingga manusia bertobat, beribadah kepada dan memuliakan Allah.
  3. Penyakit mungkin akibat perbuatan jahat Iblis, namun tidak setiap penyakit adalah akibat perbuatan jahat Iblis. Namun jika itu terjadi karena perbuatan jahat Iblis, maka yang harus diketahui bahwa itu adalah atas seizin Allah dalam kedaulatan-Nya, sehingga Tuhan sudah menyediakan jalan keluar dan kesembuhan atas penyakit itu.
  4. Covid-19 adalah virus yang menjangkiti banyak manusia bahkan telah merenggut banyak nyawa. Penyakit ini tidak lepas dari kemahatahuan dan kedaulatan Allah. Dengan demikian bila ada yang meninggal maka hal itupun berada dalam kendali dan kedaulatan Tuhan yang Mahakuasa.
  5. Orang yang sakit adalah orang yang menderita. Karenanya kita tidak boleh menghakimi mereka yang menderita penyakit Covid-19 sebagai orang yang dihukum Tuhan karena tugas penghakiman bukan hak manusia melainkan hak Allah. Sebaliknya, kita justru harus menolong mereka yang menderita semaksimal yang kita bisa berikan dan lakukan.
  6. Wabah dan pandemi datang silih berganti di sepanjang sejarah kehidupan umat manusia secara global. Karenanya, wabah dan pandemi tidak bisa dipahami sebagai tanda akhir zaman atau kedatangan Kristus kembali akan atau sudah tiba. Akhir zaman dan kedatangan Tuhan kembali yang kita nantikan tidak dapat diperkirakan, diduga ataupun ditebak karena Tuhan sendiri mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang tahu saatnya. Wabah Covid-19 bukan tanda akhir zaman atau kedatangan Tuhan kembali, namun menjadi bagian dari kondisi yang mendekati akhir zaman.
  7. Perbedaan terhadap tafsir kitab Wahyu sudah sejak lama ada dalam pemahaman gereja dan teolog. Dengan demikian kita tidak perlu mencurigai mereka yang memiliki perbedaan tafsir, apalagi menjelekkan dan menganggapnya sesat. Kita menghargai keragaman pendekatan menunjukkan sikap dan kedewasaan kita baik dalam berteologi maupun keyakinan akan Kristus sebagai kepala gereja.
  8. Kita perlu memberi respons positif terhadap tugas dan panggilan kita sebagai individu maupun warga gereja. Menjaga hidup sehat, memelihara kebersihan, mengikuti protokol pemerintah, seperti menjaga jarang, pakai masker, kebersihan diri dengan desinfektan dan lain-lain. Gereja perlu tampil dalam melaksanakan tugas dan panggilannya melakukan pelayanan holistik. Melalui kepedulian dan belas kasihan kepada sesama, menolong mereka yang terkena dampak secara material, moral dan spiritual.

Catatan kaki

Sumber

  • Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia (2020). Pandangan GBI tentang COVID-19 (Surat Pastoral No 099/S-XVI/SU-GBI/V/2020). Jakarta: Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia.  (PDF)